STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Minggu, 29 April 2012

HARTA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

I. LATAR BELAKANG
Harta adalah sesuatu yang sangat penting bagi manusia, tanpa harta hidup terasa hampa begitulah kata pepatah. Yah, harta memang mutlak diperlukan manusia karena dengan harta manusia akan dihormati, dengan harta manusia bisa makan dan memberi makan anak dan istri, dengan harta manusia bisa membeli dan memiliki apa saja yang ia inginkan di dunia. Dan tanpa harta manusia seringkali dilecehkan, dihinikan, bahkan sampai ada orang yang gila dan bunuh diri karena tidak mempunyai harta.
Tetapi apakah harta adalah segalanya. Ternyata tidak harta bukanlah segalanya karena harta tidak bisa membeli kebahagiaan dan keimanan. Dalam konteks ekonomi Islam harta yang kita miliki sebenarnya bukanlah miliki kita tetapi milik Allah swt. Dan kita hanya sekedar dititipi belaka. Dan harta yang Allah titipkan kepada kita itu di dalamnya terdapat hak-hak fakir, miskin, yatim, dll. Yang harus kita pedulikan. Sehingga di dalam ekonomi Islam harta itu mempunyai peran yang sangat besar baik peran dalam hal individu, sosial, maupun dengan lingkungan sekitar.
Oleh karena pentingnya harta itu, maka saya sebagai penulis ingin mencoba menganalisis bagaimana ekonomi Islam memandang harta, yang akan penulis jelaskan dalam esai ini.


II. POKOK-POKOK MASALAH
Beberapa pokok masalah yang akan penulis bahas dalam esai adalah sebagai berikut
1)      Apa pengertian dari harta?
2)      Bagaimana pandangan agama Islam terhadap harta yang dimiliki manusia?
3)      Bagaimana cara manusia mengelola harta yang diberikan Allah swt.?
4) Bagaimana harta dalam perspektif ekonomi Islam?
III. ANALISIS
A.  Pengertian
Pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki manusia. Kata maal itu sendiri berakar dari kata dan frase: مول ، ملت ، لت تموّ ، تمو
sebagaimana Rasulullah bersabda dalam sebuah Hadits:” Sebaik-baik maal ialah yang berada pada orang yang saleh.” (Bukhari dan Muslim)[1]
Pengertian  harta secara Istilah Madzhab Hanafiyah[2]: Semua yang mungkin dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan. Dua unsur menurut madzhab: 1. Dimiliki dan disimpan 2. Biasa dimanfaatkan dan menurut. Jumhur Fuqaha; Setiap yang berharga yang harus diganti apabila rusak, menurut Hambali: apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat. Imam Syafii: barang-barang yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah meninggalkannya (tidak berguna lagi bagi manusia). Ibnu Abidin[3]: segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan sampai waktu ia dibutuhkan. As Suyuti dinukil dari Imam Syafii: tidak ada yang bisa disebut mal (harta) kecuali apa-apa yang memiliki nilai penjualan dan diberi sanksi bagi orang yang merusaknya.[4]

B.  Islam Memandang Harta
Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.
Kalau harta seluruhnya adalah milik Allah, maka tangan manusia hanyalah tangan suruhan untuk jadi khalifah. Maksudnya manusia adalah khalifah-khalifah Allah dalam mempergunakan dan mengatur harta itu.
Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu:[5]
1.    Allah Maha Pencipta, bahwa kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit adalah ciptaan Allah.
2.    Semua harta adalah milik Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh titipan dan hak pakai saja. Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali ke kampung akhirat.
3.    Iman kepada hari Akhir. Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan terhadap dosa dan pahala yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia ini. Kita akan ditanya darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan, semua harus dipertanggungjawabkan.

C.  Pengelolaan Harta Dalam Islam
Ada 3 poin penting dalam pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu:[6]
1.    Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”
2.    Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”
3.    ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim).

Memproduksi barang-barang yang baik dan memiliki harta adalah hak sah menurut Islam. Namun pemilikan harta itu bukanlah tujuan tetapu sarana untuk menikmati karunia Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Dalam Al-Quran surat Al-Hadiid (57):7 disebutkan tentang alokasi harta.
(#qãZÏB#uä «!$$Î/ ¾Ï&Î!qß™u‘ur (#qà)ÏÿRr&ur $£JÏB /ä3n=yèy_ tûüÏÿn=øÜtGó¡•B ÏmŠÏù ( tûïÏ%©!$$sù (#qãZtB#uä óOä3ZÏB (#qà)xÿRr&ur öNçlm; ֍ô_r& ׎Î7x. ÇÐÈ
Artinya :”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu ’menguasainya’. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu akan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Q.S. Al Hadiid : 7)[7]
Yang dimaksud dengan menguasai disini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, hak milik pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidak boleh kikir dan boros.
Belanja dan konsumsi adalah tindakan yang mendorong masyarakat berproduksi sehingga terpenuhinya segala kebutuhan hidupnya. Jika tidak ada manusia yang bersedia menjadi konsumen, dan jika daya beli masyarakat berkurang karena sifat kikir melampaui batas, maka cepat atau lambat roda produksi niscaya akan terhenti, selanjutnya perkembangan bangsa akan terhambat.
Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta menafkahkan di jalan Allah. Dengan kata lain Islam memerangi kekikiran dan kebakhilan. Larangan kedua dalam masalah harta adalah tidak berbuat mubadzir kepada harta karena Islam mengajarkan bersifat sederhana. Harta yang mereka gunakan akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan.
Sebagaimana seorang muslim dilarang memperoleh harta dengan cara haram, maka dalam membelanjakannya pun dilarang dengan cara yang haram. Ia tidak dibenarkan membelanjakan uang di jalan halal dengan melebihi batas kewajaran karena sikap boros bertentangan dengan paham istikhlaf harta majikannya (Allah). Norma istikhlaf adalah norma yang menyatakan bahwa apa yang dimiliki manusia hanya titipan Allah. Adanya norma istikhlaf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi Islam. Dasar pemikiran istikhlaf adalah bahwa Allah-lah Yang Maha Pemilik seluruh apa dan siapa yang ada di dunia ini: langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, batuan, dans ebagainya, baik benda hidup ataupun mati, yang berpikir ataupun tidak bepikir, manusia atau nonmanusia, benda yang terlihat ataupun tidak terlihat
Islam membenarkan pengikutnya menikmati kebaikan dunia. Prinsip ini bertolak belakang dengan sistem kerahiban Kristen, Manuisme Parsi, Sufisme Brahma, dan sistem lain yang memandang dunia secara sinis. Sikap mubadzir akan menghilangkan kemaslahatan harta, baik kemaslahatan pribadi dan orang lain. Lain halnya jika harta tersebut dinafkahkan untuk kebaikan dan untuk memperoleh pahala, dengan tidak mengabaikan tanggungan yang lebih penting. Sikap mubadzir ini akan timbul jika kita merasa mempunyai harta berlebihan sehingga sering membelanjakan harta tidak untuk kepentingan yang hakiki, tetapi hanya menuruti hawa nafsunya belaka. Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubadzir dengan ancaman sebagai temannya setan.[8]
Muhammad bin Ahmad As-Shalih mengemukakan jika Islam telah melarang berlaku boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang yang menghamburkan harta kekayaan, yaitu mencegahnya dari membelanjakan harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut para fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab tertentu. Di antara sebab-sebab itu adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah karena kecurangan, tipu muslihat, dan tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.[9]
Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya ekonomi dalam Islam:[10]
1.    harta kekayaan harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (melarang penimbunan dan monopoli);
2.    pembayaran zakat serta pendistribusian (produktif/konsumtif)
3.    penggunaan yang berfaidah (untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan material-spiritual)
4.    penggunaan yang tidak merugikan secara pribadi maupun secara kemasyarakatan dalam aktivitas ekonomi maupun non ekonomi
5.    kepemilikan yang sah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam aktifitas transaksi ekonomi.

D.  Fungsi Harta
Fungfsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha ntuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan hukum negara, atau ketetapan yang disepakati oleh ulama.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta yang sesuai dengan ketentuan syara’, antara lain untuk :[11]
  1. Kesempurnaan ibadah mazhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menuup aurat.
  2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah set. Sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.
  3. Meneruskan setafet kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah.
  4. Menyelaraskan kehidupan dunia dan akherat.
 

III.   KESIMPULAN

1)      Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dandapat dimanfaatkan, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun yang tidak tampak yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian, dan tempat tinggal.
2)      Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang
3)      pengelolaan harta kekayaan dalam Islam (sesuai Al-Qur’an dan Hadits); yaitu: (a).  Larangan mencampur-adukkan yang halal dan batil. Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 19; ”Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil)”; (b). Larangan mencintai harta secara berlebihan Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Fajr (89): 20; ”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”; (c).  ”Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” (hadits Muslim).
4)      Ada tiga asas pokok tentang harta dalam ekonomi Islam, yaitu: (1).  Allah Maha Pencipta, bahwa kita yakin semua yang ada di bumi dan di langit adalah ciptaan Allah.; (2). Semua harta adalah milik Allah. Kita sebagai manusia hanya memperoleh titipan dan hak pakai saja. Semuanya nanti akan kita tinggalkan, kita kembali ke kampung akhirat.; (3). Iman kepada hari Akhir. Hari Akhir adalah hari perhitungan, hari pembalasan terhadap dosa dan pahala yang kita perbuat selama mengurus harta di dunia ini. Kita akan ditanya darimana harta diperoleh dan untuk apa ia digunakan, semua harus dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

  1. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997.
  2. M. Hasbi Ash Shiddiqie,  Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
  3. Nana Masduki, Fiqh Muamalah, Bandung, IAIN SGD, 1987.
4.      M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003.
5.      Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi,. Studi Islam Jilid III Muamlah, Jakarta, PT. Grafindo Persada,  1993.
  1. Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV. Diponegoro, 2003.
  2. M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003.
  3. Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A.,  Fiqih Muamalah, Bandung , CV. Pustaka Setia, 2001.
9.      Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996.
10.  Sulaiman Rasjid,  Fiqh Islam, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2002.
  1. http://darul-arafah.blogspot.com/
  2. http//hndwibowo.blogspot.com/2008/06/harta-dalam-perspektif-islam.html.
 

[1]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Bandung, Gunung Djati Press, 1997, hlm. 9
[2] M. Hasbi Ash Shiddiqie,  Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 139.
[3] Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar ‘Ala Dar Al-Mukhtar, Juz II, Hlm. 355.
[4] Nana Masduki, Fiqh Muamalah, Bandung, IAIN SGD, 1987, hlm. 76


[5] M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003, hlm. 192.
[6] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhudi,. Studi Islam Jilid III Muamlah, Jakarta, PT. Grafindo Persada,  1993, hlm. 31

[7] Departemen Agama RI,  Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, CV. Diponegoro. 2003, hlm. 429

[8] http://darul-arafah.blogspot.com/
[9] http//hndwibowo.blogspot.com/2008/06/harta-dalam-perspektif-islam.html
[10] M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Islam, Yogyakarta, Ekonisia, 2003, hlm. 202.
[11] Prof. DR. H. Racmat Syafee’i, M.A.,  Fiqih Muamalah, Bandung , CV. Pustaka Setia, 2001, hlm. 31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar