STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Rabu, 20 Juli 2011

KARAKTERISTIK WIRAUSAHAWAN

David Mc Clelland dalam bukunya Achieving Society ( 1961 ) menyatakan bahwa ‘need for achievement’ merupakan motif yang penting sekali bagi keberhasilan seseorang. Semakin besar motif ini, semakin besar potensi keberhasilannya.
Motif ini, terutama sekali, akan menentukan cara seseorang memandang peluang. Seseorang dengan ‘need for achievement’ rendah akan melihat peluang dari sudut kesulitannya, sehingga orang ini tidak pernah bisa memanfaatkannya. Hal ini karena  ia merasa tak memiliki kemampuan cukup untuk mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Sebaliknya, seseorang dengan ‘need for achievement’ tinggi, melihatnya dari sisi kesempatan dan keuntungannya. Hal ini karena   ia senantiasa memiliki motivasi yang besar untuk maju berprestasi. Inilah ciri pertama dari manusia wiraswasta, yakni memiliki sikap mental yang selalu ingin berprestasi.

Selain itu, ciri lain yang sangat menonjol dari manusia wirausahawan ialah lebih suka hidup berdiri di atas kaki sendiri. Ia tidak suka bergantung pada pihak lain di alam sekitarnya, bahkan kepada alam pun   ( misalkan cuaca, musim, maupun kondisi alam )  ia tidak mau bergantung. Ia justru selalu berusaha ‘menundukkan’ alam. Di dalam memajukan diri dan keluarganya, ia tidak suka hanya menunggu uluran tangan pemerintah atau pihak lain. Ia sendiri yang selalu berupaya untuk mendapatkan dan memanfaatkan berbagai peluang.
Jika kita simak uaraian di atas, gambaran sepintas manusia seperti itu, manusia wirausaha tampak sebagai ‘manusia super’ yang hanya ada dalam gambaran tetapi tidak ada dalam realita. Benarkah anggapan seperti itu ?
Barangkali perlu ditegaskan di sini, bahwa pendapat seperti itu adalah pendapat orang para pecundang, selalu menolak setiap tantangan. Hal ini karena  setiap tantangan selalu mensyaratkan adanya usaha yang cukup keras. Dan setiap tantangan tidak disukai oleh ‘si pecundang’ di atas. ‘Si pecundang’ ini cukup pandai dalam membuat dalil-dalil untuk menolak setiap tantangan.
Kualitas manusia wirausaha seperti digambarkan di atas pasti bisa dicapai melalui belajar ( disinilah terletak pentingnya pendidikan kewiraswastaan ). Bukankah setiap orang memiliki kemungkinan yang sama untuk mencapai kualitas manusia seperti itu ?  Tinggal bergantung bagaimana belajarnya. Bila seseorang tekun, ulet, dan memiliki kemauan yang kuat dalam belajar , tentu kualitas manusia wiraswasta tersebut akan bisa dicapai.
Allah SWT memberi karunia setiap insan dengan berbagai sumber daya, yang biasa disebut ‘sumber daya manusia’, di dalam pribadinya. Bagaimana kualitas sumber daya tersebut bergantung pada kuat-tidaknya pribadi yang bersangkutan. Dari dalam pribadi yang kuat akan tumbuh potensi dan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Sebaliknya, dari pribadi yang lemah –yang ditandai dengan sikap mental yang miskin, kerdil, dan picik – akan muncul manusia yang mudah menyerah, suka bergantung, takut pada peluang alias statis, dan masa bodoh. Inilah ciri ketiga dari manusia wirausaha, yakni memiliki kepribadian yang kuat.
Dalam upaya melatih diri supaya memiliki kepribadian yang kuat, orang harus sering melakukan instropeksi untuk melihat kelemahan-kelemahannya dan berupaya memperbaikinya. Selain itu, dengan instropeksi ini, ia akan menyadari kekuatan pribadinya dan mampu memanfaatkannya. Tapi sayangnya, sangat jarang orang melakukan instropeksi ini. Ia lebih suka memperhatikan kelemahan-kelemahan orang lain, sehingga lupa pada kelemahan sendiri. Boleh saja memperhatikan orang lain, asalkan untuk mempelajari kekuatan-kekuatannya sehingga ia juga bisa memiliki kekuatan-kekuatan tersebut.
Di bawah ini akan diuraikan tanda-tanda kepribadian yang kuat. Masalah ini sengaja dibahas agak panjang lebar karena mendasari ciri-ciri mental wiraswasta yang lain.
A. Menjaga Moralitas
Ciri utama dari pribadi yang kuat adalah dimilikinya moralitas yang tinggi, manifestasinya ialah bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam segala upayanya, ia tidak melanggar aturan-aturan Allah. Ia sangat mengindahkan sunatullah atau hukum alam yang menjadi ketentuan Allah. Sebagai contoh, ekosistem merupakan sebuah rancangan Allah yang sangat berimbang dan indah, di mana satu sama lainnya saling menghidupi. Tugas manusia adalah menjaga keseimbangan ini. Bila ada yang merusak keseimbangan tersebut, maka akan terjadi malapetaka yang tidak hanya mengenai si perusak saja, tetapi juga manusia lainnya. Misalkan, karena satu-dua orang menggunduli hutan, maka timbullah banjir, tanah longsor atau bencana lainnya. Bukankah yang terkena bencana itu tidak hanya si perusak saja ?  Yang tidak turut merusak juga akan terkena bencana tersebut.
Jika dengan alam saja hubungannya diatur oleh Allah, terlebih dengan sesama manusia. Setiap agama terutama mengatur hubungan antar manusia ini. Tugas utama manusia adalah ia harus bermanfaat bagi sesamanya. Ia tidak boleh merugikan pihak lain. Bila seseorang berbuat merugikan pihak lain berarti ia merusak keseimbangan yang dibuat oleh Allah. Ketaqwaan kepada Allah akan menghindarkan orang dari perbuatan-perbuatan semacam itu.
Orang yang bertaqwa kepada Tuhan, akan tahan terhadap berbagai godaan dan tabah dalam menghadapi cobaan. Orang seperti ini akan ‘berani’ menolak setiap keinginan atau ajakan orang lain atau dorongan hatinya yang  bertentangan ajaran agamanya. Ia sangat menyadari, siapa yang melanggar hukum Allah, berarti ia merusak keteraturan yang diciptakan oleh-Nya. Jika keteraturan telah dirusak, maka akan terjadi bencana.
Di lain pihak, ia merupakan orang yang tak mudah berputus asa, karena ia percaya pada hukum Allah: ‘siapa yang bersungguh-sungguh berusaha, Allah akan memberi.’ Namun, jika ternyata usahanya tersebut gagal, meski ia telah bersungguh-sungguh, ia tidak berkeluh kesah, apalagi sampai memaki-maki pihak lain. Ia sadar bahwa kegagalan tersebut merupakan ‘ujian’ dari Allah yang harus diterima dengan ikhlas. Keikhlasan ini menjadi kunci pokok dari ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Kepribadian yang kuat juga dicerminkan oleh kebebasan pikiran. Kebebasan di sini dalam arti terdapatnya keselarasan antara keinginan atau kemauan dan kemampuan, antara cita-cita dengan potensi diri. Namun, yang perlu diperhatikan ialah bahwa yang dimaksud dengan kemampuan atau potensi diri adalah kemampuan dan potensi  yang benar secara objektif, yang diperoleh melalui  pengenalan dan penggalian secara benar, bukan kemampuan dan potensinya orang yuang berpikiran rendah diri. Orang rendah diri selalu memandang lebih rendah kemampuan dan potensi-potensi dirinya daripada yang sebenarnya.
Seseorang yang memiliki keinginan yang lebih tinggi daripada kemampuannya akan selalu merasa gelisah. Keinginan seperti ini biasanya bukan muncul dari kebutuhan yang sebenarnya, melainkan berasal dari nafsu yang tak terkendali. Keinginan seperti ini sulit dapat dipenuhi oleh yang bersangkutan karena tidak sesuai dengan kemampuannya. Akibatnya, orang seperti ini selalu merasa tidak puas dan tidak dapat mensyukuri karunia Allah yang ia terima. Ia akan selalu merasa gelisah. Oleh sebab itu, kita harus selalu mamanage keinginan kita agar senantiasa selaras dengan kemampuan kita. Seseorang yang telah memiliki pandangan yang selaras seperti itu, akan terbebas dari kecemasan, kegelisahan, kekhawatiran, keragu-raguan, dan rasa putus asa.
Dengan adanya kebebasan ini, akan tumbuh keberanian untuk berbuat dan berusaha memperoleh kemajuan dan keberhasilan. Orang yang ragu-ragu dalam melangkah disebabkan tidak dipahaminya potensi diri. Apakah ia cukup punya potensi untuk mewujudkan keinginannya. Sebaliknya, orang yang relatif telah mengenal kemampuan dan potensinya akan segera bisa mengambil langkah. Jika ia merasa tidak cukup punya potensi, akan ditinggalkan keinginannya. Tapi, jika merasa mampu, akan berusaha sekuat tenaga mewujudkan keinginannya tersebut menjadi  kenyataan.
Moralitas yang tinggi juga ditandai dengan ketaatan pada hukum. Supaya teratur, hidup kita dikendalikan oleh hukum. Hukum yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hukum pidana dan perdata saja, melainkan termasuk pula hukum alam, pandangan hidup pribadi, norma agama, sosial, maupun hukum adat. Pelanggaran terhadap hukum berarti membuat kacau kehidupan bersama. Seorang yang menerjuni dunia wiraswasta harus menyadari hukum sebab akibat ini; orang yang melakukan pelanggaran hukum, akibat akhirnya akan mengena pada yang bersangkutan sendiri. Misalnya, seorang pedagang yang selalu ‘mencuri timbangan’, tentu lama-kelamaan akan dijauhi pelanggannya. Meski harga barang yang dijualnya lebih murah dari pedagang lain, orang tetap tidak berani membeli dagangannya.
Selain itu, setiap pelaku pelanggaran akan dikenai sangsi hukum. Sangsi ini akan membawa penderitaan bagi pelanggarnya. Selain memperoleh hukuman dari penjara, ia akan mendapat pengkucilan secara sosial. Orang demikian tentu akan kesulitan dalam berusaha, apalagi bagi mereka yang terjun di dunia wirausaha. Sikap taat terhadap hukum ini merupakan hasil pendidikan, bukan bawaan sejak lahir. Keluarga yang taat hukum akan melahirkan anak-anak yang juga taat hukum. Selain karena lingkungan keluarga, sikap taat hukum juga dapat dilatih, terutama melalui latihan disiplin pribadi.
B. Sikap Mental Positif
Salah satu sikap mental positif ialah kemauan yang kuat. Kemauan yang kuat ‘wajib’ dimiliki seorang yang menerjuni dunia wirausaha. Ingat pepatah : Bila ada kemauan pasti ada jalan. Kemauan yang kuat menjadi kunci bagi keberhasilan seseorang dalam mencapai tujuan. Kemauan ini menjadi pendorong seseorang untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Sebaliknya, orang yang kemauannya lemah akan mudah menyerah pada kesulitan dan tantangan, sekecil apa pun kesulitan dan tantangan itu. Karakteristik dari golongan ini ialah kepandaiannya mengemukakan dalil-dalil untuk menghindari usaha mencapai kemajuan.  Coba amati lingkungan sekitar Anda, akan banyak sekali Anda temui orang-orang dengan karakter ini. Kelompok ini dinamakan bersikap mental negatif.
Bagaimana supaya memiliki kemauan yang kuat dan terhindar dari bersikap mental negatif ?
Untuk memiliki kemauan yang kuat, seseorang harus mempunyai tujuan yang jelas. Keinginan harus dirumuskan menjadi tujuan yang jelas dan operasional. Jelasnya tujuan akan memperjelas jalan yang harus ditempuh untuk mencapainya. Kejelasan ini juga dapat mengobarkan kemauan.
Tetapi sayangnya, anak-anak muda jarang sekali yang memiliki cita-cita yang jelas. Penulis pernah melakukan survey kecil-kecilan kepada siswa-siswa beberapa SMK dan SMU. Survey tersebut ditujukan untuk mengetahui cita-cita mereka. Hasilnya : sebagian besar mereka memiliki cita-cita yang samar yang tidak jelas bagaimana cara mencapainya. Misalkan, ‘ingin hidup bahagia’. Ketika ditanya kebahagiaan yang bagaimana yang dimaksud, mereka bingung, tidak bisa menjawab. Nah, kalau cita-cita saja tidak jelas, bagaimana mungkin merumuskan langkah-langkah yang akan ditempuh.
Oleh karena itu, cita-cita yang samar kurang memberi motivasi pada diri seseorang untuk berusaha mencapainya. Cita-cita demikian tidak bisa membangkitkan kemauan.
Selanjutnya, untuk menghindari bersikap mental negatif, seseorang harus mengerti dan menyadari bagaimana pikiran kita bekerja. Dr. D.J. Schwartz, dalam bukunya Berpikir Dan Berjiwa Besar mengatakan :”Yakin dan percayalah bahwa itu bisa dilaksanakan. ……Percaya bahwa sesuatu bisa dilaksanakan, membuat pikiran bergerak untuk mendapatkan cara dan jalan untuk melaksanakannya.”
Selanjutnya, dalam buku yang sama, beliau memberi ilustrasi sebagai berikut : “Dalam suatu acara latihan untuk berpikir kreatif, saya sering menggunakan suatu contoh : Saya bertanya pada suatu kelompok, ‘Siapa di antara kalian yang berpendapat bahwa mungkin untuk melenyapkan penjara-penjara dalam tempo 30 tahun ?’
Kebanyakan anggota kelompok itu terkejut, tidak begitu yakin apa mereka itu sungguh-sungguh mendengar apa yang saya usulkan. Maka, setelah diam sejenak, saya bertanya :’Siapa di antara Anda yang merasa bisa melenyapkan penjara-penjara dalam waktu 30 tahun ?’
Setelah yakin bahwa saya tidak melucu, maka selalu ada yang memberi komentar :’Yang Anda maksud ialah membiarkan bebas semua pembunuh, pencuri-pencari, pemerkosa-pemerkosa. Tidakkah Anda sadar apa artinya ini semua ? Tak ada di antara kita yang akan aman. Kita harus mempunyai penjara-penjara.’
Yang lain pun memberikan komentar serupa. Seluruh kelompok memberikan alasan-alasan yang “baik”, mengapa kita harus mempunyai penjara-penjara supaya polisi dan penjaga-penjaga penjara ada pekerjaan.
Setelah beberapa menit kelompok tersebut membuat pernyataan-pernyataan tentang perlunya ada penjara, saya berkata kepada mereka: ‘Bolehlah saya berkata di sini bahwa masalah penghapusan penjara digunakan untuk suatu masalah yang harus dipecahkan.’
‘Anda masing-masing muncul dengan alasan mengapa kita tak bisa menghapuskan penjara-penjara. Saya mohon Anda berusaha sekuat-kuatnya untuk beberapa menit untuk percaya dan yakin bahwa kita bisa menghapuskan penjara-penjara.’
Maka saran-saran itu datangnya perlahan-lahan mula-mula. Ada yang ragu-ragu menerangkan: ’Ya, kita harus mengurangi angka kejahatan dengan memperbanyak Youth Centre’.
Dan tak lama kemudian, kelompok yang 10 menit lalu bersikeras menentang penghapusan penjara, kini mulai berusaha dengan semangat.
‘Usahakanlah menghapuskan kemiskinan. Kebanyakan kejahatan dilakukan oleh mereka dari golongan yang berpenghasilan rendah.’
‘Adakanlah riset untuk mencegah orang-orang melakukan kejahatan.’
Ini adalah contoh-contoh tentang 78 gagasan-gagasan khusus yang saya catat yang bisa membantu usaha untuk menghapuskan penjara-penjara. JIKA ANDA PERCAYA, MAKA PIKIRAN ANDA AKAN MENEMUKAN CARA-CARA MELAKSANAKANNYA.
Experimen ini menimbulkan kesimpulan:
Jika Anda yakin sesuatu tak mungkin, maka pikiran Anda akan memberi ‘bukti-bukti’ mengapa itu tak mungkin. Akan tetapi, kalau Anda percaya, dan betul-betul percaya, bahwa sesuatu itu mungkin, dan bisa dilaksanakan, maka pikiran Anda akan membantu anda, untuk mendapatkan cara-cara melaksanakannya.
Percaya dan yakin bahwa sesuatu hal bisa dilaksanakan, membuka jalan bagi pemecahan soal secara kreatif. Percaya bahwa sesuatu tak bisa dilaksanakan merupakan sesuatu pemikiran yang destruktif ( merusak, pen ). Ini berlaku untuk semua situasi, baik yang kecil maupun yang besar. ( Schwartz, Berpikir Dan Berjiwa Besar, 1978 : 116-119 ).
Jika kita ikuti uraian Dr. Schwartz di atas, tampaknya di dalam otak kita terdapat dua program. Satu program untuk keberhasilan, dan satunya lagi adalah program kegagalan. Tinggal yang mana yang akan kita ‘on’ kan. Jika program keberhasilan yang di ’on’ kan, maka ia akan menemukan cara-cara untuk mencapai keberhasilan. Sebaliknya, jika program kegagalan yang di ‘on’ kan, maka ia akan memproduksi dalil-dalil untuk menolak melakukan sesuatu.
Karena itu, jika ingin memiliki kemauan yang kuat, kita harus selalu menggunakan program keberhasilan dan hindari menggunakan program kegagalan. Bila seseorang sering menggunakan program kegagalan, akan menjadikan yang bersangkutan pribadi yang malas, suka bergantung pada pihak lain, tidak memiliki tanggungjawab, dan statis. Pribadi yang tidak cocok bagi wriswusahawan.
C. Jujur Dan Tanggungjawab
Kejujuran dan rasa tanggungjawab merupakan salah satu sifat orang yang berepribadian kuat. Seringkali sikap jujur dan tanggungjawab ini membawa akibat yang kurang enak pada mulanya. Namun, orang yang tetap memilih untuk bersikap jujur dan bertanggungjawab menyadari bahwa sekali ia tidak jujur atau tidak bertanggungjawab, maka orang lain akan memberinya stigmatisasi sebagai pribadi yang tidak baik. Orang-orang menjadi tidak percaya padanya.
Salah satu kunci keberhasilan dalam berwirausaha adalah adanya kepercayaan dari orang lain tersebut. Karena makna keberhasilan berwirausaha adalah bekerjasama dengan orang lain, maka keberhasilannya juga ditentukan oleh kesediaan orang lain bekerjasama dengan yang bersangkutan.
Kita seringkali menemui orang-orang yang tidak jujur dan tidak memiliki tanggungjawab ini telah gagal dalam relasi dan usahanya. Mereka tidak dipercaya oleh orang lain. Dalam membina karier pun, sebagai seorang karyawan, orang yang tidak jujur dan tidak bertanggungjawab ini akan mengalami kesulitan. Jika ia tidak dipercaya oleh manajer, kariernya tak akan pernah meningkat. Oleh karena itu, orang yang tidak jujur dan tidak bertanggungjawab, akan gagal dalam berwirausaha maupun sebagai karyawan.
Bagaimana caranya agar memiliki sifat jujur dan rasa tanggungjawab yang tinggi ?
Supaya memiliki sifat jujur, tidak ada cara lain selain meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Setiap agama pasti mewajibkan sifat kejujuran kepada pemeluknya. Oleh karena itu, siapa yang mendalami dan melaksanakan ajaran agama dengan kesungguhan hati, ia pasti menampilkan sikap dan perilaku yang jujur dan bertanggungjawab.
Barangkali kita sering menjumpai orang yang tampaknya taat beribadah, tetapi perilkunya tidak jujur. Ini bukan berarti ajaran agamanya yang salah, tetapi cara ia menanggapi ajaran agama itulah yang salah. Orang demikian biasanya hanya mementingkan ritual-ritualnya saja dari ajaran agama yang dianutnya, tanpa memahami bahwa isi sebagian besar dari kitab suci semua agama adalah tentang penataan hidup bermasyarakat. Akibatnya, meski ia tampak sangat tekun dalam beribadah, tetapi, karena ia tidak mengerti isi kitab sucinya dengan sungguh-sungguh, perilakunya tidak mecerminkan aturan-aturan Tuhan dalam hidup bermasyarakat. Oleh sebab itu, supaya perilaku kita terbimbing oleh ajaran agama, maka, tidak ada jalan lain selain harus secara sungguh-sungguh mendalami isi kitab suci agama kita masing-masing.
Sedangkan rasa tanggungjawab dapat ditumbuhkan melalui latihan disiplin diri ( self discipline ). Melatih self discipline ini, misalnya, dengan membatasi keinginan-keinginan yang tidak perlu. Salah satu sifat dasar manusia ialah ingin bersenang-senang dan bermalas-malasan. Jika tidak waspada, orang bisa diperbudak oleh keinginan-keinginan tersebut. Kebanyakan perbuatan-perbuatan jahat, seperti merampok, menipu, dan  korupsi didorong oleh dua keinginan ini. Oleh karena itu, kita harus selalu melatih self discipline kita untuk melawan keinginan-keinginan tersebut.
D. Ulet Dan Tekun
Kesuksesan hidup tidak datang dari langit begitu saja. Kesuksesan harus dicapai melalui usaha dan kerja keras. Seperti telah disinggung bahwa salah satu sifat dasar manusia adalah malas dan ingin bersenang-senang. Karena itu, tak mengherankan jika banyak kita temui orang-orang yang tidak suka bekerja keras dan bermalas-malasan tapi berharap memperoleh kesuksesan dan kemajuan hidup. Kesuksesan yang dihasilkan oleh orang seperti itu hanyalah mimpi.
Ada lagi orang yang ingin berprestasi namun tanpa melalui kerja keras. Caranya dengan meminjam tenaga dan prestasi orang lain. Orang semacam ini biasanya suka mengaku-ngaku hasil kerja orang lain. Orang demikian, kalau menjadi bawahan, suka menjilat pada atasan sembari menjelek-jelekkan sejawatnya, dan kalau ia atasan, suka menginjak bawahan, dalam arti   mengaku prestasi bawahannya sebagai prestasinya.
Ada lagi sebagian orang yang ingin maju dalam hidupnya tanpa melalui kerja keras, tetapi dengan cara mencuri, merampok, menipu, korupsi, maupun manipulasi. Profil-profil yang baru digambarkan di atas bukanlah profil seorang wirausahawan. Keberhasilan yang mereka dapatkan bukanlah dari kerja keras, ketekunan, dan keuletan, melainkan dari kecurangan. Seperti dijelaskan di muka, kecurangan atau ketidakjujuran merupakan sifat yang harus dijauhi wirausahawan. Sifat ini pada akhirnya akan membawa pelakunya ke lembah kehancuran.
Dalam berusaha, orang yang tekun selalu melalui langkah-langkah yang sistematis dan strategis. Ia tidak melompat-lompat. Dan ini bisa dimungkinkan jika apa yang ingin dicapai atau menjadi tujuan tergambar dengan jelas. Dengan jelasnya tujuan, maka langkah-langkah yang akan dilakukan dapat disusun tahap demi tahap.
Selain langkah-langkahnya sistematis dan strategis, orang yang berkepribadian kuat selalu teliti dalam berusaha, selalu menghitung antara pengeluaran dan pemasukan, tidak ceroboh, dan selalu mempertimbangkan resiko-resiko yang mungkin muncul dalam upayanya mencapai tujuannya. Pendeknya, setiap tindakannya selalu dengan perhitungan.
Orang yang ulet adalah yang tidak mengenal lelah dalam bekerja dan tidak mudah menyerah kepada kesulitan. Orang demikian memandang kegagalan sebagai pelajaran untuk mengatur strategi lebih lanjut dalam usaha mencapai kesuksesan hidup. Artinya, ketika mengalami kegagalan, ia tidak berputus asa. Tetapi ia akan mempelajari faktor-faktor penyebab kegagalannya, kemudian mencari jalan yang lebih baik untuk meraih kesuksesan hidup yang dicitakannya.
Sikap mental ulet ini dapat muncul karena ditunjang oleh kemauan yang keras, kepercayaan pada diri sendiri, dan self discipline.
Dengan demikian, pribadi yang kuat dicerminkan oleh moralitas yang tinggi, sikap mental positif, kejujuran dan tanggungjawab, serta ketekunan dan keuletan dalam berusaha.

Setalah dibahas mengenai ciri-ciri pribadi yang kuat, sebagai salah satu ciri dari mental wirausahawan, akan dilanjutkan dengan ciri keempat dari manusia wirausahawan ialah memiliki ketrampilan wiraswasta. Yang dimaksud ketrampilan di sini ialah baik ketrampilan fisik maupun ketrampilan mental. Ketrampilan fisik misalnya membuat berbagai barang maupun jasa. Sedangkan ketrampilan mental, antara lain kemampuan berpikir kreatif, kepemimpinan, problem solving, manajerial, dan ketrampilan dalam ‘human relations’.
Mengenai ketrampilan berpikir kreatif tidak diterangkan di sini, tapi akan di bahas dalam tulisan selanjutnya.
Kemampuan memimpin merupakan sebuah ketrampilan yang sangat dibutuhkan oleh seorang wirausahawan, apalagi jika perusahaannya memiliki banyak pekerja. Ia harus mampu mengorganisir dan mengelola potensi mereka sehingga menjadi sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan perusahaan. Tanpa menggunakan kemampuan kepemimpinan, perusahaan akan kacau.
Bagaimana jika ia tidak memiliki karyawan dan mengelola sendiri usahanya tersebut ? Apakah masih membutuhkan ketrampilan kepemimpinan ini ? Jika memimpin hanya diartikan mengatur orang lain yang kedudukannya sebagai bawahan, barangkali kemampuan ini tidak  begitu diperlukan. Tapi, pengertian memimpin bukan sekedar mengatur orang lain ( yang ini hanya bisa dilakukan kepada karyawan atau bawahan saja ). Yang dimaksud memimpin di sini ialah upaya mempengaruhi orang lain supaya bersedia mengikuti maksud orang yang memimpinnya.
Wasty Soemanto mengartikan kepemimpinan sebagai kualitas tingkah laku seseorang yang mempengaruhi tingkah laku orang lain atau kelompok orang sehingga mereka bergerak ke arah tercapainya tujuan bersama. ( Wasty Soemanto, 1984  )
Inti dari kemampuan memimpin adalah kemampuan mempengaruhi orang lain sehingga mau bekerja sama dengan kita. Kemampuan ini sangat diperlukan dalam dunia wirausaha. Hal ini karena setiap tahap dari wirausaha adalah berkaitan dengan mempengaruhi orang lain ini. Mulai dari rencana mau membuka usaha, seorang wiraswastawan harus mampu meyakinkan dan mengajak orang lain untuk menginvestasikan uangnya dalam usaha yang ia rencanakan. Kemudian, pada saat produksi dan pengelolaan usaha, ia harus mampu meyakinkan karyawannya atau partnernya agar bersungguh-sungguh dalam bekerja dan memajukan usaha. Juga saat pemasaran produk, ia harus bisa meyakinkan konsumennya supaya bersedia membeli produknya tersebut. Dengan demikian, kemampuan memimpin mutlak harus dimiliki oleh seorang wirausahawan.
Robert T.Kiyosaki, penulis buku Rich Dad Poor Dad, dalam bukunya Business School memberi ilustrasi kegagalan sebuah rencana bisnis karena ketidakmampuan memimpin atau mempengaruhi orang lain sebagai berikut.
Seorang teman dari teman datang kepada saya karena dia ingin mengumpulkan uang untuk membuka restorannya sendiri. Dia adalah koki kepala yang sangat brilian dan sangat terlatih dengan pengalaman memasak makanan berkualitas selama bertahun-tahun. Dia mempunyai konsep baru yang unik untuk restorannya, sebuah rencana bisnis yang tertulis dengan baik, proyeksi keuangan yang amat baik, lokasi yang sangat bagus sudah dipilih, dan pelanggan yang akan mengikutinya ke restorannya yang baru, jika dia bisa mendapatkan seseorang yang menginvestasikan $500.000 yang dibutuhkannya.
Sudah lima tahun sejak dia menunjukkan kepada saya rencananya dan saya menolaknya, begitu juga banyak investor potensial lainnya. Dia masih bekerja di restoran yang sama sebagai karyawan, dan dia masih mencari modal awal $500.000. dia telah kehilangan tempat yang semula karena dia tidak berhasil mengumpulkan uang, tetapi dia meyakinkan saya bahwa dia bisa mendapatkan lokasi lain, jika dia bisa mendapatkan seseorang untuk berinvestasi dalam impiannya.
Meskipun semuanya kedengaran dan kelihatan bagus, saya tidak berinvestasi di proyeknya. Saya tidak tahu mengapa investor lain tidak berinvestasi dengannya, tetapi saya bisa memberi tahu anda mengapa ‘saya tidak’ berinvestasi. Bukan karena saya pikir itu adalah investasi yang berisiko atau karena saya pikir dia tidak akan sukses. Saya pikir restorannya akan sukses … tetapi saya tetap tidak berinvestasi. Berikut ini adalah alasan saya tidak berinvestasi.
Walaupun dia punya pengalaman, daya tarik, dan karisma, dia tidak punya keahlian kepemimpinan untuk menginspirasi keyakinan. ( Robert T.Kiyosaki, Business School, 2002 : 119-120 ).
Dari ilustrasi tesebut tampak bahwa keahlian, karisma, dan prospek bisnis saja tak cukup untuk mengembangkan suatu usaha. Yang tak kalah pentingnya ialah kemampuan kepemimpinan. Dari contoh di atas, kita bisa tahu bagaimana seorang yang ahli di bidangnya, memiliki rencana yang bagus dan jelas untuk usahanya, dan berprospek bagus, namun tak mampu mancari investor. Penyebabnya : ia tak mampu meyakinkan orang lain untuk berinvestasi di bisins yang diimpikannya.
Selain berkaitan dengan kemampuan meyakinkan orang lain, kepemimpinan juga dapat menentukan besar-kecilnya sebuah usaha. Mengenai hal ini, Robert T. Kiyosaki dalam buku yang sama menjelaskan :
…kalau anda mendengar seorang berkata,”Saya ingin membuka gerai hamburger di sudut Jalan ke-6 dan Jalan Vine,” anda akan tahu bahwa orang ini kemungkinan besar akan macet di kuadran S ( golongan pengusaha kecil, penulis ) untuk waktu yang lama. Sekarang kalau anda mendengar orang lain berkata,”Saya akan membuka gerai hamburger di setiap sudut jalan utama di setiap kota besar di seluruh dunia, dan saya akan menyebut bisnis ini McDonald’s,” anda akan segera tahu bahwa orang ini merencanakan untuk membuka gerai hamburger yang sama, tetapi orang ini merencanakan untuk melakukannya melalui kuadran B ( golongan pengusaha besar, penulis ). …… Ayah kaya saya mengatakan,”Perbedaan jumlah sudut jalan adalah perbedaan kepemimpinan.”
Dari ilustrasi kedua ini terlihat bahwa cita-cita seseorang akan mewarnai dan memberi inspirasi pada usaha orang tersebut. Selanjutnya, ini akan menentukan besar-kecilnya usaha yang dibangunnya. Dan ini juga termasuk ke dalam kemampuan kepemimpinan. Persoalannya, di manakah seseorang dapat memperoleh latihan kepemimpinan ini ?
Sekolah-sekolah formal kita, diakui atau tidak, secara kurikuler, tidak memberikan pendidikan kepemimpinan ini. Ketrampiulan ini bisa diperoleh melalui kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler : OSIS, Pramuka, olah raga, dan lainnya. Selain itu, juga bisa diperoleh dalam pelatihan-pelatihan bisnis yang diadakan oleh organisasi-organisasi bisnis maupun institusi pendidikan non formal. Menurut Robert T.Kiyosaki, organisasi bisnis yang paling sering dan teratur memberi pelatihan ini adalah organisasi ‘bisnis jaringan’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar