STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 14 Mei 2012

Tinjauan Umum tentang Ekonomi Syariah

A. Pengertian Ekonomi Syari’ah
Menurut bahasa, ekonomi Islam terdiri dari dua kata yaitu ekonomi dan Islam. Kata “ekonomi”, berarti perihal pengurus dan mengatur kemakmuran, dan sebagainya.[1] Dan kata “syari’ah”, yaitu hukum atau undang-undang yang ditentukan Allah swt. untuk hamba-Nya sebagaimana terkandung dalam Kitab Suci Al-Qur’an dan diterangkan oleh Rasulullah dalam bentuk sunnahnya.[2] Jadi ekonomi syari’ah adalah ekonomi atau perihal yang mengurus dan mengatur kemakmuran berdasarkan agama atau aturan-aturan yang telah disyariatkan oleh Islam, atau pengaturan kemakmuran berdasarkan prinsip ekonomi dalam Islam.
Menurut istilah, ekonomi Islam menurut Muhammad Abdul Mannan, ialah:
Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.[3]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ekonomi Islam adalah, perihal mengenai ekonomi atau mengurus dan mengatur kemakmuran dengan berlandaskan pada nilai-nilai Islam.

B. Ruang Lingkup Ekonomi Syari’ah
Ekonomi syari’ah atau ilmu ekonomi syari’ah terutama mengenai permasalahan yang menyangkut uang, oleh ahli ekonomi yang menyokong pandangan bahwa ilmu ekonomi adalah mengenai perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan uang dan membelanjakan uang. Tetapi penulis klasik dan pengikut mereka masa kini, cenderung menyelidiki yang tersirat di belakang selubung keuangan itu dan menggambarkan masalah ekonomi dari segi yang bukan moneter. Permasalahan ekonomi umat manusia yang fundamental bersumber dari kenyataan bahwa kita mempunyai kebutuhan dan kebutuhan ini pada umumnya tidak dapat dipenuhi tanpa mengeluarkan sumber daya energi manusia, di samping peralatan materil yang terbatas. Bila seseorang memiliki sarana tidak untuk memenuhi semua jenis kebutuhan, maka masalah ekonomi tidak akan timbul. Sejauh mengenai masalah pokok kekurangan, hampir tidak terdapat perbedaan apapun antara ilmu ekonomi Islam dan ilmu ekonomi modern. Andaikata ada perbedaan, hal itu terletak pada sifat dan volumenya. Itulah sebabnya mengapa perbedaan pokok antara kedua sistem ilmu ekonomi ini dapat ditemukan dengan memperhatikan penanganan masalah pilihan. Persoalan pilihan timbul dari kenyataan bahwa sumber daya begitu terbatas sehingga dipenuhinya suatu jenis keinginan, berarti mengorbankan suatu kebutuhan lain yang harus terus tidak terpenuhi. Pertikaian yang selalu terjadi antara beraneka ragamnya keinginan dan kurangnya sarana memaksa untuk mengadakan pilihan di antara kebutuhan-kebutuhan kita, guna menetapkan daftar prioritas dan kemudian mendistribusikan sumber daya itu sedemikian rupa sehingga mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara maksimum. Dalam ilmu ekonomi modern masalah pilihan ini sangat tergantung pada bermacam-macam tingkah masing-masing individu. Mereka mungkin tidak memperhitungkan persyaratan-persyaratan masyarakat. Namun dalam ilmu ekonomi Islam, tidaklah berada dalam kedudukan untuk mendistribusikan sumber-sumber daya sekelompok hati. Dalam hal ini ada suatu pembatasan moral yang serius berdasarkan ketetapan Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah atas tenaga individu.[4]
Suka atau tidak suka, ilmu ekonomi syari’ah tidak dapat berdiri netral di antara tujuan yang berbeda-beda. Demikianlah kegiatan membuat dan menjual minuman alkohol dapat merupakan aktivitas ekonomi yang baik dalam sistem ekonomi modern. Namun hal ini tidak mungkin terjadi di negara Islam. Karena dalam banyak hal usaha ini tidak akan memajukan kesejahteraan manusia, suatu kesejahteraan yang dapat diukur dengan uang. Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan individu dianggap sebagai fungsi yang kian meningkat dari komoditi dan jasa yang menurut skala nilainya, ingin dimiliki. Dan sebagai fungsi kian berkurang dari usaha pengorbanan yang harus dilakukan untuk mencapainya. Tetapi dalam ilmu ekonomi Islam, individu harus memperhitungkan perintah Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah dalam melaksanakan aktivitasnya. Dalam Islam, kesejahteraan sosial dapat dimaksimalkan jika sumber daya ekonomi juga dialokasikan sedemikian rupa, sehingga dengan pengaturan kembali keadaannya, tidak seorang pun lebih baik dengan menjadikan orang lain lebih buruk dalam kerangka Al-Qur’an dan sunnah. Segala sesuatu yang tidak secara nyata terlarang dalam Al-Qur’an dan sunnah tetapi taat dengan semangat yang sama boleh dinyatakan islami. Dan dalam sistem ekonomi Islam, melakukan kegiatan-kegiatan demikian, tidak dianggap salah.[5]
Walaupun ilmu ekonomi Islam, seperti halnya ilmu ekonomi modern, tidak hanya mengenai aspek perilaku manusia yang berhubungan dengan cara mendapatkan uang dan membelanjakannya, namun sebagian besar ia merupakan aktivitas ekonomi kita. Benar-benar menabjubkan, bahkan seribu empat ratus tahun yang lalu Islam telah mengusahakan keseimbangan yang langgeng antara pendapatan dan perbelanjaan guna mencapai sasaran keuntungan sosial yang maksimum. Islam selalu menekankan agar setiap orang mencari nafkah dengan halal. Semua sarana dalam hal mendapatkan kekayaan secara tidak sah dilarang, karena hal tersebut pada akhirnya, dapat membinasakan suatu bangsa (QS. An-Nisa (4): 29).
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.[6]
Almaraghi mengemukakan bahwa ‘bathil” berarti kesia-siaan dan kerugian. Yaitu mengambil harta tanpa mengganti hakiki yang biasa, dan tanpa keridhaan dari pemilik harta yang diambil itu atau menafkahkan harta bukan jalan hakiki yang bermanfaat, dan termasuk dalam hal ini adalah lotre, penipuan di dalam jual beli, riba, dan menafkahkan harta benda pada jalan yang diharamkan, serta pemborosan dengan mengeluarkan harta untuk hal-hal yang tidak dibenarkan oleh akal.[7]
Kata menunjukkan bahwa harta yang haram biasanya menjadi pangkal persengketaan di dalam transaksi antara orang yang memakan dengan orang yang dimakan hartanya. Masing-masing ingin menarik harta itu menjadi miliknya.[8] Dengan demikian dapat dipahami bahwa Islam mensyariatkan agar dalam memperoleh harta hendaknya dengan jalan yang halal atau tidak secara batil karena hal tersebut dapat berakibat pertentangan atau pertengkaran atau tidak secara ikhlas dari kedua belah pihak. Oleh karena itu, telah ditetapkan aturan-aturan tertentu yang mengatur dan menentukan bentuk dan intensitas kegiatan-kegiatan manusia dalam memperoleh kekayaan. Hal ini begitu dibatasi sehingga serasi dengan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pada tahap manapun tidak ada kegiatan ekonomi yang bebas dari beban pertimbangan moral.[9]
Untuk tujuan tersebut diatur dalam QS. Al-Baqarah (2): 168.
Terjemahnya:
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.[10]
Al-Maraghi mengemukakan bahwa makalah kalian sebagian apa yang ada di bumi ini yang terdiri dari berbagai makanan, termasuk binatang ternak yang kalian haramkan, dan makanlah apa saja yang halal dan baik.[11] Jadi, suatu negara Islam hanya dapat mendorong kegiatan-kegiatan sah, yang sepenuhnya sejalan dengan kebajikan sosial. Karena itu Islam tidak menyetujui segelintir sumber daya manusia kapitalis.[12]
Islam selalu menekankan agar selalu meletakkan suatu pemanfaatan sosial yang berguni. Sebagai dasar tersebut, dapat dipahami firman Allah dalam surah Al-Fathir (35): 29:
Terjemahnya:
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.[13]
Keserakahan dianggap sebagai sifat negatif dan merusak. Kekayaan orang-orang kikir, selain hanya memberikan keuntungan bagi mereka, juga menjadikan rintangan dan mengalangi pertumbuhan moral dan spiritual mereka (QS. Ali Imran/2: 180), sebaliknya hidup bermewah-mewahan pun dikecam.[14] Sesungguhnya Allah itu tunggal dan serba kecukupan. Manusialah yang serba kekurangan, dan kemakmuran dapat tercapai bukan dengan keserakahan, atau karena tidak pernah memberi, melainkan dengan memanfaatkan harta demi kepentingan Allah swt. yakni guna pengabdian mahluk-makhluk-Nya. (QS. Muhammad 47: 38).[15] Dengan cara ini, Islam mengatur kegiatan-kegiatan memperoleh uang dan mengeluarkan uang sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Demikianlah ruang lingkup ilmu ekonomi Islam yang tampaknya menjadi administrasi kekurangan sumber-sumber daya dalam masyarakat manusia dipandang dari segi konsepsi etik kesejahteraan dalam Islam. Oleh karena itu, ekonomi Islam tidak hanya mengenai sebab-sebab materil kesejahteraan. Tetapi juga mengenai hal-hal non materil yang tunduk kepada larangan Islam tentang konsumsi dan produk. Dalam Islam, baik konsumen maupun produsen bukanlah raja. Perilaku keduanya harus dituntun oleh kesejahteraan umum, individual dan sosial bagaimana dipahami dalam syariat.
C. Petunjuk Tentang Perlunya Ekonomi Syari’ah
Islam menghendaki supaya manusia selalu berada pada martabat yang tinggi dan luhur. Islam memandang manusia sebagai makhluk yang hanya mempunyai rasa indera, seperti alam tetumbuhan, kepada alam hewani dan meningkatkannya terus sehingga menjadi makhluk yang berakal, berperasaan dan rasa indera. Islam juga menghendaki agar manusia menjadi anggota yang berdaya guna bagi masyarakatnya.[16]
Kemiskinan sungguh merupakan bencana, yakni dapat membuat kepala tegak menjadi tunduk, merendah jiwa manusia yang mulanya luhur, memudarkan pancaran hati, mengacaukan pikiran, menghamburkan cita harapan, menyeret manusia ke dalam penderitaan dan kesengsaraan dan banyak meninggalkan akhlak dan budi pekerti serta nilai-nilai mulia, kemudian terjerumus ke dalam perbuatan dan tindakan tercela serta bergelimang dalam dosa.[17]
Islam membuat seseorang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, yaitu bertanggung jawab atas kewajiban membebaskannya dari perangai rendah, mencegah diri dari perbuatan khianat, dan mengarahkannya kepada kegiatan bekerja untuk soal-soal keduniaan, serta mengarahkannya kepada ketekunan beribadah. Islam bukan  hanya agama kerohanian semata-mata yang mengantarkan manusia dari kehidupan dunia kepada kehidupan akhirat, tetapi juga merupakan tuntutan hidup yang sempurna bagi manusia, termasuk segala dasar dan landasannya. Islam adalah agama akhirat dan juga agama dunia, agama yang mengandung kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat menuntut adanya kekuatan jasmani,akal pikiran, rajin melakukan pekerjaan yang baik dan gemar berbuat kebajikan.[18]
Kemiskinan dapat berakibat, yakni:
  1. Membahayakan akidah, kemiskinan merupakan ancaman yang serius terhadap akidah, tertama kaum miskin yang hidup di lingkungan kaum berada yang berlaku aniaya. Terlebih jika kaum miskin tersebut bekerja dengan susah payah sementara golongan kaya hanya bersenang-senang. Kondisi seperti ini, dapat menebarkan benih keraguan terhadap kebijaksanaan Allah mengenai pembagian rezki.[19]
  2. Membahayakan akhlak dan moral, yaitu selain berbahaya terhadap akidah dan keimanan, kemiskinan pun berbahaya terhadap moral.[20]
  3. Membahayakan keluarga, yaitu merupakan ancaman terhadap keluarga. Baik terhadap pembentukan, kelangsungan, maupun keharmonisannya. Kemiskinan merupakan salah satu rintangan besar bagi para pemuda untuk melangsungkan perkawinan seperti terpenuhinya berbagai syarat dan sebagainya.[21]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa agama tidak menghendaki adanya kemiskinan, karena kemiskinan merupakan bencana, yakni membuat kepala menjadi tunduk, merendahkan jiwa yang mulanya luhur, menghancurkan cita-cita harapan dan sebagainya. Kemiskinan juga dapat berbahaya terhadap akidah, akhlak, kelangsungan keluarga dan sebagainya; sehingga agama Islam menganjurkan untuk menghindarinya dengan jalan berusaha, bekerja dan sebagainya.
Salah satu perkembangan positif yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini ialah kendaraan yang semakin besar dari para pemimpin atau pemerintah tentang pentingnya melaksanakan keadilan sosial sebagai bagian dari kegiatan pembangunan.[22]
Salah satu aspek keadilan sosial tersebut ialah pembagian kekayaam nasional yang lebih murah, seperti pembangunan rumah atau panti-panti asuhan, pemberian kredit kepada mereka atau warga yang membutuhkan dan sebagainya.[23]
Berabad-abad manusia memikirkan masalah tersebut, dan untuk itu telah ditulis berjilid-jilid buku yang tidak semua memahaminya. Namun kesadaran di timbulkan hampir merata di seluruh dunia, yaitu bahwa kepincangan sosial yang terpenting ialah menyangkut distribusi rejeki, tujuannya yang pokok ialah bagaimana menghilangkan kemiskinan. Dan kemiskinan itu ada karena di situ ada kekayaan: tidak ada orang miskin dalam suatu masyarakat jika di situ tidak terdapat orang kaya.[24]
Kemiskinan tidaklah mengakibatkan ketidakbahagiaan. Banyak orang yang melarat dalam hidupnya ternyata lebih gembira dan bahagia daripada orang kaya. Tapi kemiskinan mengakibatkan degradasi, sehingga membahayakan bagi suatu masyarakat. Kejahatan yang ditimbulkan bersifat menular, dan tidak dapat dihindari hanya dengan pengasingan diri orang-orang kaya dalam bentuk apapun.[25]
Islam menjamin kemerdekaan setiap individu dan mengakui hak milik atas harta kekayaan, hak untuk mengatur dirinya sendiri dan keluarganya, dan kebebasan untuk melakukan kegiatan yang baik untuk kebajikan, menuntun orang yang sesat ke jalan yang lurus, bahkan wajib berjuang dan berperang untuk menangkal agresi. Islam menuntut supaya setiap orang memberikan sumbangannya sedapat mungkin dalam segala bidang kehidupan, dan menetapkan kewajiban agar setiap orang menginfakkan sebagian dari harta kekayaan di jalan yang benar, menolong kaum fakir miskin, dan untuk melawan kezaliman serta membasmi kedurhakaan.[26]
Zakat yang telah diwajibkan oleh Islam merupakan cara untuk memperkokoh hubungan yang paling baik antara kaya dan kaum fakir miskin. Islam tidak hanya membebani kewajiban atas individu terhadap masyarakatnya, tetapi juga membebani atas masyarakat kewajiban terhadap individu dengan kewajiban para pemegang kekuasaan supaya memelihara, mendidik, melindungi keselamatan jiwa, harta benda dan kehormatannya, serta apa saja yang menjadi miliknya.[27]
Sebagai makhluk Allah swt. manusia memiliki kemampuan yang berbeda satu sama lainnya. Kesabaran ditujukan Tuhan kepada si miskin, sedang kesyukuran dan kedermawanan ditujukan kepada si kaya.[28]
Harta menurut pengertian Islam ialah amanat yang harus disalurkan sesuai dengan petunjuk Allah swt. karena itu, harta dalam Islam berfungsi sosial dan tidak boleh bermewah-mewah berlebihan yang dimilikinya.[29]
Dengan menunjukkan solidaritas di bidang sosial, maka hubungan yang tadinya putus dapat di sambung kembali karena telah terjelma adanya tenggang rasa. Meskipun nilainya tidak seberapa, akan tetapi secara kejiwaan seakan-akan mereka juga diperhatikan. Bila perasaan telah terjalin, maka terjadilah apa yang disebut mawaddah fil qurba (jembatan rasa). Hal tersebut akan menghilangkan dugaan-dugaan dan perasan yang tidak enak antara satu sama lainnya hingga sulit melakukan komunikasi.[30]
Islam senantiasa mencita-citakan rumah tangga yang aman dan tenteram, masyarakat yang kasih sayang, serta negara yang paripurna. Kehidupan semacam itu dapat tercapai, bila satu sama lain dapat melakukan hubungan yang harmonis, bantu membantu sesuai kemampuan yang dimilikinya.[31]
Tidak semua orang miskin berkeinginan agar harta orang kaya itu dibagi rata, tetapi yang ditekankan adalah menjalin perasaan sesama makhluk Allah. Jadi bukan besar kecilnya harta, akan tetapi nilai kasih sayang.[32]
Sebagai dasar perlunya perlindungan sosial dalam menanggulangi kemiskinan tersebut, dapat dipahami firman Allah swt. dalam QS. An-Nur (24) 22.
Terjemahnya:
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah …[33]
Dengan demikian dapat dipahami perlindungan sosial dalam Islam merupakan suatu hal yang harus diterapkan, yakni bagi mereka yang mampu termasuk hartawan dan sebagainya hendaknya memberi bantuan kepada kaum fakir miskin, agar terhindari dari kemelaratan, kesengsaraan, penderitaan dan sebagainya, agar tercipta kasih sayang, masyarakat yang aman, tentram dan bahagia.

[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 524.

[2]Nasaruddin Razak, Dienul Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989), h. 59.
[3]Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economics Theory and Practice, diterjemahkan oleh Drs. Nastangin dengan judul Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993), h.19.
[4]Lihat Ibid.
[5]Lihat Ibid., h. 20.
[6]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1989), h. 122.
[7]Lihat Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Mesir: Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1974), h. 25.
[8]Lihat Ibid.
[9]Lihat Muhammad Abdul Mannan, op.cit., h. 22.
[10]Departemen Agama RI, op.cit., h. 41.
[11]Makanan yang haram dimaksudkan di sini adalah makanan yang haram yang telah ditetapkan oleh syariat Islam, seperti babi, dan sebagainya, dan makanan yang mengandung mudarat bagi yang memakannya. Jelasnya lihat Al-Maraghi, Juz II, op.cit., h. 76,
[12]Lihat Muhammad Abdul Mannan. loc.cit.
[13]Departemen Agama RI, op.cit., h. 700.
[14]Lihat Muhammad Abdul Mannan, op.cit., h. 23.
[15]Departemen Agama RI, op.cit., h. 835.
[16]Shalah Abdul Qadir al-Bakriy, Al-Qur’an Wabina al-Insan, diterjemahkan ole Abu Laila dan Muhammad Tohir dengan judul Al-Qur’an dan Pembinaan Insan (Bandung: Al-Ma’arif, 1993),    h. 128.
[17]Lihat Ibid.
[18]Lihat Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 26.
[19]Lihat Ibid., h. 27.
[20]Lihat Ibid.
[21]Ibid.
[22]Lihat Nurcholish Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993), 
[23]Lihat Ibid.
[24]Lihat Ibid., h. 63.
[25]Lihat Ibid., h. 64.
[26]Ibid.
[27]Lihat Imam Munawwar, Mengapa Umat Islam Dilanda Perpecahan (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985), h. 238.
[28]Ibid.
[29]Ibid.
[30]Lihat Ibid.
[31]Lihat Ibid., h. 239.
[32]Lihat Ibid.
[33]Departemen Agama RI, op.cit., h. 546.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar