STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 09 Agustus 2011

Al-Ghuniyyah bi Thâlibiy Tharîq al-Haq

Dunia tasawuf tak bisa dilepaskan dengan nama salah seorang tokohnya, yaitu Syeikh Abd al-Qâdir al-Jîlani yang lahir tahun 470 H dan meninggal 561 H, dan dimakankan di kota Baghdad. Konon katanya, ketika siang di bulan Ramadhan si kecil Abd al-Qâdir tak mau menyusu pada ibunya.
Setelah dewasa, ia mampu menguasai fikih Syafi’i dan Hambali, sehingga ia menjadi rujukan atau tempat bertanya tentang persoalan fikih kedua madzhab tersebut. Di samping ahli dalam bidang fikih, ia juga kenal sebagai seorang wali. Dengan demikian ia telah sukses baik dalam karir intelektual maupun kewalian.

Dalam dunia kewalian, Abd al-Qâdir disemati gelar sulthân al-awliyâ` atau pemimpin para wali. Inilah gelar tertinggi wali. Dalam dunia kewalian, para wali telah menciptakan lima struktur atau level yang berbentuk seperti piramid. Yaitu, qutb, nuqabâ`, awtâd, abdâl, dan akhyâr. Qutb diisi satu wali, sedang nuqabâ` tiga wali, awtâd tujuh wali, abdâl empat puluh wali, dan akhyâr tiga ratus wali. Sedang Abd al-Qâdir telah mencapai puncak kewalian, yaitu berada pada level qutb.

Dalam perjalanannya, karier kewalian inilah yang lebih dikenal, sehingga kemudian sosok Syeikh Abd al-Qâdir lebih kita kenal sebagai seorang wali dengan segala karomah yangmelekat padanya. Bukan dimensi pemikirannya dalam bidang tasawuf. Padahal dari tangannya hadir banyak karya di antaranya ialah sebuah buku yang beri judul al-Ghuniyyah. Buku ini terdiri dari dua jilid dan berisi tentang etika terapan Islam, teologi, nasehat beberapa ayat Al-Quran dan hadits nabi, serta perilaku orang-orang saleh.

Sang Wali mengakui bahwa buku ini ditulis untuk memenuhi permintaan dan desakan sebagian teman-temannya. Ia melihat bahwa permintaan mereka sangat tulus, sehingga harus dipenuhi. Hal ini sebagaimana pengakuannya yang ditulis dalam pengantar buku ini. [H. 1].

Dalam buku ini, pertama ia memulai dengan pembahasan tentang membaca dua kalimat syahadat sebagai bentuk pelepasan terhadap agama-agama selain Islam. Dan seorang yang telahmembaca dua kalimat syahadat harus menyakini dengan sepenuh hati akan ke-esa-an Allah. Sebab, Islam satu-satunya agama di sisi Allah. Setelah itu orang tersebut harus menjalankan kewajiban shalat, sebagai bukti atas keimanannya pada Allah. Sebab, iman bukan hanya ucapan semata tetapi harus dibuktikan dengan tindakan. Dengan kata lain,pernyataan adalah pengakuan sedang perbuatan adalah buktinya, atau pernyataan adalah bentuk lahiriahnya sedang ruhnya adalah perbuatan [H. 2]. Dan bukan hanya shalat yangmusti ditunaikan oleh orang Islam, tetapi juga zakat dan puasa Ramadhan beserta anjuran beri’tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan. Dan haji bagi muslim yang sudah memenuhi syaratnya. [H. 4-12].

Baru setalah ini, kita diajari Sang Wali tentang etika terapan. Seperti etika memberi dan menjawab salam, memotong kuku dan rambut, mandi, berdiri menghormati pemimpin yangadil, kedua orang tua, para ulama dan kyai, makan dan minum, tidur, masuk rumah, dan lainnya.

Menarik untuk dicermati, ketika Abd al-Qâdir menyatakan bahwa dianjurkan untuk berdiri dalam rangka menghormati pemimpin yang adil, kedua orang tua, dan para ulama ataukyai. Pandangan ini didasarkan pada hadits nabi yang menyatakan, “Berdirilah untuk menghormati pemimpimpinmu” dan hadits lain yang menandaskan, “Ketika seorang yang muliadari kaum kalian datang hormatilah” [H. 13].

Di kalangan NU penghomatan pada kyai sangat tinggi, tak hanya cukup dengan berdiri tetapi juga sampai mencium tangan sang kyai. Sebagian kalangan mengangap prilaku waga NUini sebagai bid’ah. Klaim bid’ah inilah yang harus kita pertanyakan, sebab cium tangan itu tak terkait dengan ibadah, tetapi terkait dengan etika. Jadi, persoalannya, bukan sesat atau tidak sesat, tetapi baik atau tidak baik.

Menurut asy-Syâthibî, bid’ah adala sebuah perilaku baru yang dimaksudkan sebagai ibadah [Asy-Syâtthibî, al-‘Itishâm, jilid, 1,h. 50-51]. Jika kita mengikuti pandangan inimaka adat atau kebiasan cium tangan pada kyai bukan termasuk bid’ah karena tak dimaksudkan untuk beribadah, tetapi hanya sebagai bentuk penghomatan pada orang yang kitaanggap mulia. Dengan kata lain, cium tangan tak jadi soal selama itu sebagai bentuk penghormatan. Dan penghormatan pada orang yang kita anggap mulia itu dianjurkan oleh hadits nabi.

Dan bab selanjutnya tentang perintah kebaikan (ma’rûf) dan larangan kemungkaran (munkar). Bagi Sang Wali yang disebut dengan kabaikan, adalah segala hal yang sejalan dengan Al-Quran, sunnah dan akal, sedang kemunkaran adalah sebaliknya [H. 53]. Dengan kata lain, akan mampu untuk menentukan kualitas sebuah tindakan, apakah ia baik atau buruk.Pandangan ini tentunya berbeda dengan Imam Syafii yang menyatakan secara implisit akal tak bisa menentukan kualitas sebuah tindakan [Imam Syafi’i, ar-Risâlah, h. 110].

Dan syarat yang harus dipenuhi ialah adanya kemamupuan untuk menjalankannya. Sebagaimana yang tegaskan dalam salah satu hadits nabi, “Jika kalian melihat kemunkaran dan takmampu untuk merubahnya maka bersabarlah hingga Allah yang akan merubahnya” [H. 51].

Berpijak pada hadits, “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangan, jika tak bisa, maka rubalah dengan lisan, jika masih tak bisa, maka ingkarilahkemungkaran yang kalian lihat dengan hati”, Sang Wali membagi tiga kelompok para pengingkar kemungkaran. Pertama, mereka yang wajib menghalau kemunkaran dengan tangan, yaitu para penguasa. Kedua, yang melalui lisan, yaitu para ulama. Ketiga, yang melalui hati yaitu orang kebanyakan [50-51]. Jadi, kata “tangan” dalam hadits ini ditafsirkanoleh Sang Wali dengan kekuasaan.

Selanjutnya, Sang Wali menjelaskan lima kualifikasi yang harus dimiliki oleh para penganjur kebaikan dan pelarang kemungkaran. Pertama, mengetahui apa yang diperintahkan dan dilarang, kedua, ikhlas semata-mata mencari ridha Allah dan menegakkan kalimat-Nya, ketiga, memerintah dan melarang dengan lemah-lembut, keempat, sabar dan bijak, dan kelima, menjalankan apa yang diperitahkannya dan apa yang dilarangnya.

Pada bagian berikutnya, Sang Wali merasa perlu untuk menjalaskan secara ringkas pengetahuan tentang Allah. Seperti, Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama. Menurut Sang Wali, barang siapa yang menghafalnya akan masuk surga. Pandangan ini ia dasarkan pada hadits nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah, “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, dan barang siapa yang menghafalnya akan masuk surga” [H. 61].

Dan Sang Wali berpandangan bahwa Al-Quran adalah rangkaian huruf-huruf yang dapat dipahami dan suara-suara yang dapat didengar. Dan barang siapa yang menolak keyakinan ini maka ia telah mengingkari inderanya dan mati mata hatinya. Salah satu dalil yang dikutip Sang Wali untuk mengabsakan pendaatnya ialah hadits nabi yang menyatakan, “Al-uran diturunkan dengan tujuh huruf (bahasa)” [H. 59].

Sang Wali menyatakan bahwa kalam Allah adalah berupa suara tapi tak seperti suara manusia. Abdullah ibn Hârits meriwayatkan dari Ibn Abbâs, bahwa ia berkata, “Sungguh, Allah ketika berbicara melalui wahyu para penduduk langit mendengar sebuah suara seperti bunyi besi ketika jatuh di halaman rumah, lantas mereka bersungkur sujud pada-Nya....”. Menurutnya, pandangan ini berbeda dengan pandangan kelompok Asy’ariyah yang menyatakan bahwa kalam Allah adalah makna yang berdiri dengan sendirinya [H. 60].

Setelah berbicara mengenai pandangan teologinya, Sang Wali kembali pada pembahasan yang beraroma sufistik. Ia menjelaskan secara panjang lebar lima ayat Al-Quran. Salah satunya ialah ayat bismillah ar-rahmân ar-rahîm. Dalam riwayat Ikrimah dikatakan, bahwa yang pertama diciptakan Allah ialah lauh al-mahfûzh, dan pena. Kemudian Allah memerintakan pada pena untuk menuliskan apa yang ada dan akan terjadi sampai hari kiamat. Sedang yang pertama kali dituliskan di atas lauh al-mahfûzh adalah kata bismillah ar-rahmân ar-rahîm...” [H. 110].

Adapun ayat yang lain adalah, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-oang yang beriman supaya kamu beruntung” [QS. An-Nûr: 31]. Taubat ialah kembali dari perbuatan yang dibenci Allah ke perbuatan yang disukai-Nya, dan mengetahui bahwa berbuat maksiat bisa menjauhkan dari Allah dan surga-Nya [H. 116].

Bagi Sang Wali, setiap orang harus selalu bertaubat, sebab anggota badan manusia tak bisa lepas dari berbuat kemaksiatan. Selanjutnya, Sang Wali membuat kategori taubat, yaitu taubatnya orang biasa (al-‘âmah),  dan taubatnya orang khusus (al-khawwâsh), dan taubatnya orang super khusus (khâsh al-khâsh). Orang biasa taubat dari dosa, orang khusus taubat dari ghaflah (kelalaian mengingat Allah), sedang taubatnya orang super khusus ialah tuabat dari ingatnya ia pada selain Allah [H. 118]. Pandangan ini sama dengan pandangan salah seorang wali yang telah mendahuluinya, yaitu Dzunun al-Misri yang menyatakan, “Taubatnya orang biasa ialah taubat dari dosa, sedang orang khusus dari ghaflah”.

Bagi Sang Wali, seseorang bisa dikatakan telah bertaubat jika telah memenuhi tiga syarat. Dengan kata lain, taubat memiliki syarat-syarat tertentu. Pertama, menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan, kedua, meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa dalam secara total, dan ketiga, bertekad untuk tidak mengulangi lagi. [H. 122].

Pada lembar berikutnya, Sang Wali mengupas tentang keutamaan bulan Rajab dan Sya’ban. Allah berfirman dalam Al-Quran, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah duabelas, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya bulan-bulan haram” [QS. At-Taubah: 36]. Bulan-bulan haram yang dimaksud dalam ayat inililah bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram [H. 173]. Dan pada bulan-bulan ini dilarang untuk mengadakan peperangan.

Menurut Sang Wali, disunnahkan berpuasa pada awal bulan dan akhir Rajab. Salah satu dalil yang diketengahkan ialah sabda nabi, “Barang siapa yang berpuasa pada awal bulan Rajab, maka Allah akan menghapus dosanya yang dilakukan selama enam puluh tahun, dan barang siapa yan berpuasa pada lima belas hari di bulan rajab, maka ia akan diringankan hisabnya oleh Allah, dan barang siapa yang berpuasa di hari ketiga puluh di bulan rajab, maka Allah tak akan menyiksanya” [H. 179].

Sedang bulan Sya’ban merupakan bulan turunya ampunan dan keridhaan Allah [H. 186]. Dan di akhir pembahasan tentang bulan Sya’ban, Sang Wali membahas tentang shalat nisfu Sya’ban. Menurutnya, ada seratus rakaat. Dan setiap rakaatnya membaca surat Al-Ikhlâsh sebanyak sepuluh kali. Shalat ini dinamai shalat kebajikan (shalât al-khair). Pandangan ini didasarkan pada tiga puluh sahabat nabi yang menyatakan, “Orang yang menjalankan shalat ini pada malam nisfu Sya’ban, akan dilihat Allah seratus kalipandangan, dan setiap pandangan-Nya akan mengabulkan tujuh puluh hajatnya, yang paling rendah ialah pemberian ampunan”. Sang Wali juga menyebutkan praktek  ulama-ulama salaf yang biasa melakukan shalat ini secara berjamaah.

Demikianlah pandangan Syeikh Abd al-Qâdir al-Jîlânî secara umum yang ada dalam kitab al-Ghuniyyah jilid satu.
*Masykurudin Hafidz, Alumnus PP Mambaul Ma'arif Denanyar Jombang Jawa Timur


Tentang Buku
Judul    : Al-Ghuniyyah bi Thâlibiy Tharîq al-Haq
Penulis : Syeikh Abd al-Qâdir al-Jîlânî al-Hasanî
Penerbit: Al-Maktabab asy-Sya’biyyah
Cet.    : Tanpa tahun
Tebal    : Jilid pertama 192 hlm, dan jilid kedua 200 hlm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar