STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 07 November 2011

Aliran Qodariyah

A. Perpecahan Umat Islam Sesudah Wafatnya Rasulullah SAW
Di zaman Nabi, umat Islam dapat kompak dalam lapangan agama, termasuk dalam aqidah. Kalau tidak ada hal-hal yang tidak jelas atau hal-hal yang diperselisihkan diantara para sahabat, mereka mengembalikannya kepada Nabi. Maka penjelasan beliau itulah yang kemudian menjadi pegangan dan ditaatinya.
Di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar, keadaan umat Islam masih tampak kompak seperti keadaan masa Nabi. Pada waktu itu tidak ada kesempatan bagi umat Islam untuk mencoba-coba membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan aqidah dan juga hal-hal lain di bidang agama. Mereka lebih memusatkan perhatian dan fikirannya untuk pertahanan dan perluasan daerah Islam serta penyiaran Islam di bawah pimpinan Khalifah.
Semasa pemerintahan Abu Bakar (11-13 H= 632-634M) perhatian di pusatkan untuk memerangi orang-orang yang murtad, orang-orang yang enggan membayar zakat, dan beberapa Nabi palsu. Diantara Nabi palsu tersebut adalah Musailamah Al Kaddzab, yang mengaku bahwa Allah memberikan pangkat kepadanya bersamaan dengan kenabian Nabi Muhammad. Karena itulah ia mendapat gelar Al Kaddzab yang artinya si pendusta.

Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H= 634-644 M) seorang bangsawan dan pahlawan berhasil menaklukkan beberapa negeri secara gemilang. Di masa pemerintahan, beliau memperbaiki dan menyempurnakan adminitrasi negara, jabatan-jabatan kehakiman, masalah-masalah sosial dan sebagainya. Suatu hal yang tidak kalah pentingnya ialah penetapan tahun hijriyah sebagai tahun resmi bagi umat Islam.
Sebelum Rasululloh wafat, beliau pernah mengatakan bahwa umat Islam akan terpecah belah. Dan perpecahan itu, akan terjadi sebanyak 73 firqah. Diantara firqah yang sekian banyak itu hanya satu golongan yang di anggap benar, dan di jamin bebas dari siksa api neraka. Yaitu golongan yang dinamakan Ahlusunnah wal Jama’ah’. Sedang yang tujuh puluh dua firqah lainnya di masukkan ke dalam api neraka, sebagaimana bunyi sebuah hadist.

وَسَتَفْتَرقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. الناَّجِحَةُ مِنْهَـا وَاحِدٌ وَالْبَـاقُوْنَ هَلْكَى. قِيْلَ: وَمَنْ النَّـاجِحَةُ؟ قَالَ: أَهْلُ السُّنَّةِ وَ الْجَمَـاعَةِ. قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِى. الحديث
Artinya: Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Diantara golongan-golongan itu yang selamat hanya satu golongan saja, sedangkan lainnya adalah sesat. Ditanyakan oleh sahabat: Siapakah golongan yang selamat itu? Nabi menjawab: Yaitu golongan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Di tanyakan lagi oleh sahabat, apakah golongan ahlusunnah wal jama’ah itu? Nabi menjawab: Yaitu golongan yang mengikuti jejakku dan jejak sahabatku. (Hadist)

B. Aliran Qodariyah
Qodariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qodariyah adalah satu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintrevensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Qodariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatannya.
Paham Qodariyah pada hakikatnya adalah sebagian dari paham Mu’tazilah, karena imam-imamnya terdiri dari orang-orang Mu’tazilah. Akan tetapi paham ini dibicarakan dalam suatu pasal tersendiri, karena sepanjang sejarah persoalan Qodariyah ini suatu soal yang besar juga, yang harus diperhatikan.
Latar belakang timbulnya Qodariyah ini sebagai isyarat kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam. Mereka mengatakan bahwa Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah telah menentukan lebih dahulu nasib manusia, maka Allah itu dhalim. Karena itu manusia harus merdeka atau ikthiar atas perbuatannya. Manusia harus mempunyai kebebasan berkehendak. Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan manusia itu hanyalah bergantung pada Qadar Allah saja, selamat atau celaka seseorang itu telah ditentukan oleh Allah sebelumnya, pendapat itu adalah sesat. Sebab pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggapnya pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatan kejahatan. Mustahil Allah melakukan kejahatan.

C. Doktrin-doktrin dan Pendiri Qodariyah
Dalam kitab Al-Milal wa An–Nihal, pembahasan masalah Qodariyah disatukan dengan doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara aliran ini kurang begitu jelas. Akibatnya, sering kali orang menamakan Qodariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qodariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusialah yang mendirikan atau menjauhi perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Salah pemuka Qodariyah yang lain, An-Nazam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa doktrin Qodariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendak sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas ke hendaknya sendiri, baik perbuatan baik maupun jahat. Sesungguhnya tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang di lakukan bukan atas keinginan dan kemampuan. Dalam paham Qodariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang menciptakannya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, siksa Azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatullah.
Dengan pemahaman yang seperti ini, kaum Qodariyah berpendapat, bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai pijakan dalam dokrtin Islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Ar-Ra’d 11 (Juz 13)
إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَـا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَـا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu bangsa, kecuali jika merubah keadaan mereka sendiri (Q.S. Ar-Ra’d: 11)

D. Pendiri Aliran Qodariyah
Orang yang mula-mula memfatwakan ialah Ma’bad Al Juhaini dan Ghailan Ad Dimasyqi. Ma’bad Al Juhaini adalah seorang tabi’in, yaitu generasi yang kedua sesudah Nabi Muhammad saw. Ia pernah belajar dengan Wahsil bin Atha’ (imam kaum Mu’tazilah) kepada Syeikh Hasan Basri di. Basrah.
Ia dihukum mati oleh Hajaj seoarang penguasa di basrah ketika itu, karena fatwa-fatwanya yang salah.
Sampai sekarang, walaupun Ma’bad sudah dihukum mati sekitar permulaan abad ke II H. tetapi pahamnya masih ada yang menganutnya, juga di Indonesia ada gejala- gejala penganut paham Qodariyah ini.
Adapun Ghailan Ad Dimasyqi adalah penduduk kota Dimsyaq (Syiria). Bapaknya seorang yang pernah bekerja pada Khalifah Utsman Bin ‘Affan.
Kedua duanya Ma’bad Al Juhaini dan Ghailan Ad Dimasyqi dihukum mati karena menganut paham yang salah itu.
Ada pendapat tentang (markas) bergejolaknya paham Qodariyah ini pada mulanya. Ada yang mengatakan di Iraq, ada yang mengatakan di Damaskus, tetapi melihat jalan sejarahnya maka kemungkinan pada kedua-dua kota itu ada, karena Bagdad dan Damsyik dulunya pada abad ke I, II, dan III.
Imam paham Qodariyah ini yang besar adalah imam Mu’tazilah Ibrahim Bin Sayar An Nazham (meninggal 211H), yang menfatwakan juga bahwa. “ijmak” sahabat atau “ijmak” imam mujtahid tidak dapat menjadi dalil dan Qur’an suci dipandang dari segi susunannya, lafazhnya, hurufnya tidaklah mukjizt Nabi, tetapi mukjizatnya terletak karena Al-Qur’an itu banyak menggambarkan hal-hal yang ghoib.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1996.
Dr. Abdul Rozak M.Ag. Ilmu Kalam. CV. Pustaka Setia. Bandung: 2003.
K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Pustaka Tarbiyah, Jakarta: 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar