| 
 | A. Dalil Hak Waris Para 'AshabahDalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak          mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an dan          As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah (artinya):          "dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya          seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal          itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak          mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),          maka ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua          (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan seperenam (1/6)          apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris          tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya          menjadi milik kedua orang tua. Ayat tersebut juga telah          menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu          mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut tidak          menjelaskan berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami          bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3)          menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah          disebabkan ia sebagai 'ashabah.
 Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah (artinya) "jika          seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan          mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang          perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan          saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara          perempuan), jika ia tidak mempunyai anak." (an-Nisa': 176).
 Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung.          Namun, yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai          (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila          ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna          kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh          harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.
 Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan          Rasulullah saw.:
 
 "Bagikanlah harta peninggalan (warisan)          kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak          laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar          memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih          tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang          paling utama dari 'ashabah.
 Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata          yang digunakan Rasulullah dengan menyebut "dzakar" setelah          kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas menunjukkan makna          seorang laki-laki. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari          salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk          orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun          berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah dan menguasai          seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah          rahasia makna sabda Rasulullah saw. dalam hal penggunaan          kata "dzakar".
 
 B. Macam-macam 'Ashabah'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena          nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab). Jenis 'ashabah          yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab          itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris          bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut          tidak mempunyai keturunan.Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1)          'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita),          (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain),          dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama          dengan yang lain).
 Catatan
 Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan          tanpa diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil ghair atau          ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.
 
 'Ashabah bin nafs'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada          pewaris tidak tercampuri kaum wanita, mempunyai empat arah,          yaitu:
 Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya          sesuai urutan di atas. Arah anak lebih didahulukan (lebih          kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada          arah saudara.Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak             laki-laki mulai cucu, cicit, dan seterusnya.                          Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya,             yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari             bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.                          Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung             laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki             keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki             keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya. Arah             ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan             yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang             laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak             termasuk 'ashabah disebabkan mereka termasuk ashhabul             furudh.                          Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah)             kandung maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka,             dan seterusnya.          
 
 Hukum 'Ashabah bin nafsTelah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai          empat arah, dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai          urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian)          menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia          berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila          ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh,          maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan          kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada          ashhabul furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para          'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang          istri wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung          perempuan, saudara laki-laki seayah.Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara          perempuan mendapat bagian setengah (1/2). Saudara seayah          tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah          menghabiskannya.
 Adapun bila para 'ashabah bin nafs lebih dari satu orang,          maka cara pentarjihannya (pengunggulannya) sebagai berikut:
 Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah
 Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat          beberapa 'ashabah bin nafsih, maka pengunggulannya dilihat          dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dibandingkan          yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan          yang ada, atau akan menerima sisa harta waris setelah          dibagikan kepada ashhabul furudh bagian masing-masing.          Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan          anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki          posisi anak bila anak tidak ada. Misalnya, seseorang wafat          dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara kandung.          Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak          laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan daripada arah          yang lain. Sedangkan ayah termasuk ashhabul furudh          dikarenakan mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki.          Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan          waris dikarenakan arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila          antara saudara kandung laki-laki maupun saudara laki-laki          seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya, insya Allah akan          saya paparkan pada bab tersendiri.
 Kedua: Pentarjihan secara Derajat
 Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat          beberapa orang 'ashabah bi nafsihi, kemudian mereka pun          dalam satu arah, maka pentarjihannya dengan melihat derajat          mereka, siapakah di antara mereka yang paling dekat          derajatnya kepada pewaris. Sebagai misal, seseorang wafat          dan meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki.          Dalam hal ini hak warisnya secara 'ashabah diberikan kepada          anak, sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun.          Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan cucu          laki-laki.
 Contoh lain, bila seseorang wafat dan meninggalkan          saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara kandung, maka          saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih          dekat kedudukannya dari pada anak saudara kandung. Keadaan          seperti ini disebut pentarjihan menurut derajat kedekatannya          dengan pewaris.
 Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan
 Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak          'ashabah bi nafsihi yang sama dalam arah dan derajatnya,          maka pentarjihannya dengan melihat manakah di antara mereka          yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai          contoh, saudara kandung lebih kuat daripada seayah, paman          kandung lebih kuat daripada paman seayah, anak dari saudara          kandung lebih kuat daripada anak dari saudara seayah, dan          seterusnya.
 Catatan
 Perlu untuk digarisbawahi dalam hal pentarjihan dari segi          kuatnya kekerabatan di sini, bahwa kaidah tersebut hanya          dipakai untuk selain dua arah, yakni arah anak dan arah          bapak. Artinya, pentarjihan menurut kuatnya kekerabatan          hanya digunakan untuk arah saudara dan arah paman.
 
 Mengapa Anak Lebih Didahulukan          daripada Bapak?Satu pertanyaan yang sangat wajar dan mesti diketahui          jawaban serta hikmah di dalamnya. Sebab, keduanya memiliki          posisi sederajat dari segi kedekatan nasab pada seseorang,          ayah sebagai pokok dan anak merupakan cabang. Berdasarkan          posisi ini sebaiknya garis anak tidak didahulukan daripada          garis ayah.Namun demikian, ada dua landasan mengapa garis anak lebih          didahulukan. Landasan pertama berupa dalil Al-Qur'an,          sedangkan yang kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya (artinya)          "dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya          seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal          itu mempunyai anak." (an-Nisa: 11).
 Dalam ayat tersebut Allah SWT menjadikan ayah sebagai          ashhabul furudh bila pewaris mempunyai anak, sedangkan          bagian anak tidak disebutkan. Dengan demikian, jelaslah          bahwa anak akan mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan          pewaris, setelah masing-masing dari ashhabul furudh telah          mendapatkan bagiannya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa          garis anak lebih didahulukan daripada garis bapak.
 Sedangkan secara aqli, manusia pada umumnya merasa          khawatir terhadap anak (keturunannya), baik dalam hal          keselamatannya maupun kehidupan masa depannya. Oleh sebab          itu, orang tua berusaha bekerja keras untuk memperoleh harta          dan berhemat dalam membelanjakannya, semuanya demi          kesejahteraan keturunannya. Bahkan, tidak sedikit orang tua          yang bersikap bakhil, sangat kikir dalam membelanjakan          hartanya, demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat          tepat apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah          haditsnya "al-waladu mabkhalah majbanah" (anak dapat membuat          seseorang berlaku bakhil dan pengecut).
 Makna hadits tersebut sangat jelas bahwa orang tua          menjadi kikir --bahkan pengecut-- karena sangat khawatir          terhadap masa depan anaknya. Karena itu mereka tidak          segan-segan menimbun harta dan kekayaan demi menyenangkan          keturunan pada masa mendatang. Tidak sedikit orang tua yang          menjadi pengecut hanya disebabkan menjaga kemaslahatan          keturunannya pada hari depannya. Dengan demikian, mereka          takut berhadapan dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu          kemudahan jalan rezekinya. Inilah alasan bahwa hati          seseorang cenderung lebih dekat kepada anaknya dibandingkan          kepada ayahnya. Wallahu a'lam.
 Catatan
 Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa 'ashabah bi          nafsihi harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari          kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Jika          demikian berarti wanita tersebut sebagai 'ashabah bi          nafsihi, bila budak yang dibebaskannya tidak mempunyai          keturunan (kerabat).
 
 'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya          'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli          waris yang kesemuanya wanita:
 Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan             dengan saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).                          Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi             'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya,             atau anak laki-laki pamannya (yakni cucu laki-laki             keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya atau             bahkan lebih di bawahnya.                          Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila             bersama saudara kandung laki-laki.                          Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila             bersamaan dengan saudara laki-lakinya, dan pembagiannya,             bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.          
 Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi          'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan          beberapa persyaratan berikut:Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashhabul furudh.          Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh, maka tidak          akan menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh, anak          perempuan dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi          'ashabah bi ghairih dengan adanya saudara kandung laki-laki          dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan demikian, anak          perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul          furudh.
 Kedua: laki-laki yang menjadi 'ashabah (penguat) harus          yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat menjadi          pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak          laki-laki tidak sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia          berfungsi sebagai pen-tahjib (penghalang) hak waris cucu.          Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara laki-laki,          tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan          disebabkan tidak sederajat.
 Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuat          dengan ahli waris perempuan shahibul fardh. Misalnya,          saudara laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudara          kandung perempuan. Sebab saudara kandung perempuan lebih          kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki seayah.
 Catatan
 Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat bagian          setengah (1/2) jika sendirian, ia berhak mendapatkan bagian          dua per tiga (2/3) bila menerima bersama saudara          perempuannya, dan akan menjadi 'ashabah bila mempunyai          saudara laki-laki. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat          ahli waris dari kalangan wanita yang saya sebutkan (yakni          anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,          saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah).
 
 Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi          Dalil bagi hak waris para 'ashabah bi ghairih adalah          firman Allah (artinya): "bagian seorang anak lelaki sama          dengan bagian dua orang anak perempuan" (an-Nisa': 11). Dan          juga berlandaskan firman-Nya (artinya): "dan jika mereka          (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan          perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak          bagian dua orang saudara perempuan" (an-Nisa': 176).Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan"          dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara          kandung perempuan dan yang seayah. Mereka berpendapat bahwa          kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-laki atau          perempuan yang seibu, disebabkan hak waris mereka          berdasarkan fardh (termasuk ashhabul furudh) bukan sebagai          'ashabah. Selain itu, hak waris mereka pun antara laki-laki          dan perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya):          "maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu" (an-Nisa':          12).
 
 Sebab Penamaan 'Ashabah bi          GhairihiAdapun sebab penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena          hak 'ashabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan          kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya          'ashabah lain ('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung          laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para          'ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka keempat wanita          tersebut mendapat hak warisnya secara fardh.
 'Ashabah ma'al Ghair'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para saudara kandung          perempuan maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi          bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara          laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara          perempuan seayah bila berbarengan dengan anak perempuan          --atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan          seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di          kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.Satu hal yang perlu diketahui dalam masalah ini, seperti          yang ditegaskan dalam kitab Hasyiyatul Bajuri (hlm. 108):          "Adapun saudara perempuan (kandung dan seayah) menjadi          'ashabah jika berbarengan dengan anak perempuan adalah agar          bagian saudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan          bagian anak perempuan tidak terkena pengurangan. Sebab bila          kita berikan hak waris saudara perempuan secara fardh, maka          akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian anak          perempuan akan berkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah          mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan, karena itu          dijadikanlah saudara kandung perempuan dan saudara perempuan          seayah sebagai 'ashabah agar terkena pengurangan."
 
 Dalil 'Ashabah ma'al Ghair          Yang menjadi landasan bagi hak waris 'ashabah ma'al ghair          adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan          lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanya tentang hak waris          anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, dan          saudara perempuan (sekandung atau seayah). Abu Musa          menjawab: "Bagian anak perempuan separo, dan bagian saudara          perempuan separo."Penanya itu lalu pergi menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud          r.a., dan dijawab: "Aku akan memvonis seperti apa yang          diajarkan Rasulullah saw., bagian anak perempuan setengah          (1/2) dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki          seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3),          sedangkan sisanya menjadi hak saudara perempuan kandung atau          seayah."
 Penanya itu pun kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan          menceritakan apa yang telah diputuskan Ibnu Mas'ud. Lalu Abu          Musa berkata: "Janganlah kalian menanyakannya kepadaku          selama sang alim (Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian."
 Dari penjelasan Ibnu Mas'ud dapat disimpulkan bahwa hak          saudara perempuan bila mewarisi bersama-sama dengan anak          perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini          berarti saudara kandung perempuan atau saudara perempuan          seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair.
 Catatan
 Sangat penting untuk diketahui bersama bahwa bila seorang          saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah ma'al ghair, maka          ia menjadi seperti saudara kandung laki-laki sehingga dapat          menghalangi hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki          maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula menggugurkan          hak waris yang di bawah mereka, seperti anak keturunan          saudara (keponakan), paman kandung ataupun yang seayah.
 Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi          'ashabah ma'al ghair ketika mewarisi bersama anak perempuan          pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki          seayah hingga menjadi penggugur keturunan saudaranya dan          seterusnya.
 Untuk lebih menjelaskan masalah tersebut saya sertakan          contoh seperti berikut:
 
 Contoh PertamaSeseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak          perempuan, saudara perempuan, dan saudara laki-laki seayah,          maka pembagiannya adalah sebagai berikut:Pokok masalahnya dari 2
 
 
Keterangan                | Keterangan | Jumlah Bagian | Nilai |                  | Anak perempuan | 1/2 | 1 |                  | Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair | 1/2 | 1 |                  | Saudara laki-laki seayah | gugur | 0 |  Bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan          sisanya merupakan bagian saudara kandung perempuan          disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya          seperti saudara kandung laki-laki. Sedangkan saudara          laki-laki seayah terhalang karena saudara kandung perempuan          menjadi 'ashabah.
 
 Contoh KeduaSeorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami,          cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang          saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah.          Maka pembagiannya seperti dalam tabel berikut:Pokok masalahnya dari 4
 
 
Keterangan                | Keterangan | Jumlah Bagian | Nilai |                  | Suami | 1/4 | 1 |                  | Cucu perempuan | 1/2 | 2 |                  | Saudara kandung perempuan | 'ashabah ma'al ghair | 1 |                  | Saudara laki-laki seayah | mahjub | 0 |  Suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris          mempunyai cabang ahli warisnya. Sedangkan cucu perempuan          keturunan anak laki-laki mendapat bagian setengah secara          fardh, kemudian sisanya yaitu seperempat-- menjadi hak dua          saudara kandung perempuan pewaris sebagai 'ashabah ma'al          ghair. Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah gugur          karena adanya dua saudara kandung.
 
 Contoh KetigaSeseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak          perempuan, saudara perempuan seayah, dan anak laki-laki          saudara laki-laki (kemenakan). Pembagiannya seperti berikut:Pokok masalahnya dari 3
 
 
Keterangan                | Keterangan | Jumlah Bagian | Nilai |                  | Dua anak perempuan | 2/3 | 2 |                  | Saudara perempuan seayah | 'ashabah ma'al ghair | 1 |                  | Anak saudara laki-laki | mahjub | 0 |  Dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan          sisanya untuk saudara perempuan seayah disebabkan ia menjadi          'ashabah ma'al ghair. Sedangkan anak saudara laki-laki          ter-mahjub oleh saudara perempuan seayah.
 
 Contoh KeempatSeseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak          perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, seorang          ibu, saudara perempuan seayah, dan paman kandung (saudara          dari ayah kandung). Maka pembagiannya seperti berikut:Pokok masalahnya dari 6
 
 
Keterangan                | Keterangan | Jumlah Bagian | Nilai |                  | Anak perempuan | 1/2 | 3 |                  | Cucu perempuan | 1/6 | 1 |                  | Ibu | 1/6 | 1 |                  | Saudara perempuan seayah | 'ashabah ma'al ghair | 1 |  Anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh,          cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam          bagian sebagai penyempurna dua per tiga, dan ibu mendapatkan          seperenam. Sedangkan sisanya untuk saudara perempuan seayah          sebagai 'ashabah ma'al ghair, karena kekuatannya seperti          saudara laki-laki seayah sehingga ia menggugurkan paman          kandung. Begitulah seterusnya.
 Catatan
 Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu tidak          berhak menjadi ahli waris bila pewaris mempunyai anak          perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris menjadi penggugur          hak saudara (laki-laki/perempuan) seibu sehingga tidak dapat          menjadi 'ashabah.
 
 C. Perbedaan 'Ashabah bil Ghair dengan 'Ashabah ma'al          GhairDari uraian sebelumnya dapat kita ketahui bahwa 'ashabah          bil ghair adalah setiap wanita ahli waris yang termasuk          ashhabul furudh, dan akan menjadi 'ashabah bila berbarengan          dengan saudara laki-lakinya. Misalnya, anak perempuan          menjadi 'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya (yakni          anak laki-laki pewaris). Saudara kandung perempuan ataupun          saudara perempuan seayah menjadi 'ashabah bil ghair dengan          adanya saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki          seayah. Dalam hal ini bagi yang laki-laki mendapat dua kali          lipat bagian perempuan.Adapun 'ashabah ma'al ghair adalah para saudara kandung          perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila berbarengan          dengan anak perempuan, dan dalam hal ini mereka mendapatkan          bagian sisa seluruh harta peninggalan sesudah ashhabul          furudh mengambil bagian masing-masing. Tampak semakin jelas          perbedaan antara dua macam 'ashabah itu, pada 'ashabah bil          ghair selalu ada sosok 'ashabah bi nafsih, seperti anak          laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara          kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah. Sedangkan          dalam 'ashabah ma'al ghair tidak terdapat sosok 'ashabah bi          nafsih.
 Jadi, secara ringkas, pada 'ashabah bil ghair para          'ashabah bi nafsih menggandeng kaum wanita ashhabul furudh          menjadi 'ashabah dan menggugurkan hak fardh-nya. Sedangkan          'ashabah ma'al ghair tidaklah demikian. Seorang saudara          perempuan sekandung atau seayah tidak menerima bagian          seperti bagian anak perempuan atau cucu perempuan dari          keturunan anak laki-laki. Akan tetapi, anak perempuan atau          cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian          secara fardh, kemudian saudara perempuan sekandung atau          seayah mendapatkan sisanya. Inilah perbedaan keduanya.
 
 Dapatkah Seseorang Mewarisi dari          Dua Arah?Kita mungkin sering mendengar pertanyaan seperti itu, dan          tentu saja hal ini memerlukan jawaban. Maka dapat ditegaskan          bahwa seseorang bisa saja mendapatkan warisan dari dua arah          yang berlainan, misalnya ia sebagai ashhabul furudh dan juga          sebagai 'ashabah, atau satu dari arah fardh dan yang kedua          dari arah karena rahim. Agar persoalan ini lebih jelas, saya          sertakan contoh:Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang nenek,          saudara laki-laki seibu, dan seorang suami, yang juga          merupakan anak paman kandung pewaris. Maka pembagiannya          sebagai berikut: Untuk nenek seperenam (1/6), saudara          laki-laki seibu seperenam (1/6), suami setengah (1/2)          sebagai fardh-nya, dan sisanya untuk suami sebagai 'ashabah          karena ia anak paman kandung.
 Contoh lain: seorang suami meninggal dunia dan          meninggalkan dua anak perempuan, bibi (saudara ibu) yang          salah satunya menjadi istrinya. Maka pembagiannya seperti          berikut: sang istri mendapat bagian seperempat sebagai          fardh-nya karena adanya ikatan perkawinan, dan hak lainnya          ialah ikut mendapat bagian sisa yang ada karena ikatan          rahim.
 | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar