STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Kamis, 30 Agustus 2012

ISTIHSAN SEBAGAI DALIL ALTERNATIF DALAM HUKUM ISLAM

Jika seseorang mendepositokan uangnya di bank, bolehkah ia menerima bunga depositonya? Apakah bunga deposito itu sama. dengan riba? Ketika kita bertanya kepada ulama yang, dari golongan apa saja. Ada tiga kemungkinan jawaban: boleh, tidak boleh, tidak tahu. Anehnya bila golongan yang ditanya --Muhammadiyah, Persis, NU jawabannya satu. Semua golongan itu sepakat (ijma') untuk menyimpan uangnya di bank dan memanfaatkan bunganya, tentu saja bagi kepentingan umat Islam. Bila diminta fatwa lisan atau tulisan, verba non acta, sekali lagi jawabannya akan beragam. Kebanyakan di antara umat Islam masih belum mendapat jawaban yang tegas dan memuaskan.

Ulama yang ditanya itu memang mengalami kemusykilan. Deposito dan bunganya tidak dikenal di zaman Rasulullah saw. Mereka tidak menemukan nash --teks al-Qur'an atau Hadits-- yang menerangkan ketentuan hukum untuk deposito. Ada memang ketentuan tentang riba, tapi apakah riba sama dengan bunga deposito?

Kemusykilan seperti itu telah dihadapi para ulama sepanjang sejarah. Yang kita sebut syari'at pada mulanya hanya menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang sederhana dan hukum pidana. Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban lain, apa yang tercakup dalam syari'at menjadi lebih luas. Para ulama merumuskan syari'at dalam bentuk fiqh yang mengatur bidang-bidang kehidupan yang lebih kompleks. Menurut al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, ketika dinasti Umayyah bertemu dengan kebudayaan Persia, mereka menemukan lembaga yang menyelesaikan urusan orang-orang yang dizalimi. Lembaga ini tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah, tapi mereka menganggap lembaga ini sangat bagus. Kemudian penguasa Umayyah mengukuhkan lembaga itu dan menamainya Dewan Mazhalim. Mereka bukan saja menganggap dewan ini tidak bertentangan dengan syar'i, tapi bahkan memelihara tujuan syar'i.

Secara berangsur-angsur, para ulama mengembangkan metode istinbath (menarik kesimpulan hukum) baik berdasarkan kaidah-kaidah atau petunjuk umum dalam nash maupun dari penggunaan akal. Di antara metode-metode itu adalah qiyas, istihsan dan istishlah. Semua metode ini hanyalah upaya memecahkan persoalan. Studi kritis terhadapnya akan segera membuktikan bahwa penggunaan metode-metode tersebut juga menimbulkan persoalan. Tidak ada kesepakatan ulama mengenai kebolehan menggunakan masing-masing di antara ketiga hal itu. Sebagian menerimanya, sebagian menolakaya. Tidak jarang perbedaan itu muncul karena perbedaan pemaknaan istilah-istilah itu. Syafi'i, misalnya, menyerang istihsan dan menganggapnya sebagai usaha untuk membuat syari'at (man istahsana fa qad syara'a). Maliki dan Hanafi memandang istihsan bahkan harus didahulukan dari qiyas. Malik menyebut istihsan sebagai sembilan persepuluh ilmu (Al-istihsan tis'at a'syar al-'ilm). Tapi ketika Syafi'i menyerang istihsan seperti yang dimaknakan olehnya, ia menggunakan metode qiyas khafi, yang tidak lain daripada istihsan menurut mazhab Hanafi.

Tulisan ini akan dimulai dengan mencoba menyelesaikan kemelut makna istihsan dan diakhiri dengan petunjuk praktis penggunaannya dalam menjawab tuntutan situasi sekarang ini. Namun sebelum itu, sebagai pengantar, saya kutipkan penjelasan Sayyid Musa Tuwanat: [1]

Bila mujtahid tidak menemukan hukum dalam al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan pendapat para sahabat, atau tidak ada yang dapat dijadikan hujjah dari pendapat-pendapat mereka, ia bersandar kepada qiyas.

Inilah yang ditetapkan oleh Imam Syafi'i dan ditegaskan al-Syirazi dan al-Maqdisi. Begitu pula para pengikut Hanafi yang membahas qiyas sesudah al-Kitab, Sunnah dan ijma. Imam Malik juga mengambil qiyas, tapi sesudah mengambil mashalih mursalah dan istihsan. Imam Ahmad pun bersandar kepada qiyas dengan syarat sesudah meninjau hukum itu dalam al-Qur'an dan Hadits dalam maknanya yang lebih luas, walaupun ia berbeda dari mujtahidin lainnya dalam cara dan cakupan penggunaan qiyas.

Tidak ada madzhab yang menolak penggunaan istihsan kecuali madzhab Dzahiriyah dan Syi'ah.[2]

Adapun cara menggunakan qiyas sebagai berikut:

1. Seorang mujtahidin melakukan penelitian apakah ada dalil yang menunjukkan dalil tentang illat untuk menentukan hukum far'.[3] Bila illat itu diketahui dengan menggunakan cara-cara yang dikenal dalam kitab ushul dan ada hubungan antara illat ini dengan kasus yang akan ditetapkan hukumnya, dan sudah ditegaskan hubungannya disamakanlah hukum yang asal dengan far' berdasarkan kesamaan illat seperti yang dipahaminya.

Kadang-kadang mujtahid meninggalkan satu dalil kepada dalil yang lebih kuat, atau kepada maslahat, atau meninggalkan qiyas kepada atsar, atau kepada ijma' atau kepada dharurat. Kadang-kadang qiyas ditinggalkan karena ada dalil yang kuat atsarnya. Dalam semua keadaan itu, ia tidak keluar dari upaya menjalankan nash, atau qiyas, atau mashlahat.[4] Yang demikian itu disebut istihsan.

B. Sumber Fiqh

Sumber fiqh merupakan landasan yang digunakan untuk memperoleh hukum fiqh, dimana ulama fiqh membagi dua macam sumber fiqh yaitu sumber yang disepakati dan sumber yang diperselisihkan.

Yang dimaksudkan dengan sumber fiqh adalah landasan yang digunakan untuk memperoleh hukum fiqh. Ulama fiqh membagi dua macam sumber fiqh, yaitu sumber yang disepakati dan sumber yang diperselisihkan.

Sumber yang disepakati atau dalam istilah Mustafa Ahmad az-Zarqa disebut dengan al-Masadir al-Asasiyyah adalah Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Tetapi menurut jumhur ulama fiqh sumber tersebut ada empat, yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, Ijma', dan Qiyas.

Adapun sumber fiqh yang tidak disepakati seluruh ulama fiqh atau yang disebut juga dengan al-masadir at-Taba'iyyah (sumber selain Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW) terdiri atas Istihsan, Maslahat, Istishab, Irf, Sadd az-Zari'ah, Mazhab Sahabi, dan Syar'u Man Qablana. Bagi ulama fiqh yang menyatakan bahwa al-Masadir al-Asasiyyah hanya terdiri dari Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma', Qiyas, dan yang termasuk al-Masadir at-Taba'iyyah tersebut dikatakan sebagai dalil atau metode untuk memperoleh hukum syara' melalui ijtihad. Alasannya, metode-metode tersebut merupakan metode penggalian hukum Islam yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan kepada Al-Qur'an dan atau sunnah Nabi SAW. Oleh sebab itu, ada diantara metode ijtihad tersebut yang keabsahannya sebagai dalil diperselisihkan ulama usul fiqh. Misalnya, metode istihsan diterima oleh ulama Mazhab Hanafi, Maliki dan sebagian Mazhab Hanbali sebagai dalil; sedangkan ulama Mazhab Syafi'i menolaknya. Karenanya dalam suatu kasus akan ditemukan beberapa hukum, apabila landasan yang dipakai adalah salah satu dari al-Masadir at-Taba'iyyah tersebut.

Munculnya perbedaan ini disebabkan karena perbedaan metode yang digunakan dalam berijtihad terhadap kasus tersebut. Misalnya, kasus perselisihan dalam jual beli. Pembeli tidak mau menyerahkan uang sebelum barang yang dibelinya ia terima, sedangkan penjual tidak mau pula menyerahkan barang sebelum uang sebesar harga yang dituntutya diserahkan. Dalam kasus seperti ini, pembeli dan penjual berstatus sama-sama penggugat disatu pihak dan tergugat dipihak lain. Menurut qaidah umum (qiyas), penggugat wajib mengemukakan alat bukti untuk membuktikan kebenaran gugatannya. Namun persoalannya adalah bagaimana menentukan penggugat dan tergugat dalam kasus di atas.

Ulama Mazhab Hanafi menyelesaikan persoalan itu melalui istihsan. Caranya dengan menetapkan bahwa keduanya sama-sama tergugat dan penggugat. Jika qiyas diterapkan dalam kasus ini, maka tidak bisa ditentukan siapa yang tergugat dan siapa yang menggugat, karena keduanya dalam waktu yang sama berstatus sebagai tergugat dan penggugat. Oleh sebab itu, baik melalui qaidah maupun metode istihsan masing-masing, mereka harus mengemukakan alat bukti atas gugatan mereka. Pembeli harus mengemukakan alat bukti bahwa penjual menyerahkan barang yang dibeli sesuai dengan harga barang yang menurutnya telah disetujui bersama, sebaliknya penjual harus pula mengemukakan alat bukti bahwa harga yang dikehendakinya bukan seperti yang dikemukakan pembeli. Pihak yang tidak bisa mengemukakan alat bukti dinyatakan kalah dan harus menyerahkan tuntutan pihak lainnya.



C. SEJARAH PERKEMBANGAN ISTIHSAN.

Pada saat-saat awal terbentuknya pemikiran hukum Islam yang metodis (ilmu fiqh), dikenal adanya dua kubu pengembangan pemikiran hukum Islam; yaitu kubu Irak dan kubu Hijaz. Tokoh utama kubu Irak ialah Imam Abu Hanifah, dan tokoh utama kubu Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para ulama pendukung kubu Irak dikenal sebagai ahl al-ra'y, dan para ulama pendukung kubu Hijaz dikenal sebagai ahl al-hadits.

Ahl al-ra'y sesuai dengan situasi lingkungannya, dalam pengembangan pemikiran hukumnya (metoda ijtihadnya) volume penggunaan rasio lebih besar dari volume penggunaan hadist (sebagai salah satu sumber syari'ah). Ini tidak berarti, mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau sama sekali tidak menggunakan sumber hukum itu. Tapi penggunaannya sangat terbatas.

Di pihak lain kita dapat mengamati, ahl al-hadits sesuai dengan situasi lingkungannya, mereka dalam pengembangan pemikiran hukum (metode ijtihadnya) volume penggunaan sumber hukum hadits lebih besar dari volume penggunaan sumber rasio (dalam hal ini qias). Ini tidak berarti mereka menolak penggunaan sumber rasio itu. Kedua kubu tersebut mengakui keabsahan sumber hukum qias.

Ahl al-ra'y yang volume penggunaan rasionya lebih besar, ternyata tidak saja menggunakan qias yang merupakan bentuk penggunaan rasio dengan cara analogis ilmiah ketat, tapi mereka juga menggunakan analogi yang longgar dan lebih luas.

Dalam hubungan inilah lahir konsep Istihsan. Istilah "Istihsan" sebagai technische-term banyak beredar di kalangan tokoh-tokoh (ulama) dari aliran pemikiran hukum (mazhab) Hanafiyah. Mereka menggunakannya secara tersendiri atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka sering mengatakan, hukum dalam masalah ini bersumber dari Istihsan.

Dengan kata lain mereka mengatakan, dalam masalah ini, menurut qias hukumnya begini, dan menurut Istihsan hukumnya begini. Kita menggunakan qias dalam masalah ini, atau kita menggunakan istihsan dalam masalah ini.

Sepanjang penelitian guru besar ilmu-ilmu Syari'ah pada Fakultas Hukum Universitas Kairo, Syekh Muhammad Zakariya al-Bardisi, mereka yang menggunakan Istihsan sebagai sumber hukum tidak mempunyai kesepakatan atas suatu definisi tentang Istihsan itu, bahkan kita menemukan dari mereka beberapa definisi yang kontradiktif, di antaranya adalah:

Istihsan itu, ialah peralihan dari hasil sesuatu qias kepada qias yang lain yang lebih kuat. Menurut al-Bardisi definisi ini tidak mencakup (ghair jami'), karena tidak dapat menampung Istihsan yang ditegakkan di luar landasan qias, seperti Istihsan yang ditegakkan di atas landasan nas, atau ijma' atau dharurah.

Definisi yang lain, menyebutkan Istihsan itu suatu qias yang lebih dalam (khafi), tidak segera dapat ditangkap, dibandingkan dengan qias yang jelas (jali). Definisi ini menurutnya, bukan saja tidak mencakup, tapi apa yang dia maksud dengan qias di sini tidak begitu jelas, apakah itu qias dalam arti technische-term, atau dalam arti yang mencakup qias yang lebih luas yang dikaitkan dengan suatu ketentuan umum atau suatu kaidah-kaidah hukum yang baku.

Sebagian lagi memberikan definisi, istihsan itu ialah semua ketentuan syar'i (baik yang bersifat nash, atau ijma', atau dharurah, atau qias yang lebih dalam) dibandingkan dengan qias yang jelas. Definisi ini pun belum mencakup, karena ada juga istihsan yang ditegakkan atas landasan 'urf atau mashlahah Secara harfiah Istihsan itu berarti menganggap baik akan sesuatu baik itu fisik maupun nilai. Kata ini kemudian digunakan sebagai suatu technische-term yang membentuk pengertian baru menggambarkan suatu konsep penalaran d alam rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum dari sumber syari'ah yang tersurat, atau sumber hukum yang dipersamakan dengan itu, yakni kesepakatan para ahli yang berwenang (ahl al-ijtihad) di kalangan umat Islam.

Dalam analogi qias, dibutuhkan adanya suatu ketentuan pokok yang bersifat terinci (tafshili) untuk dijadikan landasan mengaitkan sesuatu yang ada persamaannya, dalam hal tujuan dan sasaran ditetapkannya ketentuan tersebut. Dalam bahasa tekniknya harus ada ashl dan harus ada 'illah, untuk menghasilkan suatu hukum bagi kejadian baru.

Dari uraian ini dapat ditangkap, ada empat elemen dari analogi qias itu, yakni ketentuan pokok (ashl), landasan penyamaan ('illah), kejadian baru (far), ketentuan yang dihasilkan dari pengaitan (ilhaq) tersebut di atas dan inilah yang disebut hukum qias. Sebagian ahl al-ijtihad menganggap qias ini merupakan upaya final dalam penggalian dan penemuan hukum-hukum dari sumber syari'ah atau sumber yang dipersamakan (ijma'), tapi sebagian yang lain beranggapan, masih ada upaya penalaran yang lain seperti Istihsan dan istislah dan seterusnya.

Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi qias karena dimungkinkan adanya qias alternatif (qias kahfi) yang terlepas dari elemen 'illah (dalam analogi qias biasa), atas pertimbangan sesuatu alasan yang lebih kuat. Alasan itulah menjadikan qias jali (biasa) dialihkan kepada qias khafi (alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan. Termasuk pula dalam kategori Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari suatu ketentuan pokok yang bersifat umum, atau dari suatu kaidah hukum, karena pengecualian itu didukung oleh suatu nash, atau ijma', atau 'urf atau dharurah, atau mashlahah.

Dengan kata lain pertimbangan adanya ketentuan lain atau kesepakatan, atau kebiasaan, atau keadaan darurat atau suatu kepentingan nyata, semua itu merupakan elemen-elemen dalam hukum Istihsan.

Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, Istihsan ini ditempatkan sebagai sumber hukum sekunder, di kalangan penganut aliran pemikiran hukum (madzhab) Hanafiyah. Kemudian berkembang pula secara terbatas dalam aliran Malikiyah dan Hambaliyah, sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda. Yang dicatat sebagai seorang tokoh yang menolak menempatkan Istihsan itu sebagai suatu sumber hukum sekunder, adalah Imam

Syafi'i, karena beliau berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi atas ketentuan-ketentuan syari'ah (al-Qur'an dan Sunnah) ditambah dengan analogi qias, sudah cukup, untuk menampung segala perkembangan yang terjadi, yang perlu ditata dalam hukum Islam.[5]



D. PENGERTIAN ISTIHSAN.

Secara denotatif, istihsan artinya memandang baik terhadap sesuatu.[6] Pendirian Dewan Madzalim dipandang baik; artinya, harus dilakukan berdasarkan istihsan. Menarik sekali, para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif ini (yaitu, orang-orang yang mendengarkan kata dan diturutinya yang paling baik, Q.s al-Zumar: 18; "Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu", al-Zumar: 55

Bila kita mengacu pada literatur, kita akan menemukan banyak sekali definisi istihsan --yang tidak selalu menunjukkan referensi yang sama. Ada definisi yang dibuat dengan memperhatikan segi-segi politis dan bukan segi-segi ilmiahnya.

Untuk menunjukkan bagaimana definisi-definisi itu lebih banyak

menyulitkan daripada membantu, kita lihat contoh di bawah ini:
Istihsan adalah meninggalkan qiyas untuk mengambil yang lebih sesuai dengan orang banyak.
Istihsan adalah mencari kemudahan dari hukum-hukum yang dihadapi orang banyak atau orang tertentu.
Istihsan adalah mengambil keluasan dan mencari kelegaan.
Istihsan adalah mengambil yang permisif dan memilih yang di dalamnya ada ketenangan (semuanya dari al-Sarkhashi).
Istihsan artinya meninggalkan kepastian qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau mentakhshiskan qiyas dengan dalil yang lebih kuat (al-Bazdawi dari madzhab Hanafi).
Istihsan artinya mengamalkan yang lebih kuat di antara dua dalil (al-Syathibi dari madzhab Maliki).
Istihsan artinya meninggalkan hukum masalah dari yang semacamnya karena dalil syara' yang tertentu (al-Thufi dari madzhab Hambali).
Istihsan adalah apa yang dipandang baik oleh mujtahid dengan akalnya.[7]

Karena kita mengalami kesulitan memahami istihsan dari berbagai definisi itu, marilah kita ambil contoh kasus yang oleh para mujtahid disebut sebagai istihsan. Melihat aurat perempuan yang bukan muhrim haram, karena dapat menimbulkan "fitnah" (membawa orang kepada kemaksiatan). Yang dalam kurung itu disebut 'illat yang sangat jelas (kita sekarang sedang melakukan qiyas jaliy). Bagaimana hukumnya seorang dokter yang harus memeriksa pasien wanitanya? Bila ia tidak melihat auratnya, ia tak bisa menolong pasien itu dengan baik. Ia harus menolong pasien itu untuk mengembalikan kesehatannya, untuk kemaslahatan pasiennya. Tapi alasan ('illat) ini hanya dalam kasus pasien saja dan dianggap tegas (kita sedang

melakukan qiyas khafiy). Bila kita meninggalkan qiyas jaliy dan mengambil qiyas khafiy, kita melakukan istihsan.

Kadang-kadang seorang mujtahid meninggalkan qiyas karena menemukan hadits yang lebih kuat, atau karena memperhatikan kemaslahatan, atau karena 'urf (adat kebiasaan yang sudah lazim). Bila kita memperhatikan praktek-praktek yang disebut istihsan, kita menemukan istihsan dalam tiga pengertian:

Pertama, istihsan berarti memilih yang lebih kuat di antara dua dalil yang bertentangan atau berbeda (berikhtilaf). Boleh jadi ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi --yakni dalil yang diambil dari al-Qur'an dan Sunnah. Atau ikhtilaf di antara dua dalil ghair lafzhi; misalnya, antara qiyas jaliy dengan qiyas khafiy. Atau ikhtilaf di antara dalil lafzhi dan ghair lafzhi.

Marilah kita mulai dengan ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi. Dalam hal ini, ikhtilaf dapat berupa tazakam dan ta'arudh. Yang dimaksud dengan Tazabum adalah pembenaran dua hukum yang berasal dari syara', yang tidak mungkin digabungkan. Ta'arudh artinya perbedaan hukum karena perbedaan kasus (ikhtilaf shawar al-masalah).

Kita melakukan istihsan bila kita mentarjih (menganggap lebih baik) salah satu di antaranya. Sambil memberikan contoh-contohnya, saya akan menunjukkan petunjuk-petunjuk praktis penggunaan istihsan pada tazahum dan ta'arudh.
Dulukan hukum yang mendesak (mudhiq) di atas hukum yang memberikan kelonggaran (musi'). Misalnya, antara menghilangkan najis di masjid dengan melakukan shalat pada awal waktunya, atau antara menolong orang yang celaka dengan melakukan shalat Jum'at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang yang celaka.
Dulukan yang tidak ada penggantinya dengan yang ada penggantinya. Misalnya, menggunakan air untuk memuaskan rasa haus atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya, yaitu tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu.
Dulukan yang sudah tertentu (mu'ayyan) di atas urusan yang memberikan alternatif (mukhayyar). Misalnya memenuhi nadzar atau membayar kifarat. Anda bernadzar untuk memberikan makanan bagi orang miskin, tapi juga Anda harus membayar kifarat puasa.
Dulukan yang lebih penting dari pada yang penting. Anda wajib melakukan haji dan pada saat yang sama Anda harus membayar hutang. Bayarlah hutang Anda lebih dulu.

Ta'arudh terjadi kalau ada dua dalil syara' yang bertentangan. Para ulama ushul mengusulkan beberapa cara, yang tidak dapat kita perinci satu per satu: mendulukan yang mutlak di atas yang muqayyad, takhshish di atas 'am, nasikh di atas mansukh, hakim di atas mahkum, al-Qur'an di atas Sunnah, yang disepakati di atas yang diikhtilafi.

Kedua, istihsan berarti mengambil sesuatu yang sudah dipandang baik oleh 'urf atau akal. Misalnya, mencatat pernikahan di kantor departemen Agama. Istihsan dalam arti ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Karena apa yang dipandang baik 'urf atau akal itu boleh jadi sangat subyektif, sehingga besar kemungkinan mengikuti bias-bias sosio-psikologis. Kita juga tidak cukup waktu membicarakan hal ini.

Ketiga, istihsan berarti meninggalkan dalil-dalil tertentu untuk mendatangkan maslahat atau menegakkan hukum di atas pertimbangan maslahat yang lima: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Istihsan jenis terakhir ini disebut juga istishan atau al-mashalih al-mursalah.[8]

Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.[9]

Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.

E. Dasar hukum istihsan

Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.

Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT."[10] Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."

Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".

F. Macam-macam istihsan

Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.[11]

Contoh istihsan macam pertama:

Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

Contoh istihsan macam kedua:

Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.

Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa waqaf. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaf itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i).

Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan atau keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz-i dan meninggalkan hukum kulli. Ditinjau dari segi sandarannya, maka istihsan terbagi kepada:[12]

Istihsan dengan sandaran qiyas khafi;
Istihsan dengan sandaran nash;
Istihsan dengan sandaran 'urf; dan
Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.


Daftar Pustaka

Khalaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali, 1996.
Ma’luf, Louis, al-Munjid fil Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.
Penulis, Al-Ijtihad wa Muda Hajatina ilaih fi Hadza al-'Ashr. Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, t.t..
Rakhmat, Jalaluddin, Peranan Tuntutan Situasi Dalam Memahami Hukum Islam dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina, 2001.
Syafi’I, ar-Risalah. Beirut: Dar al-Fikr, 1309 H.
_____, al-Umm. Beirut: Dar Fikr, t.t.
Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul Ahkam, jil II. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Sarkhasi, Ushul as-Sarkhasi, jil. II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993.
Taqiy, Muhammad, Al-Ushul al-Ammah fi al-Ammah fi al-fiqh al-Muqaran. Beirut: Dar al-Andalus, 1979.
Yafie, Ali Konsep Istihsan dan Istishlah, artikel internet pada www.paramadina.org didownload pada 7 Juli 2008.
Zuhaili, Wahbah Ushul Fiqh al-Islami. Beirut: Dar Fikr, 1986.

[1] Penulis, Al-Ijtihad wa Muda Hajatina ilaih fi Hadza al-'Ashr (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, t.t.), hal. 324 - 325.
[2] as-Syafi’I, ar-Risalah (Beirut: Dar al-Fikr, 1309 H), hal. 504.
[3] Ada empat rukun qiyas: (1) asalnya, yakni kasus yang ada dalam nas, misalnya minum khamar; (2) hukumnya, yakni haram; (3) far', kasus baru yang akan ditetapkan hukumnya, misalnya bir; (4) illat atau washf jami', yakni sebab yang menyamakan kedua kasus itu, misalnya memabukkan atau minuman keras.
[4] As-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul Ahkam, jil II (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 116-117.
[5] Ali Yafie, Konsep Istihsan dan Istishlah, artikel internet pada www.paramadina.org didownload pada 7 Juli 2008.
[6] Louis Ma’luf, al-Munjid fil Lughah wa al-A’lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 134.
[7] Lihat, Muhammad Taqiy, Al-Ushul al-Ammah fi al-Ammah fi al-fiqh al-Muqaran (Beirut: Dar al-Andalus, 1979), hal. 361-362.
[8] Jalaluddin Rakhmat, Peranan Tuntutan Situasi Dalam Memahami Hukum Islam dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2001), hal. 73.
[9] Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Rajawali, 1996), h. hal. 120.
[10] As-Syafi’I, al-Umm (Beirut: Dar Fikr, t.t.), hal, 313.
[11] As-Sarkhasi, Ushul as-Sarkhasi, jil. II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), hal. 200.
[12] As-Sarkhasi, Ushul, hal. 203-205 lihat juga Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Beirut: Dar Fikr, 1986), hal. 743.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar