STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 11 Oktober 2011

BAHASA SEBAGAI PUSAT KEBERADAAN MANUSIA

Berdasarkan kodrat kultural atau humanistisnya, bahasa merupakan pusat keberadaan atau kehadiran manusia. Konfucius percaya bahwa bahasa menjadi titik awal keberadaan dan kehidupan manusia (simak Laksana, 1995:203-206). Letak keberadaan dan kehidupan manusia ada di dalam bahasanya. Pada dasarnya, hal ini menjadi pangkal atau titik tolak pandangan-pandangan antropolinguistik atau sosiolinguistik, filsafat bahasa, fenomenologi, dan pascamodernisme. Antropolinguistik terutama yang dirintis, ditokohi, dan dikembangkan oleh Sapier dan Whorf percaya bahwa bahasa menggambarkan pandangan dunia atau pandangan hidup pemiliknya sebab bahasa dan pikiran manusia saling mele-kat [inklusif] (Dawud dan Sudha, 1993:13). Sosiolingustik, sebagaimana dikemukakan oleh Chaika (1982), berpandangan bahwa bahasa merupakan cermin masyarakat. Filsafat bahasa berpandangan bahwa seluk beluk kehidupan manusia dapat diketahui melalui ba-hasa karena bahasa merepresentasikan hakikat pengetahuan konseptual tentang manusia (Poedjosoedarmo, 1989:1). Sebagaimana tampak pada pandangan Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur, secara tegas fenomenologi mempercayai bahwa bahasa menjadi pusat pe-mahaman manusia karena ada manusia di dalam bahasa (Poespoprodjo, 1987; Ricoeur, 1991). Secara lebih tegas dan radikal lagi, sebagaimana tampak pada pandangan Derrida, Foucoult, Lyotard, dan Baudrillard, pascamodenisme bahkan mengembalikan semua per-soalan keberadaan dan kehidupan manusia kepada bahasa sebab bahasa merupakan pusat kegiatan ada dan hidup manusia (simak Sugiharto, 1996:79-100).

Sehubungan dengan itu, secara tegas Jean Baudrillard (1981:237) menyatakan bahwa keberadaan dan kehidupan manusia dalam monopoli bahasa. Ditegaskannya bahwa The real monopoly is never that of technical means, but of speech. Dalam perspektif teori hegemoni Gramsci (dalam Hendarto, 1993), bisa dikatakan bahwa keberadaan dan profil kehidupan manusia dalam hegemoni bahasa. Dalam konteks inilah profil manusia diben-tuk oleh bahasa; profil manusia merupakan konstruksi bahasa atau –  menurut istilah so-siologi pengetahuannya Berger dan Luckman (1990) — merupakan konstruksi sosial me-lalui bahasa. Pengetahuan dan pemahaman tentang profil manusia berada dalam kendali bahasa. Misalnya, pengetahuan dan pemahaman tentang profil manusia Indonesia dalam batas-batas tertentu berada dalam kendali bahasa Indonesia sebab profil manusia Indo-nesia merupakan konstruksi bahasa Indonesia atau konstruksi sosial melalui bahasa Indo-nesia. Demikian juga profil manusia Jawa merupakan konstruksi bahasa Jawa atau kon-struksi sosial melalui bahasa Jawa sehingga profil manusia Jawa terkendali oleh bahasa Jawa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasa dapat menjadi atau dijadikan “pintu masuk dan keluar” untuk mengetahui dan memahami keberadaan dan kehidupan manusia khususnya profil manusia atau sekelompok manusia.
Segenap unsur bahasa dan tataran bahasa dapat dijadikan “pintu masuk dan keluar” untuk mengetahui dan memahami seluk-beluk keberadaan dan kehidupan manusia. Unsur leksikon, idiom, kalimat, dan wacana bahasa dapat mengungkapkan dan menggambarkan kehidupan manusia atau sekelompok manusia. Demikian juga tataran morfosintaksis, semantik, dan pragmatik; misalnya, struktur morfosintaksis atau struktur gramatikal, struktur semantik atau struktur leksikal, dan struktur pragmatik suatu bahasa dapat mengung-kapkan dan menggambarkan profil kehidupan manusia tertentu (simak Chaika, 1982; Dawud dan Sudha, 1993; Kartomihardjo, 1987; Langenberg, 1996; Nababan, 1984). Hal ini sudah dicoba diterapkan oleh berbagai pengkaji. Misalnya, Peter Farb (1990) mencoba mengetahui pandangan orang (berbahasa) Hopi dan Inggris tentang air dan meraih melalui leksikon-leksikon bahasa Hopi dan Inggris. Tom Bruneau (1990) mencoba menelaah konsep waktu pada berbagai bangsa melalui leksikon-leksikon. Geertz (1969, 1983) menelaah tatakrama sosial orang Jawa melalui leksikon, struktur kalimat, dan tingkat tutur bahasa Jawa. James J. Fox (1986) menelaah pandangan dunia dan kehidupan religius orang Roti melalui leksikon-leksikon, gaya bahasa, dan ragam bahasa Roti. Selanjutnya, Asmah Haji Omar (1986) mencoba menelaah alam pemikiran Melayu — yang meliputi persepsi waktu, persepsi bilangan, persepsi perbuatan, persepsi jantan/laki-laki dan beti-na/perempuan, dan sebagainya — melalui unsur leksikon, idiom, struktur morfosintaksis, dan semantik leksikal bahasa Melayu dialek Kedah. Kajian-kajian tersebut menegaskan bahwa bahasa terutama aspek-aspek kebahasaannya dapat menjadi kunci utama untuk mengetahui dan memahami keberadaan dan kehidupan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar