STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Rabu, 10 Agustus 2011

Mengenal Sastra Al-Qur'an


ImageAl-Qur’an merupakan mukjizat terbesar Rasulullah Muhammad saw. Kemukjizatan tersebut bisa dilihat dari beberapa sisi. Terutama dalam masa-masa awal dakwah Nabi di Makkah, kemukjizatan Al-Qur’an sangat terlihat pada sisi-sisi sastranya. Kedahsyatan sastra Al-Qur’an saat itu bisa menyihir manusia baik yang akhirnya menjadi mukmin seperti Umar bin Al-Khaththab maupun yang akhirnya tetap kafir seperti Al-Walid bin Al-Mughirah. Tidaklah aneh jika Sayyid Quthb menyebutnya sebagai sihir Al-Qur’an yang tak terkalahkan. Tidaklah mengherankan apabila pada periode Makkah Al-Qur’an sangat menonjolkan sisi-sisi sastranya, sebab masyarakat Makkah saat itu sangat mahir dalam dunia sastra. Bahkan konon para penyair Makkah sudah terbiasa menggubah syair-syair yang indah secara spontan.
Kekuatan sastra Al-Qur’an merupakan faktor yang sangat penting bagi masuk Islamnya generasi awal dakwah Nabi. Hal ini berbeda dengan masuk Islamnya generasi-generasi selanjutnya, yang bisa jadi karena simpati mereka terhadap kesempurnaan syariat Islam, karena mereka menyaksikan bahwa Nabi selalu menang dan ditolong oleh Allah, karena terkesan dengan akhlaq Nabi, atau karena sebab-sebab lain yang barangkali melibatkan Al-Qur’an namun bukan sebagai faktor utama.

Bagaimana Al-Qur’an bisa mempengaruhi bangsa Arab kala itu sedemikian rupa? Bagaimana pula mereka, yang mukmin maupun yang kafir, sama-sama mengakui adanya kekuatan sihir Al-Qur’an? Sebagian pakar menjawab bahwa hal itu disebabkan olek kesempurnaan syariat yang ditetapkan oleh Al-Qur’an, pengabaran prediktif yang terbukti kebenarannya setelah beberapa tahun, atau kandungan ilmu-ilmu alam yang di kemudian hari terbukti benar. Sebetulnya tinjauan semacam itu hanyalah menetapkan kelebihan Al-Qur’an sesudah sempurnanya. Bagaimana dengan beberapa surat – meskipun sedikit – yang tidak mengandung tasyri’ hukum, kabar prediktif, maupun ilmu alam? Jika kita membaca ayat demi ayat yang mula-mula turun, kita akan dapati bahwa disana tidak ada tasyri’ hukum, ilmu alam – kecuali isyarat ringan mengenai penciptaan manusia dari segumpal darah -, ataupun pengabaran prediktif  - yang baru ada setelah beberapa tahun kemudian seperti yang ada dalam surat Al-Ruum. Dengan demikian, tidak bisa tidak, sihir Al-Qur’an itu muncul dari alunan lafazh-lafazh Al-Qur’an itu sendiri, yang sangat indah dan memberikan kesan yang mendalam.
Dalam mengapresiasi sastra Al-Qur’an, setidaknya kita membutuhkan dua bekal. Pertama, penguasaan bahasa Arab untuk bisa memahami makna ayat-ayatnya. Kedua, ketajaman dan sensitivitas perasaan. Tanpa bekal kedua ini, kita akan mengalami kesulitan dalam menikmati keindahan dan kelezatan lantunan ayat-ayatnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa bentuk  gaya pengungkapan Al-Qur’an yang sangat tinggi nilai sastranya. Bentuk-bentuk yang akan disuguhkan terutama adalah bentuk-bentuk yang sederhana, yang bisa dirasakan oleh orang-orang yang awam dalam ilmu balaghah sekalipun. Hal ini karena kebanyakan bentuk-bentuk berikut bukanlah tema-tema yang biasa dikemukakan dalam buku-buku balaghah.
Persajakan
Hampir seluruh ayat-ayat makkiyah menyerupai untaian bait-bait syair, yang salah satu cirinya ialah adanya kesamaan qafiyah (rima). Sekedar sebagai contoh, kita bisa melihat surat Al-Naas, Al-Ikhlash, Al-Qadr, Al-Syams, dan Al-Qadr. Hal lain yang cukup menarik ialah  bahwa dalam kebanyakan ayat pergantian sajak senantiasa dibarengi pergantian tema (kalau dalam prosa, mirip dengan pergantian paragraf).  
Keseimbangan panjang ayat
Sekedar sebagai contoh, mari kita perhatikan surat Alam Nasyrah atau Al-Syams. Panjang ayat yang satu dan yang lainnya bisa dikatakan seimbang atau sama. Apabila untaian ayat-ayat tersebut dilantunkan, keseimbangan panjang ayat tersebut akan menghasilkan irama yang sangat nikmat.
Paralelisme dan keseimbangan irama antar ayat
Contoh : QS Al-Zalzalah ayat 7-8
فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره ×
 ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره ×
Repetisi (perulangan)
Repetisi yang dimaksudkan disini mempunyai beberapa bentuk. Yang pertama ialah repetisi kata, seperti yang terdapat pada awal surat Al-Nazi’at, Al-Mursalat, dan Al-Waqi’ah.
Awal surat Al-Nazi’at :
و النشطات نشطا ×
 و السبحت سبحا ×
 فالسبقت سبقا × 
Awal surat Al-Mursalat :
فالعصفت عصقا ×
 و النشرت نشرا ×
 فالفرقت فرقا ×
Awal surat Al-Waqi’ah :
 اذا وقعت الواقعة ×...×
 اذا رجت الأرض رجا × و بست الجبال بسا ×
Bentuk  yang lain ialah repetisi kalimat, seperti contoh berikut ini.
كلا سوف تعلمون × ثم كلا سوف تعلمون×  (QS Al-Takatsur ayat 3-4)
فان مع العسر يسرا × ان مع العسر يسرا ×  (QS Alam Nasyrah ayat 5-6)
Bentuk-bentuk repetisi tersebut tidak hanya menyatakan penegasan dari sisi makna, namun juga menghasilkan keindahan dari sisi irama.
Kecermatan makna pada diksi (pilihan kata)
Sebagai contoh, kata Rabb, Ilah, dan lafzhul jalalah Allah, tidaklah bisa dipertukarkan begitu saja satu sama lain. Kata Rabb, misalnya, digunakan dalam konteks bahwa Allah ingin menunjukkan fungsi tarbiyahnya. Demikian seterusnya.
Contoh lain ialah penggunaan kata bani Adam, al-insaan, al-basyar, dan al-naas. Masing-masing dari kata tersebut tidak dapat dipertukarkan begitu saja karena masing-masing memiliki makna khasnya sendiri-sendiri.
Demikian juga antara kata bashara dan nazhara, antara al-‘afw, al-ghufraan, al-mushaafahah, dan al-kaffaarah, antara hamma dan araada, antara al-wudd (al-mawaddah), al-hubb, dan al-rahmah, antara Al-Bashiir, Al-‘Aliim dan Al-Khabiir, dan sebagainya.
Pemakaian huruf-huruf dalam kata yang sangat representatif terhadap makna atau suasana makna
Sebagai contoh, mari kita perhatikan surat Al-Naas. Rima dan dominasi huruf siin disana menggambarkan suasana hati yang diliputi rasa was-was. Demikian pula kalau kita perhatikan QS Al-Qiyamah ayat 26-30 berikut ini.
كلا اذا بلغت التراقى × 
(  Sekali-kali tidak. Apabila nafas telah [mendesak] sampai ke kerongkongan) 
و قيل من _ راق ×
(Dan dikatakan kepadanya: “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”)
و ظن أنه الفراق ×
(Dan dia yakin bahwa itulah saat perpisahan)
و التفت الساق بالساق ×
(Saat bertaut betis [kiri] dengan betis [kanan])
الى ربك يومئذ المساق ×
(Kepada Rabb-mu pada hari itu kamu dihalau)
Rima dan dominasi huruf qaaf disitu menggambarkan suasana sesak di saat-saat sakaratul maut ! Bayangkan sebuah belati bergerigi tajam yang ditusukkan kedalam daging lalu ditarik kembali !!
Dari sini pula, kita menjadi paham betapa pentingnya menjaga makhraj dan sifat huruf saat membaca Al-Qur’an. Kesalahan dalam makhraj dan sifat huruf bukan hanya bisa menimbulkan perubahan makna namun juga bisa menghilangkan suasana maknanya sebagaimana yang kita lihat dalam beberapa contoh diatas.
Kontradiksi
Gaya bahasa kontradiksi banyak dipakai dalam Al-Qur’an, misalnya antara orang beruntung dan orang yang malang, antara mukmin dan kafir, antara surga dan neraka, dan sebagainya. Sebagai contoh, perhatikan kontradiksi yang disuguhkan mengenai orang yang menerima kitab dengan tangan kanan versus orang yang menerima kitab dengan tangan kiri atau dari belakang dalam QS. Al-Haaqqah ayat 19-37 dan QS Al-Insyiqaq ayat 7 - 15.
Sebagai contoh lain, mari kita perhatikan QS Al-Ghaasyiyah ayat 2 sampai 16 yang menyuguhkan kontradiksi antara wajah berseri orang-orang beriman dan wajah muram orang-orang kafir. Contoh-contoh yang lain bisa kita cari sendiri tersebar dalam lembaran-lembaran mushaf.
Gaya bahasa kontradiksi mempunyai efek yang kuat dan mendalam pada jiwa. Jiwa kita mengalami cita rasa yang berubah secara drastis, dari senang lalu tiba-tiba gembira, dari takut lalu tiba-tiba berharap, dan seterusnya.
Bentuk lain kontradiksi ialah seperti yang terlihat pada ayat-ayat sumpah yang dialektik. Perhatikan QS Al-Syams ayat 1-6 berikut ini.
والشمس وضحها × والقمر اذا تلها ×
 والنهار اذا جلها × واليل اذا يغشها ×
والسماء وما بنها × والأرض وما طحها ×
Pada ayat-ayat diatas, kita melihat kontradiksi antara matahari dan bulan (ayat 1-2), antara siang dan malam (ayat 3-4), lalu antara langit dan bumi (ayat 3 sampai 4).
Keselarasan antara tempo dan makna atau suasana makna
Salah satu cara Al-Qur’an dalam menunjang makna yang ingin disampaikan ialah dengan menggunakan tempo yang sesuai. Mari kita perhatikan bagaimana Allah menyebut Hari Kiamat dalam Al-Qur’an. Disana kita menjumpai bahwa Hari Kiamat disebut dengan kata الطامة, الصاخة  atau الحاقة . Irama kata-kata tersebut panjang melenakan sekaligus membuat penasaran ada apa sesudahnya, diikuti dengan sentakan atau hentakan yang berat (ditandai dengan tasydid). Irama tersebut menggambarkan peristiwa Hari Kiamat yang kapan datangnya tidak ada yang tahu disamping manusia memang seringkali terlena dan lupa akan datangnya hari yang pasti tersebut. Namun begitu ia datang, kehadirannya begitu mengagetkan, dahsyat, dan serentak.
Sebagai contoh lain, mari kita perhatikan awal-awal surat Al-Takwir dan Al-Infithar. QS Al-Infithar ayat 2-3:
اذا السماء انفطرت× واذا الكواكب انتثرت
Kata (انفطرت) dan (انتثرت) pada kedua ayat tersusun atas banyak huruf namun tidak mengandung bacaan madd sama sekali. Yang demikian itu menggambarkan bahwa peristiwa Hari Kehancuran berlangsung sangat cepat, sehingga mengagetkan setiap orang. Begitu ia datang, maka ia tidak bisa dibendung lagi.
Agar adil, mari kita lihat juga tempo lambat pada QS Al-Fajr ayat 27 –30.
يأيتها النفس المطمئنة ×
 ارجعى الى ربك راضية مرضية ×
 فا دخلى فى عبادى ×
و ادخلى جنتى ×
Ghunnah ( pada nun dan mim) dan madd (dengan alif atau ya) membuat tempo jadi lambat, yang menimbulkan nuansa tenang, kalem, dan lembut, seperti ucapan seseorang terhadap kekasihnya.
Dari pemahaman kita tentang tempo, kita pun akan sadar betapa pentingnya menjaga madd, tasydid, dan ghunnah saat membaca Al-Qur’an. Pengabaian terhadap hal-hal tersebut bukan hanya bisa menimbulkan perubahan makna namun juga bisa mengurangi suasana makna sebagaimana terlihat pada beberapa contoh diatas.
Penggambaran yang sangat hidup dan berkesan
Sayyid Quthb menyebut gaya bahasa ini sebagai  التصوير الفنى (penggambaran artistik). Penggambaran merupakan instrumen utama dalam gaya bahasa Al-Qur’an. Ia berusaha menampilkan makna-makna abstrak dalam bentuk gambaran yang dapat diindera, nyata, hidup, aktual, berwarna-warni, dan bergerak. Diantara bentuk penggambaran yang banyak ditemui dalam Al-Qur’an ialah permisalan dan cerita dialog. Dengan adanya penggambaran, seseorang yang membaca atau mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an akan terlena dengan segenap imajinasinya, sehingga ia merasa benar-benar menyaksikan secara nyata atau bahkan merasa berada di tengah-tengah peristiwa yang ada, lupa bahwa yang dibaca atau didengar ternyata hanyalah susunan huruf atau lafazh saja. Tentang hal ini, Sayyid Quthb mengatakan,”Disini (dalam Al-Qur’an) ada kehidupan dan bukan kisah tentang kehidupan”.
Keselarasan antara obyek sumpah dan tema yang mengikutinya
Sebagai contoh, mari kita perhatikan surat Al-Dhuha. Disana Allah bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam. Waktu dhuha yang terang dan indah, waktu malam yang gelap dan menimbulkan kesempitan jiwa. Ayat-ayat berikutnya mengetengahkan permulaan, kedukaan, keyatiman, kebingungan, dan kekurangan yang identik dengan waktu malam. Sebaliknya, akhiran, keridhaan, asuhan, petunjuk, dan kecukupan identik dengan waktu dhuha.
Beberapa contoh dari aspek-aspek balaghah yang lain
Dalam hal ini, kita hanya akan mencoba melihat gaya bahasa hiperbolik dan pengalihan kata ganti secara mendadak. (al-iltifaat), yang sudah sering dibahas dalam buku-buku balaghah.
Sebagai contoh bagi gaya bahasa hiperbolik, mari kita perhatikan QS Maryam ayat 4, yang melukiskan keadaan Nabi Zakaria yang sudah lanjut usia: واشتعل الرأس شيبا
اشتعل  artinya telah menyala karena terbakar rata, berfungsi sebagai fi’il. الرأس  artinya kepala, berfungsi sebagai fa’il. شيبا artinya uban, berfungsi sebagai tamyiz dimana yang menjadi mumayyaz  ialah  الرأس . (اشتعل الرأس شيبا) artinya ‘Kepalanya menyala karena putih ubannya’. Tatkala sampai pada اشتعل الرأس)), orang akan bertanya,”Kepalanya menyala?” Maka diucapkanlah (شيبا), “Ya, karena  putih  ubannya”.  Susunan seperti ini menimbulkan   efek hiperbolik.  Berbeda  halnya    jika kita  mengubahnya   menjadi  اشتعل شيب الرأس)) (Uban di kepalanya menyala). Yang terakhir ini tidak mesti berarti bahwa seluruh rambutnya beruban. Lain halnya dengan          (اشتعل الرأس شيبا), yang mengesankan bahwa seluruh rambut di kepalanya telah memutih tanpa ada sehelai pun yang masih hitam.
Mengenai iltifaat, orang-orang yang tidak memahami keindahan dan keunikan sastra Arab telah meniupkan syubhat bahwa hal tersebut menunjukkan inkonsistensi Al-Qur’an dalam hal kata ganti atau sudut pandang Sang Penutur. Namun bagi mereka yang paham, iltifaat sebagai gaya bahasa Al-Qur’an justru telah mampu menimbulkan efek yang luar biasa. Diantara efek itu ialah menarik perhatian dan memberikan efek imajinasi yang hidup dan dinamis.

* * *
Karena keterbatasan halaman, contoh-contoh yang diberikan disini tidaklah terlalu banyak. Dengan contoh yang sedikit ini, diharapkan Anda dapat mencari sendiri contoh-contoh lainnya dalam Al-Qur’an. Selamat menikmati indahnya Al-Qur’an !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar