STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Rabu, 16 November 2011

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Fungsi Ijtihad

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

Jenis-jenis ijtihad

 Ijma’

Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

Qiyâs

Beberapa definisi qiyâs’ (analogi)
  •  
    1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
    2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
    3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur’an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

Istihsân

  • Beberapa definisi Istihsân
    1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
    2. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
    3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
    4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
    5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya…

Mushalat murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.

Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

Sumber : Wikipedia Indonesia
 
 
TAQLID DAN IJTIHAD                             
Beberapa Pengertian Dasar           
Oleh KH. Ibrahim Hosen
 
1. IJTIHAD
 
Tulisan ini akan mendahulukan masalah ijtihad, baru kemudian menyoroti  masalah  taqlid.  Minimal  ada tiga alasan kenapa lebih mendahulukan ijtihad daripada taqlid.
 
1. Sekedar mengikuti kelaziman, dimana dalam buku-buku Ushul Fiqh, masalah ijtihad selalu lebih dahulu dibicarakan sebelum masalah taqlid.
 
2. Taqlid tidak akan ada tanpa ijtihad. Dengan demikian seseorang hanya dibenarkan bertaqlid kepada mujtahid yang mu'tabar.
 
3. Persoalan taqlid akan lebih mudah dipahami jika seseorang telah memahami persoalan ijtihad.
 
Dalam tulisan ini saya hanya akan  bicara  tentang  beberapa aspek  ijtihad  dan taqlid yang dipandang penting;mengingat kedua masalah itu  amat  sering  diperbincangkan,  disamping banyaknya  buku  yang  mengupas  masalah tersebut yang mudah kita temukan.
 
PENGERTIAN IJTIHAD
 
Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan untuk  mengerjakan  sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka tidak  tepat  apabila  kata  "ijtihad"  dipergunakan   untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
 
Pengertian  ijtihad  menurut  bahasa  ini  ada  relevansinya dengan pengertian  ijtihad  menurut  istilah,  dimana  untuk melakukannya  diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu  (ijtihad)  dilakukan  sembarang orang.
 
Dan  di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan  bahwa  ijtihad adalah  "penelitian  dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u 'l-Lah  dan  Sunnah  Rasul,  baik yang  terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu  diperoleh  dari maksud  dan  tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal dengan "mashlahat."
 
Dalam kaitan pengertan  ijtihad  menurut  istilah,  ada  dua kelompok  ahli  ushul  flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan  definisi.
Dalam  tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad
menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
 
 
 
 
Menurut   mereka,   ijtihad   adalah   pengerahan    segenap kesanggupan  dari  seorang  ahli  fxqih  atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap  sesuatu  hukum syara' (hukum Islam).
 
Dari  definisi  tersebut  dapat  ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
 
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam
   (faqih), bukan yang lain.
 
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i,
   yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku  dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau
   hukum khuluqi,
 
3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah
   dhanni.
 
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi  ijtihad  diatas maka  dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum.  Dalam  hubungan  ini komentator    Jam'u   'l-Jawami'   (Jalaluddin   al-Mahally)
menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah  bila dimutlakkan
maka  ijtihad  itu  bidang  hukum  fiqih/hukum furu'.(Jam'u
'l-Jawami', Juz II, hal. 379).
 
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak  yang mengatakan  bahwa  ijtihad  juga  berlaku  di bidang aqidah.
Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori  al-Jahidh, salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di  bidang  aqidah.  Pendapat  ini  bukan  saja menunjukkan   inkonsistensi  terhadap  suatu  disiplin  ilmu (ushul  fiqh),  tetapi   juga   akan   membawa   konsekuensi pembenaran  terhadap  aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa  ijtihad  hanya berlaku    di    bidang    hukum    (hukum   Islam)   dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
 
MEDAN IJTIHAD
Di atas telah ditegaskan  bahwa  ijtihad  hanya  berlaku  di bidang  hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkin untuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku  di  dunia  hukum (hukum Islam) secara mutlak?
 
Ulama  telah  bersepakat  bahwa  ijtihad  dibenarkan,  serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan  membawa  rahmat  manakala  ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan  dan  dilakukan  di  medannya  (majalul ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan peranannya adalah:
 
1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh
   nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
 
2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh
   ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
 
3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang
   diperselisihkan.
 
4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas
   hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
 
Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi  hukum  Islam, disinilah   seharusnya  kita  melakukan  terobosan-terobosan baru. Apabila ini yang kita lakukan dan  kita  memang  telah memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak.
 
Sebaliknya  ulama  telah  bersepakat  bahwa  ijtihad   tidak berlaku atau tidak dibenarkan pada:
 
1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau
   Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang
   dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau
   "ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."
  
   Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku
   ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan  berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas."
  
   Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi
   sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam   qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an.
 
 
2. Hukum Islam yang telah diijma'i ulama.
 
3. Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli
   'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat
   dicerna dan diketahui mujtahid).
 
Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad akan gugur  dengan  sendirinya  apabila  hasil  ijtihad  itu berlawanan  dengan  nash.  Hal  ini  sejalan  dengan kaidah,"Tidak ada ijtihad dalam melawan nash."
 
PERBEDAAN YANG DITOLERIR
Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat  dianjurkan  oleh  Islam. Banyak  ayat  al-Qur'an  dan  Hadits  Nabi  yang menyinggung masalah ini. Islam bukan  saja  memberi  legalitas  ijtihad, akan   tetapi  juga  mentolerir  adanya  perbedaan  pendapat sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara  lain  diketahui  dari Hadits Nabi yang artinya,
 
"Apabila  seorang  hakim  akan  memutuskan  perkara, lalu ia melakukan  ijtihad,  kemudian  ijtihadnya  benar,  maka   ia memperoleh   dua   pahala   (pahala   ijtihad   dan   pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan  perkara,  dan  ia berijtihad,   kemudian   hasil  ijtihadnya  salah,  maka  ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat  Bukhari Muslim).

Sumber : Yayasan Paramadina

Cara ber-Ijtihad
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat methode-methode antara lain sebagai berikut :
a. Qiyas = reasoning by analogy. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur’an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh : Menurut al-Qur’an surat al-Jum’ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan Jum’at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum’at ?  Dalam al-Qur’an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat mengganggu shalat Jum’at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum’at, juga dilarang. Contoh lain : Menurut surat al-Isra’ 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu ketika ‘ Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab ‘Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu
b. Ijma’ = konsensus = ijtihad kolektif. Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Ketika ‘Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : ” Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah “. Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.
c. Istihsan = preference. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat az-Sumar 18.
d. Mashalihul Mursalah = utility, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur’an / al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur’an / al-Hadits.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar