STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Rabu, 04 Januari 2012

Macam-macam Hukum Syara’

Menurut Ulama ushul fiqh, hukum syara’ ada dua macam:
Pertama, Hukum Taklifi: yakni hukum yang mengandung tuntutan untuk melakukan, meninggalkan atau memilih antara melakukan atau meninggalkan.

Hukum ini disebut dengan taklifi karena di dalamnya ada beban bagi manusia. Beban itu terlihat jelas karena merupakan suatu tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan, dan takhyir (mubah) dimasukkan dalam hukum taklifi karena dimutlakkan dan digolongkan secara istilah, bukan hakikatnya, atau bisa juga dikatakan bahwa maksudnya adalah: hukum takhyir/mubah hanya berlaku bagi mukallaf, artinya kebolehan memilih antara mengerjakan dan meninggalkan hanya berlaku bagi orang yang telah dibebani tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. Inilah alasan mengapa takhyir/mubah dimasukkan dalam hukum taklifi, bukan berarti bahwa mubah itu adalah sesuatu yang dibebankan kepada mukallaf.

Kedua, hukum wadl’i: hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain.

Hukum ini disebut dengan wadl’I karena merupakan perantara antara dua hal dengan hubungan sebab, syarat, atau penghalang (mani’) yang telah ditetapkan syari’ (Allah). Artinya syari’ telah menetapkan bahwa ini menjadi sebab bagi ini, ini menjadi syarat bagi ini atau ini menjadi penghalang bagi ini. Untuk contoh-contoh hukum taklifi dan hukum wadl’I sudah dijelaskan sebelumnya.

Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadl’i

a. Hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu, meninggalkan atau memilih antara keduanya, sedangkan hukum wadl’I tidak menunjukkan suatu tuntutan, hukum wadl’I hanya menjelaskan bahwa syari’ telah menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain, agar mukallaf mengetahui kapan ada dan tidaknya hukum syara’.

b. Dalam hukum taklifi, sesuatu yang dibebankan (mukallaf bih) adalah sesuatu yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf dan berada dalam kekuasaan dan kadar kemampuannya, karena tujuan dari pembebanan hukum adalah ketaatan mukallaf terhadap hukum yang dibebankan itu. Maka sia-sia saja jika sesuatu yang dibebankan itu berada di luar kadar kemampuannya, dan hal ini tidak mungkin terjadi dalam ketentuan syari’. Dalam kaidah disebutkan bahwa, “Pembebanan hukum hanya berlaku jika berada dalam kadar kemampuan mukallaf.”
Sedangkan dalam hukum wadl’I, sesuatu itu tidak harus selalu berada dalam kadar kemampuan mukallaf, kadang ia di luar kadar kemampuan. Akan tetapi jika sesuatu itu ada, maka pasti ada akibatnya.

Hukum wadl’I yang berada dalam kadar kemampuan mukallaf di antaranya adalah: pencurian, zina, dan perbuatan dosa yang lain, syari’ telah menetapkannya sebagai sebab yang memiliki akibat. Pencurian adalah sebab dan akibatnya adalah hukum potong tangan, zina adalah sebab dan akibatnya adalah hukum cambuk atau rajam, dan sebagainya.

Demikian pula semua akad dan transaksi, semua itu merupakan sebab yang memiliki akibat syara’. Jual beli adalah sebab berpindahnya kepemilikan, menikah adalah sebab halalnya hubungan suami-isteri dan tetapnya hak-hak kedua belah pihak, menghadirkan saksi adalah syarat sahnya pernikahan dan wudlu adalah syarat sahnya shalat, karena itulah nikah tidak sah tanpa saksi dan shalat tidak sah tanpa wudlu. Membunuh pemberi harta waris adalah penghalang bagi ahli waris memperoleh harta warisan dan membunuh pemberi wasiat adalah penghalang bagi penerima wasiat memperoleh apa yang diwasiatkan.

Sedangkan hukum wadl’I yang berada di luar kadar kemampuan mukallaf di antaranya adalah: datangnya bulan Ramadhan sebagai sebab wajibnya puasa, tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat, kekerabatan sebagai sebab hubungan waris. Ketiga sebab itu di luar kadar kemampuan mukallaf. Baligh adalah syarat berakhirnya kekuasaan wali dan cakap adalah syarat bolehnya melakukan beberapa transaksi. Baligh dan cakap adalah syarat yang tidak bisa diusahakan oleh mukallaf. Status bapak adalah penghalang diberlakukannya hukum qishash baginya jika dia membunuh anaknya dengan sengaja, gila adalah penghalang diberlakukannya hukum bagi orang gila, dan status penerima wasiat sebagai ahli waris adalah penghalang baginya menerima wasiat menurut sebagian ulama fiqh. Ketiga penghalang itu di luar batas kemampuan mukallaf.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar