Kelahiran agama sangat terkait dengan konstruksi budaya. Tekstualitas agama lebih mengafirmasi konteks sosial dan budaya yang tengah "bergumul" pada saat itu. Islam, sebagai salah satu agama monoteis (abrahamiyah), juga merupakan bentuk ajaran kehidupan yang lebih melihat kenyataan sosial, tidak hanya berupa turunan dari langit. Ketika Islam hadir ke muka bumi dan menyejarah secara totalitas, tidak ada lagi baju "sakralitas" di dalamnya. Islam sangat memahami kenyataan lokalitas budaya setempat dan historisitas proses pergumulan antara teks dan realitas.
Peradaban Arab-Islam adalah "peradaban teks". Teks menjadi rujukan penting dalam upaya memahami keduanya. Dan Al-Qur'an sendiri merupakan kumpulan teks yang menjadi acuan keberagamaan bagi umat Islam. Di dalamnya terkandung pergolakan ilmiah dalam memahami pesan Tuhan, yang kemudian dihubungkan dengan realitas yang tengah terjadi pada saat pembentukan teks. Karena peradaban Islam adalah teks, maka perlu perangkat atau metodologi ilmiah untuk "membongkar" konstruksi nalar yang menjadi bagian penting di dalamnya.
Khalifah Umar al-Faruq pernah menyatakan, "Arab adalah bahan baku Islam", atau artinya, bangsa Arab adalah materi bagi pembentukan Islam. Peryataan Umar itu kemudian banyak dipahami, seperti Thaha Husain, yaitu dalam konteks militerisme Islam pada saat itu. Padahal, tidaklah demikian.
Dengan potensi rasionalitas yang sangat mengental dalam pikirannya, Umar bermaksud menjelaskan, Islam itu tidak bisa lepas dari konteks budaya Arab pada saat itu. Sehingga, dalam beberapa hal Umar banyak menafsir ulang terhadap syariah. Dan ada kesan beliau berani membuat putusan hukum yang kelihatannya banyak berbeda dengan arus pemikiran sahabat pada saat itu. Umar sangat dikenal sebagai seorang rasionalis sejati.
Atas dasar argumen yang dikemukakan oleh Umar ini, Khalil Abdul Karim membuat analisis mengenai kaitan antara agama, budaya, dan kekuasaan dalam bukunya Hegemoni Quraisy (LKIS:2002). Menurutnya, "produksi-produksi kebahasaan" (al-Muntaj al-Lughawiyyah), seperti puisi, khitabah, dan beberapa kata hikmah (amtsal) yang dimiliki oleh orang-orang Arab sebelum kenabian Muhammad, itu semua banyak berperan dalam proses pentauhidan dan persiapan menuju suatu kondisi objektif yang matang, yang berakhir dengan berdi-rinya Negara Quraisy di Yatsrib.
Banyak fakta saat itu membuktikan, hegemoni kaum Quraisy sangat menentukan produksi kebahasaan dalam makna agama. Kebudayaan suku itu masuk dalam proses pembentukan teks. Sehingga kita perlu mencermati lebih mendalam bagaimana kaitan antara agama sebagai pesan suci ilahi dengan intervensi manusia yang lebih mementingkan kekuasaan dan kebudayaannya bisa masuk dalam proses produksi nalar agama.
Profanitas Teks
Tidak selamanya teks itu adalah sesuatu yang sakral. Pembacaan terhadap teks tidak bisa terlepas dari konteks sejarah dan kebudayaan yang melingkupi bangunan teks tersebut. Pada saat kita memahami makna agama yang tercermin dalam penampakan teks, profanitas (duniawi) sangat melekat dalam konstruksi nalar teks. Penyejarahan teks dilakukan agar bisa menyesuaikan dengan kondisi yang memang menjadi kenyataan historis umat manusia.
Pada saat memahami teks, kita tidak bisa mengandalkan penafsiran secara literal, tetapi harus ada upaya penafsiran secara hermeneutis (ta'wiliyah) atas kenyataan-kenyataan sosial dan budaya yang mengitari teks. Teks yang diam dan sakral itu pasti menjadi objek manusia. Maka, teks tidak lagi menjadi sesuatu yang diam dan sakral, karena manusia atau si penafsir memosisikan teks itu harus dihubungkan dengan realitas. Lalu, teks menjadi sesuatu yang profan dan berhak untuk diutak-atik, bahkan tidak aneh apabila kemudian kita menolak teks dalam beberapa pengamalan syariahnya yang cenderung menindas kemanusiaan dan keadilan.
Menurut Abu Zayd dalam Mafhumun-Nash: Dirasah fi 'Ulumil Qur'an (1990), Al-Qur'an adalah "teks kebudayaan" (muntaj tsaqafy), yaitu teks semantik yang menjadi teks sentral dalam wacana pemikiran Islam. Teks dalam Al-Qur'an adalah teks peradaban karena di dalamnya memuat pembentukan dalam pergolakan (dialog/dialektika) antara manusia dan realitas di satu sisi, dan manusia dengan teks di sisi lain.
Dalam konsep teks, Al-Qur'an bisa didekati dengan metode-metode analisis teks. Metode analisis bahasa (semiotika) merupakan metode humaniora yang dapat digunakan untuk memahami wacana keagamaan dalam Islam. Hal ini sangat tepat diterapkan dalam menganalisis teks Al-Qur'an karena peradaban Islam Arab adalah peradaban teks, dan di dalamnya memuat pergolakan pemikiran ketika Al-Qur'an itu berwujud. Dalam Islam, Al-Qur'an memiliki peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban Islam.
Historisitas Islam
Islam bukanlah agama yang tidak mau memahami konteks perubahan zaman. Dimensi historisitas Islam lebih melihat kenyataan sosial-budaya untuk membuka ruang kemanusiaan sedalam-dalamnya. Humanitas bisa ditangkap apabila rasio dan akal budi dipakai dalam menganalisis teks agama. Sisi historisitas agama lebih banyak dieksplorasi untuk lebih memahami kenyataan kemanusiaan hari ini.
Gagasan Islam otentik dan Islam universal kurang mengeksplorasi sisi historitas Islam. Realitas lokalitas (budaya) kurang mendapat tempat dalam pemahaman mereka. Islam dengan sangat apresiatif memahami budaya, dan berposisi secara rekonsiliatif. Bahkan fenomena budaya banyak dijadikan rujukan keagamaan. Ada dialektika antara agama dan budaya. Dan di Islam, kaitan antara teks dan budaya memang sering sulit untuk dipisahkan. Kekuatan budaya banyak mempengaruhi proses pembentukan teks-teks agama.
Mengenai pengaruh budaya dalam Islam pada masa Arab klasik, Khalil Abdul Karim menyebut sakralisasi Bulan Ramadhan merupakan salah satu tradisi yang diwarisi Islam dari bangsa Arab ---yang menjadi sumber dasar Islam. Hal lain misalkan, mengagungkan bulan-bulan haram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) bukan merupakan tradisi Islam.
Ada tenggara, penyebutan bulan-bulan suci itu dilatarbelakangi oleh tradisi bangsa Arab yang tidak membenarkan perang dalam rentang keempat bulan tersebut. Tradisi berperang merupakan tradisi tribalisme suku-suku Arab pada saat itu, sehingga penetapan empat bulan suci itu sebagai fase gencatan sejata dan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah.
Atau, misalkan juga mengenai jilbab. Jilbab merupakan produk budaya Arab pada saat itu sebagai alat kultural untuk media pengamanan sosial bagi perempuan. Karena jilbab itu pada awalnya adalah budaya, dan Al-Qur'an menyebutkannya maka sering kita mengartikan jilbab itu adalah bagian dari tradisi Islam. Hal semacam itu banyak disalahartikan. Kaitan budaya antara Arab dan Islam membuat kita kesulitan untuk memilah mana yang merupakan budaya Islam sendiri dan mana yang bukan.
Oleh sebab itu, metode "kritik historis" (an-naqd at-tarikhy) sangat penting untuk dilakukan dalam menganalisis tradisi. Apakah teks seluruhnya merupakan turunan dari langit? Bukankah intervensi manusiawi sangat mempengaruhi nalar pemikiran dalam teks agama?
Muhammad dan Jibril sebagai penerima teks pertama juga tidak lepas dari bagaimana keduanya mencoba menafsirkan teks. Otentisitas dan universalitas yang ada dalam Islam lebih dimaknai sebagai pemahaman teologis yang sifatnya hanya dalam wilayah privat dalam keyakinan keagamaan kita. Penggalian makna Islam yang lebih memahami konteks budaya menjadi sesuatu yang tidak tabu dan perlu untuk mendapat tempat seluas-luasnya dalam wacana atau tradisi pemikiran kita. Wallahu A'lam.
Peradaban Arab-Islam adalah "peradaban teks". Teks menjadi rujukan penting dalam upaya memahami keduanya. Dan Al-Qur'an sendiri merupakan kumpulan teks yang menjadi acuan keberagamaan bagi umat Islam. Di dalamnya terkandung pergolakan ilmiah dalam memahami pesan Tuhan, yang kemudian dihubungkan dengan realitas yang tengah terjadi pada saat pembentukan teks. Karena peradaban Islam adalah teks, maka perlu perangkat atau metodologi ilmiah untuk "membongkar" konstruksi nalar yang menjadi bagian penting di dalamnya.
Khalifah Umar al-Faruq pernah menyatakan, "Arab adalah bahan baku Islam", atau artinya, bangsa Arab adalah materi bagi pembentukan Islam. Peryataan Umar itu kemudian banyak dipahami, seperti Thaha Husain, yaitu dalam konteks militerisme Islam pada saat itu. Padahal, tidaklah demikian.
Dengan potensi rasionalitas yang sangat mengental dalam pikirannya, Umar bermaksud menjelaskan, Islam itu tidak bisa lepas dari konteks budaya Arab pada saat itu. Sehingga, dalam beberapa hal Umar banyak menafsir ulang terhadap syariah. Dan ada kesan beliau berani membuat putusan hukum yang kelihatannya banyak berbeda dengan arus pemikiran sahabat pada saat itu. Umar sangat dikenal sebagai seorang rasionalis sejati.
Atas dasar argumen yang dikemukakan oleh Umar ini, Khalil Abdul Karim membuat analisis mengenai kaitan antara agama, budaya, dan kekuasaan dalam bukunya Hegemoni Quraisy (LKIS:2002). Menurutnya, "produksi-produksi kebahasaan" (al-Muntaj al-Lughawiyyah), seperti puisi, khitabah, dan beberapa kata hikmah (amtsal) yang dimiliki oleh orang-orang Arab sebelum kenabian Muhammad, itu semua banyak berperan dalam proses pentauhidan dan persiapan menuju suatu kondisi objektif yang matang, yang berakhir dengan berdi-rinya Negara Quraisy di Yatsrib.
Banyak fakta saat itu membuktikan, hegemoni kaum Quraisy sangat menentukan produksi kebahasaan dalam makna agama. Kebudayaan suku itu masuk dalam proses pembentukan teks. Sehingga kita perlu mencermati lebih mendalam bagaimana kaitan antara agama sebagai pesan suci ilahi dengan intervensi manusia yang lebih mementingkan kekuasaan dan kebudayaannya bisa masuk dalam proses produksi nalar agama.
Profanitas Teks
Tidak selamanya teks itu adalah sesuatu yang sakral. Pembacaan terhadap teks tidak bisa terlepas dari konteks sejarah dan kebudayaan yang melingkupi bangunan teks tersebut. Pada saat kita memahami makna agama yang tercermin dalam penampakan teks, profanitas (duniawi) sangat melekat dalam konstruksi nalar teks. Penyejarahan teks dilakukan agar bisa menyesuaikan dengan kondisi yang memang menjadi kenyataan historis umat manusia.
Pada saat memahami teks, kita tidak bisa mengandalkan penafsiran secara literal, tetapi harus ada upaya penafsiran secara hermeneutis (ta'wiliyah) atas kenyataan-kenyataan sosial dan budaya yang mengitari teks. Teks yang diam dan sakral itu pasti menjadi objek manusia. Maka, teks tidak lagi menjadi sesuatu yang diam dan sakral, karena manusia atau si penafsir memosisikan teks itu harus dihubungkan dengan realitas. Lalu, teks menjadi sesuatu yang profan dan berhak untuk diutak-atik, bahkan tidak aneh apabila kemudian kita menolak teks dalam beberapa pengamalan syariahnya yang cenderung menindas kemanusiaan dan keadilan.
Menurut Abu Zayd dalam Mafhumun-Nash: Dirasah fi 'Ulumil Qur'an (1990), Al-Qur'an adalah "teks kebudayaan" (muntaj tsaqafy), yaitu teks semantik yang menjadi teks sentral dalam wacana pemikiran Islam. Teks dalam Al-Qur'an adalah teks peradaban karena di dalamnya memuat pembentukan dalam pergolakan (dialog/dialektika) antara manusia dan realitas di satu sisi, dan manusia dengan teks di sisi lain.
Dalam konsep teks, Al-Qur'an bisa didekati dengan metode-metode analisis teks. Metode analisis bahasa (semiotika) merupakan metode humaniora yang dapat digunakan untuk memahami wacana keagamaan dalam Islam. Hal ini sangat tepat diterapkan dalam menganalisis teks Al-Qur'an karena peradaban Islam Arab adalah peradaban teks, dan di dalamnya memuat pergolakan pemikiran ketika Al-Qur'an itu berwujud. Dalam Islam, Al-Qur'an memiliki peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban Islam.
Historisitas Islam
Islam bukanlah agama yang tidak mau memahami konteks perubahan zaman. Dimensi historisitas Islam lebih melihat kenyataan sosial-budaya untuk membuka ruang kemanusiaan sedalam-dalamnya. Humanitas bisa ditangkap apabila rasio dan akal budi dipakai dalam menganalisis teks agama. Sisi historisitas agama lebih banyak dieksplorasi untuk lebih memahami kenyataan kemanusiaan hari ini.
Gagasan Islam otentik dan Islam universal kurang mengeksplorasi sisi historitas Islam. Realitas lokalitas (budaya) kurang mendapat tempat dalam pemahaman mereka. Islam dengan sangat apresiatif memahami budaya, dan berposisi secara rekonsiliatif. Bahkan fenomena budaya banyak dijadikan rujukan keagamaan. Ada dialektika antara agama dan budaya. Dan di Islam, kaitan antara teks dan budaya memang sering sulit untuk dipisahkan. Kekuatan budaya banyak mempengaruhi proses pembentukan teks-teks agama.
Mengenai pengaruh budaya dalam Islam pada masa Arab klasik, Khalil Abdul Karim menyebut sakralisasi Bulan Ramadhan merupakan salah satu tradisi yang diwarisi Islam dari bangsa Arab ---yang menjadi sumber dasar Islam. Hal lain misalkan, mengagungkan bulan-bulan haram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) bukan merupakan tradisi Islam.
Ada tenggara, penyebutan bulan-bulan suci itu dilatarbelakangi oleh tradisi bangsa Arab yang tidak membenarkan perang dalam rentang keempat bulan tersebut. Tradisi berperang merupakan tradisi tribalisme suku-suku Arab pada saat itu, sehingga penetapan empat bulan suci itu sebagai fase gencatan sejata dan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah.
Atau, misalkan juga mengenai jilbab. Jilbab merupakan produk budaya Arab pada saat itu sebagai alat kultural untuk media pengamanan sosial bagi perempuan. Karena jilbab itu pada awalnya adalah budaya, dan Al-Qur'an menyebutkannya maka sering kita mengartikan jilbab itu adalah bagian dari tradisi Islam. Hal semacam itu banyak disalahartikan. Kaitan budaya antara Arab dan Islam membuat kita kesulitan untuk memilah mana yang merupakan budaya Islam sendiri dan mana yang bukan.
Oleh sebab itu, metode "kritik historis" (an-naqd at-tarikhy) sangat penting untuk dilakukan dalam menganalisis tradisi. Apakah teks seluruhnya merupakan turunan dari langit? Bukankah intervensi manusiawi sangat mempengaruhi nalar pemikiran dalam teks agama?
Muhammad dan Jibril sebagai penerima teks pertama juga tidak lepas dari bagaimana keduanya mencoba menafsirkan teks. Otentisitas dan universalitas yang ada dalam Islam lebih dimaknai sebagai pemahaman teologis yang sifatnya hanya dalam wilayah privat dalam keyakinan keagamaan kita. Penggalian makna Islam yang lebih memahami konteks budaya menjadi sesuatu yang tidak tabu dan perlu untuk mendapat tempat seluas-luasnya dalam wacana atau tradisi pemikiran kita. Wallahu A'lam.
sumber : Harian Suara Pembaruan, Jum’at, 14 November 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar