STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 06 Juni 2011

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

A. Pendahuluan
Perkembangan dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam beberapa bidang kehidupan masyarakat, seperti medis, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh yang besar, termasuk persoalan-persoalan hukum. Masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum suatu persoalan .
Persoalan-persoalan baru yang status hukumnya sudah jelas dan tegas yang dinyatakan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan al-Hadis, tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam. Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan baru yang belum jelas status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para Ulama untuk memberi solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan dinamis.
Penetapan hukum dalam agama Islam harus dilandasi dengan pijakan atau alasan yang disebut dengan sumber hukum, sumber hukum yang dimaksud yaitu Al Quran dan as sunnah. Namun adakalanya timbul permasalahan-permasalahan baru yang timbul akibat berkembangnya jaman, oleh karena itu dibutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan pijakan untuk menetapkan hukum perkara tersebut. Dengan didasari oleh hadits Nabi, para ulama berijtihad dan menyusun sistematika istinbat hukum. Maka adanya sumber ketetapan hukum kami rasa perlu dikaji lebih dalam lagi. Untuk itu makalah ini kami susun agar bermanfaat di kemudian hari.

B. Subtansi Kajian
Dalam Subtansi kajian ini terdapat berbagai pembahasan yang cukup penting. Pembahasan itu adalah sumber hukum Islam yang terdiri dari dua macam yaitu sumber hukum islam Tasyri’ Samawi dan Sumber tasyri’ Aqly.
Dewasa ini kaum muslimin banyak belum mengerti dan memahami hakikat sumber hukum yang menjadi rujukannya dalam beragama. Ironisnya pernyataan sumber hukum Islam adalah Al-Qur‘ân dan Sunnah serta Ijma’ dan Qiyas merupakan hal yang sudah umum di masyarkat. Namun itu hanya sekedar slogan tanpa diketahui hakikatnya, sehingga banyak da’i dan tokoh agama berfatwa menyelisihi sumber-sumber hukum tersebut
Sumber utama (primary sources) dari Hukum Islam adalah Alquran dan Sunnah (yang bentuknya adalah dalam teks). Sedangkan sumber lain bagi Hukum Islam (Secondary sources) adalah tulisan-tulisan atau pendapat-pendapat para cendekiawan muslim yang diformulasikan pasca wafatnya Rasulullah SAW, yang pada umumnya ditulis pada masa keemasan keilmuandalam islam, yaitu pada jaman disnasti Abbasiyah (750-950 M) .
Sumber hukum secara bahasa berarti masadir al ahkam, masadir al syariah, masadir al tasyri atau yang diartikan sumber hukum. Istilah-istilah ini jelas mengandung makna tempat pengambilan atau rujukan utama serta merupakan asal sesuatu. Sedangkan dalil atau yang diistilahkan dengan adillat al ahkam, ushul al ahkam, asas al tasyri dan adillat al syari;ah mengacu kepada pengertian sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk sebagai alasan dalam menetapkan hukjum syara .
Dalam konteks ini Al Quran dan as sunnah adalah merupakan sumber hukum dan sekaligus menjadi dalil hukum, sedangkan selain dari keduanya seperti al ijma, al qiyas dan lain-lainnya tidak dapat disebut sebagai sumber, kecuali hanya sebagai dalil karena ia tidak dapat berdiri sendiri. Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan.
Mereka menyatakan bahwa apa yang disebut dengan dalil hukum adalah mencakup dalil-dalil lain yang dipergunakan dalam istinbat hukum selain Al Quran dan as sunnah. Sebab, keduanya merupakan istilah teknis yang dipakai oleh para ulama ushul untuk menyatakan segala sesuatu yang dijadikan alasan atau dasar dalam istinbat hukum dan dalam prakteknya mencakup Al Quran, as sunnah dan dalil-dalil atau sumber-sumber hukum lainnya. Oleh karena itu, dikalangan ulama ushul masalah dalil hukum ini terjadi perhatian utama atau dipandang merupakan sesuatu hal yang sangat penting ketika mereka berhadapan dengan persoalan-persoalan yang akan ditetapkan hukumnya.
Dengan demikian setiap ketetapan hukum tidak akan mempunyai kekuatan hujjah tanpa didasari oleh pijakan dalil sebagai pendukung ketetapan tersebut. Keberadaan dalil sebagai pijakan yang mendasari suatu ketetapan hukum mutlak harus diperhatikan dan tidak bisa diabaikan.

Sumber Tasyri’ Samawi dan Sumber Tasyri’ Aqly
Tasyri’ adalah menetapkan hukum. Maknanya tidak jauh berbeda dengan taqnien yang artinya menetaokan qanun atau mengadakan undang-undang. Jika itu berasal dari ketetapan agama dinamkan tasyri’ samawi. Dan jika berasal dari hasil pemiiran manusia saja dinamakan tasyri’ wadl’i.
Dalam sisi lain Jika dilihat sudut pandang dalil, maka dalam segi keberadaannya dalil dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
a) Al Adillah Al Ahkam Al Manshushah atau dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam nash. Dalil-dalil hukum yang dikategorikan kepada bagian ini adalah Al Quran dan as sunnah atau disebut pula dengan dalil naqli.
b) Al Adillah Al Ahkam ghoirul Manshushah atau dalil-dalil hukum yang scara tekstual tidak disebutkan oleh nash Al Quran dan as sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad dengan menggunakan penalaran ra’yu dan disebut pula dengan dalil aqli.
Adapun dalil-dalil yang dikelompokkan kepada kategori terakhir ini meliputi Ijma, Qiyas, Istihsan, Mashalih Mursalah, Istishab, Urf, Syarun Man Qablana dan Qaul Shahabi. Ijma dan Qiyas hampir seluruh mazhab mempergunakannya, sedangkan dalil-dalil yang keberadaannya menimbulkan perdebatan di kalangan ulama mazhab ushul. Perbedaan ini muncul karena ketika ulama ushul tidak menemukan dalil atau alasan yang mendasari suatu hukum dari Nash, maka mereka menggunakan ra’yu mereka masing-masing dengan rumusan tersendiri.

1. Sumber Tasyri’ samawi
Sumber tasyri samawi adalah sumber hukum yang penetapannya langsung oleh Allah dan Rosulnya dalm Al-Quran dan Sunnah. Ketentuan tersebut bersifat abadi, dan tidak berubah karena tidak ada yang ber kompenten untuk mengubahnyaselain allah sendiri .

a. Al-Quran
Al-Quran bukanlah tulisan hukum, namun di dalam Alquran terkandung setidaknya 500 perintah Allah SWT yang sifatnya berkaitan dengan hukum. Abdur Rahman i Doi (Shari’ah: The Islamic Law, 1989) membuat klasifikasi atas aturan-aturan yang terkait dengan hukum ke dalam empat bagian besar yaitu: a) The concise injunctions, atau perintah-perintah Allah yang tertulis di dalam Alquran namun tidak ditemui penjelasan tentang tata cara pelaksanaan atas perintah tersebut. Sebagai contoh adalah perintah Allah untuk mendirikan shalat, berpuasa atau mengeluarkan zakat; b) The concise and detailed injunctions, atau perintah-perintah Allah yang secara jelas tertulis dalam Alquran, dan penjelasan atas ayat-ayat tersebut bisa didapati dari hadits atau sumber hukum Islam lainnya. Sebagai contoh adalah aturan mengenai hubungan muslim dengan non-muslim; c) The detailed Injuctions, yaitu dimana Alquran telah memberikan penjelasan yang detail berkaitan dengan satu perintah Allah SWT, dan tidak diperlukan adanya lagi suatu penjelasan tambahan. Sebagai contoh adalah hukuma hadd (huddud); dan d) Fundamental principles of Guidance, prinsip-prinsip ini tidak memiliki penjelasan yang terperinci dan pasti (clear cut), sehingga untuk menetukan hukum atas hal-hal tersebut perlu diambil melalui suatu proses yang dinamakan ijtihad.
Al Quran Sebagaimana telah disinggung sebelum ini tentang sumber dalil dalam hukum Islam, maka Al Quran merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam. Al Quran yang berasal dari kata qara’a yang dapat diartikan dengan membaca, namun yang dimaksud dengan Al Qura dalam uraian ini ialah,”kalamullah yang diturunkan berperantakan ruhul amin kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa arab, agar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa ia adalah utusan Allah dan agar menjadi pelajaran bagi orang yang mengikuti petunjuknya .
Menjadi ibadah bagi siapa yang membacanya, ia ditulis di atas lembaran mushaf, dimulai dengan surah Al Fatihah dan di akhiri dengan surah An Naas. Yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari satu generai ke generasi berikutnya. Dan terpelihara dari perubahan dan pergantian . Sebagaimana telah disebutkan bahwa sedikitpun tidak ada keraguan atas kebenaran dan kepastian isi Al Quran itu, dengan kata lain Al Quran itu benar-benar datang dari Allah.
Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Quran merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa Al Quran itu benar-benar datang dari Allah. Dalam surah An Nisa ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya telah kami turunkan kepada engkau (Muhammad) kitab Al Quran dengan membawa kebenaran”. Surah An Nahl ayat 89, “Dan telah kami turunkan kepada engkau (Muhammad) kitab Al Quran untuk menjelaskan segala sesuatu dan ia merupakan petunjuk, rahmat serta pembawa kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dan masih banyak lagi ayat-ayat Quran yang menerangkan bahwa Al Quran itu benar-benar datang dari Allah. Ditinjau dari sudut tempatnya, Al Quran turun di dua tempat yaitu:
1. Di Mekkah atau yang disebut ayat makkiyah. Pada umumnya berisikan soal-soal kepercayaan atau ketuhanan, mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, ayat-ayatnya pendek dan ditujukan kepada seluruh ummat. Banyaknya sekitar 2/3 seluruh ayat-ayat Al Quran.

2. Di Madinah atau yang disebut ayat madaniyah. Ayat-ayatnya panjang, berisikan peraturan yang mengatur hubungan sesama manusia mengenai larangan, suruhan, anjuran, hukum-hukum dan syari’at-syari’at, akhlaq, hal-hal mengenai keluarga, masyarakat, pemerintahan, perdagangan, hubungan manusia dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, air dan sebagainya.

Al Quran memiliki mu’jizat-mu’jizat yang membuktikan bahwa ia benar-benar datang dari Allah SWT. Menurut Mana’ Qattan di dalam buku Mabahits Fi Ulumil Quran menyebutkan bahwa Al Quran memilki mujizat pada 4 bidang yaitu :
1. Pada lafadz dan susunan kata. Pada zaman Rasulullah Syair sangat trend pada saat itu maka Al Quran turun dengan kata-kata dan susunan kalimat yang maha puitis, sehingga Al Quran memastikan bahwa tak ada seorangpun yang dapat membuat satu surah sekalipun semisal Al Quran. Seperti yang termaktub dalam surah Al Isra ayat 88, Hud ayat 13-14, Yunus ayat 38 dan Al Baqarah ayat 23.
2. Pada keterangannya, selain pada kata-katanya Al Quran juga memiliki mujizat pada artinya yang membuka segala hijab tentang hakikat manusiawi.
3. Pada ilmu pengetahuan. Di dalam terdapat sangat banyak pengetahuan baik hal yang zahir maupun yang gaib, baik masa sekarang maupun yang akan datang.
4. Pada penetapan hukum. Peraturan yang ada di dalam Al Quran bebas dari kesalahan karena ia berasal dari Tuhan Yang Maha Tahu atas segala ciptaanNya.

Al Quran pertama kali turun di Gua Hira surah Al Alaq ayat 1-5 dan terakhir kali turun surah al Maidah ayat 3. Al Quran terdiri dari 30 juz, 144 surah, 6.326 ayat, 324.345 huruf . al quran berfungsi sebagai:
1. Sumber pokok dan utama dari segala sumber-sumber hukum yang ada. Hal ini dilandasi oleh ayat Al Quran di dalam surah An Nisa ayat 5.
2. Penuntun manusia dalam merumuskan semua hukum, agar tercipta kemaslahatan dan keselamatan harus berpedoman dan berwawasan Al Quran.
3. Petunjuk yang diturunkan Allah SWT kepada umat manusia dengan penuh rahmat kepada kebahagiaan umat manusia baik didunia maupun diakhirat dan sebagai ilmu pengetahuan.
Secara garis besar hukum dalam Al Quran ada 3 macam, yaitu aqidah, akhlaq dan syari’ah. Pada umumnya isi Al Quran dibagi 2 macam, ibadat dan muamalat. Dan isi pokok Al Quran ad 3 macam:
1. Rukun Iman, yaitu percaya kepada Allah, rasul-rasul, malaikat, Kitab Allah, hari kiamat dan kepada qadha dan qadar.
2. Rukun Islam, yaitu syahadt, salat, puasa zakat dan haji.
3. Munakahat (perkawinan), muamalat ( okum pergaulkan dalam masyarakat atau okum private), jinayat ( okum pidana), ‘aqdiyah ( okum mengenai mendirikan pengadilan), khalifah ( okum pemerintahan), ath’imah (makanan dan minuman)dan jihad ( okum peperangan).
Al quran dari segi penjelasannya ada 2 macam, yang pertama muhkam yaitu ayat-ayat yang teran artinya, jelas maksudnya dan tidak mengandung keraguan atau pemahaman lain selain pemahaman yang terdapat pada lafaznya. Yang kedua mutasyabih yaitu ayat yang tidak jelas artinya sehingga terbuka kemungkinan adanya berbagai penafsiran dan pemahaman yang disebabkan oleh adanya kata yang memiliki dua arti/maksud, atau karena penggunaan nama-nama dan kiasan-kiasan.
Ibarat Al Quran dalam menetapkan dan menjelaskan hukum yang berupa perintah dan larangan ada beberapa model.
1. Suruhan, yang berarti keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Keharusan seperti perintah shalat, Allah berfirman yang artinya,”Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Larangan contohnya firman Allah dalam surah Al An’am ayat 151 yang artinya,”Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan hak”.
2. Janji baik dan buruk, pahala dan dosa serta pujian dan celaan.
3. Ibarat, contohnya seprti istri yang ditalak harus menjalankan masa iddah.

b. Sunnah
Sunnah adalah segala perbuatan dan perkataan Rasulullah, termasuk segala sesuatu yang disetujui oleh Beliau. Hadits sendiri berarti segala hikayat atau pembicaraan yang digunakan dalam meriwayatkan segala sesuatu tindak tanduk Rasulullah, sehingga sunnah dapat berarti sebuah contoh perbuatan atau hukum yang diambil dari adanya suatu hadits. Berkaitan dengan Shariah, hanya sunnah yang berkaitan dengan hukum sajalah yang dikategorikan sebagai suatu sumber hukum Islam, sehingga sunnah yang tidak langsung berkaitan seperti bagaimana teknik pertanian, strategi peperangan, dan lain sebagainya tidak dianggap sebagai sebuah sumber hukum Islam atau hukum pidana Islam.
Sunnah sendiri digunakan dalam berbagai keperluan diantaranya adalah untuk menkonfirmasi hukum-hukum yang sudah disebutkan dalam Alquran, untuk memberikan penjelasan tambahan bagi ayat Alquran yang menjelaskan sesuatu secara umum, untuk mengklarifikasi ayat-ayat Alquran yang mungkin dapat menerbitkan keraguan bagi ummat, dan memperkenalkan hukum baru yang tidak disebutkan dalam alquran. Kompilasi atas hadits dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan muslim yang secara umum dikumpulkan oleh empat periwayat hadits terkemuka yaitu kompilasi hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (870M), Muslim (875M), Abu Dawud (888M), dan At-Tirmidhi (892M). Mungkin masih ada hadits yang diriwayatkan oleh selain empat ulama terkemuka ini, namun secara umum umat muslim mengenal empat kompilasi hadits yang dikumpulkan atau diriwayatkan ulama di atas. Hadits sendiri diklasifikasikan berdasarkan kualitas dari periwayatnya (bisa dipercaya) dan kekuatan dari isnad atau bagaimana hubungan antara para periwayat itu sendiri, sehingga dapat digolongkan dalam tiga jenis: Muwatir, Mashhur, dan Ahad. Masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri yang menandakan kualitas dari hadits-hadits tersebut.

Secara terminologis sunah dapat dilihat dari tiga aspek ilmu yaitu, ilmu hadis, ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh. Sunnah menurut para ahli hadis identik dengan hadis yaitu, sebagal sesuatu yang disandarka kepada Nabi baik perkataan, perbuatan, akhlak maupun ketetapan atau sifatnya, baik sebagai Rosul atau sebagai manusia sebelum di utus menjadi Rosul.

2. Sumber Tasyri’ Aqly
Sumber tasyri aqly adalah sumber hukum yang penetapan oleh para mujtahid, baik secara individu maupun secara kelompok. Ketentuan hukum hasil ijtihad mereka tidak memiliki sifat yang kekal dan bis berubah-ubah karena hanya merupakna hasil kajian nalar para mujtahid yang tidak ma’shum sebagaimana rosulullah, juga sangat mempengaruhi oleh pengalaman keilmuan mereka serta lingkungan dan dinamika budaya masyarakat. Misalnya: Ijma, Qiyas, Istihsan, Mashalih Mursalah, Istishab, Urf, Syarun Man Qablana dan Qaul Shahabi.
Dalam sumber yang kedua inilah akal berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga seseorang menjadi mukkalaf atau tidak tegantung kepada sehat tidaknya akal pikiran. Di dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang menyruh kita untuk selalu berfikir dan menggunakan akal pikirannya .
Mengingat bahwa hukum ini yang merumuskan manusia maka harus memenuhi kriteria tertentu. Mislanya saja produk hukum harus Maslahah yang artinya harus bermanfaat dan mempunya kebaikan untuk masyrakat sekitar . Selain itu juga harus universal yang mencakup totalitas masyarakat yang ada tanpa mendeskriminasikan bangsa dan suku .

A. Ijma’
Ijma’ adalah salah satu dasar yang menjadi sumber rujukan, pedoman dan sumber dasar hukum syari’at yang mulia ini setelah Al-Qur‘ân dan Sunnah. Ijma’ bersumber dari Al-Qur‘ân dan Sunnah, menjadi penguat kandungan keduanya dan penghapus perselisihan yang ada di antara manusia dalam semua yang diperselisihkan.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, Ijma’ adalah sumber hukum ketiga yang dijadikan pedoman dalam ilmu dan agama. Seluruh amalan dan perbuatan manusia, baik batiniyah maupun lahiriyah yang berhubungan dengan agama, mereka menimbangnya dengan ketiga sumber hukum ini. (Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Khalid al-Mushlih, hlm. 203). Ijma’ menjadi sesuatu yang ma‘shum dari kesalahan dengan dasar firman Allah dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam . Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
Surat An-Nisâ‘:115
      •           •   •
Artinys: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali”.(Qs. an-Nisâ‘/4:115).
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam :
Umatku tidak berkumpul (sepakat) di atas kesesatan.
Karenanya, Syaikhul-Islamt mengatakan, agama kaum muslimin dibangun berlandaskan ittiba‘ kepada Al-Qur‘an dan Sunnah Rasulullah serta kesepakatan umat (Ijma’). Sehingga ketiganya menjadi sumber hukum yang ma‘shum. (Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, 1/272).
Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatukan hati umat ini dengan Ijma’ sebagai rahmat dan karunia dari- Nya. Ijma’ umat ini sebagian besar dalam masalah dasar dan pokok agama. Dan banyak dari masalah furu’nya yang menjadi faktor penyebab bersatunya kaum muslimin, menyempitkan lingkaran perselisihan dan pemutus perbedaan pendapat di antara orang-orang yang berbeda pendapat.
Oleh karena itu, wajib bagi siapapun yang ingin selamat dari ketergelinciran dan kesalahan untuk mengetahui Ijma’ (konsensus) kaum muslimin dalam permasalahan agama, sehingga ia dapat berpegang teguh (komitmen) dan mengamalkan tuntutannya setelah benar-benar selamat dari penyimpangan (tahrif) dan memastikan kebenaran penisbatannya (penyandarannya) kepada syariat serta tidak dibenarkan menyelisihinya setelah mengetahui Ijma’ tersebut.
Para imam (ulama besar) umat ini telah sepakat memvonis sesat orang yang menyelisihi konsensus umat ini dalam satu permasalahan agama. Bahkan bisa menjadi landasan untuk memberi vonis kafir dan murtad dalam beberapa keadaan tertentu. Karena itulah, para ulama juga telah memperhatikan hal ini secara sempurna, dan kita semua kembali merujuk kepada keterangan mereka tentang Ijma’ yang benar.
Syarat-syarat ijma’ ada lima poin. Di antaranya yang bersepakat adalah para mujtahid. Artinya apabila dalam suatu masa tidak ada seorang pun ynag mencapai mujtahid, tidak akan mencapai mujtahid. Karena tidak mungkin orang bersepakat dengan dirinya sendiri.
Kedua adalah para mujtahid haruslah umat dari nabi Muhammad. Maksudnya mereka adalah golongan ahl al-hlli wa al-aqdi. Ketiga di lakukan setelah nabi wafat artinya ketika nabi masi hidup tidak diperbolehkan. Yang terakhir kesepakatan harus berhubungan dengan syariat. Maksudnya kesepakatan yang ada haruslah sesuai dengan syariat mislanya saja wajib, haram, sunnah , makruh, mubah .

B. Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
Surat Al-Maidah: 90
               
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS: Al-Maidah:90)
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram. Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.

Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.

Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
Surat Al-Hasyr: 2
          •          •                        

Artinya: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (QS. Al-Hasyr:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.
Surat An-nisa’: 59
                              
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-nisa’:59)


Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.

Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya

3. Perbandingan Antara Sumber Tasyri’ Samawi Dan Sumber Tasry’ Aqly
Dalam muhadhoroh fie fiqh islami tarikhuknu wa Mashodhiru oleh Dr. Ahmad Toha Abbas disebutkan. Hukum Wadh’i artinya apa yang dipilih oleh pemulik Negara pada umumnya yang diamalkan dengan konsekwensinya, seangkan hukum samawi dalah kumpulan perintah dan larangan yan disyariatkan Allah kepada hambanya dibaya Rosulnya. Dari sini kita dapat mengambil perbedaannya :
Pertama, Hukum tasyri’ samawi mencakup hubungan seorang dengan Robbnya atau antar sesema manusia. Sedangkan hubungan tasyri’ wadh’I terbatas antar manusia saja. Kedua, Hukum samawi munyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang kepada yang mungkar secara kamil dengan diterangkan yang baik dan jelek tetapi berbeda dengan wadh’I tervbatas keada sekedar mengatasi kerusakan saja. Ketiga, hukum aqly balasannya adalah dunia yang diberikan oleh raja sedangkan samawi balasannya akhirat dengan perbaikan dunianya bagi yang taat sedangkan yang tidak taat akan terkena hukuman. Keempat, Hisab pada hukum wadh’I hanya pada amal dhohir yang bersangkutan saja. Sedangkan samawi ditujukan pada amalan-amalan yang ada pada hatinya. Kemudian yang terakhir adalah tingkat keadilan adalah selama-lamanya untuk hukun samawi sedengakan aqly dibuat oleh manusia yang banyak bepengaruh oleh zaman dan tempat.

C. Kesimpulan
Sumber hukum secara bahasa berarti masadir al ahkam, masadir al syariah, masadir al tasyri atau yang diartikan sumber hukum. Istilah-istilah ini jelas mengandung makna tempat pengambilan atau rujukan utama serta merupakan asal sesuatu. Sedangkan dalil atau yang diistilahkan dengan adillat al ahkam, ushul al ahkam, asas al tasyri dan adillat al syari;ah mengacu kepada pengertian sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk sebagai alasan dalam menetapkan hukjum syara
Dalam konteks ini Al Quran dan as sunnah adalah merupakan sumber hukum dan sekaligus menjadi dalil hukum, sedangkan selain dari keduanya seperti al ijma, al qiyas dan lain-lainnya tidak dapat disebut sebagai sumber, kecuali hanya sebagai dalil karena ia tidak dapat berdiri sendiri. Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar