STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 17 Maret 2012

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together

  1. Penerapan Metode Mengajar
Metode adalah suatu cara kerja yang sistematika dan umum, yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Metode yang baik, makin efektif pula pencapaiannya, tetapi tidak ada satupun metode yang dilakukan paling baik atau dapat dipergunakan bagi semua macam usaha pencapaian tujuan (Rohani, 1991:111). Metode mengajar guru yang kurang baik akan mempengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula. Metode mengajar yang kurang baik itu dapat terjadi karena kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga guru tersebut dalam menyajikannya tidak jelas atau sikap guru atau siswa terhadap mata pelajaran itu sendiri tidak baik, sehingga siswa kurang senang terhadap mata pelajaran atau gurunya. Akibatnya siswa malas untuk belajar (Slamento, 2003:65).
  1. Proses Belajar Mengajar
Keseluruhan proses pendidikan di sekolah kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik (Slamento, 2003:1). Jika terjadi proses belajar, maka bersama itu pula terjadi proses mengajar, bila ada yang belajar, maka sudah barang tentu ada yang mengajarinya, dan begitu sebaliknya.
Sudah terjadi suatu proses atau saling berinteraksi, antara yang mengajar dengan yang belajar, sebenarnya berada pada suatu kondisi yang unik, sebab secara sengaja atau tidak sengaja, masing-masing pihak berada dalam suasana belajar. Hasil dari proses belajar mengajar (PBM) disebut hasil pengajaran atau hasil belajar, dan agar memperoleh hasil yang optimal, maka proses belajar mengajar harus dilakukan dengan sadar dan sengaja serta terorganisasi secara baik (Sadirman, 2001:19).

  1. Model Pembelajaran
Arends (1997) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Model pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk didalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas (Ibrahim et al, 2000:2).
Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengoganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar (Trianto, 2007:7). Merujuk pada definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran memberikan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Pemilihan model pembelajaran sangat dipengaruhi oleh sifat materi yang akan diajarkan, tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut, serta tingkat kemampuan peserta didik. Beberapa macam model pembelajaran yang sering digunakan guru dalam mengajar yaitu: pengajaran langsung (direct instruction), pembelajaran kooperatif, pengajaran berdasarkan masalah (problem base instruction), dan diskusi.
  1. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif dicirikan oleh struktur tugas, tujuan, dan penghargaan kooperatif. Siswa yang belajar dalam kondisi pembelajaran kooperatif didorong dan atau dikehendaki untuk bekerjasama pada suatu tugas bersama, dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya.
Penerapan pembelajaran kooperatif, dua atau lebih individu saling tergantung satu sama lain untuk mencapai suatu penghargaan bersama (Ibrahim dkk, 2000:5-6). Ini berarti ada penggeseran peran guru yang sentral menuju peran guru yang mengelola aktivitas belajar siswa melalui kerja sama kelompok di kelas (Ibrahim et all, 2000:6-7). Ciri-ciri pembelajaran kooperatif yaitu:
  1. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya,
  2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah,
  3. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras budaya, suku, jenis kelamin berbeda-beda,
  4. Penghargaan lebih berorientasi ketimbang individu,
Pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidaknya tiga tujuan pembelajaran penting (Ibrahim et all, 2000:7-9), yaitu:
  1. Hasil belajar akademik, pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik,
  2. Penerimaan terhadap perbedaan individu,
  3. Model kooperatif bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai macam perbedaan latar belakang,
  4. Pengembangan keterampilan sosial,
  5. Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi.
Model pembelajaran kooperatif terdapat enam langkah utama yang dimulai dengan langkah guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar hingga diakhiri dengan langkah memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif dari awal hingga akhir disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase
Aktivitas/Kegitan Guru
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Fase 3
Mengorganisasi siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Fase 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka
Fase 5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar siswa tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Fase 6
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu maupun kelompok
Sumber: Ibrahim et all (2000: 10)
  1. Model Pembelajaran Kooperfatif tipe Numbered Head Together
Numbered Head Together (NHT) merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Kagen (1993) untuk melibatkan banyak siswa dalam memperoleh materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran (Ibrahim at all, 2000:28). Struktur yang dikembangkan oleh Kagen ini menghendaki siswa belajar saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif dari pada penghargaan individual. Ada struktur yang memiliki tujuan umum untuk meningkatkan penguasaan isi akademik dan ada pula struktur yang tujuannnya untuk mengajarkan keterampilan sosial (Ibrahim at all, 2000:25).
Numbered Head Together dikembangkan oleh Spencer Kagen dengan melibatkan para siswa dalam mereview bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek atau memeriksa pemahaman mereka mengenai isi pelajaran tersebut. Sebagai pengganti pertanyaan langsung kepada seluruh kelas, guru menggunakan struktur empat langkah sebagai berikut:
  1. Langkah 1, penomoran (numbering): guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan 3 hingga 5 orang dan memberi mereka nomor, sehingga tiap siswa dalam tim tersebut memiliki nomor yang berbeda,
  2. Langkah 2, pengajuan pertanyaan: guru mengajukan suatu pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi dari yang bersifat spesifik hingga yang bersifat umum,
  3. Langkah 3, berpikir bersama (Head Together): para siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap orang mengetahui jawaban tersebut,
  4. Langkah 4, pemberian jawaban: guru menyebutkan suatu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas (Ibrahim et all, 2000: 28).
  1. Manfaat Pembejaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif sebagai sebuah pola atau rancangan yang disebut strategi pembelajaran, maka model pembelajaran kooperatif dalam pelaksanaannya dikelas memiliki manfaat sebagaimana dijelaskan oleh Ibrahim at all. (2000:18-19), yakni:
  1. Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas,
  2. Rasa harga diri menjadi lebih tinggi,
  3. Angka putus sekolah menjuadi rendah,
  4. Penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar,
  5. Memperbaiki kehadiran,
  6. Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil,
  7. Konflik antar pribadi berkurang,
  8. Sikap apatis berkurang,
  9. Pemahaman yang lebih mendalam,
  10. Motivasi lebih besar,
  11. Hasil belajar lebih tinggi, dan
  12. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, dan toleransi.
  1. Pemberian Nilai dalam Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif guru harus berhati-hati dalam cara menilai yang ditetapkan diluar sistem penilaian. Konsisten dengan konsep struktur penghargaan kooperatif penting bagi guru untuk menghargai hasil kelompok. Tugas penilaian ganda ini dapat menyulitkan nilai individu untuk suatu nilai kelompok (Ibrahim et all, 2000:58).
  1. Hasil Belajar
Taksonomi Bloom membagi hasil belajar atas tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah kognitif berhubungan dengan berpikir, ranah afektif berhubungan dengan kemampuan perasaan, sikap dan kepribadian, sedangkan ranah psikomotor berhubungan dengan persoalan keterampilan motorik yang dikendalikan oleh kematangan psikologis (Hasan et all, 1991:23-27).
  1. Ranah Kognitif
Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir dikenal ada 5 jenjang ranah kognitif. Berdasarkan urutan dari yang terendah ke yang tertinggi, kelima jenjang tersebut, adalah:
  1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah kemampuan manusia dalam mengingat semua jenis informasi yang diterimanya. Informasi tersebut dapat saja berbentuk data, istilah, definisi, fakta, teori, pendapat, prosedur kerja, tata tertib, hukum, generalisasi, klasifikasi, kriteria, metodologi, abstraksi, dan penjelasan.
  1. Pemahaman
Pemahaman adalah jenjang kognitif kedua. Tingkat pemahaman ada tiga kemampuan pokok yang merupakan indikator pemahaman terhadap informasi yang diterima. Ketiga kemampuan tersebut dianggap sebagai subkategori pemahaman. Ketiganya adalah kemampuan, menerjemahkan, menafsirkan, dan ekstrapolasi berdasarkan urutan tingkatannya.
  1. Aplikasi
Aplikasi adalah kemampuan menggunakan sesuatu dalam situasi tertentu yang bukan merupakan pengulangan. Analisis adalah kemampuan untuk melakukan pengolahan informasi lebih lanjut. Pengetahuan analisis yang tertinggi adalah kemampuan menemukan prinsip atau dasar organisasi dengan informasi yang dikaji.
  1. Sintesis
Kemampuan sintesis secara umum dapat dikatakan bahwa kemampuan ini baru terjadi apabila kita menghadapi informasi yang berbeda-beda.
  1. Evaluasi
Evaluasi adalah kemampuan tertinggi dalam ranah kognitif, untuk sampai kepada kemampuan evaluasi semua kemampuan yang ada di bawahnya harus dikuasai. Orang tak mungkin melakukan evaluasi apabila tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang apa yang akan dievaluasi serta bagaimana melakukan evaluasi, tentang prosedur yang harus dilakukan, melihat keunggulan dan kelemahan suatu program berdasarkan informasi yang ada, juga melihat orisinalitas sesuatu yang akan dievaluasi.
  1. Analisis
Analisis adalah kemampuan untuk melakukan pengolahan informasimlebih lanjut. Pegetahuan analisis yang tertinggi merupakan kemampuan melakukan prinsip atau dasar organisasi dengan informasi yang dikaji.
  1. Ranah Afektif
Ranah afektif berhubungan dengan minat, perhatian, sikap, emosi, penghargaan, proses, internalisasi, dan pembentukan karakteristik diri. Krathwohl, dkk. (1964) membagi ranah afektif dalam 5 jenjang. Kelima jenjang tersebut, adalah:
  1. Penerimaan (receiving)
Jenjang ini adalah pembuka alat indera seseorang terhadap dunia luar. Ada tiga proses untuk jenjang penerimaan ini, pertama adanya kesadaran tentang apa yang sedang terjadi kita sadar adanya sejawat yang datang, orang berbicara, acara televisi, dan sebagainya. Kedua adalah kesediaan menerima apa yang terjadi tersebut sebagai stimulus. Ketiga adalah kemauan kita untuk mengontrol atau memilih stimulus mana yang akan kita perhatikan lebih lanjut.
  1. Penanggapan (responding)
Penanggapan adalah jenjang kedua dan lebih tinggi dari jenjang penerimaan. Penanggapan ini yang ditekankan adalah keinginan yang bersangkutan dan bukan sesuatu yang dirasakan sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan.
  1. Penghargaan (valuing)
Penghargaan adalah jenjang ketiga. Jenjang ini aktivitas efektif lebih tinggi dari jenjang pemberian penanggapan. Kalau dalam jenjang penanggapan orang yang melakukannya baru menunjukkan rasa senang dan gembira dapat memberikan penanggapan, dalam jenjang penghargaan ini sudah sampai pada rasa keterikatan atau memiliki terhadap suatu stimulus. Jenjang penghargaan terbagi atas tiga kategori pula yaitu penerimaan suatu nilai, kecenderungan (preferensi) akan suatu nilai, dan keterikatan (commitment) akan suatu nilai tertentu.
  1. Pengorganisasian (organization)
Pengorganisasian adalah jenjang keempat. Pengorganisasian terjadi apabila seseorang berada dalam situasi dimana terdapat lebih dari satu nilai atau sikap. Kesamaan antara pengorganisasian dengan sintetis dalam kognitif. Keduanya berhubungan dengan berbagai jenis dan kelompok stimulus. Perbedaannya, dalam sintetis hasil dari proses yang diperhatikan dan dianggap sebagai hasil kemampuan intelektua, afektif hal yang diutamakan adalah proses dan kecenderungan yang diperhatikan dalam berhubungan dengan stimulus.
  1. Penjatidirian (characterization)
Penjatidirian adalah jenjang tertinggi afektif. Jenjang ini nilai dan sikap sudah menjadi milik seseorang. Jadi, nilai dan sikap bukan saja diterima, disenangi, dihargai, digunakan dalam kehidupan, serta diorganisasikan dengan nilai dan sikap lainnya, tetapi sudah mendarah daging pada dirinya.
  1. Ranah Psikomotor
Ranah psikomotor berhubungan dengan kemampuan gerak atau manipulasi yang bukan disebabkan oleh kematangan biologis. Pengembangan ranah ini justru kemudian dilanjutkan oleh orang yang bukan masuk dalam kelompok kerja Bloom. Pertama mengembangkan ranah ini adalah Simpson (1966) memberikan tujuh jenjang psikomotor yang bersifat hierarkis yaitu persepsi, kesiapan, penanggapan terpimpin, mekanistik, penanggapan yang bersifat kompleks, adaptasi, dan originalitas.
Harrow (1972) mengembangkan pula ranah psikomotor ini dengan enam jenjang. Jenjang yang juga telah dikemukakan oleh Simpson. Keenam jenjang Simpson ialah gerakan refleks, gerakan badan yang mendasar, kemampuan persepsi, kemampuan fisik, keterampilan gerakan dan komunikasi yang beraturan (nondiscursive). Kelemahan utama dari klasifikasi Harrow, terutama mengenai jenjang pertama dan kedua. Kedua jenjang ini jelas menunjukkan adanya pengaruh kematangan biologis dan fisik sebagai faktor utama yang menyebabkan perubahan.
  1. Evaluasi Hasil Belajar
Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah asssment yang menurut Tardif et al (1989), berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Selain kata evaluasi dan asssment ada pula kata lain yang searti dan relatif lebih masyur dalam dunia pendidikan kita yakni tes, ujian, dan ulangan (Syah, 2008:197).
Roestiyah dalam Djamarah dan Zain (2006:20) berpendapat bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpilkan seluas-seluasnya, sedalam-dalamnya yang berhubungan dengan kapabilitas siswa yang dapat mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 58 ayat 1 menyatakan evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar pesrta didik secara berkesinambungan. Dengan demikian, maka evaluasi belajar harus dilakukan guru secara kontinyu, bukan hanya pada musim-musim ulangan terjadal atau ujian semata. Syah (2008:198-199) mengemukakan bahwa tujuan evaluasi adalah sebagai berikut:
  1. Untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu,
  2. Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan sisa dalam belajar,
  3. Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar,
  4. Untuk mengetahui hingga sejauh mana siswa telah mendayagunakan kapasitas kognitifnya untuk keperluan belajar,
  5. Untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode yang digunakan guru dalam proses belajar mengajar (PBM).
Evaluasi hasil belajar berfungsi melaksanakan ketentuan konstitusional yang termaktub dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 57 ayat 1 menyatakan evaluasi pendidikan dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Syah (2008:200) menyebutkan fungsi evaluasi ada lima, yaitu:
  1. Fungsi administratif untuk penyusunan daftar nilai dan pengisian buku rapor,
  2. Fungsi promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan,
  3. Fungsi diagnostik untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dan merencanakan remedial teaching (pengajaran perbaikan),
  4. Sebagai sumber data bimbingan dan penyuluhan (BP) yang dapat memasok data siswa tertentu yang memerlukan bimbingan dan penyuluhan (BP),
  5. Sebagai bahan pertimbangan pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi pengembangan kurikulum, metode, dan alat-alat untuk proses belajar mengajar.
Evaluasi hasil belajar merupakan kegiatan berencana dan berkesinambungan, oleh karena itu ragamnya pun banyak mulai dari sederhana sampai yang paling kompleks (Syah, 2008:200).
  1. Pre-test dan Post- test
Kegiatan pre-test dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi baru. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi taraf pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan (Syah, 2008:201). Fungsi pre-test (Mulyasa, 2004:100) adalah sebagai berikut:
        1. Menyiapkan siswa dalam proses pembelajaran, karena dengan pre-test maka pikiran mereka akan terfokus pada soal-soal yang harus dikerjakan,
        2. Mengetahui tingkat kemajuan siswa sehubungan dengan proses pembelajaran yang dilakukan. Hal ini dapat dilakukan dengan membandingkan hasil pre-test dan post-test,
        3. Mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki siswa mengenai materi yang akan dijadikan topik dalam proses pembelajaran,
        4. Mengetahui dari mana seharusnya proses pembelajaran dimulai, tujuan-tujuan mana yang telah dikuasai siswa dan tujuan-tujuan mana yang perlu mendapat penekanan dan perhatian khusus.
Post-test adalah kegiatan evaluasi yang dilakukan guru pada setiap akhir penyajian materi. Tujuan adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan (Syah, 2008:201-202). Fungsinya adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan, jika hasil post-test dibandingkan dengan hasil pre-test, akan dapat diketahui seberapa jauh pengaruh dari pembelajaran yang telah diberikan dan dapat pula diketahui bagian-bagian mana dari penyajian materi yang belum dipahami siswa (Ibrahim dan Syaodih, 1996:131)
  1. Evaluasi Prasyarat
Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pre-test. Evaluasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi penguasaan sisa atas materi lama yang mendasari materi baru yang akan diajarkan (Syah, 2008:202).
  1. Evaluasi Diagnostik
Evaluasi ini dilakukan setelah penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa. Instrumen evaluasi jenis ini dititik beratkan pada bahasan tertentu yang dipandang telah membuat siswa mendapatkan kesulitan (Syah, 2008:202).
  1. Evaluasi Formatif
Syah (2008:202) mengemukakan bahwa evaluasi jenis ini dapat dipandang sebagai “ulangan” yang dilakukan pada setiap penyajian satuan pelajaran atau modul. Tujuannya adalah memperoleh umpan balik yang mirip dengan evaluasi diagnostik, yakni untuk mendiagnosisi (mengetahui penyakit/kesulitan) kesulitan belajar siswa. Hasil diagnosis tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan rekayasa pengajaran remedial (perbaikan).
  1. Evaluasi Sumatif
Ragam penilaian sumatif dapat dianggap sebagai “ulangan umum” yang dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran (Syah, 2008:203). Ragam alat evaluasi terdiri atas dua macam bentuk (Syah, 2008:203-209) yaitu:
    1. Bentuk Objektif
Bentuk ini merupakan tes yang dapat diberi skor nilai secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya. Evaluasi bentuk obyektif ini ada lima macam tes, yaitu:
    • Tes benar salah, yaitu tes yang paling sederhana. Soal-soal dalam tes ini berbentuk pernyataan yang pilihan jawabannya hanya dua macam, yakni “B” jika pernyataan tersebut benar dan “S” jika pernyataan tersebut salah,
    • Tes pilihan berganda, yaitu item-item dalam tes pilihan berganda (multiple choice) biasanya berupa pertanyaan atau pernyataan yang dapat dijawab dengan memilih salah satu dari empat atau lima alternatif jawaban yang mengiringi tiap soal,
    • Tes pencocokan (menjodohkan), disusun dalam dalam daftar yang masing-masing memuat kata, istilah, atau kalimat yang diletakkan bersebelahan. Tugas siswa dalam menjawab item-item soal ialah mencari pasangan yang selaras antara kalimat atau istilah yang ada pada daftar,
    • Tes isian, biasanya berbentuk cerita atau karangan pendek, yang pada bagian-bagian yang memuat istilah atau nama tertentu dikosongkan. Siswa berpikir untuk menemukan kata-kata yang relevan dengan karangan tersebut,
    • Tes pelengkapan (melengkapi), carapenyelesaiannya sama dengan tes isian. Perbedaannya terletak pada kalimat-kalimat yang digunakan sebagai instrumen.
    1. Bentuk Subjektif
Alat evaluasi yang berbentuk subyektif adalah alat pengukur prestasi belajar yang jawabannya tidak dinilai dengan skor atau angka yang pasti. Hal ini disebabkan banyaknya ragam gaya jawaban yang diberikan oleh siswa.instrumen evaluasi mengambil bentuk essay examination, yaitu soal ujian yang mengharuskan siswa menjaab setiap pertanyaan dengan cara menguraikan atau dalam bentuk karangan bebas.
Keunggulan tes esai adalah sebagai berikut:
    • tes esai tidak hanya mampu mengungkapkan materi hasil jaaban siswa tetapi juga cara atau jalan yang ditempuh untuk memperoleh jawaban tersebut,
    • tes esai mendorong siswaberpikir kreatif, kritis, bebas, mandiri, tetapi tanpa melupakan tanggung jawab.
  1. Penilaian Hasil Belajar
Penilaian belajar siswa bermakna bagi semua komponen pengajaran, terutama bagi siswa, guru dan sekolah (Arikunto, 1987:5-7).
  1. Makna bagi siswa
Diadakannya evaluasi, maka siswa dapat mengetahui sejauh mana ia telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Hasil yang diperoleh siswa dari pekerjaan menilai ada 2 kemungkinan, yaitu:
    1. Memuaskan
Siswa memperoleh hasil yang memuaskan, dan hal itu menyenangkan, tentu kepuasan itu ingin diperolehnya pada kesempatan lain waktu sehingga siswa akan mempunyai motivasi yang cukup besar untuk belajar lebih giat, agar lain kali mendapat hasil yang lebih baik lagi. Keadaan sebaliknya dapat terjadi, yakni siswa sudah merasa puas dengan hasil yang diperolehnya dan usahanya kurang gigih untuk lain kali.
    1. Tidak memuaskan
Siswa tidak puas dengan hasil yang diperolehnya ia akan berusaha agar lain kali keadaan itu tidak terulang lagi, yaitu belajar dengan lebih giat lagi. Namun demikian, keadaan sebaliknya dapat terjadi, ada beberapa siswa yang lemah kemauannya, akan menjadi putus asa dengan hasil yang kurang memuaskan yang telah diterimanya.
  1. Makna bagi guru
Hasil penilaian yang diperoleh, guru akan dapat mengetahui siswa-siswa mana yang sudah berhasil melanjutkan pelajarannya, karena siswa tersebut telah berhasil menguasai bahan, maupun mengetahui siswa-siswa yang belum berhasil menguasai bahan. Petunjuk ini guru dapat lebih memusatkan perhatiannya kepada siswa yang belum berhasil. Apabila guru tahu akan sebab-sebabnya, memberikan perhatian yang memusat dan memberikan perlakuan yang lebih teliti sehingga keberhasilan selanjutnya dapat diharapkan. Guru akan mengetahui apakah materi yang diajarkan sudah tepat bagi siswa sehingga untuk memberikan pengajaran di waktu yang akan datang tidak perlu diadakan perubahan.
Guru akan mengetahui apakah metode yang digunakan sudah tepat atau belum, jika sebagian besar dari siswa memperoleh angka jelek pada penilaian yang diadakan, mungkin hal ini disebabkan oleh pendekatan atau metode yang kurang tepat. Apabila demikian halnya, maka guru harus mawas diri dan mencoba mencari metode lain dalam mengajar.
  1. Makna bagi sekolah
Guru-guru mengadakan penilaian dan diketahui bagaimana hasil belajar siswa-siswanya, dapat diketahui pula apakah kondisi belajar yang diciptakan oleh sekolah sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum. Karena hasil belajar mencerminkan kualitas suatu sekolah. Informasi dari guru tentang dapat tidaknya kurikulum untuk sekolah itu dapat merupakan bahan pertimbangan bagi perencanaan sekolah untuk masa-masa yang akan datang. Informasi hasil penilaian yang diperoleh dari tahun ke tahun, dapat digunakan sebagai pedoman bagi sekolah, apakah yang dilakukan oleh sekolah sudah memenuhi standar atau belum. Pemenuhan standar akan terlihat dari bagusnya nilai-nilai yang diperoleh siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Afandi, I. 2006. KTSP dan Penguatan Otonomi Sekolah, (Online), (http//www.pikiran rakyat.com, diakses 28 Agustus 2006).
Arikunto, S. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2006. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Dimyati, dan Mudjiono, 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Hasan. 1991. Evaluasi Hasil Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ibrahim et all. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Surabaya University Press.
Ibrahim, R., dan Syaodih, N. 1996. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Margono, S. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rohani, et all, 1991. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Slamento. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Sodijono, A. 2005. Pengantar Statiska Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta.
Syah, M. 2008. Psikolologi Belajar. Jakarta: Raja Grafido Persada.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik Konsep, Landasan Teoritik Praktis dan Implementasinya. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar