BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia, pendidikan memiliki peranan penting dalam
membentuk generasi mendatang. Dengan pendidikan diharapkan dapat menghasilkan
manusia berkualitas, bertanggung jawab dan mampu meng-antisipasi masa depan.
Pendidikan dalam maknanya yang luas senantiasa menstimulir, menyertai
perubahan-perubahan dan perkembangan umat manusia. Selain itu, upaya pendidikan
senantiasa menghantar, membimbing perubahan dan perkembangan hidup serta
kehidupan umat manusia.
Peranan pendidikan sebagaimana disebutkan di atas tidak terlepas dari
kedudukan manusia, baik sebagai abdullāh[1] maupun sebagai khalifatullāh.[2]
Sebagai ‘abdullāh, maka manusia harus mengabdikan dirinya kepada Allah swt
dengan penuh tanggungjawab, dan sebagai khalīfatullāh maka manusia harus
mengelolah alam ini, juga dengan penuh tanggungjawab. Oleh karena itu,
pendidikan bukan hanya sekedar tindakan lahiriyah, tetapi ia juga merupakan
tinadakan batiniyah, sebab di dalam proses pendidikan ada tanggungjawab yang
harus diembang. Dengan melaksanakan tanggungjawab tersebut dengan baik, praktis
bahwa arah dan tujuan pendidikan akan mudah tercapai.
Dalam pandangan Islam, tanggung
jawab pendidikan tersebut di-bebankan
kepada setiap individu. Dalam QS. al-Tahrim (66) 6 Allah swt ber-firman
“يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا” (wahai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka).
Kata “أَنْفُسَكُمْ” dalam
ayat ini yang berarti “dirimu”, menandakan bahwa setiap diri pribadi,
atau
setiap individu harus memiliki tanggungjawab dalam upaya melaksanakan
pendidikan dengan baik, agar ia terhindar dari api neraka. Dalam sisi
lain,
ayat tersebut juga menegaskan bahwa di samping diri pribadi, maka
keluarga juga
harus dididik dengan baik. Karena ayat tersebut berbicara tentang diri
pribadi
dan keluarga, maka jelaslah bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab
semua
orang.
Dalam implementasinya, orangtualah sebagai penanggungjawab pendidikan di
lingkungan keluarga atau di rumahtangga;
guru-guru dan pengelolah sekolah termasuk pemerintah sebagai penanggungjawab
pendidikan di lingkungan sekolah; tokoh masyarakat dan selainnya sebagai
penanggungjawab pendidikan di lingkungan masyarakat. Ketiga pihak ini,
masing-masing memiliki tanggung jawab pendidikan secara tersendiri dalam
lingkungannya masing-masing, namun tidaklah berarti bahwa mereka hanya
bertanggung jawab penuh di lingkungannya, tetapi juga memiliki tanggung jawab
yang signifikan dalam lingkungan pendidikan lainnya. Orang tua misalnya, ia
sebagai penanggungjawab pendidikan di lingkungan keluarga, tetapi tanggung
jawab tersebut bukan hanya terbatas pada lingkungan rumahtangganya, namun juga
dibutuhkan tanggung jawabnya di lingkungan sekolah dan masyarakat.
Pendidikan dalam lingkungan rumah tangga, disebut dengan jalur pendidikan
informal.[3] Lingkungan rumah tangga atau lingkungan keluarga, memberikan
peranan yang sangat berarti dalam proses pembentukan kepribadian muslim sejak
dini. Sebab di lingkungan inilah seseorang menerima sejumlah nilai dan norma
yang ditanamkan sejak masa kecilnya. Allah swt berfirman dalam QS. Āli Imrān
(3): 102,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar
takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan
beragama Islam.[4]
Seruan kepada orang-orang beriman untuk bertakwa dalam ayat di atas,
bermuara pada pembentukan kepribadian muslim. Itulah sebabnya, ayat tersebut
diakhiri dengan kalimat "muslimun". Orang yang beriman hendaknya
menumbuhkan karakter taqwā pada dirinya. Dengan bertumbuhnya ketakwaan tersebut
secara pesat, akan melahirkan kepribadian muslim. Dalam perkataan lain bahwa
dengan keimanan dan ketakwaan tersebut, akan terbentuk suatu kepribadian
muslim. Dengan demikian, manusia yang beriman dan bertakwa merupakan citra
manusia muslim.
Zakiah Daradjat menyatakan bahwa mati dalam keadaan berserah diri kepada
Allah sebagai muslim sebagaimana dalam ayat tadi merupakan ujung dari takwa,
sebagai akhir dari proses hidup jelas berisi kegiatan pendidikan.[5] Lebih
lanjut pakar pendidikan ini, menjelaskan bahwa sesuatu yang diharapkan terwujud
setelah orang mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian
seseorang yang membuatnya menjadi “insan kamil” dengan pola takwa. Insan kamil
artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara
wajar dan normal karena taqwanya.[6]
Pembentukan insan kamil sebagai indikator kepribadian muslim, berlangsung
secara berangsur-angsur, dan bukanlah hal yang sekali jadi, melainkan sesuatu
yang berkembang. Oleh karena itu, pembentukan kepribadian merupakan suatu
proses. Akhir dari perkembangan itu, kalau berlangsung dengan baik, akan
menghasilkan suatu kepribadian yang harmonis. Selanjutnya, kepribadian itu
disebut harmonis kalau segala aspek-aspeknya seimbang, kalau tenaga-tenaga
bekerja simbang pula sesuai dengan kebutuhan. Pada segi lain, kepribadian yang
harmonis dapat dikenal, pada adanya keseimbangan antara peranan individu dengan
pengaruh lingkungan sekitarnya.[7]
Lingkungan keluarga mempunyai peranan yang sangat penting terhadap
keberhasilan pendidikan, karena perkembangan seseorang sangat dipengaruhi oleh
lingkungan keluarganya. Lingkungan dapat memberikan pengaruh yang positif dan
pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan sikap, akhlak dan
perasaan agama.[8] Dapat dipahami bahwa penerapan pendidikan Islam secara baik
pada lingkungan keluarga, memiliki peran penting dalam pembentukan kepribadian
muslim.
B. Rumusan Masalah
Berdasar pada uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka yang
menjadi pokok masalah dalam kajian skripsi ini adalah bagaimana peranan pendidikan
Islam di lingkungan keluarga dalam pem-bembentukan kepribadian muslim ?
Untuk kajian lebih lanjut, skripsi ini membahas tiga sub masalah yang
menjadi pertanyaan mendasar, sebagai berikut :
- Bagaimana konsep pendidikan Islam dalam lingkungan keluarga ?
- Bagaimana urgensi pendidikan di lingkungan keluarga dalam pem-bentukan kepribadian muslim?
- Bagaimana implementasi pendidikan keluarga pada rumah tangga dalam membentuk pribadi muslim ?
C. Pengertian Judul dan Ruang Lingkup Pembahasan
Untuk memperoleh pemahaman yang jelas tentang fokus kajian, serta untuk
menghindari kesalahpahaman (mis understanding) terhadap operasional
pembahasannya, maka terdapat beberapa variabel penting dalam judul skripsi ini
yang perlu diperjelas dan dirumuskan definisi ruang lingkup operasionalnya,
sebagai berikut :
1. Peranan
Istilah peranan mengandung arti bagian penting dan yang dimainkan oleh
seseorang secara individu atau secara berkelompok (masyarakat), atau lembaga,
atau organisasi dalam melakukan usaha.[9] Dengan demikian, peranan dalam judul
skripsi ini adalah bagian penting yang dilakukan oleh lembaga pendidikan
informal, yakni lembaga pendidikan di lingkungan keluarga
2. Pendidikan Islam
Pendidikan adalah, suatu proses mendewasakan manusia dengan cara
membimbing, mengasuh, dan mengarahkan. Selanjutnya pendidikan Islam adalah :
Sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk
memimpin kehidupan sesuai dengan cita-cita Islam, karena nilai-nilai Islam
telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.[10]
Dengan pengertian pendidikan Islam di atas, kiranya memberikan pemahaman
yang utuh terhadap makna Pendidikan Islam itu sendiri, yakni upaya yang
dilakukan untuk memberikan bimbingan, asuhan kepada anak didik atau anggota di
lingkungan keluarga agar mereka memahami dan menghayati ajaran-ajaran Islam
agar nantinya mereka dapat mengamalkan ajaran Islam dalam segala aspek
kehidupannya, demi pembentukan kepribadiannya, yakni kepribadian muslim.
3. Lingkungan Keluarga
Lingkungan adalah tempat atau lokasi area di mana manusia berada,
sedangkan keluarga adalah masyarakat terkecil terdiri sekurangnya dari pasangan
suami dan isteri sebagai sumber intinya berikut anak/anak-anak yang lahir dari
mereka. Jadi setidak-tidaknya keluarga adalah sepasang suami dan isteri bila belum
ada ana/anak-anak atau tidak sama sekali.[11] Di lingkungan keluarga inilah
bila dilakukan proses pendidikan, maka disebut sebagai lingkungan pendidikan
informal.
4. Pembentukan
Istilah pembentukan, berasal dari kata "bentuk", yakni rupa
atau gambaran sesuatu yang memiliki ciri khas. Hamzah Ahmad dan Nanda Santoso
menyatakan, "bentuk adalah wujud sesuatu barang, dan model
sesuatu".[12] Dengan awalan "pem" dan akhiran "an",
yakni pembentukan, maka ia mengandung arti proses untuk mewujudkan sesuatu,
misalnya untuk mewujudkan kepribadian muslim memerlukan proses pendidikan.
5. Kepribadian Muslim
Pengertian kepribadian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “sifat
hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakan
dirinya dengan dari orang atau bangsa lain.”[13] Dari batasan ini, ditemukan
dua kata kunci mengenai kepribadian, yakni “sifat” dan “sikap”. Namun bila
diinterpretasi lebih lanjut, tentu masih ditemukan kata-kata kunci lain yang
sangat terkait dengan kepribadian, misalnya; ciri, karakter, watak, jiwa,
moral, semangat, kebiasaan, dan tingkah laku. Sedangkan yang dimaksud muslim
adalah "orang Islam". Dengan demikian, kepribadian muslim yang
dimaksud dalam skripsi ini adalah sifat dan sikap baik yang melekat pada umat
Islam, di mana sifat dan sikap tersebut tercermin dalam akhlāq al-mahmūdah
sebagaimana yang termatub dalam Alquran, atau yang tergambar dalam kepribadian
nabi dan rasul terakhir, yakni Muhammad saw. sebagai uswah al-hasanah.
Dengan kembali merujuk pada batasan-batasan pengertian yang telah
diungkapkan, judul skripsi ini, yakni peranan pendidikan Islam di lingkungan
keluarga dalam pembentukan kepribadian muslim, akan difokuskan pembahasannya
terhadap konsep apa yang dilakukan oleh sistem pendidikan Islam secara informal
dalam upaya membentuk perilaku muslim menurut ajaran Islam. Praktis bahwa ruang
lingkup pembahasanya adalah adalah merumuskan ide-ide dan gagasan-gagasan
berupa konsep yang tepat dan akurat tentang cara pembentukan karakter muslim
melalui sistem kependidikan Islam yang diselenggarakan di lingkungan
rumahtangga.
D. Tinjauan Pustaka
Dari berbagai karya ilmiah berupa literatur yang membahas tentang
pendidikan Islam pada umumnya dan kepribadian muslim pada khususnya, belum
ditemukan satupun literatur sama judulnya dengan skripsi yang penulis tulis
ini. Atau dengan kata lain bahwa pembahasan yang memiliki obyek kajian serupa
dengan judul dan permasalahan dalam pembahasan skripsi ini, belum pernah
dilakukan oleh para penulis, peneliti, dan pengkaji lainnya. Namun demikian,
dari berbagai buku dan atau literatur kepustakaan yang ditelusuri tersebut,
sebagian di antaranya ada yang hampir memiliki persamaan dengan pembahasan yang
penulis akan lakukan. Literatur-literatur tersebut, adalah sebagai berikut :
- Karya Muhammad al-Gazali, Muslim’s Character yang diterjemah-kan oleh Achmad Noer Z, dengan judul Karakter Muslim (Bandung: Risalah, 1987). Buku ini dalam salah satu babnya, membahas tentang “Suatu Kepribadian Ideal”. Namun, penulisnya tidak membahas secara tuntas mengenai kepribadian muslim, dan tidak juga mengaitkan pembahasannya sedikitpun pada masalah pendidikan.[14] Karena itu, buku ini walaupun kelihatannya agak sejalan dengan pembahasan penulis, namun di sisi lain memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
- Masih karya Muhammad al-Gazali, Khuluq al-Muslim diterjemahkan oleh H. Moh. Rifai dengan judul Akhlak Seorang Muslim (Cet. I Semarang: Wicaksana, 1985). Buku ini berfokus pada pembahasan masalah moralitas sebagaimana dalam kitab-kitab akhlak, dan penulisnya mengaitkan pembahasannya pada masalah dakwah. Dikatakan demikian, karena bab-bab pembahasannya relevan dengan materi-materi dakwah, misalnya rukum Islam dalam pembinaan akhlak; akhlaq yang jahat tanda iman yang lemah; menuju ke masyarakat utama; baik dan buruk; sanksi bagi pelanggar akhlak.[15] Buku ini walaupun kelihatannya memang terkait dengan kepribadian muslim, namun tidak ditemukan pembahasan spesifik mengenai pengertian dan urgensi kepribadian muslim serta proses pem-bentukannya melalui pendidikan Islam di lingkungan keluarga sebagaimana yang penulis bahas.
- Karya Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Cet. VII; Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1989). Buku ini dalam salah satu babnya, membahas tentang “Pembentukan Kepribadian Muslim”.[16] Namun, pembahasannya masih parsial, karena penulisnya tidak sampai menyentuh pada pembahasan pembentukan kepribadian muslim berdasarkan konsep pendidikan Islam di lingkungan keluarga sebagaimana dalam kajian skripsi ini.
Selain ketiga buku yang disebutkan di atas, ditemukan pula buku-buku lain
yang di dalam pembahasannya memiliki relevansi dengan kajian penulis. Misalnya
saja; Ihyā ‘Ulūm al-Dīn dan Insān Kāmil karya Hujjah al-Islām Syekh Abū Hamid
al-Gazāli; Moral Education, karya Emile Durkheim; Pola Hidup Muslim karya Abu
Bakar Jabir al-Jaziri; Akhlak Muslim, karya Oemar Bakri; dan selainnya terutama
buku-buku pendidikan.
Kesemua literatur yang telah penulis sebutkan di atas, maupun yang belum
sempat disebutkan berbeda dengan judul dan masalah pokok yang penulis akan
bahas dalam skripsi ini. Namun demikian, teori-teori tentang kepribadian muslim
dan hal-hal lain yang berkenaan dengan masalah pendidikan Islam yang sudah ada
dalam literatur-literatur tersebut, banyak memberikan ilustrasi untuk
merekonstruksi pemikiran penulis untuk melakukan pengkajian dan penelitian
dalam skripsi ini secara komprehensif.
E. Metode Penelitian
Pembahasan dalam skripsi ini merupakan library research, yakni penelitian
pustaka. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah sebagai berikut :
1. Metode Pengumpulan Data
Sebagaimana telah dikatakan bahwa skripsi ini adalah penelitian pustaka,
maka dengan itu data-datanya dikumpulkan melalui telaah literatur, yakni semua
bahan yang dibutuhkan bersumber dari bahan-bahan tertulis. Metode yang penulis
gunakan adalah menggunakan kartu catatan. Pembuatan kartu catatan ini meliputi;
kartu ikhtisar, kartu kutipan, dan kartu ulasan,[17] dengan berpedoman pada
satu ketentuan khusus yang penulis gunakan sendiri. Literatur yang dijadikan
rujukan adalah sejenis buku, makalah, dokumen-dokumen dan jenis-jenis karya
ilmiah lainnya yang berbobot, baik yang berbahasa Asing maupun yang berbahasa
Indonesia.
Data utamanya bersumberkan pada dalil-dalil nakli, yakni teks Alquran dan
teks hadis, serta referensi lain terutama buku-buku pendidikan, buku-buku
akhlak dan selainnya yang di dalamnya terdapat pembahasan yang relevan dengan
kajian penulis.
2. Metode Penulisan
Setelah data-data dikumpullkan, penulis menyadurnya dalam bentuk kutipan
langsung yakni mengutip pendapat secara langsung dari literatur rujukan kata
demi kata, kalimat demi kalimat dari sebuah teks asli yang ada dalam sumber
tersebut. Di samping kutipan langsung, penulis menyadur data dalam bentuk
kutipan tidak langsung, yakni mengutip ide dari literatur rujukan kemudian
menuangkannya dalam redaksi penulis tanpa terikat pada redaksi yang ada dalam
sumber tersebut.
Dalam kutipan tidak langsung, terdiri atas dua macam. Pertama, dalam
bentuk ulasan yakni menanggapi pendapat yang diambil dari rujukan tersebut
kemudian penulis mengembangkan. Kedua, dalam
bentuk ikhtisar, yakni meringkas pendapat yang diambil dari rujukan dan
menyimpulkannya.
3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan edukasi, yaitu
membahas masalah dengan menitik beratkan pada persoalan kependidikan yang
menyangkut dengan kepribadian.
4. Metode Analisis Data
Skripsi ini menggunakan metode analisis data sebagai berikut :
- Induktif, yakni pengolahan data dari yang bersifat khusus kemudian mengarah kepada hal-hal yang bersifat umum
- Deduktif, yakni pengolahan data yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.
- Komparatif, yakni pengolahan data dengan membandingkan data-data yang telah dikumpulkan dan dari data tersebut akan dirumuskan suatu kesimpulan
F. Tujuan dan Kegunaan
Skripsi ini bertujuan untuk :
- Merumuskan konsep pendidikan informal dalam lingkungan keluarga sesuai ajaran Islam.
- Mengungkap pentingnya konsep pendidikan di lingkungan keluarga dalam upaya pembentukan kepribadian muslim yang menjadi tujuan pendidikan Islam.
- Mendiskripsikan pola-pola penerapan pendidikan Islam yang dilakukan di lingkungan keluarga, yakni di dalam rumah tangga agar terwujud pribadi muslim.
Selanjutnya, skripsi ini diharapkan berguna untuk kepentingan ilmiah,
motivasi, dan praktis dengan rumusan sebagai berikut :
- Kepentingan ilmiah, diharapkan berguna sebagai bahan telaahan untuk dicermati dan didiskusikan lebih lanjut demi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu kependidikan Islam pada khususnya.
- Kepentingan motivasi, diharapkan berguna sebagai informasi tentang konsep pembentukan kepribadian muslim dalam lingkungan keluarga untuk diimplementasikan dalam setiap rumah tangga muslim dalam upaya mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
- Kegunaan praktis, diharapkan berguna sebagai sumbangan pemikiran untuk dipraktekkan dalam semua lingkungan pendidikan Islam, terutama di lingkungan keluarga.
G. Garis Besar Isi Skripsi
Skripsi ini terdiri atas lima bab pembahasan, dan masing-masing bab
memiliki sub bab pembahasan. Untuk mendapatkan gambaran awal tentang isi
pembahasannya, penulis mengemukakan pokok-pokok pikiran dan intisasi pembahasan
dalam masing bab, sebagai berikut :
Bab I, merupakan pendahuluan yang secara umum pembahasannya bersifat
metodologis. Bab ini merupakan draft atau proposal skripsi yang memberikan
gambaran singkat dan orientasi dari obyek yang akan dibahas selanjutnya pada
bab-bab berikutnya. Karena itu, bab ini terdiri atas tujuh sub bab, dan telah
diuraikan muatannya masing-masing sebagaimana terdahulu.
Bab II, berisi tentang tinjauan umum tentang pendidikan Islam dan adapun
sub pembahasannya meliputi pengertian (batasan) pendidikan Islam, baik secara
etimologi dan terminologi. Agar konsep pendidikan Islam dapat diketahui secara
utuh dan menyeluruh, maka sub bab berikutnya akan dikemukakan pembahasan
tentang tujuan dan prinsip-prinsip pendidikan Islam. Dalam uraian tentang
tujuan pendidikan Islam, dikemukakan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk
membentuk kepribadian muslim.
Bab III, tinjauan tentang kepribadian muslim. Dalam bab ini, diformulasi
beberapa sub bab dengan mengendepankan batasan pengertian etimologi dan
terminologi tentang kepribadian muslim. Setelah itu, dibahas beberapa factor
yang dapat membentuk kepribadian menurut aliran empirisme, nativisme, dan
konvergensi. Selanjutnya dijelaskan bagaimana ritme perkembangan kepribadian
manusia, baik secara pisik dan non pisik.
Bab IV, pembentukan kepribadian muslim dalam lingkungan keluarga
perspektif pendidikan Islam. Bab ini merupakan bab analisis dan analitis yang
pembahasannya mengacu pada tiga permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.
Pertama, mengulas tentang konsep pendidikan Islam secara informal dalam
lingkungan keluarga. Di sini akan dijelaskan pula apa yang dimaksud lingkungan
keluarga. Kedua, urgensi pendidikan Islam di lingkungan keluarga dalam
pem-bentukan kepribadian muslim. Di sini, dikemukakan ayat-ayat atau
dalil-dalil lain yang berkenaan dengan pentingnya pendidikan Islam untuk
mewujudkan kepribaian ideal sesuai ajaran Islam. Ketiga, implementasi
pendidikan keluarga pada rumah tangga dalam membentuk pribadi muslim. Di sini
dikemukakan bagaima langkah-langkah penting atau kiat-kiat yang dilakukan dalam
membentuk kepribadian muslim melalui jalur pendidikan informal.
Bab V, merupakan bab penutup (bab terakhir) yang berisi tentang
kesimpulan. Bab ini berfungsi menjawab pokok permasalahan dan sub masalah yang
telah dikemukakan sebelumnya. Di samping itu akan dikemukakan pula beberapa
saran yang merupakan implikasi akhir dari hasil kajian/penelitian penulis.
[1]QS. al-Żāriyat (51): 56
[2]QS. al-Baqarah (2): 30
[3]Tim Fokusmedia, Undang-undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Cet. I; Bandung: Fokusmedia, 2003), h. 6
[4]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek
Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992), h. 92
[5]Zakiah Daradjat, dkk. Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Bumi
Aksara bekerja-sama dengan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1996), h. 31
[6]Ibid., h. 29
[7]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Cet. VIII:
Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989), h. 75
[8]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Kalam Mulia, 1994),
h. 146
[9]Departemen Pendidikan Nasional,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balain Pustaka, 2002), h. 854.
[10]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 10.
[11]H. Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih dalam Keluarga. Jakarta: Pustaka
Antara, 1989), h. 11.
[12]Hamzah Ahmad dan nanda Santoso, Kamus Pintar Bahasa Indonesia
(Surabaya: Fajar Mulya, 1996), h. 52
[13]Departemen Pendidikan Nasional,
op. cit., h. 788
[14]Lihat Muhammad al-Gazali, Muslim’s Character yang diterjemahkan oleh
Achmad Noer Z, dengan judul Karakter Muslim (Cet. I; Bandung: Risalah, 1987),
h. 11-15
[15]Muhammad al-Gazali, Khuluq al-Muslim diterjemah-kan oleh H. Moh.
Rifai dengan judul Akhlak Seorang Muslim (Cet. I Semarang: Wicaksana, 1985), h.
vi
[16]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Cet. VII;
Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1989), h. 66
[17]Lihat Winarto Suracmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung:
Tarsito, 1990), h. 257-258
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam
Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yakni paedagogie yang
merupakan kata majemuk yang terdiri atas kata paes dan ago. Kata paes berarti
anak dan kata ago berarti aku membimbing.[1] Dalam bahasa Indonesia kata
pendidikan tersebut berasal dari kata “didik” yang didahului awalan “pe” dan
akhiran “an”, yang mengandung arti perbuatan, hal, cara dan sebagainya.[2]
Dalam bahasa Inggris disebut dengan education[3] dan dalam bahasa Arab disebut
dengan al-tarbiyah,[4] yang pada hakekatnya berarti pengarahan. 18
Arti pendidikan yang dikemukakan di atas, baik dalam bahasa Yunani,
bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Arab, bila kesemuanya dikaitkan
antara satu dengan lainnya, rupa-rupanya memiliki makna yang identik, yakni
pada intinya pendidikan secara etimologi adalah bimbingan atau pengarahan.
Dari pengertian pendidikan secara etimologi tersebut, maka dapat dipahami
bahwa dalam prakteknya pendidikan selalu dihubungkan dengan anak, maksudnya
anaklah yang menjadi obyek didikan. Hal demikian ini, karena dari asal kata
pendidikan itu sendiri selalu berhubungan dengan anak. Yakni, mendidik anak
dalam arti membimbingnya dengan sebaik-baiknya.
Dalam perkembangannya, arti pendidikan yang berarti bimbingan dan
pengarahan tersebut meluas ke pemaknaan yang bermacam-macam, misalnya
pertolongan, pengarahan, anutan, mendewasakan seseorang atau sekelompok
orang.[5] Dari sini dapat dirumuskan bahwa pendidikan secara terminologi dapat
pula diartikan sebagai bimbingan atau pertolongan yang dijalankan oleh
seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok
orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang
lebih tinggi dalam arti mental.
Dengan demikian, maka pendidikan berarti, segala usaha seseorang kepada
orang lain untuk menjadikannya lebih dewasa dan berkembang baik secara
jasmaniyah maupun rohaniyah.
Kaitannya dengan itu, Prof. DR. Hasan Langgulung menyatakan bahwa :
Pendidikan sebenarnya dapat ditinjau dari dua segi. Pertama, sudut
pandangan masyarakat dan kedua, sudut pendangan individu. Dari segi pandangan
masyarakat pendidikan berarti pewarisan ke-budayaan dari generasi tua kepada
generasi muda, agar hidup masyarakat tetap berkelanjutan. … dilihat dari segi
pandangan individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang
terpendam dan tersembunyi.[6]
Dari pengertian di atas memberikan gambaran bahwa pendidikan itu
merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengalihkan pengetahuan, kebudayaan
kepada generasi selanjutnya, agar nantinya ia mampu mengembangkan dirinya
sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing.
Berdasar dari pengertian pendidikan tersebut di atas, maka pengertian
pendidikan dari segi terminologi adalah sebagai perubahan sikap dan perilaku
seseorang dalam uasaha mendewasakannya melalui pengajaran dan pendidikan.
Bila kata “pendidikan” dihubungkan dengan kata “Islam” sehingga menjadi
kalimat “Pendidikan Islam”, maka secara otomatis ia terdiri atas dua suku kata
yakni “pendidikan” dan “Islam”.
Kata Islam jika ditinjau dari segi bahasa berasal dari سلم، يسلم، إسلاما
(salima, yaslimu, islaman) yang artinya selamat, damai, tunduk dan sentosa.[7]
Dari sini dapat dipahami bahwa Islam adalah suatu agama yang menuntut sikap
ketundukan dengan penyerahan dan sikap pasrah, disertai sifat batin yang tulus,
sehingga intisari yang terkandung dalam Islam ada dua yaitu; pertama berserah
diri, menudukkan diri atau taat sepenuh hati; kedua sejahterah, damai hubungan
yang harmonis.
Penamaan Agama Islam, sering pula disebut dengan istilah dinullah[8] yang
berarti agama milik Allah, dinulhaq[9] yang berarti agama benar adanya dan
dinulqayyim[10] yang berarti agama tepat dan tegak. Islam juga merupakan fitrah
Allah[11] atau asal kejadiannya sesuatu, karena alam semesta dijadikan dan
diatur oleh Allah, maka Allah menyatakan bahwa segala yang ada di langit dan di
bumi semuanya aslama. Keterangan ini menunjukkan pengertian bahwa Allah
menjadikan dan mengatur segala ciptaan-Nya dengan agama-Nya yaitu Agama Islam.
Dari pengertian kata “pendidikan” dan kata “Islam”, maka Prof. M. Arifin,
M.Ed., menyatakan bahwa :
Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat mem-berikan
kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupan sesuai dengan cita-cita Islam,
karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak ke-pribadiannya.[12]
Dengan pengertian Pendidikan Islam di atas, kiranya memberikan pemahaman
yang utuh terhadap makna Pendidikan Islam itu sendiri, yakni upaya yang
dilakukan untuk memberikan bimbingan, asuhan kepada anak didik atau generasi
muda agar mereka memahami dan menghayati ajaran-ajaran Islam agar nantinya
mereka dapat mengamalkan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupannya, demi
tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Pengertian Pendidikan Islam itu sendiri, melahirkan berbagai interpretasi
yang termuat di dalamnya. Yakni, adanya unsur-unsur edukatif yang sekaligus
sebagai konsep bahwa pendidikan itu merupakan suatu usaha, usaha itu dilakukan
secara sadar, usaha itu dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung
jawab kepada masa depan anak, usaha itu mempunyai dasar dan tujuan tertentu,
usaha itu perlu dilaksanakan secara teratur dan sistimatis, usaha itu
memerlukan alat-alat yang digunakan.
Secara kongkrit, Abdurrahman al-Nahlawi merumuskan bahwa dari pengertian
Pendidikan Islam itu, sekurang-kurangnya mengandung empat konsep dasar, yakni :
- Pendidikan merupakan kegiatan yang betul-betul memiliki target, tujuan dan sasaran.
- Pendidik yang sejati dan mutlak adalah Allah swt. Dialah Pencipta fitrah, Pemberi bakat, Pembuat berbagai sunnah perkembangan, peningkatan dan interaksi fitrah sebagaimana Dia pun mensyariatkan aturan guna mewujudkan kesempurnaan, kemaslahatan dan kebahagiaan fitrah tersebut.
- Pendidikan menuntut terwujudnya program berjenjang melalui peningkatan kegiatan dan pengajaran selaras dengan urutan sistematika menanjak yang membawa anak dari suatu perkembangan ke perkembangan lainnya.
- Peran seorang pendidik harus sesuai dengan tujuan Allah swt menciptakannya. Artinya, pendidik harus mampu mengikuti syariat agama Allah.[13]
Dengan demikian, kajian atas konsep pendidikan Islam membawa kita pada
konsep syariat agama, karena agamalah yang harus menjadi akar pendidikan kita.
Artinya, seluruh tabiat manusia harus menunjukkan tabiat beragama.
Jadi, pendidikan Islam merupakan suatu tabiat yang sekaligus amanat yang
harus diperkenalkan oleh suatu generasi ke generasi berikutnya, terutama dari
orang tua atau pendidik kepada anak-anak dan murid-muridnya. Dalam hal ini,
konsep pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan
manusia yang berpedoman pada syariat Allah. Artinya, manusia tidak merasa
keberatan atas ketetapan Allah dan Rasul-Nya sebagaimana digambarkan dalam QS.
al-Nisa (5): 65 yang menyatakan :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا(65)
Terjemahnya:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[14]
Dari ayat di atas mengisyaratkan bahwa keselamatan manusia dari kerugian
dan azab Allah dapat tercapai melalui tiga bentuk pendidikan, yakni; pertama,
pendidikan individu yang membawa manusia pada keimanan dan ketundukan kepada
syariat Allah serta beriman kepada yang gaib; kedua, pendidikan diri yang
membawa manusia pada amal saleh dalam menjalani hidupnya sehari-hari; dan
ketiga, pendidikan masyarakat yang membawa manusia pada sikap saling pesan
dalam kebenaran dan saling memberi kekuatan ketika menghadapi kesulitan yang
pada intinya, semuanya ditujukan untuk beribadah kepada Allah.
Yang jelas, konsep pendidikan Islam di sini adalah proses pembentukan
pribadi muslim yang mampu mewujudkan keadilan Ilahiah dalam komunitas manusia
serta mampu mendayagunakan potensi alam dengan pemakaiannya yang adil.
B. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat
khusus. Untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam yang bersifat umum, terlebih
dahulu harus diketahui eksistensi manusia yang sempurna atau hakekat manusia
menurut Islam. Dengan kata lain, konsepsi manusia yang sempurna menurut Islam
sangat membantu dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Konsep manusia menurut Islam
adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa
yang memungkinkan ia dapat ditugaskan
menjadi khalifah di muka bumi sebagai pengamalan ibadah kepada Tuhan, dalam
arti yang seluas-luasnya. Karena itu, perumusan tentang tujuan pendidikan Islam
terlebih dahulu dikaitkan dengan uraian tentang tujuan dan tugas manusia.
Manusia hidup bukan hanya kebetulan dan sia-sia, ia diciptakan dengan
membawa tujuan dan tugas hidup tertentu. Indikasi tugasnya berupa ibadah
(sebagai abdullah) dan tugas sebagai wakil Allah di bumi (khalifah). Sebagai
Abdullah yang berperan sebagai khalifah, manusia dibekali dengan berbagai macam
fitrah yang cenderung pada al-hanîf (rasa kerinduan akan kebenaran dari Tuhan),
berupa agama Islam sebatas kemampuan dan kapasitas ukuran yang ada.
Dimensi-dimensi ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup manusia di dunia, untuk mengelola dan memanfaatkannya dunia
sebagai bekal kehidupan akhirat. Dengan keseimbangan dan keserasian antara dua
kepentingan hidup ini menjadi daya tangkal yang dapat menolak pengaruh-pengaruh
negatif dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketentraman dan
ketenangan hidup manusia baik yang bersifat spiritual, sosial, kultural,
ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia muslim.[15]
Uraian di atas, mengantar pada perumusan tujuan Pendidikan Islam yang
bermuara pada pengabdian totalitas kepada Allah, dan dengan pengabdian itu maka
ia menjadi manusia muslim dalam arti ia berkepribadian muslim.
Dengan upaya mewujudkan kepribadian muslim, maka agama Islam dalam konsep
pendidikannya, mengarahkan secara integral obyeknya ditujukan kepada manusia
untuk berkepribadian ideal, sehingga tidak akan tertinggal dan terabaikan, baik
dari segi jasmani maupun rohani, baik kehidupan secara mutlak maupun segala
kegiatan di alam syahada ini (bumi). Islam memandang manusia secara totalitas,
atas dasar fitrah yang diberikan dari Allah kepada hambaNya, tidak sedikit pun
yang diabaikan dan tidak memaksa apapun selain apa yang dijadikanNya sesuai
dengan fitrahnya.
Pandangan tersebut memberikan petunjuk dengan jelas bahwa dalam rangka
mencapai tujuan kepribadian muslim, Islam mengupayakan pembinaan seluruh
potensi manusia secara serasi dan seimbang.
Terkait dengan itu, maka seluruh potensi yang dimiliki manusia diharapkan
dapat berfungsi sebagai pengabdi dan sebagai khalifah di bumi ini. Atas dasar
itu M. Quraish Shihab berpendapat bahwa tujuan pendidikan Alquran (Islam)
adalah membina manusia muslim secara pribadi dan kelompok, sehingga mereka
mampu menjalankan khalifahnya,[16] guna membangun dunia sesuai dengan konsep
yang ditetapkan Allah, atau dengan kata lain untuk bertakwa kepada Allah swt.
Dengan demikian, pendidikan harus mampu membina, mengarahkan dan melatih
semua potensi jasmani, jiwa dan akal manusia secara optimal agar dapat
melaksanakan fungsinya sebagai “khalifah”. Di samping itu, mengisyaratkan
perlunya parencanaan tujuan pendidikan yang sesuai dengan situasi masyarakat.
Adapun tujuan khusus Pendidikan Islam, dapat dikaitkan dengan tujuan
keagamaan itu sendiri yang meliputi :
pembinaan akhlak menyiapkan anak didik untuk hidup dunia dan akhirat penguasaan ilmu, dan keterampilan bekerja dalam masyarakat.[17]
Tujuan-tujuan di atas, meliputi ciri khas yang harus dimiliki seorang
muslim, dan dari situ dapat diketahui bahwa tujuan khusus pendidikan keagamaan
memiliki indikator sebagai berikut:
- mengarahkan manusia muslim menjadi khalifah yakni melaksanakan tugas untuk memakmurkan bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
- mengarahkan manusia muslim dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu, dalam rangka beribadah kepada Allah swt.
- mengarahkan manusia muslim untuk berakhlak mulia, sehingga tidak melenceng dari fungsi kekhalifahan.
- mengarahkan semua potensi manusia muslim (akal, jiwa dan fisik) untuk memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan dalam rangka mendukung tugas pengabdian dan fungsi kekhalifahannya.
Manusia muslim yang memiliki ciri-ciri tersebut secara umum adalah
kepribadian manusia yang ideal dan dapat diistilahkan sebagai insan kamil, atas
dasar ini dapat dikatakan bahwa para ahli pendidikan Islam pada hakekatnya
sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia insan kamil,
yakni manusia sempurna yang dalam kehidiupannya senantiasa beribadah kepada
Allah dalam rangka pelaksanaan fungsi kekhalifahannya di muka bumi. Dengan
tujuan tersebut, kemudian ahli pendidikan Islam, dijadikannya sebagai tujuan
umum pendidikan Islam. Dalam kaitan ini, Ahmad Tafsir mengatakan bahwa untuk
keperluan pelaksanaan pendidikan Islam sebenarnya ada yang bersifat umum,
khusus, dan operasional.[18]
Adapun penjabaran tujuan umum atau tujuan akhir pendidikan Islam yang
menjadi tujuan khusus ini, menuntut tugas dan fungsi manusia secara filosofis
sebagai berikut:
- Tujuan individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat.
- Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dan dengan tingkah laku masyarakat umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidup.
- Tujuan profesional yang menyangkut mengenai pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.
Dalam proses pendidikan, ketiga tujuan di atas dicapai secara integral,
tidak terpisah dari satu sama lain, sehingga dapat mewujudkan tipe manusia
muslim paripurna seperti yang dikehendaki oleh ajaran Islam.
Dalam pelaksanaan tujuan tersebut dapat dibedakan dalam dua macam tujuan,
yakni tujuan operasional dan fungsional. Tujuan operasional yaitu suatu tujuan
yang dicapai menurut program yang telah
ditentukan/ditetapkan dalam kukrikulum. Akan tetapi adakalanya tujuan fungsional
belum tercapai oleh karena beberapa sebab, misalnya produk kependidikan belum
siap dipakai di lapangan karena masih memerlukan latihan keterampilan tentang
bidang keahlian yang hendak diterjuni,
meskipun secara operasional tujuannya telah tercapai.
Sedangkan tujuan fungsional yaitu tujuan yang dicapai dalam arti
kegunaan, baik aspek teoritis maupun aspek praktis, meskipun kurikulum secara
operasional belum tercapai. Misalnya produk pendidikan telah mencapai keahlian
teoritis ilmiah dan juga kemampuan/keterampilan yang sesuai dengan bidangnya,
akan tetapi dari aspek administratif belum selesai. Oleh karena itu, produk
pendidikan yang paripurna adalah bilamana dapat menghasilkan anak didik muslim
yang telah siap pakai dalam bidang keahlian yang dituntut dunia kerja dan
lingkungannya.
C. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam
Jika pendidikan Islam ditelusuri prinsip-prinsip dalam bentuk
operasionaliasi, maka sesungguhnya ia merujuk pada sumber ajaran Islam itu
sendiri, terutama Alquran dan Hadis.
Adapun prinsip-prinsip pendidikan Islam secara makro dalam pandangan Drs.
Abd. Halim Soebahar, MA terdiri atas enam, yakni prinsip tauhid, prinsip
integrasi, prinsip keseimbangan, prinsip persamaan, prinsip pendidikan seumur
hidup dan prinsip keutamaan.[19]
1. Prinsip Tauhid
Prinsip tauhid dimaksudkan sebagai faham meng-Esa-kan Tuhan dan merupakan
hal penting dalam pendidikan Islam. sebagai konsekuensi logis dari prinsip
tauhid adalah munculnya konsekuensi dalam bentuk pengakuan yang tulus, bahwa
Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang serba mutlak.
2. Prinsip Integrasi
Prinsip integrasi adalah memahami bahwa dunia merupakan jembatan menuju
kampung akhirat. Karena itu, mempersipakan manusia secara utuh merupakan hal
yang tidak dapat dielakkan, agar masa kehidupan duniawi benar-benar bermanfaat sebagai
bekal kehidupan akhirat. Di sinilah pentingnya prinsip integrasi dalam
pendidikan Islam, agar semua pihak yang terkait dapat mengendalikan diri dalam
berperilaku sesuai keinginan agama.
3. Prinsip Keseimbangan
Prinsip keseimbangan dalam pendidikan Islam merupakan kemestian, yakni
keseimbangan mental dan spritual, unsur jasmani dan rohani. Betapapun manusia
telah sampai pada tingkat pengalaman spritual yang tinggi, puncak dan berada di
hadirat Tuhan, namun unsur material harus tetap terpelihara.
4. Prinsip Persamaan
Prinsip ini berasal dari prinsip yang pertama dan prinsip dasar tentang
manusia yang mempunyai kesatuan asal. Maksudnya, dalam pendidikan Islam tidak
ada istilah diskriminasi jenis kelamin, kedudukan sosial dan bangsa, maupun
suku, warna kulit dan ras, sehingga budak sekalipun berhak mendapat pendidikan.
Seperti diketahui dalam sejarah bahwa budak perempuan merupakan status manusia
yang paling rendah di kalangan masyarakat pra-Islam. namun, Islam datang
mengangkat derajat mereka dan mereka memperoleh hak yang sama dalam bidang
pendidikan.
5. Prinsip Pendidikan Seumur Hidup
Islam menuntut pemeluknya untuk tidak berhenti belajar dan memulainya
sedini mungkin. Secara historis, ide gagasan pendidikan seumur hidup sungguh
merupakan salah satu prinsip pendidikan Islam. Sesungguhnya prinsip ini
bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan dengan
keterbatasan manusia sepanjang hidupnya dihadapkan kepada berbagai tantangan
dan godaan yang dapat menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kehinaan. Dengan
demikian, manusia dituntut untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas dirinya
sepanjang hayat.
6. Prinsip Keutamaan
Prinsip keutamaan merupakan inti segala kegiatan pendidikan. Keutamaan
ibarat ruh bagi upaya pendidikan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa
pendidikan bukanlah sekadar proses mekanik, me-lainkan merupakan suatu proses
yang dimiliki ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada
keutamaan-keutamaan, yakni keutamaan nilai-nilai moral.
Dengan mengetahui prinsip-prinsip pendidikan Islam sebagai mana yang
telah dikemukakan, maka setiap manusia muslim bertanggung jawab
menyelenggarakan pendidikan. Mereka ber-kewajiban secara moral mengarahkan
perkembangan pribadi anak-anak mereka melalui pendidikan di lingkungan
keluarga. Sebagai konsekuensinya, maka dalam ajaran Islam mutlak membutuhkan
pendidikan secara informan dalam rumah tangga.
Berkenaan dengan uraian-uraian di atas, maka pada prinsipnya orientasi
pendidikan Islam berdasarkan pada prinsip tauhid, integrasi dan keseimbangan,
prinsip persamaan, prinsip pendidikan seumur hidup. Prinsip tauhid mewarnai dan
memberikan inspirasi munculnya prinsip-prinsip pendidikan Islam lain seperti
prinsip bahwa Allah swt. adalah Tunggal secara mutlak, Dia satu-satunya
pencipta dan menimbulkan kesadaran bahwa hidup ini berasal dari-Nya dan menuju
kepada-Nya. Tuhan adalah asal dan tujuan hidup manusia, bahkan seluruh
makhluk-Nya. Dengan prinsip tauhid, memunculkan konsekuensi dalam bentuk
pengakuan yang tulus bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang serba
mutlak. Pengakuan ini merupakan kelanjutan logis hakikat konsep ketuhanan bahwa
Dia adalah kebenaran mutlak. Seluruh pencarian manusia, harus menuju
kepada-Nya. Oleh karena itu, pendidikan Islam dengan prinsip ini, menuntut
adanya semangat mujahadah, dan orang yang ber-mujahadah dalam keadaan sangat
mungkin mengetahui Tuhan. Jadi yang harus dilakukan adalah berusaha keras terus
menerus dan penuh kesungguhan (mujahadah, ijtihad) untuk mendekatkan (taqarrub)
diri kepada-Nya.
Mengenai orientasi pendidikan Islam dengan prinsip integrasi, adalah
bahwa manusia diharapkan mempersiapkan dirinya secara utuh untuk memanfaatkan
kehidupan dunia sebagai bekal di hari akhirat. Hal ini berlaku bagi pendidik
dan peserta didik, agar nikmat apapun yang didapatinya di dalam kehidupan dunia
harus diabdikan untuk mencari kelayakan-kelayakan yang tentunya mematuhi kemauan
Allah swt.[20] Prinsip integrasi ini, identik dengan orientasi pendidikan Islam
dalam aspek prinsip keseimbangan, yakni keseimbangan antara material dan
spiritual. Dalam banyak ayat, Allah swt. menyebutkan iman dan amal secara
bersamaan. Iman adalah unsur yang berkait dengan hal spiritual, sementara amal
atau karya adalah yang berkaitan dengan material. Allah swt. menegaskan bahwa
“manusia dalam keadaan merugi, kecuali mereka yang beriman dan beramal
shaleh”.[21] Ditegaskan pula bahwa “siapa yang beramal berupa karya yang shaleh
dan ia beriman, usahanya tidak akan sia-sia”.[22] Dengan demikian, pendidikan
Islam sesungguhnya mengisyaratkan bahwa betapapun manusia telah sampai pada
tingkat pengalaman spiritual yang tinggi, puncak dan berada di hadirat Tuhan,
unsur material harus tetap terpelihara.
Selanjutnya orientasi pendidikan Islam dengan prinsip persamaan, dan hal
ini berdasar pada kenyataan bahwa manusia mempunyai kesatuan asal, tidak ada
diksriminasi jenis kelamin, kedudukan sosial, dan bangsa, maupun antara suku,
warna kulit, dan ras. Dari prinsip persamaan pula muncul konsep-konsep yang
lebih rinci mengenai kebebasan dan demokrasi.
Yang terakhir, orientasi pendidikan Islam dengan prinsip pendidikan
seumur hidup (life long education) yang berarti bahwa pendidikan masa sekolah
bukanlah satu-satunya masa setiap orang untuk belajar, melainkan hanya sebagian
dari waktu belajar yang akan berlangsung seumur hidup. Dalam sisi lain konsep
pendidikan seumur merumuskan asas bahwa pendidikan adalah proses yang terus
menerus (kontinyu) berlangsung mulai dari bayi sampai meninggal dunia. Dalam
tataran aplikasinya, maka pendidikan seumur hidup tersebut, tentu ditujukan
kepada siapa saja, tanpa mengenal batas usia dan jenis kelamin, yakni anak-anak
maupun orang dewasa, laki-laki maupun perempuan.
[1]Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan (Cet.I; Jakarta: Rineka cipta, 1991), h.
69
[2]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1983), h. 232.
[3]John Echols dan Hassan Shadili, Kamus Inggris – Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1981), h. 81.
[4]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Cet. I; Jakarta: Hidakarya Agung,
1989), h. 137.
[5]Ramayulis, Ilmu Pendidikan
Islam (Cet.I; Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 1
[6]Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1988), h. 3.
[7]Mahmud Yunus, op. cit., h. 177.
[8]Lihat QS. Ali Imran (3): 83
[9]Lihat QS. al-Shaf (61): 9
[10]Lihat QS. al-Taubah (9): 36.
[11]Lihat QS. al-Rum (30): 39.
[12]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 10.
[13]Abdurrahman al-Nahlawy, Usul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha,
diterjemahkan oleh Herry Noor Ali dengan judul Prinsip-Prinsip dan Metode
Pendidikan Islam (Cet. II; Bandung: IKAPI, 1992), h. 21
[14]Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Mahkota,
1989), h. 129.
[15]Lihat H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islan dan Umum (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara,
1991), h. 3-4.
[16]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan peran wahyu dalam
Kehdiupan Masyarakat (Cet. II; Bandung: Mizan, 1992), h. 173.
[17]M. Athiyyah al-Abrasy, al-Tarbiyah Islamiyah yang diterjemahkan oleh
Bustami A. Gani et. all., dengan judul Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam.
(Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, t.th.), h. 1.
[18]Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992) h. 49
[19]Uraian lebih lanjut, lihat H. Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru
Pendidikan Islam (Cet. I; JakartaL Kalam Mulia, 2002), h. 71-86.
[20]Abd. Halim Soebahar, op. cit., h. 74.
[21]Lihat QS. al-Ashr (103): 2-3.
[22]Lihat QS. al-Anbiya’ (21): 94.
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG KEPRIBADIAN
A. Pengertian Kepribadian Muslim
Batasan tentang kepribadian muslim, telah dirumuskan dalam uraian
terdahulu.[1] Namun untuk lebih mengetahui secara utuh dan menyeluruh tentang
apa, mengapa, dan bagaimana sebenarnya dengan kepribadian muslim itu, masih
penting penjelasan akurat tentangnya.37
Dari berbagai literatur yang ditelaah, ditemukan bahwa term kepribadian
dalam beberapa bahasa disebut dengan personality (Inggris); persoonlijkheid
(Belanda); personnalita (Prancis); personalita (Itali); personlichkeit
(Jerman); dan personalidad (Spayol).[2] Abd. Mujib menjelaskan bahwa dari
term-term kepribadian dalam berbagai bahasa, pada dasarnya masing-masing
sebutan itu berasal dari kata latin, yakni persona yang berarti topeng.[3]
Topeng adalah tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung yang
maksudnya untuk meng-gambarkan perilaku, watak atau pribadi seseorang. Dengan
demikian, kepribadian yang digambarkan oleh sebuah topeng menunjukkan suatu
kualitas prilaku dominan seseorang. Bilamana dalam keseharian seseorang
prilakunya dominan baik, kepribadiannya baik pula. Bilamana selalu buruk,
kepribadiannya buruk pula.
Dalam konsep ajaran Islam, kepribadian yang baik, adalah sosok
kepribadian muslim yang ideal. Kepribadian yang demikian, dalam kamus
(al-munjid) bahasa Arab disebut iyah*syakhs al-bārizah.[4] Kata iyah*syakhs
ini, berakar dari kata syakhs artinya pribadi. Kata tersebut kemudian diberi yā
nisbat, menjadi kata benda buatan (inā'iy dar s mas).
Di samping kata iyah*syakhs, Alquran juga mengkonotasikan kepribadian
dengan kata al-nafsiyat yang berasal dari kata nafs, artinya diri pribadi, atau
individu.[5] Kemudian dalam "Ilmu Akhlak" dikenal dengan sebutan
al-khulq.[6] Masing-masing term ini meskipun memiliki kemiripan makna dengan
kata iyah, al-syakhs namun ia juga memiliki kekhususan makna.
Kata nafsiyah yang akar katanya nafs, dapat berarti nyawa, atau roh.
Sementara kata al-khulq menggambarkan citra fitrah nafsani psikis manusia. Jadi
nafsiyah dan al-khulq memiliki arti gambaran atau kondisi kejiwaan seseorang
tanpa melibatkan unsur lainnya. Berkenaan dengan itulah, penulis cenderung
menggunakan istilah iyah*syakhs dalam merumuskan definisi kepribadian muslim.
Di samping secara psikologis sudah populer dalam berbagai kamus bahasa
(al-munjid fī al-lugah),[7] term ini juga mencerminkan makna kepribadian lahir
dan batin. Jadi kepribadian muslim dalam bahasa Arab disebut iyat al-muslim
syakhs, sosok individu yang terintegrasi dengan sistem kalbu, akal, dan nafsu
yang menimbulkan tingkah laku pada diri setiap muslim.
Selanjutnya batasan kepribadian secara terminologi, ditemukan pula
keragaman definisi yang dikemukakan masing-masing pakar sesuai bidangnya.
Sigmund Freud sebagai bapak psikoanalisis mendefiniskan kepribadian sebagai
integrasi dari id, ego, dan super ego.[8] Id sebagai komponen kepribadian
psikologis, ego sebagai komponen kepribadian psikologis, dan super ego sebagai
komponen kepribadian sosiologis. Ketiga sistem ini, tidak dipandang sebagai
elemen-elemen yang terpisah-pisah, melainkan suatu nama untuk berbagai proses
psikologis yang mengikuti prinsip-prinsip sistem yang berbeda. Dengan demikian,
definisi yang dikemukakan Sigmund Freud menekankan kekuatan aktif dalam diri
individu dan tidak menekankan pada kebiasaan-kebiasaan seseorang. Kekuataan
yang dimaksud berupa organisasi sistem-sistem psikis yang secara integratif
bekerja sama untuk mencapai tingkah laku tertentu.
Berdasar pada definisi-definisi kepribadian di atas, dapat dirumuskan
bahwa terdapat dua kata kunci mengenai kepribadian, yakni “sifat” dan “sikap”
yang ada pada setiap individu dan tercermin dalam prilakunya sehari-hari.
Dengan demikian, penulis merumuskan bahwa kepribadian adalah organisasi psiko
dan fisik yang dinamis dan tergambar dalam diri setiap individu yang
masing-masing berbeda dengan individu lainnya dalam menentukan penyesuaian
dirinya masing-masing terhadap lingkungannya. Dengan batasan seperti ini,
dengan mudah akan diketahui apa yang dimaksud kepribadian muslim. Sekaitan
dengan itu, perlu dikemukakan terlebih dahulu apa yang makna yang terkandung
dalam term muslim.
Muslim dalam bahasa Arab berakar dari kata salima, tersusun dari
huruf-huruf s-l-m (س،ل،م)
yang berarti al-inqiyād[9] (sikap tunduk dan patuh), al-istislām[10] (sikap
berserah diri) dan al-ikhlās[11] (sikap ketulusan hati). Kemudian kata salima (سلم) tersebut berubah menjadi
fi’il śulāsy mazīd, yakni aslama, yuslimu, islāman, yang secara leksikal
berarti selamat, damai, tunduk dan sentosa. Jadi, Islam bisa berarti sesuatu
yang menyelamatkan, mendamaikan, menundukkan dan mensentosakan manusia. Dari
kata islāman inilah kemudian menjadi isim fail (subyek), yakni al-muslim atau
muslimun (مُسْلِمٌ)
artinya orang yang selamat, orang yang damai, orang yang tudnuk dan hidup
sentosa.
Al-Alūsi menyatakan bahwa term muslim secara lugawi terdiri atas beberapa
makna yakni mutqin (orang yakin atas kebenaran), mu'min (orang percaya atas
kebanaran), dan sin muh (orang yang berbuat baik). Sehingga, jati diri seorang
muslim adalah membenarkan yang benar (dīq al-tas), dan mengakuinya dalam bentuk
ucapan (al-ikrār), kemudian terimplementasi dalam kebiasaan (al-adat) berbuat
amal (al-amal).[12]
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa muslim adalah orang yang menyerah,
yakni penyerahan diri seseorang kepada pihak lain, dan terbatas pada penyerahan
fisik. Namun bila dihubungkan dalam hal keberagamaan, muslim adalah orang yang
menyerah kepada Allah.[13] Jadi seoranng muslim dituntut memiliki kepribadian
yang patuh hanya kepada Allah, konsekuen menjalankan ajaran yang diturunkan-Nya
melalui rasul-Nya, yaitu agama Islam. Allah ber firman dalam QS. al-Baqarah
(2): 208
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِينٌ(208)
Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu.[14]
M. Quraish Shihab lebih lanjut mengomentari bahwa maksud ayat tersebut
antara lain adalah menyatukan akan dan hati, jangan berlaku seperti setan yang
memisahkan antara hati dan akalnya, serta menyulut peperangan antara perasaan
dan pengetahuan-nya. Pada saat seseorang menyerahkan diri secara fisik, nalar,
dan jiwanya kepada Allah dan Rasul, baru pada saat itu dinamai berkepribadian
muslim sejati.[15] Dengan begitu, tidak pantas seorang muslim menyandang sifat
salam (damai) dan islam (selamat) kalau kepribadiannya jauh dari ajaran agama
Islam itu sendiri.
Setelah memahami batasan term muslim, yakni orang yang menyerahkan
dirinya sepenuhnya (bertawakkal) kepada Allah swt. dan menjalankan semua ajaran
agama (Islam) secara baik dan benar sebagaimana yang dicontohkan oleh nabi-Nya.
maka dapat dirumus-kan bahwa kepribadian muslim adalah kepribadian Islam secara
universal, yakni kepribadian setiap individu yang sifat dan sikapnya
terintegrasi dalam perilakunya yang terpuji (mūdah akhlāq al-mah) sebagaimana
yang digambarkan dalam Alquran, atau yang tergambar dalam kepribadian Nabi saw.
sebagai asanah uswah al-h.
B. Faktor-faktor yang Membentuk Kepribadian
Kepribadian manusia secara umum, dan termasuk di dalamnya tentang
kepribadian muslim secara khusus, telah mendapat perhatian dari kalangan pakar
psikologi dan pendidikan dengan berbagai alirannya. Studi mereka lebih berfokus
pada faktor-faktor yang menentukan kepribadian. Terdapat tiga aliran besar yang
masing-masing memiliki asumsi berbeda dalam melihat faktor-faktor yang
membentuk kepribadian. Tiga aliran tersebut adalah nativisme, empirisme, dan
konvergensi.
1. Aliran Nativisme
Nativisme berasal dari kata natus = lahir; nativis = pembawaan yang
ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu
kekuatan yang disebut potensi (dasar).[16] Aliran nativisme ini, bertolak dari
leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri setiap pribadi,
sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh
terhadap kepribadian. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan
segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi
perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar
turunan, misalnya ; kalau orangtuanya berkepribadian muslim, kemungkinan besar
anaknya juga berkepribadian muslim.
Aliran nativisme memandang hereditas (heredity) sebagai penentu
kepribadian. Hereditas adalah totalitas sifat-sifat karakteristik yang dibawah
atau dipindahkan dari orang tua ke anak keturunannya. Perpindahan genetik ini
merupakanb fungsi dari kromosom dan gen. Kromoson adalah bagian sel yang
mengandung sifat keturunan, satu tubuh yang berwarna gelap di dalam inti sel
elementer. Gen adalah sebarang partikel hipotetik yang terletak sepanjang
kromoson-kromoson yang menjadi unit elementer dari sifat keturunan atau
kebakaan.[17]
Asumsi yang mendasari aliran nativisme ini, adalah bahwa pada kepribadian
anak dan orang tua terdapat banyak kesamaan, baik dalam aspek fisik dan psikis.
Setiap manusia memiliki gen, dan gen orangtua ini yang berpinda pada anak.
Dengan begitu, para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir
sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk berdasarkan gen orangtuanya.
Sehingga, kepribadian ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak
lahir.[18] Berdasarkan pandangan ini, maka baik dan buruknya kepribadian
seseorang ditentukan oleh pembawaan.
Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan
tidak akan berdaya dalam mempengaruhi kepribadian seseorang. Penganut pandangan
ini menyatakan bahwa kalu anak mempunyai pembawaan kepribadiaan jahat, dia akan
menjadi jahat, sebaliknya kalau anak mempunyai pembawaan kepribadian baik, dia
menjadi orang yang baik. Kepribadian buruk dan baik ini tidak dapat dirubah
oleh kekuatan lingkungan.
Berkenaan dengan inti ajaran aliran nativisme, dapat dipahami bahwa
aliran ini bersifat passimisme, karena para penganutnya menunjukkan sifat
pesimistis terhadap kemampuan manusia dalam mengembangkan kepribadiannya yang
dibawa sejak lahir. Dengan kata lain, kepribadian anak seluruhnya ditentukan
oleh hukum-hukum pewarisan.
Tokoh utama (pelopor) aliran nativisme adalah Arthur Schopenhaur (Jerman
1788-1860). Tokoh yang lain seperti J.J. Rousseau seorang ahli filsafat dan
pendidikan dari Perancis. Kedua tokoh ini berpendapat betapa pentingnya “inti”
privasi atau jati diri kepribadian manusia.[19] Dengan begitu aliran ini hampir
mirip dengan keyakinan agama budaya yang menyatakan bahwa arwah serta pembawaan
nenek moyang dapat kembali pada garis keturunannya (reinkarnasi). Arwah yanng
baik mereinkarnasi pada keturunannya untuk memberikan petunjuk pada manusia
yang hidup.
Berdasarkan uraian di atas, maka aliran nativisme pada dasarnya terlepas
dari konsep fitrah karena melepaskan diri dari ikatan agama yang transedental.
Manusia menurut aliran ini seakan-akan mentuhankan orantua dan nenekmoyang,
sebab dialah sumber utama pewarisan kepribadian.
2. Empirisme
Aliran empirisme, bertentangan dengan paham aliran nativisme. Empirisme
(empiri artinya, pengalaman), dan disebut juga aliran environmentalisme, yaitu
suatu aliran yang menitikberatkan pandangan-nya pada peranan lingkungan sebagai
penyebab timbulnya kepribadian.[20] Aliran ini tidak mengakui adanya pembawaan
atau potensi kepribadian yang di bawah manusia sejak kelahirannya. Dengan kata
lain bahwa anak manusia itu lahir dalam keadaan suci dalam pengertian anak
bersih tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa
kepribadian seseorang besar pengaruhnya pada faktor lingkungan.
Asumsi psikologis yang mendasari aliran empirisme ini, adalah bahwa
manusia lahir dalam keadaan netral, tidak memiliki pembawaan kepribadian. Ia
bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang dapat ditulisi apa saja yang
dikehendaki. Perwujudan kepribadian ditentukan oleh luar diri yang disebut
lingkungan, dengan kiat-kiat rekayasa yang bersifat edukatif. Dapat
diilustrasikan bahwa setiap bayi, menangis bila merasa lapar, haus, dan sakit
yang berarti bahwa bayi tersebut dalam keadaan kosong yang memerlukan bantuan,
dan kemudian kepribadian menjadi tumbuh dan berkembang disebabkan oleh pengaruh
lingkungan dalam proses kehidupannya.
Bilamana aliran nativisme disebut aliran pasimesme, maka aliran empirisme
ini dapat disebut sebaga aliran optimisme. Sebab, inti ajarannya adalah
menganggap kepribadian menjadi akan lebih lain apabila dirangsang oleh
usaha-usaha sekuat tenaga. Kepribadian manusia bukanlah sebuah robot yang
diprogram secara deterministik, apalagi menyerah pada pembawaan nasibnya.
Dengan aliran empirisme ini telah menyumbangkan pemikiran tentang bagaimana
manusia agar segara membentuk kepribadiannya yang ideal.
Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama
John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir
di dunia bagaikan kertas putih yang bersih.[21] Pengalaman empirik yang
diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan
kepribadian manusia.
3. Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju
satu titik pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa corak kepribadian
ditentukan oleh dasar (bakat, keturunan) dan lingkungan, kedua-duanya memainkan
peranan penting. Konvergensi sebagai satu aliran teori, menekankan adanya
hubungan antara faktor pembawaan sejak lahir dan faktor pengalaman yang
diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Itu berarti bahwa aliran komvergensi ini,
mempertemukan teori nativisme dan empirisme.
Manusia secara pribadi telah memiliki bakat masing-masing yang dibawanya
sejak lahir (fitrah), yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai
dengan kebutuhan bakat tadi akan mengalami perkembangan. Akan tetapi bakat saka
tanpa pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tersebut,
tidak cukup, misalnya tiap anak manusia yang normal mempunyai bakat untuk
berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak
akan menjadi aktual (menjadi kenyataan), jika sekiranya anak manusia itu tidak
hidup dalam lingkungan masyarakat manusia. Dengan begitu, hereditas tidak akan
berkembang secara wajar apabila tidak diberi rangsangan dari faktor lingkungan.
Sebaliknya, rangsangan lingkungan tidak akan membina kepribadian yang ideal
tanpa didasari oleh faktor hereditas. Ringkasnya, penentuan kepribadian
seseorang dipengaruhi oleh kerja yang integral antara faktor internal dan
eksternal.
Perintis aliran konvergensi adalah William Stern (1871-1939), seorang
ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di
dunia disertai pembawaan baik maupun
pembawaan buruk.[22] Kepribadian baik yang dibawa anak sejak kelahirannya tidak
berkembang dengan baik pula tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk
perkembangan kepribadian itu. Jadi seorang anak yang dilahirkan dalam keadaan
muslim, namun bila tidak didukung oleh lingkungan yang bersangkutan tidak akan
mampu pula mewujudkan dirinya ke dalam prilaku muslim.
Jadi inti aliran konvergensi ini, adalah bahwa kepribadian seseorang
tidak hanya ditentukan oleh faktor warisan saja, dan tidak juga ditentukan oleh
faktor lingkungan. Kepribadian seseorang akan ditentukan oleh hasil perpaduan
antara kedua faktor tersebut, hasil kerjasama antara faktor-faktor yang ada
pada diri seseorang, dan faktor-faktor di luarnya akan bermuara suatu pribadi
yang ideal.
Sejalan dengan itu, Nasir Budiman menyatakan bahwa manusia dengan segala
perwatakan dan ciri-ciri pertumbuhannya adalah perwujudan dua faktor, yaitu
faktor warisan dan lingkungan. Kedua faktor ini mempengaruhi manusia dan
berintegrasi denganya sejak hari pertama kelahirannya sampai akhir
hayatnya.[23]
Berdasarkan pada uraian-uraian di atas, kelihatan bahwa konsep
kepribadian perspektif Islam akan lebih dekat pada aliran kovergensi yang tidak
mengabaikan konsep fitrah, walaupun tidak sama karena perbedaan paradigmanya.
Adapun kedekatannya, adalah bahwa Islam menegaskan kepribadian manusia memiliki
fitrah dan sumber daya insani, serta bakat-bakat bawaan, meskipun semua itu
masih merupakan potensi yang aumiy mengandung berbagai kemungkinan, seperti
yang dijelaskan oleh al-T :
Betapapun juga, faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku
hingga tidak bisa dipengaruhi. Bahkan ia bisa dilenturkan dalam batas tertentu.
Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala anasirnya.
Lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting.[24] Ditegaskan pula dalam sebuah hadis ;
عَنْ اَبيِ هُرَيْرَةَ رَضِي
اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ
النَّبِيُّ e : كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ
عَلَى اْلفِطْرَةِ فَاَبْوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ
يُمَجِّسَانِهِ[25]
Artinya:
‘Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw. bersabda: setiap anak yang lahir,
dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tualah yang menjadikan ia Yahudi,
Nasrani atau Majusi’. (HR. Muslim)
Konsep fitrah dalam hadis di atas, dan sebagaimana pula yang telah
dijelaskan bahwa, ia mengandung arti potensi dasar yang dibawa oleh setiap
manusia sejak lahir. Potensi ini adalah kepribadian Islam, namun potensi
kepribadian tersebut kadangkala tidak bisa berkembang karena keadaan lingkungan
yang tidak mendukung. Seorang anak memungkinkan saja berkepribadian Yahudi atau
Nasrani bila tidak ada usaha orangtua (lingkungan) yang mengarahkannya.
Dapat dirumuskan bahwa Islam mengakui faktor keturunan (bakat, pembawaan)
dan faktor lingkungan (pengalaman) sebagai penentu baik dan buruknya
kepribadian. Akan tetapi di samping kedua faktor tersebut masih ada lagi faktor
lain yang cukup berpengaruh, yaitu hidaya Allah swt. Bahkan faktor hidayah ini
sering lebih dominan dalam menentukan sosok kepribadian. Seorang anak, yang
sudah terbiasa beraklak buruk sejak kecil, tidak menunaikan kewajiban agama,
namun pada suatu saat, setelah ia mendapat hidayah Allah swt, ia menjadi anak
shaleh dan sangat tampak dalam perilakunya, mūdah akhlāq al-mah.
C. Pertumbuhan dan Perkembangan Kepribadian
Hukum-hukum genase (pertumbuhan/perkembangan) dapat dibedakan dalam tiga
jenis, yakni; hukum kesatuan organis,[26] hukum tempo,[27] dan hukum
konvergensi.[28] Ketiga hukum ini, berlaku juga pada setiap kepribadian
manusia. Namun keberlakuan ketiga hukum tersebut pada setiap pribadi memiliki
perbedaan dengan individu-individu lainnya. Dengan demikian, masalah
pertumbuhan dan perkembangan erat kaitannya dengan masalah kepribadian manusia.
Dalam berbagai literatur, ditemukan rumusan bahwa batasan makna
pertumbuhan sering diartikan sama dengan perkembangan, sehingga kedua istilah
itu penggunaannya seringkali dipertukarkan untuk makna yang sama. Ada pakar
yang suka menggunakan istilah pertumbuhan saja dan ada yang suka menggunakan
istilah per-kembangan saja. Terkait dengan itu, maka penulis dalam kajian ini
merumuskan bahwa istilah pertumbuhan diberi makna dan digunakan untuk
menyatakan perubahan-perubahan ukuran fisik, sedang istilah perkembangan diberi
makna dan digunakan untuk menyatakan terjadinya perubahan-perubahan aspek
psikis. Aspek fisik dan psikis ini, merupakan dua unsur yang tergabung dalam
diri manusia, sehingga terbentuk kepribadiannya.
Piaget sebagaimana ditulis Sarlito bahwa empat masa per-kembangan
manusia, yakni (1) masa sensori motor sejak usia 0,0 sampai 2,5 tahun; (2) masa
pra-operasional, usia 2,0 sampai 7,0 tahun; (3) masa konkreto prerasional, usia
7,0 sampai 11,00 tahun; dan (4) masa operasional, usia 11,0 sampai masa
dewasa.[29] Selanjutnya, Kretschmer sebagaimana yang ditulis Ahmad Musa
mengemukakan bahwa dari lahir sampai dewasa seseorang melewati empat fase
dengan beberapa ciri khas, yakni :
- Dari usia 0,0 sampai kira-kira 3,0 tahun disebut fillings periode I, pada masa isi anak kelihatan pendek.
- Dari kira-kira 3.0 sampai kira-kira 7,0 tahun disebut streckungs periode I, pada masa ini anak kelihatan langsung.
- Dari kira-kira 7,0 sampai kira-kira 13,0 tahun disebut filling periode II, pada masa ini anak kembali kelihatan pendek gemuk.
- Dari kira-kira 13,0 sampai kira-kira 20,0 tahun disebut streckungs periode II, pada masa ini anak kembali langsing.[30]
Sejalan dengan itu, Sumadi Suryabrata merumuskan bahwa tiap fase dari
kelahiran seseorang, ditentukan atas dasar cara-cara reaksi bagian tubuh
tertentu. Fase-fase tersebut, adalah :
- Fase oral, usia 0,0 sampai kira-kira 1,0 tahun. Pada fase ini mulut merupakan daerah pokok daripada aktivitas dinamis.
- Fase anak, kira-kira usia 1,0 sampai kira 3,0. Pada fase ini dorongan dan tahanan berpusat pada fungsi pembuangan kotoran.
- Fase falis, kira-kira 3,0 tahun sampai kira-kira 5,0 tahun. Pada fase ini alat-alat kelamin merupakan daerah erogen terpenting.
- Fase latent, kira-kira 5,0 sampai kira-kira 12,0 tahun atau 13 tahun. Pada fase ini implus-implus cenderung untuk ada dalam keadaan tertekan, atau mengendap.
- Fase pubertas, kira-kira 12,0 sampai kira-kira 20,0. Pada fase ini implus-implus menonjol kembali.
- Fase genital, sejak 20,0 sampai tua.[31]
Pembagian masa perkembangan yang dikemukakan para ahli berbeda-beda,
perbedaan itu disebabkan oleh kebutuhan setiap individu pada hakikatnya akan
mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan nonfisik yang yang meliputi
aspek-aspek intelek, emosi, sosial, bahasa, bakat khusus, nilai dan moral serta
sikap.[32] Berikut ini diuraikan pokok-pokok pertumbuhan dan perkembangan
aspek-aspek tersebut yang juga merupakan aspek kepribadian setiap manusia.
1. Pertumbuhan Fisik Manusia
Pendapat umum menyatakan bahwa pertumbuhan kepribadian manusia dalam arti
pertumbuhan fisiknya, dimulai dari proses pembuahan, yakni pertemuan sel telur
dan sperma yang membentuk suatu sel kehidupan, yang disebut embrio. Embrio
manusia yang telah berumur satu bulan, berukuran sekitar setengah sentimeter.
Pada umur dua bulan ukuran embrio itu membesar menjadi dua setengah sentimeter
dan disebut janin atau “fetus”. Baru setelah satu kemudian (tiga bulan umur
kandungan), janin atau fetus tersebut telah berbentuk menyerupai bayi dalam
ukuran kecil.[33]
Pertumbuhan fisik manusia berbeda dengan pertumbuhan hewan. Demikian anak
hewan itu dilahirkan, dalam waktu yang relatif singkat ia segera dapat berjalan
mengikuti induksi untuk mencari makan. Tetapi tidak demikian halnya manusia.
Pada awal setelah bayi itu dilahirkan, respon terhadap segala rangsangan dari
luar dirinya dilakukan secara refleks dan belum terkordinasikan.
Pertumbuhan fungsi biologis stiap manusia memiliki pola dan urutan yang
teratur, banyak psikologis menyatakan bahwa pertumbuhan fisik anak memiliki
pola yang sama dan menunjukkan ketaraturan. Dari lahir seorang bayi yang hanya
mampu menggerakkan tangannya secara reflektif ke arah kepalanya, setelah umur
satu bulan mulai mampu berguling, seterusnya pada umur dua bulan mulai
telungkup, merangkak pada umur tiga bulan, duduk dengan sedikit bantuan, duduk
sendiri (tanpa bantuan), berdiri, dan melangkah satu dua langkah, dan kemudian
mampu berjalan sendiri setelah anak itu berumur lima belas bulan.[34] Pola dan
urutan pertumbuhan fungsi fisik ini diikuti oleh perkembangan kemampuan mental
spritual secara terus terus menerus, yang pada gilirannya nanti ia akan sampai
menjadi manusia yang berkepribadian sempurna.
2. Perkembangan Nonfisik
Seiring dengan pertumbuhan kepribadian manusia dalam aspek fisiknya,
manusia juga mengalami perkembangan nonfisik yang cukup siginifikan. Ini
berarti bahwa pekembangan kepribadian manusia secara nonfisik bersamaan dengan
perkembangan fisiknya. Perkembangan-perkembangan kepribadian seperti ini termasuk
di dalamnya adalah :
a. Perkembangan intelek
Intelek atau daya pikir manusia berkembang sejalan dengan pertumbuhan
saraf otak. Karena pikiran pada dasarnya menunjukkan fungsi otak, maka
kemampuan intelektual yang lazim disebut dengan istilah lain kemampuan
berfikir, dipengaruhi oleh kematangan otak yang mampu menunjukkan fungsinya
secara baik.[35] Perkembangan lebih lanjut tentang intelek ini ditunjukkan pada
prilakunya, yaitu tindakannya sampai dengan kemampuannya menarik ke-simpulan
dan keputusan. Tindakan ini, terus berkembang mengikuti kekayaan
pengetahuannya, sehingga pada saatnya seseorang akan ber-kemampuan melakukan
peramalan atau prediksi, perencanaan, dan berbagai kemampuan analisis dan
sistesis. Perkembangan berfikir seperti ini, dikenal pula sebagai perkembangan
kognitif.[36]
b. Perkembangan emosi
Rasa dan perasaan merupakan salah satu potensi khusus dalam kepribadian
manusia. Dalam hidupnya atau dalam proses perkembangan kepribadian manusia,
banyak hal yang dibutuhkannya. Dalam kehidupan ini, sering terdapat
persamaan-persamaan kebutuhan antara individu yang satu dengan lainnya, dan
dengan demikian suatu saat akan timbul persaingan antara individu yang
sama-sama ingin memenuhi kebutuhannya. Sebagai akibat ini semua, akan
melahirkan perasaan emosi.
Emosi merupakan suatu keadaan kepribadian yang disebut psychosomatics
sebagai reaksi total terhadap segala stimuli yang biasanya dibarengi dengan
perubahan-perubahan jasmani yang hebat. Emosi dapat merupakan suatu keadaan
bergolaknya perasaan sebagai reaksi terhadap segala stimuli (dalaman dan
luaran). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa emosi melingkupi, perasaan yang
mendalam (inner feeling) dan perasaan yang bergolak.
c. Perkembangan sosial
Pada dasarnya manusia secara pribadi adalah makhluk sosial. Setiap orang
memerlukan orang lain, dan dalam proses pertumbuhan juga perkembangan setiap
orang tidak dapat berdiri-sendiri. Setiap orang memerlukan lingkungan dan akan
memerlukan manusia lainnya. Sejalan dengan itu, setiap orang sejak bayi mulai
berkenalan dengan lingkungannya. Pertama-tama ia mengenal ibunya, kemudian ayah
dan saudara-saudaranya. Selanjutnya manusia yang dikenalnya semakin banyak dan
amat heterogen. Akhirnya, manusia mengenal kehidupan bersama, kemudian
bermasyarakat atau berkehidupan sosial. Dalam perkembangan sosialnya, anak
belum berkembang dengan sempurna. Selama perkembangan anak dalam ruang sosial
dan kebudayaan tertentu akan mengalami berbagai hambatan. Perkembangan tingkah
laku sosial berarti perkembangan untuk mencapai kematangan dengan lingkungan
sosial. Tercakup dalam perkembangan ini adalah perubahan dalam minat dan
keinginan serta pemilihan teman dan sebagainya. Pencapaian kematangan sosial
terlaksana dengan sesama manusia, antara pribadi dan manusia lainnya. Dalam
per-kembangannya, setiap orang akhirnya mengetahui bahwa manusia itu saling
membantu dan dibantu, memberi dan diberi.
d. Perkembangan bahasa
Bahasa adalah alat komunikasi dan dengan bahasa manusia dapat
mengekspresikan isi jiwanya, seperti cita-cita, perasaan dan sebagainya. Bahasa
merupakan alat untuk menyampaikan ide tertentu dan bahasa pada umumnya adalah
media untuk bertindak. Bahasa adalah sesuatu yang dianugerahkan kepada manusia
yang merupakan media untuk melahirkan pikiran, perasaan dan kehendak kepada
orang lain. Kecakapan berbicara/berbahasa adalah merupakan hal yang esensial
dan merupakan kodrat manusia yang diperkembangkan oleh belajar dan interaksi
dengan orang lain (antar sesama manusia). Bahasa yang pertama kali digunakan
oleh manusia sejak lahirnya, adalah tangisan. Bayi yang lahir sambil menangis
adalah menunjukkan gejala kehidupan dan sebagai wahana komunikasi. Dengan
tangisan bayi, merupakan isyarat yang disampaikannya bagi orang lain.[37] Dalam
perkembangan awal berbahasa lisan, bayi menyampaikan isi pikiran atau
perasaannya dengan tangis dan atau ocehan. Ia menangis atau mungkin menjerit
jika tidak senang atau sakit dan mengoceh atau merabah jika sedang senang.
Gerakan-gerakan seperti ini sangat terkait dengan perkembangan bahasa, karena
dengan gerakan-gerakan tersebut orang yang berada di sekitarnya akan memahami
isyarat yang disampaikan oleh bayi. Demikian seterusnya sampai bayi itu bisa
berbahasa dengan lisan secara baik.
[1]Lihat skripsi ini, bab I, sub bab Pengertian Judul, h. 8
[2]Simpson, D.P., Cassell's Latin Dictionary (New York: Mac Millan
Publishing Co, 1982), h. 442. Bandingkan
dengan Agus Sujanto, et all, Psikologi Kepribadian (Cet. VII; Jakarta: Bumi
Aksara, 1997), h. 10.
[3]Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam; Sebuah Pendekatan Psikologis
(Cet.I; Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 72.
[4]M. Napis Djueni, Kamus Kontemporer Istilah Politik-Ekonomi Indonesia
Arab (Cet. I; Bandung: Teraju, 2005), h. 218
[5]Lihat misalnya QS. al-Baqarah (2): 48, 123, 233; QS. Ali Imrān (3):
25, 30; QS. al-Māidah (5): 32; QS.
al-An'ām (6): 70; QS. Yūnus (10): 30. Lebih ammad Fū'ad 'Abd. Al-Bāqy, lanjut
lihat Muh *al-Mu'jam al-Mufahras li Alfāz al-Qur'an al-Karīm (Bairūt: Dār
al-Masyriq, 1977), h. 881.
[6]Imām Abū H āmid al-Ghazāli, yā’ Ulūm al-Dīn, Ih alabi, 1336 H), h. 178
juz V (Kairo: al-Bāb al-H
[7]M. Napis Djueni, loc. cit. Luwis Ma'luf, Al-Munjid Fi al-Lughah (Cet.
II; Bairut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 378. Ahmad Warson al-Munawir, Kamus
Al-Munawir; Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 701.
[8]Batasan Sigmund Freud tentang kepribadian, dapat dilihat dalam C.P.
Chaplin, Dictionary of Personality diterjemahkan oleh Kartini Kartono dengan
judul Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta: Rajawali, 1989), h. 362
[9]Abū H"ammad bin Fāris Zakariyah, usayn Muh Mu’jam Maqāyis
al-Lugah, juz I (Cet. III; Mesir: Mus tā fa al-Bāby al-H"alaby wa Awlāduh,
1971), h. 90.
[10]Muh ammad Ibn Mukram Ibn Mażūr, Lisān al-Arab, juz XV (Cet. I;
Bairūt: Dār al-Fikr, 1990), h. 181.
[11]Taqy al-Dīn Ibn Taymiyah, Iqtid ā al-Sirāt al-Mustaqīm (Bairūt: Dār
al-Fikr, t.th.), h. 454.
[12]Lihat Abū al-Fad*l Syihāb al-Dīn al-Sayyid Mah mūd al-Alūsi
al-Bagdādi, Rūh al-Ma’āny fī Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm wa al-Sab’ al-Maśāni,
juz III (Bairūt: Dār al-Fikr, 1993), h. 171-172.
[13]M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi; Al-Quran dan Dinamika
Kehidupan (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 12-13.
[14]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek
Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an, 1992), h. 50.
[15]M. Quraish Shihab, op. cit., h. 15. Masih M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah; Pesam, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an, volume I (Cet. VI; Jakarta:
Lentera Hati, 2006), h. 448-449
[16]Lihat Sumadi Suryabrata, Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Rake
Press, 1984), h. 85
[17]Lihat Mohammad Nur Syam, Filsafat Pendidikan (Surabaya: Usaha
Nasional, 1986), h. 299
[18]Umar Tirharahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan (Cet. II;
Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 196
[19]Sumadi Suryabrata, op. cit., h. 86
[20]Ibid. 88. Lihat juga Mohammad Noor Syam, op. cit., h. 41
[21]Umar Tirharahardja dan La Sula, op. cit., h. 194
[22]Umar Tirharahardja dan La Sula, op. cit., h. 198
[23]M. Nasir Budiman, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur'an (Cet.I;
JakartaL Madani Press, 2001), h. 49
[24]aumiy al-Syabāni, ammad al-T ‘Umar Muh Falsafat al-Tarbiyat
al-Islāmiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah
Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 138
[25]Imām Ibn H usain Muslim bin H ajjāj Ibn Muslim al-Qusyairi
al-Naisabūri, al-Jā ah mi Sīh , Juz VI (Bairut: Dār al-Ma’ārif, t.th.), h. 530.
[26]Hukum kesatuan organis artinya anak berkembang secara menyeluruh
menurut kesatuan organ-organnya, bukan perkembangan jumlah elemen-elemen yang
berdiri sendiri. Hukum ini mengakui bahwa perekmbangan fisikis anak saling
pengaruh mempengaruhi. H. M. Arifin, Hubungan Timbal blaik Pendidikan Agama di
Lingkungan Sekolah dan Keluarga (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 39
[27]Hukum tempo menyatakan bahwa tiap anak mempunyai tempo perkembangan
dan pertumbuhan sendiri. Ada anak di masa kecilnya dalam
perkembangan/pertumbuhan cepat, tetapi setelah dewasa lambat. Misalnya ada anak
yang cepat berjalan tapi terlambat bicara atau sebaliknya atau pada masa
kanak-kanak kemampuan kecerdasan nya tinggi setelah dewasa menjadi
rendah/menurun. Ibid.
[28]Hukum konvergensi adalah bahwa anak bertumbuh dan berkembang dalam
dua faktor yang mempengaruhi, yakni pengaruh dari dalam dan dari luar. Pengaruh
dari dalam atau faktor yang tidak disengaja yang berupa pembawaan atau bakat,
dan sifat keturunan fisik atau psikis. Sedangkan pengaruh dari luar atau faktor
lingkungan dan biasa juga disebut faktor disengaja meliputi pendidikan,
lingkungan di mana ia hidup, dan pengalaman atau pergaulan. Uraian lebih
lanjut, lihat ibid., h. 40.
[29]Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja (Cet.II; Jakarta: Rajawali
Press, 1991), h. 81.
[30]Ahmad Musa, Psychology (Cet.II; Bandung: 1979), h. 60.
[31]Lihat Sumadi Suryabrata, Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Rake Press,
1984), h. 63.
[32]H. Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik (Cet.
II; Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 18
[33]Ibid.
[34]Ibid., h. 21
[35]H. Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono, op. cit., h. 23
[36]Uraian lebih lanjut, lihat Sarlito Wirawan Sarwono, op. cit., h. 81
[37]Lihat Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan (Cet. VII; Jakarta: Rineka
Cipta, 1996), h. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar