BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebahagiaan
dalam keluarga merupakan keinginan yang diharapkan semua manusia, dan
semua itu akan terasa disaat sebuah keluarga menjalankan apa yang
menjadi kewajiban dan hak masing – masing baik suami ataupun istri dalam
sebuah keluarga. Oleh karena itu, segala tingkah laku, gerak langkah,
selalu berorientasi kearah itu walaupun dalam aplikasi memakai cara yang
berlawanan dengan tujuan tadi.
Namun
pada kenyataannya tidak sedikit dalam sebuah keluarga tidak selalu
tenang dan menyenangkan.ada kalanya kehidupannya begitu ruwet dan
memusingkan. Hal tersebut terjadi karena peran dan fungsi mereka
khususnya bagi suami ataupun istri sudah tidak melaksanakan apa yang
menjadi tanggung jawab mereka masing – masing.
Terlepas
dari kewajiban dan hak seorang istri terhadap suami atau sebaliknya,
penyusun pada kesempatan kali ini tidak akan membahas mengenai kewajiban
dan hak tersebut akan tetapi akan membahas mengenai nusyuz, syiqaq dan ila. Ketiga masalah diatas akan terjadi disaat suami atau istri tidak melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dan hak mereka masing - masing dalam sebuah keluarga.
B. Rumusan Masalah
Setelah
memperhatikan pemaparan diatas penyusun dapat merumuskan beberapa
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya :
1. Apa pengertian nusyuz dan bagaimana mengatasi nusyuz tidak terjadi ?
2. Apa pengertian syiqoq dan apa penyebab timbulnya syiqoq?
3. Apa pengertian ila’ dan bagaimana cara kembali dari sumpah ila’?
BAB II
PEMBAHASAN
A. NUSYUZ
1. Pengertian Nusyuz
Menurut Hamid ( 1977 : 250 ) nusyuz adalah tindakan istri yang dapat ditafsirkan menentang atau membandel atas kehendak suami.
Tentu saja kehendak suami yang tidak bertentangan dengan hukum agama.
Apabila kehendak suami bertentangan atau tidak dapat dibenarkan oleh
agama, maka istri berhak menolaknya. Dan penolakan tersebut bukanlah
sifat nusyuz ( durhaka ).
Sementara menurut Rasyid ( 1994: 398 ) nusyuz adalah apabila istri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang dapat diterima menurut hukum syara’, tindakan itu dipandang durhaka.seperti hal-hal dibawah ini :
a. Suami
telah menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan suami, tetapi istri
tidak mau pindah kerumah itu, atau istri meninggalkan rumah tangga tanpa
izin suami.
b. Apabila
suami istri tinggal dirumah kepunyaan istri dengan izin istri, kemudian
pada suatu waktu istri mengusir (melarang) suami masuk rumah itu, dan
bukan karena minta pindah kerumah yang disediakan oleh suami.
c. Umpamanya
istri menetap ditempat yang disediakan oleh perusahaanya, sedangkan
suami minta supaya istri menetap dirumah yang disediakannya, tetapi
istri berkeberatan dengan tidak ada alasan yang pantas.
d. Apabila
istri bepergian dengan tidak beserta suami atau mahramnya, walaupun
perjalanan itu wajib, seperti pergi haji, karena perjalanan perempuan
yang tidak beserta suami atau mahram terhitung maksiat.
2. Cara Mengatasi Nusyuz
Firman allah Swt dalam Q.s An-Nissa : 34
وَالاَّتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَتَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً
إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya:
“wanita-wanita
yang khawatirkan kedurhakaanya (nusyuz), maka nasihatilah mereka, dan
pisahkan diri dari tempat tidur mereka danpukullah mereka (dengan
pukulan yang tidak membahayakan). Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari jalan untuk memisahkan mereka. Sesungguhnya Allah
Swt Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Tindakan yang harus dilakukan suami terhadap istri yang durhaka yaitu :
a. Suami berhak memberi nasihat kepada istrinya bila tanda-tanda kedurhakaan istri sudah tampak.
b. Sesudah nyata durhakanya,suami berhak berpisah tidur dari istrinya.
c. Sesudah dua pelajaran tersebut ( nasihat dan berpisah tidur ), kalau istri masih terus juga durhaka, suami berhak memukulnya.
Akibat
kedurhakaan itu maka hilanglah hak istri yaitu menerima uang belanja,
pakaian dan pembagian waktu.berarti dengan adanya durhaka istri., maka
ketiga perkara tersebut menjadi tidak wajib atas suami dan istri tidak
berhak menuntut.
Firman allah Swt dalam Q.s Al-Baqarah : 228
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya :
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban (terhadap suaminya) menurut cara yang ma’ruf.”
Menurut
Hakim dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam (2000 : 108) cara untuk
mengatasi nusyuz adalah dengan mengadakan perundingan antara suami istri
untuk membereskan serta menghilangkan kesalahpahaman dan memecahkan masalah tersebut bersama. Usaha ini menurut islam disebut dengan istilah ishlah, yaitu upaya perdamaian yang diusahakan oleh kedua belah pihak.
Upaya ishlah ini divisualkan dalam bentuk musyawarah. Dengan musyawarah
serta keinginan yang baik, maka tidak ada masalah yang sulit yang tidak
dapat dipecahkan.
Al-quran
memperingatkan wanita untuk berbuat sesuatu manakala terjadi
ketidakberesan, ketidakserasian, atau miskomunikasi antara istri dan
suaminya. Jadi, wanita dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi
kemelut dalam keluarga, mengajak suaminya untuk merundingkan problema
yang menjadi ganjalan diantara mereka, dalam upaya memperbaiki hubungan
mereka, seperti dijelaskan dalam al-quran surat An-nisa : 128
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ
أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرُُ
Artinya :
“Apabila
wanita ( istri-istri ) terjadi pembangkangan ( nusyuz ) dan
pertentangan ( sikap acuh tak acuh ) dengan suaminya. Maka tidaklah
mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian, dan perdamaian adalah
sesuatu yang baik”.
Apabila
salah satu pihak benci terhadap yang lain, hendaklah jangan
mengharapkan atau melihat kesalahan sedikit pun diantara mereka. Padahal
bisa saja satu atau dua hari saja sudah hilang kesalahannya bahkan
mungkin hanya beberapa saat saja. Selanjutnya, yang timbul justru suatu
sebaliknya, yaitu kerinduan. Oleh karena itu, masalah didalam rumah
tangga janganlah terlalu dianggap serius, anggap saja sebagai bumbu
perkawinan. Dalam hal ini Al-quran Q.s An-nisa 19, memberi peringatan yaitu.
فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya :
“Apabila
kamu tidak senang kepada istri, maka boleh jadi apa yang kamu tidak
senang tadi justru Allah SWT membuat kebaikan yang banyak”.
Perkawinan
sebagai sesuatu yang suci hendaklah dipertahankan keutuhan serta
keharmonisan. Ini merupakan tugas mereka yang terlibat didalamnya.
Terciptanya kebahagiaan dan ketenteraman rumahtangga sangat bergantung
pada apakah suami istri telah melaksanakan peran dan kewajibannya
masing-masing. Disamping itu apakah mereka telah berusaha menyelami
tabiat, kebiasaan, temperamen, watak, dari pasangan hidupnya. Apabila
semua itu telah mereka lakukan, dapat dipastikan bahwa kehidupan
perkawinan berjalan sesuai dengan yang diinginkan.
Apabila
kemelut keluarga diakibatkan oleh suami, maka istri harus mempunyai
strategi yang handal dalam meluluhkan nusyuz suami. Menurut Ghanim (
1993 : 63 ) cara untuk mengatasi nusyuz suami yaitu dengan cara
membaikinya. Misalnya, dilakukan dengan mengurangi tuntutan - tuntutan
material atau hal - hal lain yang menjadi hak dari suaminya. Sebab,
kebanyakan yang menjadi penyebab kejengkelan dan kesulitan seorang suami
adalah tingginya tuntutan istri terhadap hal - hal yang tidak mungkin
diupayakan ( diluar jangkauan ) oleh sang suami.
Dalam
menghadapi hal semacam ini, diharapkan istri dapat mengurangi atau
menyederhanakan tuntutan - tuntutan tersebut demi menjaga keutuhan
keluarga dan keselamatan anak - anak ( jika memang ada ). Hal ini adalah
salah satu bentuk pengorbanan sang istri untuk menjaga keutuhan
keluarganya. Jika dia telah berusaha kearah sana,
maka tidak ada dosa baginya. Akan tetapi jika dia memilih pisah dari
suami tanpa ada upaya untuk berkorban, berarti dia telah melakukan suatu
kesalahan. Padahal damai ( istilah ) adalah jalan yang paling
baik. Demikian juga, sang suami pun dituntut untuk bisa menjembatani
jurang kesenjangan antara keduanya.
Disisi
lain, Al-quran juga menyinggung bahwa manusia itu mempunyai tabiat
kikir, baik kikir harta maupun kikir perangai. Dan sebagai jalan
keluarnya Al-quran menawarkan pendekatan keimanan kepada para suami agar
mereka mampu mengalahkan tabiat kikir dalam hal beri - memberi terhadap
sang istri. Firman Allah SWT dalam Q.S An-nisa : 128.
وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya :
“Dan
jika kamu menggauli istrimu dengan baik dan memerihara dirimu ( dari
nusyuz dan sikap tak acuh ), maka sesungguhnya allah SWT maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
Jika
usaha-usaha tersebut tidak mampu untuk bisa mengokohkan hubungan
keduanya, maka jalan ( talaq ) adalah jalan baik. Islam tidak ingin
membelenggu perkawinan dengan rantai dan tali - tali yang menyulitkan.
Akan tetapi islam juga mengikatnya dengan cinta kasih dan pertolongan.
Firman allah SWT dalam Q.S An-nisa. : 130,
وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللهُ كُلاًّ مِّن سَعَتِهِ وَكَانَ اللهُ وَاسِعًا حَكِيمًا
Artinya :
“jika
keduanya bercerai, maka allah SWT akan memberi kecukupan kepada
masing-masing dari limpahan karunianya. Dan adalah maha luas (
karunianya ) lagi maha bijaksana.
B. SYIQAQ
1. Pengertian Syiqaq
Menurut
Rahman dalam bukunya perkawinan dalam syariat islam ( 1996 : 85 ).
Syiqaq adalah putusnya ikatan perkawinan. Hal tersebut mungkin timbul
disebabkan oleh perilaku dari salah satu pihak. Bila salah satu pihak
dari pasangan suami istri itu bersifat butuk, atau salah satunya
bersikap kejam kepada yang lainnya, atau seperti yang kadang kala
terjadi, mereka tak dapat hidup rukun dalam satu keluarga. Maka dalam
kasus ini syiqaq lebih mungkin terjadi, namun ia tetap akan tergantung
pada kedua belah piha, apakah mereka akan memutuskannya ataukah tidak.
Perceraian akan selalu terjadi bila salah satu pihak merasa mustahil
untuk mempertahankan ikatan perkawinan itu dan terpaksa memutuskannya.
2. Sebab-sebab timbulnya syiqaq
Adapula
kemungkinan timbulnya kasus dimana suami dipenjarakan seumur hidup
dalam jangka waktu yang lama, atau dia hilang dan tidak diperoleh kabar
apapun tentangnya, atau dia dipasung sepanjang hayatnya, sehingga tak
mampu memberi napkah pada istrinya, maka dalam keadaan demikian dapat
terjadi syiqaq kalau istri menginginkan perceraian, tetapi kalau tidak
maka ikatan perkawinan itu tetap berlangsung. Sebaliknya, kalau dengan
cara yang serupa itu, suami merasa tersinggung dan sakit hati, maka dia
berhak untuk mengawini istri yang lain.
Bila
salah seorang dari pasangan itu murtad, keluar dari islam maka secara
hukum perkawinan itu dapat dipisahkan dengan perceraian. Tetapi
berdasarkan pendapat para ulama lain, perkawinan itu secara otomatis ada
perceraian. Sedangkan jika suatu pasangan bukan muslim, lalu memeluk
islam maka perkawinanan mereka dapat diteruskan. Namun hanya seorang
dari mereka yang menerima islam, maka perkawinannya dapat dipisahkan
walau tanpa perceraian.
Bila
istri yang memeluk islam lalu perkawinannya batal dan dia mulai
melakukan masa iddah, kemudian andaikan bekas suaminya itu ikut memeluk
islam selama masa iddahnya itu, maka suaminya lah yang berhak
menikahinya. Jika suaminya memeluk islam, sedangkan istrinya seorang
yahudi atau nasrani, maka suaminya boleh mengizinkan istrinya untuk
tetap menganut agamanya. Tetapi bila suami menerima islam sedangkan
istrinya seorang tukang sihir, lalu dia juga segara memeluk islam
mengikuti suaminya, maka mereka dapat terus berdampingan sebagai suami
istri, namun wanitanya tidak menerima islam, maka segera saja pernikahan
mereka bubar.
C. Ila.
1. Pengertian Ila.
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri.
Menurut Rijal ( 1997 : 250 ) ila’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu selama empat bulan atau tanpa ditentukan.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 : 180 ) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya.
Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan
istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan
menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu
hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila
seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah ditunggu
selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum
sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat )
saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan istrinya,
hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar kaparat
sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya. Kalau
suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut,
hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.
Sebagian
ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali (
tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227
.لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Artinya :
“
Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (
lamanya ) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka
sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika
mereka berazam ( bertetap hari untuk ) talak, maka sesungguhnya Allah
SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.
2. Cara kembali dari sumpah Ila’
Mengenai cara kembali dari sumpah ila’ yang tersebut dalam ayat di atas ada tiga pendapat :
· Kembali
dengan mencampuri istrinya itu, berarti mencabut sumpah dengan
melanggar ( berbuat ) sesuatu yang menurut sumpahnya tidak akan
diperbuatnya. Apabila habis masa empat bulan ia tidak mencampuri
istrinya itu, maka dengan sendirinya kepada istrinya itu jatuh talaq
bain.
· Kembali dengan campur jika tidak ada halangan. Tetapi jika ada halangan boleh dengan lisan atau dengan niat saja.
· Cukup kembali dengan lisan, baik ketika berhalangan atau tidak.
Ila’ ini pada jaman jahiliyah berlaku menjadi talak, kemudian diharamkan oleh agama islam.
Menurut sebuah riwayat dari asy-sya’bi yang dia terima dari masruq dari aisyah, kata beliau :
“Rasulullah
SAW pernah juga mengila’ dan mengharamkan ( diri ) terhadap
istri-istrinya, lalu yang haram beliau jadikan halal, sedang untuk (
menembus ) sumpahnya beliau membayar kiparat.
Dijaman
jahiliyah laki-laki sudah terbiasa bersumpah untuk tidak menyentuh
istrinya setahun atau bahkan dua tahun. Dan kebanyakan dengan tujuan
menyiksa Istri mereka dibiarkan begitu saja tidak diurusi. Jadi bersuami
tidak, diceraikan juga tidak. Maka dengan rahmat-Nya, Allah SWT hendak
membatasi perbuatan ini yang tidak peri kemanusiaan, lalu diberikan
tempo selama empat bulan. Biarlah selama empat bulan itu laki-laki
melampiaskan kejengkelannya sepuas-puasnya, barang kali dia kemudian
malah menjadi sadar kembali. Kalau ditengah itu atau diakhir masa
penangguhan itu dia sadar, maka boleh dia melanggar sumpahnya dengan
menggauli istrinya, lalu bayarlah kiparat buat penembus sumpahnya. Kalau
tidak, maka ia wajib menceraikan istrinya.
Apabila
seorang suami telah bersumpah takkan mendekati istrinya. Akan tetapi
selagi belum habis masa empat bulan, dia telah menyetubuhinya, maka
dengan sendirinya ila’ pun selesailah urusanya. Laki-laki itu tinggal
membayar kiparat sumpah.
Beberapa pendapat jikalau masa empat bulan itu telah lewat, dan laki-laki itu tetap tidak menggauli istrinya, maka menurut
· Jumhur
ulama, istrinya menuntut untuk bersetubuh atau diceraikan. Akan tetapi
suaminya menolak maka jumhur ulama berpendapat bahwa hakim diperkenankan
menceraikan laki-laki itu dari istrinya, demi menjaga wanita itu dari
bahaya.
· Ulama
ahmad, asy-syafi’I dan para ulama ahlu zhahir, hakim itu tetap belum
boleh menceraikan mereka, tapi suami itu boleh didesak dan ditahan
sampai dia menceraikan sendiri istrinya.
· Ulama
hanafi, apabila masa empat bulan itu lewat, sedangkan suami belum juga
mengumpuli istrinya, maka dengan sendirinya istri itu telah dicerai
secara bain, begitu masa penangguhan habis. Dan suami itu tidak berhak
lagi rujuk kepadanya, karena dia telah menyia-nyiakan haknya sendiri
kenapa tidak mau menggauli istrinya tanpa udzur yang berarti dia tidak
menghargai haknya sendiri sebagai suami, disamping dzalim terhadap
istrinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa :
- Nusyuz adalah tindakan istri yang dapat ditapsirkan menentang atau membandel atas kehendak suami. Tentu saja kehendak suami yang tidak bertentangan dengan hukum agama. Apabila kehendak suami bertentangan atau tidak dapat dibenarkan oleh agama, maka istri berhak menolak. Dan penolakan tersebut bukanlah syat nusyuz ( durhaka ).
Tindakan yang harus dilakukan suami terhadap istri yang durhaka yaitu :
· Suami berhak memberi nasihat kepada istrinya bila tanda-tanda kedurhakaan istri itu timbul.
· Sudah nyata durhakanya, suami berhak berpisah tidur dari istrinya.
· Sesudah dua pelajaran tersebut ( nasihat dan berpisah tidur ) kalau istri masih terus juga durhaka, suami berhak memukulnya.
- Syiqaq adalah putusnya ikatan perkawinan. Hal tersebut mungkin timbul disebabkan oleh prilaku dari salah satu pihak.
Sebab-sebab timbulnya syiqaq yaitu diantaranya:
· Karena suami dipenjarakan seumur hidup sehingga tidak mampu memberi nafkah kepada istrinya.
· Apabila suami menghilang dan tidak ada kabar tentang dirinya.
· Apabila salah seorang dari pasangan itu murtad.
- Ila’ adalah sumpah seorang suami pada istrinya untuk tidak menggauli selama empat bulan atau tanpa ditentukan.
Cara kembali dari sumpah ila’ diantaranya:
· Kembali dengan mencampuri istrinya jika tidak ada halangan, tetapi jika ada halangan boleh dengan lisan atau niat saja.
DAFTAR PUSTAKA
Ghanim, syekh adil rasyad. 1993. Bersikap islami. Jakarta : gema insani press.
Hakim, rahmat. 2000. Hukum perkawinan islami. Bandung : postaka setia.
Hamid, syamsul Rijal. 1997. Buku pintar agama islam. Jakarta : Cahaya salam.
Rahman, Abdul. 1996. Perkawinan dalam syariat islam. Jakarta : Rineka cipta.
Rasyid, Sulaiman. 1996. Fiqih islam. Jakarta : Sinar baru argensindo.
Umar, Anshori, 1986, Fiqih wanita. Semarang : CV. Asy-syifa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar