A. Pendahuluan
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW sebagai sumber utama hukum Islam selain menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya juga dengan ruh tasryi’ atau Maqasid al-Ahkam. Melalui Maqasid Ahkam inilah ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan–permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh al-Quran dan Sunnah. Pengembangan ini dengan menggunakan metode istimbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang juga disebut sebagai dalil.
Dengan pencetusan sebuah hukum syari’ah, maka butuh tujuan-tujuan yang yang lebih mengarah kepada kemaslahatan-kemaslahatan yang diberikan oleh Alloh kepada hambaNya. Allah tidak sertamerta memberikan sebuah hukum yang tanpa mempertimbangkan kepentingan dan kemaslahatan hambaNya. Maka dari itu ada tujuan-tujuan dalam hukum syari’ah.Disini kami membicarakan tiga tujuan hukum syari’ah, yaitu: dloruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat.
B. Substansi Kajian
Dari segi bahasa maqasid al-ahkam berarti maksud atau tujuan di syariatkannya hukum-hukum Islam. Karena itu, yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan ilat ditetapkannya suatu hukum. Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang khususnya tidak di atur secara ekplisit oleh al-Qur’an dan Hadist. Lebih dari itu tujuan hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui, apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan suatu ketentuan hukum, karena adanya perubahan struktur social, hukum tersebut tidak dapat diterapkan. Dengan demikian “pengetahuan tentang maqasid al-ahkam menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya” tentu yang dimaksud hukum disini adalah hukum yang menyangkut bidang mu’amalah.
Tujuan Allah SWT mensyari’atkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak di capai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, al-Qur’an dan Hadist. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsure pokok yang harus di pelihara dan di wujudkan. Kelima pokok tersebut adalah agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Seorang mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok tersebut, sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadat, manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsure pokok tersebut dengan baik.
B.1 Lima Hal Pemeliharaan Maqasid al-Ahkam
Maqasid Ahkam yang ditujukkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kehidupan dunia ditegakkan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya kelima hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.
Kemuliaan manusia tidak bisa dipisahkan dari pemeliharaan kelima hal ini. Abu Zahrah menjelaskan sebagai berikut:
1) Memelihara Agama (al-Muhafazhah ala al-Diin)
Agama merupakan keharusan bagi manusia, dengan nilai-nilai kemanusiaaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia lebih tinggi derajatnya dari derajat hewan. Sebab keagamaan adalah ciri khas manusia. Dalam rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama serta membentengi jiwa dengan nilai-nilai keagamaan itulah, maka berbagai macam ibadah disyariatkan. Ibadah-ibadah itu dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan semangat keberagamaan.
2) Memelihara Jiwa (al-Muhafazhah ala an-Nafs)
Ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar dari tindakan pengganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun tindakkan melukai. Termasuk juga memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf (menuduh zina), mencaci maki serta perbuatan-perbuatan serupa. Atau, berupa pembatasan gerak langkah manusia tanpa memberi kebebasan untuk berbuat baik, karenanya Islam melindungi kebebasan berkarya (berprofesi), kebebasan berfikir dan berpendapat, kebebasan bertempat tinggal serta kebebasan-kebebasan lain yang bertujuan menegakan pilar-pilar kehidupan manusia yang terhormat serta bebas bergerak ditengah dinamika sosial yang utama sepanjang tidak merugikan orang lain.
3) Memelihara Akal (al-Muhafadzah ala al-‘Aql)
Ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, menjadi sumber kejahatan, atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat prefentif yang dilakukan syariat Islam sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal pikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang membahayakannya. Diharamkannya meminum arak dan segala sesuatu yang memabukkan/menghilangkan daya ingatan adalah dimaksudkan untuk menjamin keselamatan akal.
4) Memelihara Keturunan (al-Muhafadzah ala an-Nasl)
Ialah jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya. Hal itu dapat dilakukan melalui penataan kehidupan rumah tangga dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki kehalusan budi pekerti dan tingkat kecerdasan yang memadai.
5) Memelihara Harta (al-Muhafadzah ala al-Mal)
Mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya ghashab, pencurian. Mengatur sistem muamalah atas dasar keadilan dan kerelaan serta mengatur berbagai transaksi ekonomi untuk meningkatkan kekayaan secara proporsional melalui cara-cara yang halal, bukan mendominasi kehidupan perekonomian dengan cara yang lalim dan curang.
a. Tingkatan Maqasid as-Syaria’a /al- Ahkam
Maslahat/Maqasid Syari’ah sebagaimana terumuskan dalam kelima segi diatas tidak berada pada satu martabat (tingkatan). Akan tetapi menurut penelitian Abu Ishaq al-Syatibi terbagi menjadi tiga martabat (tingkatan), antara lain:
1. Kebutuhan dharuriyat,
2. Kebutuhan hajiyyat, dan
3. Kebutuha tahsiniyyat.
Pengelompokan ini di dasarkan pada tungkat kebutuhan dan skala prioritasnya. Urutan peringkat ini akan terlihat kepentingannya, manakala kemaslahatan yang ada apada masing-masing peringkat satu sama lain bertentangan. Dalam hal ini peringkat dharuriyyat menempati urutan pertama, disusul oleh hajiyyat, kemudian disusul oleh tahsiniyyat. Namun disisi lain dapat dilihat bahwa peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua, dan peringkat kedua melengkapi peringkat pertama. Selebihnya pemahaman mengenai masing-masing kebutuhan menurut tingkatannya ini, akan di perluas pada bab berikutnya.
b. Macam-macam Maqasid al-Ahkam
Dharuriyat
1. Makna Darurat.
Darurat itu berasal dari kalimat adh-dharar yang berarti sesuatu yang tanpa ada yang dapat menahannya (Al-Jurjaini), menurut pendapat para ulama ahli bahasa makna dharurat adalah kebutuhan yang sangat atau kebutuhan atau kesulitan yang berlebihan.
Sedangkan definisi darurat menurut pengertian syari’at diantaranya adalah:
a) Menurut Al-Hamawi darurat dalam pengertian syari’at ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka ia bisa mati atau nyaris mati. Posisi seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan.
b) Menurut Abu Bakar Al Jashshash, “Makna darurat disini ialah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan.”
c) Menurut Ad-Dardiri dalam Asysyaarhushsaghir, “Darurat ialah menjaga diri dari kematian atau kesusahan yang teramat sangat.”
d) Menurut sebagian ulama dari madzhab Maliki, Darurat ialah mangkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan.
e) Menurut As-Syuthi, “Darurat ialah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.
f) Dalil-Dalil Yang Menunjukkan Diperbolehkannya Sesuatu Yang Diharamkan Dalam Keadaan Darurat.
Pertama: dalil-dali Al-Qur’an:
Allah SWT menuturkan mengenai keterpaksaan mengkonsumsi hal-hal yang diharamkan dalam beberapa ayat Al-qur’an diantaranya adalh sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT dalam surat al-maidah ayat 3, yaitu:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَا أُحِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إٍلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقِيْمُوْا بِاْلأَزْلاَمِ, ذَلِكُمْ فِسْقٌ, الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ, الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا, فَمَنٍ اضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ ِّلإِِثْمٍ, فَإِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ (المائدة: 3)
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, dara, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir Telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Maidah: 3)
Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat Ini jika terpaksa.
Menurut al-Qurtuby, arti firman “Maka barang siapa terpaksa kelaparan” ialah, barang siapa yang karena darurat harus memakan bangkai dan hal-hal lain yang di haramkan dari ayat tadi. Maksud firman”tanpa sengaja berbuat dosa” ialah, tanpa cindong pada suatu keharaman dalam arti, tidak menginginkan dan tidak melampaui batas. Yang di maksud dengan tanpa condong pada suatu keharaman ialah, tanpa niat berbuat maksiat.
b. Firman Allah dalam surat al-An’am ayat 119, yaitu:
وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ, وَإِنَّ كَثِيْرًا لَّيُضِلُّوْنَ بِأَهْوَآئِهِمُ بِغَيْرِ عِلْمٍ, إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِاْلمُعْتَدِيْنَ (الأنعام: 119)
Artinya: Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.(QS. al-An’am: 119)
Makna firman Allah, “mengapa kalian tidak mau memakan yang disebut asma Allah ketika menyembelihnya padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang di haramkan-Nya atasmu” di atas seperti yang dikatakan sebagian ulama ahli tafsir ialah, kenapa kalian keberatan memakan makanan-makanan yang halal yang saat menyembelih sudah disebut nama Allah? Apa yang menghalangi kalian memakannya? Sedangkan allah telah menerangkan dan menjelaskan apa yang diharamkannya atasmu.” Kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya,” yaitu berupa hal-hal yang sebenarnya telah diharamkan atas kalian, artinya adalah apabila kalian terpaksa memakannnya karena menahan rasa lapar yang sudah tak tertahankan lagi, maka hal itu diperbolehkan kepada kalian. “ dan sesungguhnya kebanyakan benar-benar hendak menyesatkan dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan” maksudnya, kebanyakan dari manusia itu ingin menyesatkan orang lain dengan cara menghalalkan atau mengharamkan apa saja tanpa didasari oleh hokum agama, tetapi hanya ingin menuruti hawa nafsu saja. “Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang mengetahui orang-orang yang melampaui batas” maksudnya, yaitu orang-orang yang melewatkan batas-batas kebenaran ke batas-batas kebatilan, dan batas-batas kehalalan ke batas-batas keharaman.
c. Firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 106, yaitu:
مَنْ كَفَرَ بِااللهِ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِاْلإِيْمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِاْلكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ (النحل: 106)
Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An-Nahl: 106)
Dalam ayat ini mengecualikan orang yang di paksa padahal artinya tetap beriman. Orang seperti itu tidak terkena murka, tidak disiksa dan tidak disiksa sama sekali.
d. Firman Allah, dalam surat Al-Baqarah ayat 195, yaitu:
وَأَنْفِقُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ, وَأَحْسِنُوْا, إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ (البقرة: 195)
Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah: 195)
Dalam ayat ini ada petunjuk larangan menjatuhkan diri kedalam kebinasaaan. Dan tidak mau memakan sesuatu yang diharamkan dalam keadaan darurat adalah menjatuhkan diri kedalam kebinasaan, dan itulah yang dilarang oleh ayat tersebut.
Kedua: Dalil-dalil as-Sunnah,
Dalil-dali as-Sunnah yang menunjukkkan diperbolehkannya memakan makanan yang haram dalam keaadaan darurat sebagian besar akan kami sebutkan di tengah-tengah pembahasan ini.Dan diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Bersumber dari Abu Waqid al-Laitsi ia berkata, aku bertanya kepada Rasullah,” Rasululllah, kami berada di sebuah daerah yang tengah dilanda bencana kelaparan. Apakah kami halal memakan bangkai?” Beliau menjawab,, “kalau memang kalian tidak menemukan makanan yang bisa kalian makan pada pagi dan sore hari dan bahkan tidak mendapatkan sayurang yang bisa kalian cabut, maka silahkan kalian makan bangkai itu.
b) Bersumber dari Jabir bin Samrah, sesungguhnya seseorabg bersama istri dan anaknya singgah di daerah Harrah. Orang itu berkata,” Ontaku tersesat. Begitu anda menemukan tolong anda tahan.” Jabir berhasil menemukannya, tetapi ia sudah tidak mendapati pemiliknya. Ketika onta itu sakit, isterinya mengusulkan, “Sembelih saja binatang itu.” Tetapi Jabir tidak mau. Isterinya mengusulkan lagi,” kalau begitu kuliti saja binatang itu supaya lemak dan dagingnya kita jadikan dendeng lalu kita makan.” Tetapi Jabir tetap menolaknya, “Aku tanyakan dulu kepada Raasulullah SAW.” Jabir lalu menemui beliau, dan beliau bertanya, Apakah kamu ada orang kaya yang mencukupimu?” Jabir menjawab, “tidak ada”. Beliau bersabda, “Kalau begitu makanlah.” Tidak lama kemudian si pemilik Onta itu muncul. Setelah mendengar cerita dari Jabir ia berkata, “Kenapa anda tidak menyembelihnya saja?” Jabir menjawa,” Aku malau kepadamu.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lafadnya darinya. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahamad dan al-Baihaqy.
Dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah itulah yang menjadi dasar kaidah masalah darurat dan hukum-hukumnya dalam Fiqh Islam.
Ada dua kaidah penting yang dicetuskan oleh para ulama ahli fiqih; yakni kaidah,“Darurat itu memperbolehkan hal-hal yang dilarang” dan kaidah, ”Mudharat itu harus di hilangkan.”
1) Menurut ibn Najim, kaidah usul Fiqh yang kelima ialah “Mudlarat itu harus dihilangkan.” Beberapa kaidah terkait dengan kaidah yang satu ini, diantaranya ialah: Kaidah “Dharurat itu memperbolehkan hal-hal yang dilarang.” Karena itu hukumnya memakan bangkai dan mencampur makanan dengan arak dalam keadaan darurat .
2) Menurut Dr. Kholifah Ba Bakar Al Hasan, bahwa kemaslahatan-kemaslahatan dloruriyat adalah sesuatu yang harus dilakukan untuk keutuhan kepentingan dunia dan akhirat, seandainya tidak terpenuhi maka akan menghambat kepentingan diniawi atau bahkan mengarah pada kerusakan dan kekecewaan dalam kehidupan, sedangkan ukhrowinya tidak bisa mencapai pada kebahagiaan dan kenikmatan, serta merajut kepada kerugian yang nyata. Beliau juga menggunakan ungkapan lain, yaitu kemaslahatan-kemaslahatan ummat baik secara kelompok atau individu, seandainya tidak melakukan hal yang dilarang agama maka berdampak terpecah belahnya peraturan-peraturan yang ditetapkan, bahkan bisa mengarah pada kerusakan dan kehancuran.
3) Menurut al-Syatybi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan dan keturunan, serta memelihara harta. Untuk memelihara lima pokok inilah syariat Islam diturunkan. Guna memperoleh gambaran yang utuh tentang kebutuhan dharuriyyat.
Berikut ini akan di jelaskan lima pokok kemaslahatan dalam tingkat kebutuhan dharuriyyat beserta contohnya, yaitu:
a. Memelihara agama dalam peringkat dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu di abaikan, maka eksistensi agama akan terancam.
b. Memelihara jiwa dalam peringkat dharuriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
c. Memelihara akal dalam peringkat dharuriyyat, seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahakan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
d. Memelihara keturunan dalam peringkat dharuriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunanakan terancam.
e. Memelihara harta dalam peringkat dharuriyyat, seperti syariat tentang tata cara pemilikan hartadan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan ini dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
2. Hikmah Dari Diperbolehkannya Sesuatu Yang Diharamkan Dalam Keadaan Darurat.
Hikmah boleh makan barang-barang yang haram dengan alasan dlorurot itu adalah demi menjaga keselamatan nyawa orang yan bersangkutan, seperti contoh kasus meminum arak, memakan bangkai, dan lain-lain. Pada awalnya mengkonsumsi barang-barang yang diharamkan tersebut jelas bisa membahayakan kesehatan orang yang memakan atau yang meminumnya. Kalau hal itu diharamkan, adalah demi kepentingannya, bukan demi kepentingan orang lain. Maka diperbolehkannya mengkonsumsi barang-barang yang diharamkan tersebut adalah hikmah Ilahi kepadsa hambanya. Sebab bila tetap diharamkan justru bisa menimbulkan bahaya yang lebih besar yang digambarkan dalam bentuk kekhawatiran meninggal dunia.
a. Hajiyyat
Kebutuhan hajiyyat adalah kemaslahatan yang tidak sampai pada unsur keterpaksaan, akan tetapi mengacu kepada kebutuhan manusiawi semata. Dalam hal ini Muhibbulloh bin ‘Abdus Syakur berpendapat bahwa hajiyyat tidaklah terjadi pada batas dorurot, sebab tidak sampai merusak atau menghilangkan salah satu lima unsur kemanfaatan yang harus dijaga. Seperti contoh jual-beli, sewa-menyewa, mudlorobah dan musaqoth.
Kebutuhan hajiyyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana bilamana tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Kebutuhan hajiyyat bisa juga diartikan dengan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpeliharanya kelompok ini tidak mengancam eksistensi kelima pokok di atas, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti di jelaskan Abd al-Wahhab Khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini.
Lebih jelasnya, berikut akan memaparkan keterkaitan kebutuhan hajiyyat dengan lima pokok kemaslahatan di atas disertai contohnya, yaitu:
a. Memelihara agama dalam peringkat hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’dan shalat qashar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
b. Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c. Memelihara akal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
d. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak mengunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.
e. Memelihara harta dalam peringkat hajiyyat, seperti syariat tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak di pakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
Dalam hajiyyat ini Abi Ishaq Asy-Syatibi memberlakukan dalam empat hal, yaitu: ‘Ibadat, ‘Adat, Mu’amalat dan Jinayat. Di antara contohnya telah disebutkan sebelumnya.
Alloh telah memberikan keringanan, seperti halnya contoh di atas, yaitu firmanNya dalam surat al-Maidah ayat 6, yaitu:
يَأَيُّهَا الَذِيْنَ ءَامَنُوْآ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ, وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوْا, وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّباً فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ مِنْهُ, مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ (المائدة: 6)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.(QS. al-Maidah: 6)
Dan surat al-Hajj ayat 78, yaitu:
وَجَاهِدُوْا فِى اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ, هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ, مِلَّةَ أَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيْمَ, هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ قَبْلُ وَفِى هَذَا لِيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ شَهِيْدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُوْنُوْا شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ, فَأَقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوْا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوْا بِاللهِ هُوَ مَوْلاَكُمْ, فَنِعْمَ الْمَوْلَىوَنِعْمَ النَّصِيْرُ (الحج: 78)
Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong. (QS. al-Hajj: 78)
Dari kedua ayat diatas oleh ulama dijadikan sebagai landasan dalam maslahah hajiyyat.
b. Tahsiniyyat
Kebutuhan tahsiniyyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi, tidak mengancam eksistensi dari lima pokok di atas dan tidak pulamenimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti yang dikemukakan oleh al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak. Dalam referensi lain kebutuhan tahsiniyyat diartikan sebagai kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan. Guna memperoleh kejelasan, berikut akan dipaparkan kelima pokok kemaslahatan dalam peringkat kebutuhan tahsiniyyat, yaitu:
1) Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaaan kewajiban terhadap Tuhan. Misalnya menutup aurat, baik di dalam maupun di luar shalat, membersihkan badan, pakaian, dan tempat. Kegiatan ini erat kaitannya dengan akhlak yang terpuji. Kalu hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya. Artinya, bila tidak ada penutup aurat, seseorang boleh shalat, jangan sampai meninggalkan shalat yang termasuk kelompok dharuriyyat. Kelihatannya menutup aurat ini tidak dapat di kategorikan sebagai pelengkap (tahsiyyat), karena keberadaannya sangat diperlukan bagi kepentingan manusia. Setidaknya kepentingan ini dimasukan dalam kategori hajiyyyat atau dharuriyyat. Namun, kalau mengikuti pengelompkan di atas, tidak berarti sesuatu yang termasuk tahsiniyyat itu di anggap tidak penting, karena kelompok ini akan menguatkan kelompok hajiyyat dan dharuriyyat.
2) Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, seperti di tetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan eika, sama sekali tidak akan mengancam eksistansi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
3) Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
4) Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’atkannya khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
5) Memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermu’amalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan berpengaruh pada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.
C. Kesimpulan
Dari apa yang sudah kami jelaskan, maka kami dapat menarik sebuah kesimpulan bahwasannya teori Maqasidul Ahkam yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan ilat ditetapkannya suatu hukum. Sedangkan terbentuknya sebuah hukum dalam makalah ini adalah adanya tiga maslahah, yaitu:
1. Kebutuhan dharuriyat,
2. Kebutuhan hajiyyat, dan
3. Kebutuha tahsiniyyat.
Dari ketiga hal di atas, yang menjadi asal dari yang lainnya adalah dhoruriyyat, sedangkan yang dua adalah cabang. Maka, apabila dhoruriyyat bertentangan dengan kedua hal yang lain, maka tetap di utamakan. Secara rentetan hajiyyat sebagai penyempurna pada dhoruriyyat, sedangkan tahsiniyyat sebagai penyempurna pada hajiyyat.
Demikian yang dapat kami simpulkan, apabila terdapat banyak kesalahan baik dalam tulisan maupun penyusunannya kami selaku pemakalah mohon kebijakan dari bapak pembina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar