Adalah sebuah keniscayaan bila pendidikan yang baik menjamin tumbuhnya negara yang baik. Karena hakikat manusia terletak pada pendidikan. Menjadi kejanggalan apabila kita ingin membangun negara ini sonder pendidikan.
Tentu bukan sekedar pendidikan asal-asalan, apalagi pendidikan hipokrit. Namun pendidikan yang menyentuh segenap aspek hidup manusia. Aspek hidup yang kompleks dan sarat makna karena memang manusia adalah makhluk yang kompleks dan paripurna. Menjadi pincang apabila kita hanya mengutamakan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lain.
Bangunan pendidikan yang kokoh haruslah dimulai dari dasar yang kokoh. Terpancang tiang-tiang moral yang menjulang namun mengakar. Berdinding budaya, berpintu pengetahuan, berjendela toleransi dan beratap kearifan.
Bangunan pendidikan yang dimaksud disesuaikan dengan tanggung jawab yang kita emban. Mungkin bangunan pendidikan tersebut berupa negara dan birokrasinya, sekolah/pesantren, kursus dan lembaga informal lainnya, atau bahkan rumah tangga kita dan individu pribadi kita. Seberapaun besar atau kecilnya tanggung jawab kita, bukanlah ukuran kemuliaan. Namun seberapa kokoh dan baik bangunan tersebut yang menjadi tolok ukur.
Kadang kita terjebak pada nilai pragmatis, materialis hedonis dan budaya instan. Sehingga terkesan pendidikan hanya sebuah ritual rutin dengan tujuan lembar ijazah atau serentetan gelar. Maka jangan heran bila pendidikan yang sebagai ujung tombak mencerdaskan bangsa terasa kehilangan greget. Sehingga tidak salah bila Emha Ainun Nadjib (1997: 300) menyatakan :
"Dunia pendidikan sudah menjadi bagian yang inheren dari mekanisme politik, birokrasi, dan mobilisasi. Bersekolah bukanlah mencari ilmu (sekedar menghapalkan pengetahuan tertentu), bukanlah mengolah kreativitas (bahkan guru acapkali merupakan agen dekreativitas), dan bukan pula menggali dan mengembangkan kepribadian (bersekolah ialah penyeragaman atau penghapusan unikum manusia)".
Mungkin diantara kita tidak seratus persen setuju terhadap pernyataan budayawan di atas namun juga tidak bisa menafikan bahwa dunia pendidikan kita berada pada kondisi yang membingungkan. Coba kita cermati pula uraian Umar Kayam (1992:30) berikut ini:
"Tetapi, sekolah bagi kami anak desa merupakan kandang-kandang yang tersekat-sekat dengan penggembala yang galak yang disebut guru. Kebanyakan dari kami tidak tahan dan tidak krasan di sekolah. Kami merindukan sawah, lapangan permainan kami, kerbau dan sapi kami, pohon-pohon mangga yang kami lempari dengan batu, burung-burung yang kami plintengi, kami ketapel, kemudian ramai-ramai kami kroyok, kami bakar dalam onggokan daun-daun kering. Lagi pula orang tua kami kebanyakan juga tidak tahan kehilangan kami lama-lama di sekolah. Mereka membutuhkan kehadiran kami di rumah dan di sawah untuk membantu mereka. Agaknya orang tua saya adalah satu perkecualian. Mereka ingin betul saya tetap sekolah. Setiap kali saya menyatakan keinginan saya untuk keluar sekolah karena tidak krasan, karena kangen main di sawah, Bapak akan tidak segan-segan mengambil cemeti, memukuli saya."
Paparan Umar Kayam terasa lebih menukik pada ujung tombak pendidikan yakni sekolah. Memang pada tataran inilah realita pendidikan terbentuk dalam wujud nyata. Terlihat bagaimana umar kayam mengkritisi sekolah dengan gaya khasnya sebagai budayawan. Pemaparan yang lugas dengan realita yang tersusun dalam untaian kalimat akrab namun indah menyiratkan bagaimana seoarang tercerabut dari kehidupannya ketika ia disekolahkan.
Tercerabut dalam arti seorang anak mengalami suasana yang benar-benar beda dengan lingkungan kehidupan rumahnya atau bahkan ia kebingungan menyerap materi pelajaran yang terasa aneh ditelinga. Terasa dibenaknya sekolah bagaikan dinding penjara yang mengungkungnya dengan dalih jaminan masa depan. Ini terlihat bagaimana siswa girang-gemirang saat bel pulang tiba. Sementara di sisi lain pelajaran yang ia terima lewat begitu saja ditelinga karena pembelajaran yang menjemukan alias verbalistik semata.
Mungkin hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Setidaknya seperti yang dinyatakan United Nations (dalam Borton E. Swanson, 1984: 17) Sehubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan pemuda di pedesaan, mengemukakan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut: (1) pada usia muda mereka sudah menjadi tenaga kerja keluarga atau bekerja pada orang lain; (2) waktu musim tanam atau panen, mereka bekerja melebihi jam kerja normal; (3) umumnya mereka menganggur pada pasca panen; (4) untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga mereka wajib kerja mencari upah; (5) mereka berkeluarga/kawin pada usia muda; (6) mereka tidak ingin berbaur dengan teman sebaya yang melek huruf, meskipun usia mereka sama; (7) merasa takut terhadap situasi belajar mengajar yang sifatnya formal; (8) mereka meninggalkan desa untuk menghindari lapangan kerja pertanian dan (9) mereka dihadapkan dengan lahan pertanian sempit yang mereka anggap akan membuat mereka tetap miskin.
A. Pertentangan Filosofis Dan Pragmatis
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional terdapat pada pasal 3 yang berbunyi:
“Pendidkan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaska kehidupan bangsa,, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.
Fungsi dan tujuan luhur yang tertulis tersebut menjadi lampu menara mercusuar dari perahu lembaga-lembaga pendidikan yang bermuatan awak perahu (baca: pemerintah, orang tua dan masyarakat) dan penumpangnya (baca: siswa) dengan beragam karakter dan latar belakangnya, lampu menara mercusuar tersebut haruslah benar-benar diperhatikan oleh awak perahu agar arah dan tujuan berlayarnya perahu tidak menyimpang yang mungkin menyebabkan tertabraknya pada batu karang drop out atau bahkan salah asuhan.
Secara filosofis sebagaimana tertera di atas, pendidikan mempunyai multi dimensi luhur dari segenap apek hidup manusia. Hal ini wajar karena memang pendidikan harus memanusiakan manusia sehingga tidak ter-kooptasi kemanusiaannya.
Dari sisi realitas, lembaga-lembaga pendidikan banyak yang terjebak pada komersialisasi pendidikan. Dalih bahwa tingginya mutu sebanding dengan tingginya biaya pendidikan menjadi alasan pengelola pendidikan tertentu untuk membenarkan perilaku bisnis di dunia pendidikan. Naif sekali ketika kita mencermati perilaku sebagian pengelola pendidikan yang menawarkan harga tertentu untuk masuk ke suatu lembaga pendidikan. Bahkan fenomena ini bisa kita lihat di Perguruan Tinggi baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Tanpa segan-segan mereka menetapkan sejumlah harga rupiah tertentu sebagai syarat mengikuti seleksi atau sebagai konsekuensi bila diterima. Dalihnya memang beragam semisal peningkatan mutu pendidikan, perbaikan sarana-prasarana, dan alasan-alasan lainnya.
Mempermasalahkan biaya pendidikan, rasanya kita patut iri pada sebuah negeri kecil yang berada di ujung selatan bumi, yakni Selandia Baru. Konon di sana biaya pendidikan gratis bagi anak negeri yang ingin memperdalam ilmunya. Akankah negeri ini, yang berjargon “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja” dengan sumber daya alam yang sangat melimpah sehingga lautannyapun semacam “kolam susu” dan kesuburannyapun tak tertandingi sehingga “tongkat kayu ditancap jadi tanaman”, Tidakkah bisa memberikan peluang seluas-luasnya (baca: tanpa takut tidak bisa bayar) bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengenyam pendidikan sampai tingkat manapun. Memang ironi bila kita akan mengalami nasib kelaparan dilumbung padi, hanya karena pintu lumbungnya terkunci yang hanya bisa dibuka bila kita bayar.
Ada sebuah cerita dari seorang guru setengah baya yang mempunyai putera sekolah di SMA kelas XI. Dalam sebuah kesempatan dia mengatakan secara panjang lebar yang ringkasnya seperti ini:
“Bisakah anak saya menjadi dokter, ya? Soalnya anak saya sangat bercita-cita jadi dokter. Sementara ini pelajaran di sekolahnya bagus. Namun yang saya kuatirkan adalah saya. Bisakah saya membiayai mencapai cita-citanya. Dengar-dengar biaya awal masuknya saja sekitar delapan puluh juta atau bahkan bisa lebih. Padahal saya hanyalah seorang guru tanpa penghasilan lainnya. Rasanya saya tak mampu menyediakan uang sebesar itu”
Terasa sekali kegalauan mendalam dari seorang praktisi pendidikan terhadap pendidikan anaknya sendiri. Tidakkah ini pertentangan diametral? Bagaimana seorang praktisi pendidikan yang berjuang mendidik tunas bangsa, tanpa daya memikirkan pendidikan anaknya sendiri. Jika hal ini tetap dibiarkan, maka bukan tidak mungkin akan terjadi perbedaan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih mencolok antara si kaya dan si miskin. Bukankah ini pertentangan diametral dengan amanah Undang-Undang Dasar kita bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan.
Namun kita tidak serta merta menafikan kinerja seluruh lembaga pendidikan di Republik ini. Alhamdulillah masih banyak lembaga-lembaga pendidikan yang mempunyai hati nurani yang memberi kesempatan yang sama pada setiap calon peserta didiknya. Ambil contoh pondok pesantren. Lembaga yang satu ini, meski dalam beberapa dekade terabaikan oleh pemerintah dari segi bantuan dana maupun manajerialnya karena dianmggap sebagai lembaga pendidikan non formal, ternyata menampilkan kemandirian yang luar biasa. Pada beberapa dekade yang lalu (tepatnya semasa Orde Baru) terasa sekali pondok pesantren “dibiarkan” menjalankan aktifitasnya dengan kemampuan sendiri. Ternyata keadaan ini justru menjadikan pondok pesantren lebih eksis dari lembaga-lembaga lain dalam menghadapi situasi yang paling sulit semisal saat krisis moneter melanda Negara kita.
Hal lain yang merupakan angin segar dalam dunia pendidikan adalah digulirkannya dana BOS (Bantuuan Operasional Sekolah). Sungguh hal ini sangat dirasakan oleh masyarakat (terutama dari strata ekonomi lemah) sebagai kebijakan pemerintah yang sangat mengurangi beban hidupnya. Walaupun program BOS ini hanya menjangkau pada pendidikan dasar (setingkat SD dan SMP) hal ini sudah cukup membantu, walau mungkin di tahun-tahun mendatang program dana BOS diharapkan bisa juga diterapkan di tingkat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
B. Pertentangan Materi Pelajaran Dan Realitasnya
Pada bagian ini akan dipaparkan beberapa pertentangan diametral yang terdapat pada beberapa materi pelajaran dengan realitas lingkungan sehari-hari yang dialami oleh siswa. Berikut ini contoh pertentangan diametral tersebut:
1. Perilaku merokok. Merokok secara teori ilmu kedokteran merugikan kesehatan. Mulai SD hingga SMA materi ini telah disampaikan pada siswa tentunya perbedaannya hanya pada tingkat kedalaman pembahasannya saja. Secara ilmiahpun sangat meyakinkan dan didukung oleh data-data mutakhir hasil eksperimen maupun hasil studi kasus menunjukkan bahwa merokok sangat merugikan kesehatan. Beragam penyakit dapat ditimbulkan oleh perilaku merokok ini mulai dari gangguan paru-paru, jantung, kanker, impotensi dan sebagainya. Intinya, secara teoritis tidak ada referensi yang mendukung perilaku merokok kaitannya dengan kesehatan tubuh manusia.
Namun realitasnya, merokok sudah merupakan hal yang lumrah di masyarakat bahkan sudah menjadi budaya. Cermati saja fenomena ini. Bagaimana bisa berhasil secara memuaskan seorang guru IPA atau Penjaskes yang menerangkan bahaya merokok sementara di lingkungan sehari-hari siswa terpampang lebar poster, panduk atau apapun yang merupakan media promosi rokok. Dunia pertelevisian memang sudah memberlakuan iklan pariwara rokok hanya disiarkan jam 22.00 ke atas, tapi di lingkuangan sehari-hari berbicara lain. Berbagai media promosi bertebaran di hadapan siswa mulai berupa spanduk, poster baik kecil maupun besar dengan kalimat bombastisnya, penyelenggaraan even-even hiburan yang disponsori produsen rokok hingga budaya merokok yang sangat kental di lingkungan orang dewasa.
Tidakkah ini pertentangan diametral? Satu sisi siswa dipaksa menerima teori bahwa merokok merugikan kesehatan tapi pada sisi yang lain lingkungan justru “sangat menganjurkan” merokok.
Dengan kondisi secam ini, kita tidak bisa menyalahkan seratus persen pada seorang siswa yang kedapatan merokok. Hal ini adalah dampak lingkungan seperti yang dipaparkan di atas. Dalam benak seorang anak akan timbul tanda tanya besar bila terjadi perbedaan antara apa yang ia terima di sekolah dengan di lingkungan. Keadaan ini mendorong anak untuk mencoba yang nadirnya merokok mempunyai efek kecanduan (walaupun tidak separah NARKOBA) sehingga menyebabkan kesulitan untuk berhenti merokok.
Pertentangan ini sungguh sangat jelas, lebih-lebih bila kita baca tulisan di bagian belakang bungkus rokok: “Peringatan Pemerintah: merokok dapat menyebabkan gangguan jantung …..”. dilain pihak terdapat pita cukai yang menandakan bahwa sebagian keuntungan rokok masuk ke kas Negara. Inilah kebijakan setengah-setengah, ambivalen. Satu sisi ingin rakyatnya sehat namun sisi lain pemerintah tetap menginginkan keuntungan dari rokok.
2. Pertentangan dalam mata pelajaran keagamaan. Dalam permasalahan ini, sungguh banyak pertentangan yang dapat kita temukan. Jelas akarnya adalah budaya hedonis materialis yang tengah melanda dunia ini secara keseluruhan termasuk juga di Indonesia. Yang akan dipaparkan berikut bukanlah dari filosofinya karena sebenarnya telah disinggung di muka. Kita coba menelaah dari sisi praktis nilai-nilai keagamaan kita khususnya Islam sebagai agama dengan pemeluk mayoritas di negeri ini.
Contoh pertama mengenai Sholat. Kita pasti sepakat bahwa kita semua tahu bahwa sholat adalah wajib hukumnya bagi seluruh muslim yang akil baligh. Tidak ada satu ulamapun yang menghukumi sholat tidak wajib. Semua secara aklamasi setuju mengenai kewajiban sholat lima waktu. Kitapun telah menerima dari guru-guru kita mengenai keutamaan, manfaat dan pahala sholat yang luar biasa sementara kita juga tahu betapa besar ancaman Allah jika kita meninggalkan sholat lima waktu dengan sengaja.
Tapi ironisnya bagi siswa ialah bila dilaksanakan kegiatan yang memakan waktu sholat. Betapa entengnya satu “kompi” siswa yang mungkin plus guru pembinanya ramai-ramai tidak sholat. Contoh kegiatan semacam ini yang terjadi di tataran lokal Sumenep antara lain seperti Prosesi Arya Wiraraja pada saat peringatan hari jadi kota Sumenep, lomba hias sepeda, pawai budaya dan bahkan kegiatan penyambutan pejabat saat MTQ Jawa Timur dilaksanakan di Sumenep.
Dalam kegiatan-kegiatan yang disebut di atas, hampir bisa dipastikan sebagian besar siswa yang terlibat tidak dapat melaksanakan sholat asar atau bahkan ada yang tidak sholat dhuhur. Secara jadwal memang panitia mengatur waktunya memungkinkan untuk sholat yakni dimulai sekitar jam 14.00 dan diperkirakan selesai sebelum magrib. Dengan asumsi ini panitia pasti akan mengatakan masih ada waktu untuk sholat. Kenyataan di lapangan lain. Pada kegiatan-kegiatan semacam ini sangat mungkin terjadi waktu molor. Sehingga pada kegiatan ini bisa-bisa pada waktu magrib siswa masih belum selesai berbenah. Lalu sholat Asarnya.
Betapa masygulnya hati seorang guru agama Islam bila mendapati kenyataan seperti ini. Materi tentang sholat yang telah diberikan ternyata dengan ringannya ditinggalkan siswanya demi kegiatan ini. Padahal sholat adalah tiang agama. Jika ini tidak disikapi, maukah kita menerima kenyataan generasi yang akan datang yang berasal dari siswa-siswa sekarang merupakan generasi yang meninggalkan sholat? Na’udzubillah.
Contoh kedua dalam masalah materi keagamaan ialah mengenai cara berpakaian. Islam mengajarkan bahwa aurat wanita yang harus ditutupi pakaian adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Islam, sebagai agama luhur yang mengedepankan akhlak, ingin menempatkan wanita sebagai makhluk terhormat yang patut dihormati. Namun yang terjadi di lingkungan masyarakat bukan hanya tidak menutupi aurat, tapi kadang bisa sampai mengundang syahwat. Semisal pakaian yang super minim, super ketat atau transparan. Tentu dengan alasan mode terkini, biar tampak cantik, tidak kuper dan semacamnya.
Tentu hal ini ada penyebabnya. Salah satunya ialah pengidolaan yang salah terhadap artis yang notabene cara berpakaiannya “sembarangan”. Asal sama dengan artis pujaannya, seorang anak kadang tidak mempedulikan lagi nilai-nilai agamanya. Hal ini diperparah dengan tayangan-tayangan televisi yang banyak menampilkan hiburan/infotainment yang mengeksploitasi artis dan kehidupannya.
Diantara kita mungkin menyikapi masalah ini dengan pernyataan bahwa masalah ini adalah urusan pribadi, kalaupun tergolong dosa, ya … mungkin termasuk dosa kecil. Terhadap pernyataan semacam ini, kita perlu mengingatkan bahwa masalah pakaian adalah masalah sosial karena dari sana kita dapat melihat kepribadian seseorang dan statusnya dalam masyarakat. Mengenai masalah dosa, perlu dicamkan fatwa ulama bahwa tidak ada dosa kecil di hadapan Allah bila dilakukan secara terus-menerus dan berbangga ria dan tidak ada dosa besar dihadapan Allah jika kita mau melakukan Taubatan Nashuha.
Masih banyak lagi sebenarnya permasalahan-permasalahan praktis materi pelajaran keagamaan yang bertentangan dengan realita kehidupan sehari-hari semisal pola pergaulan muda-mudi sekarang dengan berbagai pernak-perniknya.
3. Pertentangan dalam hal materi pelajaran mengenai asal-usul manusia menurut teori Darwin. Darwin dengan teori evolusinya menegaskan bahwa makhluk hidup mengalami evolusi yang artinya mengalami perubahan secara perlahan-lahan dalam waktu yang sangat lama. Ia mengemukakan teorinya dengan prinsip-prinsip tertentu dan bukti-bukti yang ia paparkan untuk mendukung teorinya tersebut. Yang menarik adalah implikasi dari teori tersebut bahwa pada awalnya semua makhluk hidup yang ada di dunia ini baik yang masih hidup maupun yang sudah punah, menurut teori evolusi berasal dari satu nenek moyang yang sama. Artinya ada satu organisme atau serupa organisme sederhana pertama yang merupakan hasil reaksi dari gas-gas metana, air, udara dan sinar kosmis yang terjadi bermilyar tahun yang lalu. Kemudian organisme pertama ini mengalami evolusi berkembang menjadi berbagai makhluk hidup di dunia ini.
Permasalahan muncul ketika kita bertanya apakah manusia juga berasal dari makhluk pertama tersebut? Jika benar, maka Nabi Adam (manusia pertama menurut agama Islam) tidak diciptakan secara langsung oleh Allah melainkan merupakan hasil evolusi dari organisme nenek moyang?
Disinilah letak pertentangannya. Bisakah kita menerima dalil-dalil Qath’i dalam Al-Qur’an mengenai penciptaan Nabi Adam Sebagai manusia dan Nabi pertama tanpa keraguan sedikitpun. Pilar-pilar keimanan kita dan anak didik kita dipertaruhkan. Nabi Adam dalam Islam bukan hanya sekedar pertama, tapi juga sekaligus Nabiullah pertama. Dengan demikian masuk ke dalam ruang lingkup pokok-pokok keimanan yakni rukun iman yang ke-empat.
Marilah kita berpikir dengan jernih disertai dengan mata hati yang bening. Telaah permasalahan ini baik-baik. Hal ini merupakan pertentangan besar yang bisa mengelincirkan kita atau siswa kita. Sekali lagi, hal ini merupakan ujian aqidah keberagamaan kita.
PENUTUP
Sebenarnya masih ada beberapa hal lain yang bersifat pertentangan diametral meski derajatnya tidak se-urgen yang dipaparkan di atas. Permasalahan-permasalahan ini haruslah benar-benar disikapi secara bijak oleh segenap pihak terutama lembaga-lembaga pendidikan baik di sekolah maupun lembaga-lembaga birokrasinya. Jika hal ini terus dibiarkan tanpa ada usaha penanganan yang kongkrit dan terencana, kita kuatir akan semakin “membingungkan” siswa-siswa kita yang pada gilirannya akan melahirkan generasi bermental ambigu, hipokrit atau mungkin spilit personality.
Daftar Pustaka
Adhim, Mohammad Fauzil. 1997.“Mengajar Anak Anda Mengenal Allah Melalui Membaca” Bandung : Al- Bayan.
Agustian, Ari Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, ESQ (Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga Wijaya Persada
Coles, Robert. 2003. Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gray, John. 2000. Children are from Heaven. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi. Jakarta: Temprint.
Nadjib, Emha Ainun. 1997. Surat Kepada Kanjeng Nabi, Bandung: Mizan
Syahatah, Husein. 2004. Kiat Islami Meraih Prestasi. Jakarta: Gema Insani Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar