A.  PENGERTIAN TAKHRIJ AL-HADITS
Al-Hadits  merupakan sumber hukum  Islam kedua setelah al-Qur`ân, karena ia  mempunyai peranan penting, terutama sebagi hujjah  dalam menetapkan  hukum. Oleh karena itu validitas sebuah hadits harus menjadi perhatian.  Hadits memiliki tiga unsur penting, yakni sanad, matan dan  perawi.
Sebuah  hadits belum dapat ditentukan apakah boleh diterima secara baik ataupun  ditolak sebelum diketahui keadaan sanadnya, apakah mereka muttashil  ataukah munqathi’. Sanad berperan menentukan nilai hadits, karena sanad  adalah matarantai para rawi yang mengantarkan sebuah matan.[1]  Sedangkan matan merupakan lafadh yang menunjuk pada kasud sebuah  hadits. Dari segi periwayatan, posisi dan kondisi para perawi yang  berderet dalam sangat menentukan keadaan sebuah hadits, apakah ia  shahih, dla’if atau lainnya. Dengan demikian keadilan, ketsiqahan dan  kedlabithan setiap rawi sangat menentukan. Maka penelitian hadits  (takhrij al-hadits) pun menjadi sangat perlu untuk menemukan dan  menentukan bahwa suatu hadits adalah sahih atau bukan. Secara  terminologik, takhrij al-hadits adalah penunjukan sumber asli dari suatu  hadits, menjelaskan sanadnya dan menerangkan martabat nilai hadits yang  ditakhrij.[2]
Secara  harfiah, kata takhrij (تخريج) berasal dari fi’il madli kharraja (خرّج)  yang berarti mengeluarkan. Kata tersebut merupakan bentuk imbuhan dari  kata dasar khuruj (خروج) yang berasal dari kata kharaja (خرج) yang  berarti keluar.[3] Takhrij juga berarti idhhar, ibraz, istinbath, tadrib, dan taujih (اإظهار، إلراز، ستنباط ، تدريب ، توجيح).[4]  Secara terminologis, takhrij adalah penunjuk jalan ke tempat letak  hadits pada sumber yang orisinil takhrijnya berikut sanadnya, kemudian  dijelaskan martabat haditsnya bila diperlukan.[5] Hatim menjelaskan pengertian takhrij sebagai berikut:
عزو  الحديث إلى مصادره الأصلية المسندة ، فإن تعذرت فإلى الفرعية المسندة ،  فإن تعذرت فإلى الناقلة عنها بأسانيدها ، مع بيان مرتبة الحديث غالباً. [6]
(Mengembalikan  hadits ke sumber-sumber aslinya yang akurat. Jika pada aslinya tidak  ditemukan, maka dirujukkan pada cabang-cabangnya, dan jika mengalami  kesulitan, maka hendaklah dikembalikan pada catatan yang memiliki sanad,  serta menjelaskan tingkatan hadits secara umum)
Cendekiawan  muslim yang mula-mula melakukan takhrij adalah al-Khathib al-Baghdadi  (w. 463 H./ 1070 M.), lalu Musa al-Hazimi al-Syafi’i (w. 584 H./ 1188 M)  dengan karyanya berjudul Takhrij al-Ahadits al-Muhadzdzab.[7]
B.     MANFAAT ILMU TAKHRIJ
Melihat  kondisi hadits dari segi historis sebagai telah dipaparkan pada bab  terdahulu, hadits sebagai pusat perhatian mengundang para pemerhati  untuk berhati-hati dalam memberlakukannya, karena hadits baru ditulis  dan disusun secara resmi pada sekitar abad II H.  untuk memperoleh hasil  temuan hadits yang dapat dipertanggungjawabkan maka diperlukan sebuah  ilmu yang disebut denngan istilah Takhrij al-Hadits. Takhrij sebagai  ilmu perlu diketahui oleh setiap orang yang hendak mendapatkan hadits  dengan posisinya yang jelas. Di antara manfaat ilmu ini adalah:
1. untuk memilih dan memilah mana hadits shahih dan mana yang tidak shahih;
2. untuk mengetahui mana hadits-hadits yang boleh diamalkan, dan mana hadits yang tidak boleh diamalkan;
3. untuk mengetahui mana hadits-hadits yang bisa diintisarikan hukum darinya, dan mana ang tidak bisa;
4.  untuk mengetahui mana hadits yang yang wajib diyakini isinya karena  penting, dan mana yang tidak boleh diyakini karena lemahnya atau  kepalsuannya;
5. untuk memelihara sunnah dan keberlangsungannya hingga hari kiamat.[8]
C.     OBYEK TAKHRIJ
Sebagai  sub sistem ilmu pengetahuan takhrij mempunyai obyek kajian. Obyek yang  menjadi pusat kajian takhrij adalah sanad dan matan.
Sanad sebagai  unsur dari struktur hadits harus diteliti karena di samping banyaknya  rijal yang terlibat dalam sanad mengundang kemungkinan untuk belum  –untuk menghindari perkataan tidak—bisa diterima haditsnya, secara  realistis memang di antara para rijal dalam sanad hadits ada yang belum  diketahui, misalnya terdapat unsure sanad yang hanya disebut dengan  rajul (رجل) yang menunjukkan sanadnya terjadi missing link atau infishal  (انفصال). Matan juga mstia diteliti agar diperoleh keniscayaan bahwa  redaksi yang ditemukan benar-benar merupakan hadits. Hal tersebut  dilakukan karena berbagai alasan. Di antara satu dari sekian alasannya  adalah untuk menghindari pemalsuan hadits.
D.    METODE TAKHRIJ DAN CONTOHNYA
Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh orang yang hendak melakukan takhrij. Yaitu:
1.    Proses Takhrij
Dalam  melakukan penelitian (takhrij) terhadap sebuah hadits seorang peneliti  (Mukharrij) hendaknya melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a.    Menentukan/ mengetahui periwayat (rawi) hadits, misalnya Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan sebagainya.
b.     Mencari hadits yang dimaksud dalam sumber aslinya, misalnya Musnad  al-Imam Ahmad ibn Hanbal yang dimulai dari penulusuran dalam buku  al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Winsick  (misalnya) untuk mengetahui di mana posisi sebuah hadits yang  sesungguhnya.
c.    Meneliti sanad. Setelah diketahui sanad sebuah  hadits dalam Kitab Musnad, atau referensi lainnya, maka nama-nama yang  terdapat dalam matarantai sanad diteliti satu persatu melalui –misalnya–  kitab Tahdzib al-Tahzib kaya ibn Hajar al-‘Asqalani untuk diketahui  esensi nama dan silsilahnya, sifatnya dan hubungannya dengan perawi  lainnya, sehingga ditemukan kesimpulan tentang nama (misalnya Sufyan)  sebenarnya, sifatnya, dan sebagainya, hingga keadaan sebuah hadits.
d.     Menyimpulkan kwalitas hadits. Dari langkah ketga tadi peneliti dapat  menganalisis sebuah hadits, lalu ditentukan statusnya. Jika  dimungkinkan, maka dilakukan istinbath hukum darinya.
2.    Contoh Takhrij al-Hadits (Tentang Buyu’ / jual beli).
Untuk  melakukan praktik takhrij al-hadits sebagai langka-langkah di atas  penulis menyajikan contoh untuk meneliti hadits tentang menjual air dari  segi sanad dan sistem periwsayatannya.  Mula-mula peneliti harus  mengetahui siapa rawi hadits tersebut. Seseorang yang menjadi sentral  riwayat hadits ini dapat ditelusuri melalui kitab al-Mu’jam al-Mufahras  li Alfadh al-Hadits al-Nabawi karya A.J. Winsick (misalnya). Misalnya  ditemukan rawinya adalah Ahmad. Maka seorang peneliti hendaknya langsung  melihat kitab yang ditulis oleh perawi, yaitu Musnad al-Imam Ahmad.  Dari sana peneliti dapat membuktikan dan sekaligus menemukan sebuah  hadits yang dicarinya.
a. Hadits yang dicari, yaitu sebagai berikut:
حدثنا  عبد الله حدثني أبي ثنا سفيان عن عمرو قال أخبرني أبو المنهال سمع إياس  ابن عبد المزني وكان من أصحاب النبي صل الله عليه وسلم قال لا تبيعوا الماء  فإني سمعت رسول الله صل الله عليه وسلم  نهى عن بيع الماء لايدرى عمرو أيّ  ماء هو
Hadits tersebut benar tercatat dalam kitab Musnad al-Imam  Ahmad Juz IV halaman 138, dengan 6 matarantai perawi (sanad) dari Ahmad  ibn Hanbal hingga Iyas yang merupakan seorang sahabat Rasul Allâh saw. 
b. Sanad Hadits, yakni ditemukan sebagai berikut:
1.      Iyas
2.      Abu al-Minhal
3.      ‘Amr
4.      Sufyan
5.      Ahmad ibn Hanbal
6.      ‘Abd Allâh ibn Ahmad
Matarantai perawi (sanad) tersebut diperjelas dalam skematika sebagai berikut:
رسول الله
نهى عن …
إياس
أبو المنهال
عمرو
سفيان
أحمد بن حنبل
عبد الله
نحن وغيرنا …
c. Metode Periwayatan Haditas dan Kwalitas Rawi
Dalam  menentukan sifat dan martabat hadits peneliti (mukharrij) harus  mengetahui nama-nama perawi. Bagaimana kwalitas kepribadian mereka dan  bagaimana hubungan mereka dengan perawi sebelumnya? Untuk itu nama-nama  perawi dalam mata rantai sanad harus diidentifikasi satu persatu untuk  diteliti.
1) Abd Allah
a)      Nama dan hidupnya
Yang dimaksud  dengan nama ini adalah perawi yang nama lengkapnya adalah ‘Abd Allah ibn  Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad al-Syaibani, Ayah ‘Abd  al-Rahman al-Baqhdadi.[9]
Ia  menerima riwayat dari ayah (guru)nya (Ahmad ibn Hanbal), Ibrahim ibn  al-Hajjaj al-Syami, Ahmad ibn Mani al-Baghawi dan lainnya.
Ia  meriwayatkan pada al-Nasa’i banyak hadits, pada Abu Bakar al-Najjad,  Ahmad ibn Kamil, dan lainnya. Ia hidup dalam tahun 213 – 290 H.
b)      Komentar ‘Ulama
‘Ulama hadits berkomentar tentang ‘Abd Allâh ibn Ahmad. Diantara komentar mereka adalah sebagai berikut :
1)        ‘Abbas al-Duri pernah mendengar dari Ahmad, katanya: “Abd Allâh mempunya banyak ilmu”;
2)        Khatami dari Abu Zahra dari Ahmad, katanya : “Ia dikenal dan dicatat sebagai ‘ulama ahli hadits”;
3)        Al-Khathib berkata: “Ia adalah kredible (tsiqah), bagus analisisnya”;
4)        An Nasa’i berkata : “Ia adalah tsiqah”;
5)        Abu Bakr al-Khalal berkata: “Ia adalah lelaki jujur, tegar dan pemalu”;
6)   ‘Abd Allah sendiri menyatakan, bahwa apa yang diucapkan adalah setelah didengarnya dari ayahya sebanyak tiga kali.[10]
Berdasarkan  pernyataan para kritikus hadits dan ahli hadits serta pengakuannya  sendiri tersebut, maka ‘Abd Allâh ibn Ahmad adalah perawi yang salih,  pamalu, jujur (shadiq), banyak ilmu, cerdas (kritis). Dengan demikian  dapat dikatakan bahwa ia adalah perawi yang tsiqah.
2) Ahmad ibn Hanbal
a)      Nama dan hidupnya
Nama  Ahmad ibn Hanbal diketahui dari pernyataan ‘Abd Allâh bahwa ia menerima  riwayat dari ayahnya. Nama lengkapnya adalah AHMAD ibn Muhammad ibn  Hanbal ibn Hilal ibn Asad al-Syaybani, sebagai ayah bagi ‘Abd Allâh  al-Maruzi al-Baghdadi.[11] Ia lahir di Baghdad dan hidup pada tahun 164 – 241 H.
Ia  menerima riwayat dari banyak guru, yakni Basyar ibn al-Mufdlal, Isma’il  ibn ‘Ilya, SUFYAN ibn ‘Uyayna,  Jarir ibn ‘Abd al-Hamid, Yahya ibn  Sa’id al-Qathan, Abu Dawud al-Thayalasi, ‘Abd Allah ibn Numair, ‘Abd  al-Razzaq, ‘Ali ibn ‘Ayyasy al-Humshi, al-Syafi’i, ghindar, Mu’tamar ibn  Sulaiman, dan banyak kelompok.
Riwayatnya disampaikan kepada  al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Baqun beserta al Bukhari, Aswad ibn  ‘Amir Syadzan, ibn Mahdi, al-Syafi’i, Abu al-Walid, ‘Abd al-Razzaq,  Waki’, Yahya ibn Adam, Yazid ibn Harun (mereka adalah gurunya), dan  Qutaiba, Dawud ibn ‘Amr, Khalaf ibn Hisyam (mereka adalah lebih tua  darinya), dan Ahmad ibn Ubay al-Hawari, Yahya ibn Ma’in, ‘Ali ibn  al-Madini, al-Husain ibn Manshur, Ziyad ibn Ayub, Duhaim, Abu Qudama as  Sarkhasi, Muhammad ibn Rafi’, Muhammad ibn Yahya ibn Abi Samina (mereka  adalah satu kurun dengannya), dan anak-anaknya (‘ABD  ALLAH dan Shalih),  dan beberapa muridnya seperti Abu Bakr al-Atsram, Harb al-Kirmani, Baqi  ibn Mukhallid, Hanbal ibn Ishaq, Syahin ibn al-Samida’, al-Maimuni, dan  lainnya.
Orang yang paling akhir meriwayatkan hadits darinya adalah Abu al-Qasim al-Baghawi.
b)      Komentar ‘Ulama
Berikut ini adalah komentar yang disampaikan oleh para ahli tentang Ahmad:
1)   Ibn Ma’in berkata: “Saya belum melihat orang yang lebih baik daripada Ahmad. Ia tidak pernah membanggakan bangsa Arab”;
2)    ‘Arim berkata: “Pada suatu hari saya berkata padanya: ”Hai ayah ‘Abd  Allâh, Engkau datang dari Arab”, Jawabnya: “Hai ayah al-Nu’man, kami  golongan miskin”;
3)   Shalih (puteranya) berkata: “Saya mendengar ayah berkata bahwa ia lahir pada tahun 164 H. di bulan Rabi’ al Awwal”;
4)    Ibrahim ibn Syammas berkata: “Saya mendengar waki’ ibn al-Jarrah dan  Hafsh ibn Ghayyats berkata bahwa dalam belum ada lelaki yang datang ke  Kufa setaraf Ahmad”;
5)   Al-Qathan berkata: “Belum pernah ada pemuda yang selevel Ahmad datang kepadaku”;
6)    Ahmad ibn Sinan berkata: “Saya tidak pernah melihat Yazid ibn Harun  (murid Ahmad) lebih hormat kepada seseorang daripada Ahmad ibn Hanbal”;
7)  ‘Abd al-Razzaq berkata: “Saya belum melihat orang yang lebih menguasai hukum agama (Faqih) dan lebih wira’i daripada Ahmad”;
8)   Abu ‘Ashim berkata: “Kami belum pernah didatangi orang yang sangat baik fiqhnya daripada Ahmad”;
9)   Yahya ibn Adam berkata: “Ahmad adalah imam kita”;
10)     Asy-Syafi’i berkata: “Saya meninggalkan Baghdad, dan saya tidak  meninggalkan orang yang lebih ahli di bidang fiqh, ahli zuhud, ahli  wira’i dan lebih pandai daripada Ahmad ibn Hanbal”;
11)    ‘Abd Allâh al-Khuraibi berkata: “Ia adalah orang terbaik di zamannya”;
12)    Abu al-Wahid berkata: “Tidak ada orang di dua negeri yang lebih kucinta daripada Ahmad”;
13)    Al-‘Abbas al-‘Anbari berkata: “Ia adalah Hujjah”;
14)    Ibn al-Madiri berkata: “Tidak ada di antara teman kami yang lebih mampu menghafal hadits daripadanya”;
15)    Qutaiba berkata: “Ahmad adalah pemimpin dunia”;
16)    Abu ‘Ubaid berkata: “Saya tidak mengetahui orang satu lebel Ahmad dalam Islam”;
17)    Yahya ibn Ma’in berkata: “Seandainya kami duduk pada suatu majlis pemujaan tentu kami tidak menyebutkan kelebihannya”;
18)    Al-‘Ijli berkata: “Ia tsiqah yang konsisten dalam hal hadits, mensucikan jiwa, sangat memahami hadits, pengikut atsar…”;
19)    Abu Tsaur berkata: “Ahmad adalah guru dan pemimpin kami”;
20)    Abu Zur’ah ar-Razi berkata: “Ahmad menghafal sejuta hadits, … dan saya mengambilnya beberapa bab”;
21)    ‘Abd Allâh berkata: “Ayah senantiasa melakukan shalat 300 raka’at sehari semalam”.[12]
22)    Al-Nasa’i  berkata: “Ahmad adalah orang yang hafidh (hafal banyak hadits), bertaqwa dan ahli figh.[13]
Berdasarkan komentar diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ahmad ibn Hanbal adalah Tsiqah.
3) Sufyan
a.       Nama
Berdasarkan data Ahmad ibn Hanbal, maka yang dimaksud dengan nama Sufyan dalam hadits di atas adalah SUFYAN  ibn ‘Uyaina.[14] Nama lengkapnya adalah Sufyan ibn ‘Uyaina ibn Abi ‘Imran Maimun al-Hilali, ayah Muhammad al-Kufi.[15] Ia tinggal di Mekkah.
Ia  meriwayatkan hadits dari banyak guru, yakni ‘Abd al-Malik ibn ‘Umair,  Abu Ishaq as-Sabi’i, Ziyad ibn ‘Alaqa, al-Aswad ibn Qays, Aban ibn  Tughlab, Ibrahim, Musa, Muhammad Bani ‘Uqba, Ishaq ibn ‘Abd Allâh ibn  Abi Thalha, Israil Abi Musa, Isma’il ibn Abi Khalid, Isma’il ibn Umaya,  Ayub ibn Musa, Ayub ibn Abi Tamima as Sakhtiyani, Yazid ibn Abi Barda,  Bayan ibn Basyar, Ja’far al-Shadiq, Jami’ ibn Abi Rasyid, Hamid  al-Thawil, Hamid ibn Qays al-A’raj, Zakariya ibn Abi Rasyid, Zaid ibn  Aslam, Salim, Abi an-Nadhir, Abi Hazim ibn Dinar, Sulaiman al-Taimi,  Sulaiman al-Ahwal, Suma, Suhail, Syabib ibn Ghirqada, Shalih ibn Kisan,  Shalih ibn Shalih ibn Hay, Shafwan ibn Salim, Dlamra` ibn Sa’id, ‘Ashim  al-Ahwal, ‘Ashim ibn Bahdala ibn Kalib, ‘ABD ALLAH IBN DINAR, Abi  al-Zinad, ‘Abd Allâh ibn Thawus, ‘Abd Allâh ibn Abi Husain, ibn Abi  Najih, ‘Abd Rabbih, Sa’d, Yahya, ‘Abd ar Rahman ibn al-Qasim, ‘Abd  al-‘Aziz, ibn Rafi’, ‘Abd al-Karim Abi Umaya, ‘Abd al Karim al-Jazri,  ‘Abd Allâh ibn ‘Umar, ‘Ubaid Allâh ibn Abi Yazid, ‘Ali ibn Zaid ibn  Jad’an, ‘Ubaid Allâh ibn ‘Abd Allâh ibn al-Ashamm, ‘Amr ibn Dinar,  az-Zuhri, al-‘Ala ibn ‘Abd al-Rahman, ibn ‘Ajlan, Muhammad ibn ‘Amr ibn  ‘Alqama, Mathraf ibn Tharif, al-A’masy, Manshur, al-Walid ibn Katsir,  Yazid ibn Khushaifa, Abi Ishaq al-Syaibani, Abi Ya’fur al-Shaghir, dan  masih banyak lagi.
Dan ia meriwayatkan hadits kepada al-A’masy (juga  pernah meriwayatkan hadits kepada Sufayan), ibn Juraij, Syu’ba, ats  Tsauri, dan Mas'ar (mereka adalah sekaligus gurunya), Abu Ishaq  al-Fazzari, Hammad ibn Zaid, al-Hasan ibn Hay, Hamam dan Abu al-Ahwash,  ibn al-Mubarak, Qays ibn al-Rabi’, Abu Mu’awiya, Waki’, Mu’tamar ibn  Sulaiman, Yahya ibn Abi Zaida (mereka ini satu masa dengan sufyan dan  wafat sebelumnya), Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, ’Abd Allâh ibn Wahab,  Yahya al-Qathan, ibn Mahdi, Abu Usamah, Rauh ibn ‘Ubada, al-Faryabi, Abu  al-Walid al-Thayyalasi, ‘Abd al-Razzaq, Abu Nu’aim, Abu Ghassan  al-Nahdi, AHMAD IBN HANBAL, Yahya ibn Ma’in, ‘Ali ibn al madini, Ishaq  ibn Rahawaih, ‘Amr ibn ‘Ali al-Fallas, dua putera Abi Syaiba, Abu  Khaitsama, Ahamad ibn Shalih al-Mishri, Ahmad ibn Mani’, Abu Tauba  al-Halabi, Abu Ja’far al-Nufaili, Abu Bakr al-Hamidi, ibn Abi ‘Umar  al-‘Adani, ‘Ali ibn Hajar, ‘Ali ibn Khasyram, Qutaiba, Abu Musa  al-‘Unazi, Harun al-Hammal, Ahmad ibn Syaiban al-Ramli, al-Hasan ibn  Muhammad az-Za’farani, az-Zubair ibn Bakr, Muhammad ibn ‘Isa ibn Hibban,  Muhammad ibn ‘Ashim al-Ashbihani, dan lainnya.
b.      Komentar
Banyak komentar diberikan kepada Sufyan ibn ‘Uyaina, di antaranya adalah:
1)   Ibn al Madini berkata: “Sulfan lahir pada tahun 107 H.”;
2)   Ibn ‘Uyaina (Sufyan) berkata: “Orang yang pertama kali memberiku sanad adalah Mas'ar”;
3)    ‘Ali ibn al-Madini berkata: “Tidak ada murid al-Zuhri yang lebih  bertaqwa daripada ibn ‘Uyaina (Sufyan)”. … “Saya mendengar Basyar ibn  al-Mufdlal berkata, bahwa tidak ada seorangpun di muka bumi ini yang  menyerupai ibn ‘Uyaina”;
4)   Al-‘Ijli berkata: “Sufyan adlaah  seorang Kufa, tsiqah dalam meriwayatkan hadits, haditsnya hasan,  tergolong bijak diantara para pemangku hadits”;
5)   Al-Syafi’i  berkata: “Seandainya tidak ada Malik dan Sufyan, niscaya ilmu bangsa  Hijaz telah musnah”. … “Saya belum melihat seorang manusia yang  mempunyai keluasan ilmu sebagai yang dimiliki ibn ‘Uyaina, tidak ada  pemuda seramah dia”;
6)   ‘Utsman al darimi berkata: “Aku bertanya  pad aibn Ma’in: “ibn ‘Uyaina, ‘Amr ibn Dinar, ataukah al-Tsauri yang  lebih kau cinta?” Jawabnya: “‘Uyaina sendiri yang lebih tahu”;
7)   Ibn Wahb berkata: “Saya belum melihat orang yang lebih mengetahui kitab Allâh daripada ibn ‘Uyaina”;
8)   Al-Waqidi berkata: “Sufyan wafat pada hari sabtu pertama di bulan Rajab tahun 198 H.”;
9)    Ibn ‘Ammar berkata: “Saya mendengar Yahya ibn Sa’d al-Qathan berkata:  “Saksikan, bahwa Sufyan ibn ‘Uyaina meninggal pada tahun 197 H”;
10)     Ibn Ma’in al-Razi mengatakan, Harun ibn Ma’ruf berkata:  “Sesungguhnya ibn ‘Uyaina inkonsistens”, sedangkan Sulaiman ibn Hazb  berkata: “Ibn ‘Uyaina mengalami kesalahan pada umumnya hadits melalui  Ayub”;
11)    Ahmad berkata: “Saya tidak melihat seorang ahli fiqh  yang lebih pandai dalam hal al-Qur`ân dan al-Sunnah daripada Sufyan”;
12)    Ibn Sa’ad berkata: “Sufyan itu tsiqah yang konsisten, banyak hadits, dan menjadi Hujjah”;
13)    Para huffadh sepakat bahwa Sufyan adalah orang yang lebih konsisten terhadap ‘Amr ibn Dinar.[16] Ibn Hibban berkata: “Sufyan termasuk penghafal hadits yang serius, ahli Wira’i dan ahli agama”.
Berdasarkan uraian di atas, maka Sufyan ibn ‘Uyaina adalah perawi yang tsiqah dan muttashil dengan perawi sesudahnya.
3) ‘Amr
a)      Nama dan Nasab
Perawi ini bernama lengkap ‘Amr ibn Dinar al-Makki, ayah Muhammad al-Atsram al-Jumahi Maulahum.[17]
‘Amr  menerima riwayat hadits dari banyak guru, yakni ibn ‘Abbas, ibn Zubair,  ibn ‘Umar, ibn ‘Amr ibn al-‘Ash, Abu Huraira, Jabir ibn ‘Abd Allâh, Abu  al-Thufail, Sa’ib ibn Yazid, Bujala ibn ‘Ubda, Abu al-Sya’tsa Jabir ibn  Zaid, al-Hasan ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, Abu Shalih as  Samman, Wahb ibn Munabbih, Abu Salama ibn ‘Abd al-Rahman, Abu al-‘Abbas  al-Sya’ir al-A’ma, Salim ibn Syawwal, Sa’id ibn Abi Barda, Sa’id ibn  Jubair, Sa’id ibn al-Zubair, ibn Abi Mulaika, ‘Urwa ibn al-Zubair, ABU   AL  MINHAL ‘Abd al-Rahman ibn Muth’im, ibn Abi Mulaika, ‘Atha ‘ibn Mina,  ‘Atha ibn Yasar, ‘Ikrima, ‘Amr ibn Aus ats Tsaqafi, Kuraib, al-Qa’qa’  ibn Hakim, Muhammad dan Nafi’ (dua putera Jubair ibn Muth’am), Abu  Ja’far Muhammad ibn ‘Ali ibn al Husain, al-Zuhri, dan kelompok lainnya.
Dan  dari ‘Amr riwayat disampaikan kepada Qatada yang wafat mendahului ‘Amr,  Ayyub, ibn Juraij, Ja’far al-Shadiq, Muhammad ibn Juhada, Malik,  Syu’ba, Dawud ibn ‘Abd ar-Rahman al-‘Athar, Rauh ibn al-Qasim, Zakaria  ibn Ishaq, Salim ibn Hayyan, Sulaiman ibn Katsir, Qurra ibn Khalid, Qays  ibn Sa’d al-Makki, Muhammad ibn Muslim, al-Tha’ifi, Mathar al-Waraq,  Wuraqa ibn ‘Umar, Hasyim, Abu ‘Uwana, Manshur ibn Zadzan, al-Hammadan  (dua nama Hammad), dua nama SUFYAN, dan lainnya.
b)      Komentar
Untuk mengetahui siapakah ia kita perlu mencermati beberapa komentar dari para ahli. Antara lain :
1)       Muhammad ibn ‘Ali al-Jurjani berkata atas riwayat dari Ahmad ibn  Hanbal, bahwa Syu’ba tidak mampu mengajukan seorang nama kepada ‘Amr ibn  Dinar, baik dalam hal hukum maupun lainnya. Demikian pula kata ibn  al-Madini dari ibn Mahdi dari Syu’ba;
2)      Nu’aim ibn Hammad  berkata: “Aku mendengar ibn ‘Uyaina menyebutkan riwayat dari ibn Najih  yang menyatakan, bahwa di sini kami tidak mendapati seorang pun yang  lebih intelek (ahli Fiqh), dan berilmu lainnya daripada ‘Amr ibn Dinar,  termasuk ‘Atha, Mujahid dan Thawus”;
3)      Al-Humaidi dan  kawan-kawan berkata dari Sufyan: “Saya bertanya kepada Mas'ar, adakah  orang yang kau lihat lebih meyakinkan terhadap hadits?” Jawabnya: “ ‘Amr  ibn Dinar dan al-Qasim ibn ‘Abd ar Rahman”;
4)   ‘Abd ar-Rahman ibn  al-Hakam berkata dari ibn ‘Uyaina: “ ‘Amr ibn Dinar menyampaikan riwayat  kepada kami, ia seorang tsiqah, tsiqah, tsiqah…”;
5)   ‘Ali ibn  al-Hasan al-Nasa’i dari ibn ‘Uyaina berkata: “ ‘Amr sakit dijenguk oleh  al-Zuhri. Ia berdiri dan berkata: “Saya belum melihat seorang yang lebih  hebat dalam hal hadits daripada Syekh yang satu ini”. “… ia tsiqah dan  konsisten”;
6)      ‘Ali dari al Qathan berkata: “ ‘Amr lebih konsisten bagiku daripada Qatada”;
7)       Abu Zur’a dan Abu Hatim: “Ia tsiqah”. Ibn Abi Hatim dari Abu Zur’a  berkata: “Saya belum mendengar (riwayat) dari Abi Huraira”;
8)      Ibn Hibban: “Ia melebihi 70 orang”;
9)       Al-Tirmidzi: “Al-Bukhari menyatakan, bahwa ‘Amr ibn Dinar tidak  mendengar dari ibn ‘Abbas sebuah hadits riwayat dari ‘Umar tentang  menangis terhadap mayit”;
10)  Ibn Hajar: “Ini semua mengindikasikan, bahwa ia seorang mudallis”;
11)  Al-Dzakaf: “Apa yang disangkakan kepadanya berupa isu syi’ah (Tasyayyu’) adalah nonsence (bathil)”.[18]
Mayoritas komentator di atas menilai bahwa ‘Amr ibn Dinar adalah perawi tsiqah, terpercaya dan muttashil.
4) Abu al Minhal
a)      Nama dan Nasabnya
Yang dimaksud dengan Abu al-Minhal di sini adalah ‘ABD  AR-RAHMAN ibn Muth’im al-Bunani, ayah al-Minhal al-Makki.[19] Ia orang Bashra yang pindah ke Makkah.
Abu  al-Minhal mengambil riwayat dari ibn ‘Abbas, al-Barra, Zaid ibu Arqam  dan IYAS IBN ‘ABD al-Muzni. Dan ia meriwayatkan hadits kepada ‘AMR IBN  DINAR, Habib ibn Abi Tsabit, ‘Amir ibn Mash’ab, Sulaiman al-Ahwal, ‘Abd  Allâh ibn Katsir al-Qari’, Isma’il ibn Umaya dan Abu al-Tayyah.
b)      Komentar
Banyak komentar dialamatkan kepadanya. Antara lain:
1)      Abu Zur’a: “Ia orang Makkah dan tsiqah”. Demikian dicatat oleh ibn Hibban;
2)      Abu Bakr ibn Abi ‘Ashim: “Ia wafat pada tahun 106 H”;
3)      Ibn Hajar: “Abu al-Minhal dianggap tsiqah oleh ibn Ma’in, Dar al-Quthni, al’Ijli dan Abu Hatim.”;
4)      Ibn Sa’d: “Ia tsiqah, sedikit hadits”;
5)      Al-Bukhari: “Ia dipuji oleh ibn ‘Uyaina (Sufyan)”;
6)      Abu al-Tayyah berkata dan meriwayatkan dari al-Minhal al-‘Inzi: “Saya tidak tahu, apakah demikian atau tidak”.[20]
Beberapa komentar tersebut mengisyaratkan bahwa Abu al-Minhal adalah seorang yang tsiqah dalam sanad.
5) Iyas
a.    Nama Lengkapnya
Nama lengkapnya adalah Iyas ibn ‘Abd al-Muzanni, ayah ‘Auf.[21] Ia seorang shahabat.
Ia meriwayatkan hadits dai NABI saw., bahwa Nabi melarang penjualan air (haditsnya telah disebut di depan).
Riwayat tersebut dari Iyas diterim oleh ABU AL-MINHAL’Abd al-Rahman ibn Muth’am.
b.    Komentar
Tidak banyak komentar yang diberikan kepada Iyas, yaitu:
1)   Ibn Hajar: “Dalam al-Mu’jam, al-Baghawi berkata: “Saya tidak  mengetahuinya meriwayatkan hadits yang diisnadkan pada lainnya. Hadits  yang diriwayatkan darinya adalah Mauquf. Ia adalah kakek ‘Abd Allâh ibn  al-Walid ibn ‘Abd ibn Ma’qal ibn Muqrin”.
2) Al-Azdi dan ibn ‘Abd al-Bar: “Riwayatnya hanya diterima oleh ‘Abd al-Rahman ibn Muth’im”.[22]
Komentar  yang hanya datang dari dua orang tersebut menilai bahwa Iyas tidak  terkenal, bahkan haditsnya dianggap mauquf oleh al-Baqhawi. Namun  demikian keadaan tersebut tidak mengurangi nilai dan bobot hadits yang  dibawanya karena para rijal lainnya sangat dipercaya.
3.    Analisa
Berdasarkan  temuan di atas, hadits di atas memiliki sanad yang muttashil dari bawah  ke atas. Semua rawi mendapat komentar dari banyak kalangan dan pihak  yang menunjukkan bahwa mereka adalah tsiqah, meskipun masih ada sebagian  yang memperoleh nilai kurang, yakni Iyas, ia dinilai oleh al-Baghawi  bahwa hadits yang dibawanya adalah mauquf. Namun demikian belum ada yang  mencelanya. Berikut ini adalah dafat analisis terhadap nama-nama yang  terdapat dapat dalam sanad, dan simpulan keadaan para perawi di atas.
NAMA RAWI
Keadaan Sanad
Simpulan
Ittishal
Tidak Tercela
Tidak Asing
‘Adil
Dlabth
‘Abd Allâh bin Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
(Ayahku, yakni) Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
Sufran ibn ‘Uyaina
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
‘Amr ibn Dinar ayah Muhamm
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
Abu al-Minhal ‘Abd al-Rahman ibn Muth’im
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
Iyas ibn ‘Abd al-Muzanni ayah ‘Auf seorang Shahabat
-
ü
ü
-
Mawquf
Dari  uraian di atas dapat diambil simpulan (natijah), bahwa hadits tentang  larangan menjual air di atas adalah shahih sanadnya, karena para  perawinya adalah muttashil, tidak syadz dan tidak tercela, kecuali Iyas.  Dengan demikian, hadits tersebut ditinjau dari segi sistem periwayatan  adalah Shahih. Dan dapat dijadikan sumber hukum dalam Islam mengenai  Buyu’.
Bahwa takhrij al-hadits yang dilakukan ini hanya terfokus pada  sanadnya. Maka hasil akhir dari sebuah penelitian belum bisa maksimal,  karena masih bergantung pada bagaimana keadaan matan sebuah hadits.  Semoga tulisan singkat ini menjadi bermanfaat.
[1]Mahmud Thahhan, Tasyir Mushthalah al-Hadits, Surabaya: al Haramain, t.th., h. 16.
[2]Mahmud Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Libanon Beirut: Dar al-Qur`ân al-Karim, 1976, h. 89.
[3] Baca kamus al-Munawir, 1995, h. 16.
[4] M. Syuhudi Isma’il, Cara Praktis Mencari Hadits, Kota: nbnmbmnb, 1992,  h. 41.
[5]Mahmud Thahhan, Op. Cit.,  h. 12.
[6] Hatim ibn ‘Arif al-Syarif, Al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid,  juz I, h. 2.
[7] Ibid.
[8] Hatim ibn ‘Arif al-Syarif,, Op. Cit., h. 14.
[9] Ibn Hajar al ‘Asqalani, Tahdzhib at Tahdzib, beirut Libanon : Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1994, juz V, 141.
[10] Ibid,143.
[11] Ibid, juz I, 66.
[12] Ibid, 67
[13] Ibid, 74
[14] Sufyan sebagai guru Ahmad disebut setelah Basyar dan Isma’il. Lihat Ibid, 66.
[15] Ibid., juz IV, 106
[16] Ibid, juz IV, 107-109
[17] Ibid, juz VIII, 25
[18] Ibid, 25-26
[19] Ibid, juz VI, 241
[20] Ibid.
[21] Ibid, juz I, 354
[22] Ibid.,
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar