A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia kini sedang
berada dalam masa transformasi. Era reformasi telah lahir dan
masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek
kehidupannya. Euforia demokrasi sedang marak dalam masyarakat Indonesia.
Di tengah euforia demokrasi ini lahirlah berbagai jenis pendapat,
pandangan, konsep, yang tidak jarang yang satu bertentangan dengan yang
lain, antara lain berbagai pandangan mengenai bentuk masyarakat dan
bangsa Indonesia yang dicita-citakan di masa depan.
Upaya untuk membangun suatu
masyarakat, bukan perkerjaan yang mudah, karena sangat berkaiatan dengan
persoalan budaya dan sikap hidup masyarakat. Diperlukan berbagai
terobosan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata
lain diperlukan suatu paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi
tuntutan-tuntutan yang baru. Era Reformasi dalam pemerintahan negara
Indonesia memberikan angin segar bagi perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia, setelah sebelumnya pada masa orde baru program-program
pendidikan yang ditargetkan telah gagal. Krisis ekonomi yang berlangsung
sejak medio Juli 1997 telah mengubah konstelasi politik maupun ekonomi
Nasional. Secara politik, Orde Baru berakhir dan digantikan oleh rezim
yang menamakan diri sebagai “Reformasi Pembangunan” meskipun demikian
sebagian besar roh Orde Reformasi masih tetap berasal dari rezim Orde
Baru, tapi ada sedikit perubahan, berupa adanya kebebasan pers dan multi
partai.
Kita memerlukan suatu perubahan
paradigma dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata
kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak
lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia. Mencermati
realitas sosial pendidikan Islam pada kisaran terakhir ini, tampaknya
banyak perubahan pengembangan pada institusi pendidikan Islam. Untuk
melakukan pengembangan itu antara lain dengan melakukan sebuah refleksi
pemikiran yang eksploratif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti
berupa penelitian, seminar, ceramah ilmiah, simposium, lokakarya dan
lain sebagainya dalam rangka menyongsong hari esok yang lebih baik dan
menjanjikan. Salah satu hasil yang mengembirakan bagi tranformasi
pendidikan Islam di zaman orde reformasi adalah hasil amandemen ke-4
pasal 31 UUD 1945 dan diundangkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas serta diberlakukannya PP. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan
agama dan pendidikan keagamaan, dengan demikian eksistensi pendidikan
Islam semakin diakui dalam tatanan pendidikan nasional.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah Madrasah Diniyah di Indonesia?
2. Bagaimana klasifikasi madrasah diniyah ?
3. Bagaimana dasar pemikiran kebijakan pendidikan Islam di Madarsah Diniyah pada masa reformasi?
4. Bagaimana kebijakan Pendidikan Islam di Madrasah Diniyah pada masa reformasi?
5. Bagaimana Civil Effect dari kebijakan pendidikan Islam di madarsah diniyah?
6. Bagaimana tantangan Madrasah Diniyah kedepan?
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Madrasah Diniyah
Madrasah di dunia Islam
merupakan tahapan ketiga dari perkembangan lembaga pendidikan. Bosworth
dan kawan-kawan menjelaskan bahwa masjid merupakan tahapan pertama
lembaga pendidikan Islam.. masjid tidak hanya berfungsi sebagai pusat
ibadah, tetapi juga sebagai pusat pengajaran. Madrasah tumbuh di
Indonesia pada permulaan abad keduapuluh, pada masa merosotnya
perkembangan sistem pendidikan madrasah di dunia islam, sementara itu
dunia islam sendiri berinteraksi secara aktif dengan dunia barat dengan
rasa sebagai negeri jajahan yang subordinate dank arena itu
berkecendrungan meniru.
Keadaan ini telah mendorong
upaya perencanaan lembaga pendidikan baru model barat disatu pihak dan
upaya reformasi terhadap sistem pendidikan islam yang ada di pihak lain.
Terlepas dari perbedaan karakteristik diatas, madrasah yang pertama
didirikan di Indonesia adalah sekolah Adabiah. Madrasah ini didirikan
oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 di padang, tapi kemudian pada
tahun 1915 madrasah ini dirubah menjadi HIS Adabiah. Empat tahun sebelum
sekolah adabiah didirikan, yaitu tahun 1905 sebenarnya di Surakarta
telah didirikan madrasah manba’ul Ulum oleh Raden Hadipati sasro
diningrat dan raden penghulu tafsirul anom, tetapi karena masih
mengikuti sistem pendidikan pondok pesantren (tanpa kelas), madrasah
tersebut tidak dikategorikan sebagai madrasah yang pertama didirikan di
Indonesia. Baru pada tahun 1916, diterapkan sistem kelas pada madrasah
tersebut yaitu I s.d kelas XI.
B. Klasifikasi Madrasah Diniyah
a. Pendidikan Diniyah Formal
Pendidikan diniyah formal
menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama
islam pada jenjang pendidikan anak usia, pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan diniyah dasar
menyelenggarakan pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6
(enam) tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP
yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat.
Pendidikan diniyah menengah
menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA yang
terdiri atas 3 (tiga) tingkat. Selanjutnya, pada pasal 18 dalam 2 ayat
diatur ketentuan tentang kurikulum pendidikan diniyah formal:
(1) kuikulum pendidikan diniyah
dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa
Indonesia, matematika dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan
program wajib belajar dan
(2) kurikulum pendidikan diniyah
menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan,
bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan
budaya. Sebagai institusi yang disetarakan, maka pemerintah menetapkan
ujian nasional dalam 2 ayah pasal19, yakni:
(1) Ujian nasional pendidikan
diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukkan standar
pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmuyang bersumber dari
ajaran islam dan
(2) Ketentuan lebih lanjut lebih
lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi
ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran islam sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ditetapkan dengan peraturan menteri agama dengan berpedoman
kepada standar nasional pendidikan. Sedang program dan struktur
kurikulum pendidikan diniyah pada jenjang pendidikan tinggi diatur dalam
4 ayat ddalam pasal 20, yakni:
(1) pendidikan diniyah pada
jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik,
vokasi dan profesi berbentuk universitas, institut atau sekolah tinggi,
(2) kerangka dasar dan struktur
kurikulum pendidikan untuk setiap program studi pada perguruan tinggi
keagamaan islam selain menekankan pembelajaran ilmu agama, wajib
memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia,
(3) mata kuliah dalam kurikulum program studi memiliki beban belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks) dan
(4) pendidikan diniyah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
b. Pendidikan Diniyah Nonformal.
Pendidikan diniyah nonformal,
dijelaskan secara detail pada pasal 21, 22, 23, 24 dan 25. Pada pasal 21
terdapat 3 ayat dijelaskan bentuk dan ijin operasionalnya, yakni:
(1) pendidikan diniyah nonformal
diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, majelis taklim,
pendidikan Al-Qur’an, diniyah takmiliyah atau bentuk lain yang sejenis,
(2) pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk satuan pendidikan,
(3) pendidikan diniyah nonformal
yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari
kantor departemen agama kabupaten/kota setelah memenuhi ketentuan
tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan. Pada pasal 22
menjelaskan tentang pengajian kitab di jelaskan dalam 3 ayat:
(1) pengajian kitab diselenggarakan dalam rangka mendalami ajaran islam dan /atau menjadi ahli ilmu agama islam,
(2) penyelenggaraan pengajian kitab dapat dilaksanakan secara berjenjang atau tidak berjenjang, dan
(3) pengajian kitab dilaksanakan
dipondok pesantren, masjid, mushalla atau tempat lain yang memenuhi
syarat. Pasal 23 menjelaskan tentang nama, kurikulum dan tempat
penyelenggaraan majelis taklim: (1) majelis taklim atau nama lain yang
sejenis bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah
SWT dan akhlak mulia peserta didik serta mewujudkan rahmat bagi alam
semesta, (2) kurikulum majelis aklim bersifat terbuka dengan mengacu
pada pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadits sebagai dasar untuk
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia
dan (3) majelis taklim dilaksanakan dimasjid, mushalla atau tempat lain
yang memenuhi syarat.
Dalam pasal 24, dijelaskan
tentang pendidikan Al-Qur’an dalam 6 ayat: (1) pendidikan Al-Qur’an
bertujuan menngkatkan kemampuan peserta didik membaca, menulis, mamahami
dan mengamalkan kandungan Al-Qur’an. (2) pendidikan Al-Qur’an terdiri
dari Taman Kanak-kanak Al-Qur’an (TKQ), Taman Pendidikan Al-Qur’an
(TPQ), Ta’limul Qur’an lil Aulad (TQA), dan bentuk lain yang sejenis,
(3) pendidikan Al-Qur’an dapat dilaksanakan secara berjenjang dan tidak
berjenjang, (4) penyelenggaraan pendidikan Al-Qur’an dipusatkan di
masjid, mushalla dan ditempat lain yang memenuhi syarat, (5) kurikulum
pendidikan Al-Qur’an adalah membaca, menulis dan menghafal ayat-ayat
Al-Qur’an, tajwid serta menghafal doa-doa utama dan (6) pendidik pada
pendidikan Al-Qur’an minimal lulusan pendidikan diniyah menengah atas
atau yang sederajat, dapat membaca Al-Qu’an dengan tartil dan menguasai
teknik pengajaran Al-Quran. Selanjutnya, 5 ayat pada pasal 25
menjelaskan ketentuan tentang diniyah takmiliyah: (1) diniyah takmiliyah
bertujuan untuk melengkapi pendidikan agama islam yang diperoleh di
SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau di pendidikan tinggi dalam rangka
peningkatan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Allah SWT, (2)
penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara berjenjang
atau tidak berjenjang, (3) penyelenggaraan diniyah takmiliyah
dilaksanakan di masjid, mushalla atau di tempat lain yang memenuhi
syarat, (4) penamaan atas diniyah takmiliyah merupakan kewenangan
penyelenggara dan (5) penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat
dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau
pendidikan tinggi.
C. Dasar Pemikiran Dalam sejarah
madrasah
lahir dari rahim pondok pesantren, dengan cirinya yang khusus berbasis
pengetahuan agama. Tidak heran jika pada masa pemerintah kolonial,
madrasah menjadi salah satu obyek yang terus diselidiki. Pada masa itu,
hadirnya sekolah yang diusung dari rahim kolonialisme memang mampu
merubah sistem pendidikan Indonesia kearah sistem pendidikan “ modern”,
namun hal tersebut tidak mampu merubah madrasah sebagai fenomena budaya
pendidikan Indonesia. Hal ini terlihat dengan eksisnya pendidikan
madrasah sampai sekarang,yang bahkan secara kualitas dan kuantitas mampu
bersaing dengan lembaga pendidikan umum.
Fenomena tersebut patut
direnungkan bersama, bahwa keberadaan pendidikan agama adalah suatu yang
menjadi identitas kependidikan bangsa. Namun demikian, seiring dengan
laju perkembangan zaman, madrasahpun tak mungkin lagi menghindar dari
tantangan. Dunia industri yang telah merubah tuntutan kebutuhan
masyarakat akan dunia pendidikan, mau tidak mau memaksa para praktisi
pendidikan madrasah untuk merumuskan ulang tentang konsep pendidikan
yang selama ini dilaksanakan. Ditambah lagi munculnya model-model
pendidikan baru, yang mau tidak mau menjadi pesaing yang cukup berat
bagi madrasah. Hanya terpaku pada sistem lama, pelan tapi pasti madrasah
akan kehilangan peminat. Pada titik ini sudah semestinya para praktisi
harus membuat perumusan ulang, untuk lebih menonjolkan kekhasan madrasah
diniyah dari model pendidikan lain. Alasan inilah yang mendasari
pemikiran untuk merumuskan format ideal kurikulum madrasah diniyah dalam
perspektif sistem pendidikan nasional, dalam rangka meningkatkan
kualitas penyelenggaraan madrasah diniyah seiring dengan perkembangan
dan tuntutan sistem perundang-undangan, yakni : UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan ,dan PP No. 55Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan. Disahkan dan diundangkannya ketiga ketentuan
tersebut sungguh telah menjadi madrasah diniyah harus segera melakukan
reformulasi, dalam banyak hal, khususnya kurikulum. D. Substansi
Kebijakan Madrasah Diniyah Pada masa reformasi, eksistensi madrasah
diniyah diakui dan menyemai eksistensi memburu sertifikasi kelembagaan
dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Kebijakan madrasah diniyah pada
masa reformasi adalah tentang Pendidikan Agama (PA) dan pendidikan
Keagamaan (PK), lihat PP No. 55 tahun 2007. Dalam UU SISDIKNAS No. 20
tahun 2003, pendidikan diniyah termasuk jenis pendidikan keagamaan yang
diatur pada pasal 30 yang terdiri dari (5) ayat dan pasal 36 dan 37 yang
mengatur kurikulum. Pada pasal 30 dinyatakan: (1) Pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh pemerintah dan/ atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2)
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan
dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan
informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5)
Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah. Pada pasal 36 yang mengatur kurikulum, ditetapkan
sebagai berikut: (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu
pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun
sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah. a. Kurikulum Madrasah Diniyah Berdasarkan
Standar Nasional Pendidikan Peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan acuan operasional
yang standar untuk penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, apapun
jenis, bentuk dan jenjang pendidikan, termasuk madrasah Diniyah.
Ruang lingkup SNP meliputi :
Standar Isi, Proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian pendidikan. b. Kurikulum Madrasah Diniyah Berdasarkan PP
Pendidikan Agama dan pendidikan Keagamaan Sebagai acuan opersional
penyelenggaraan madrasah diniyah, pemerintah telah mengundangkan
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan (PP PA dan PK) yang disahkan 5 oktober 2007.
Ketentuan tentang Madrasah diniyah dalam PP PA dan PK pasal 14 sampai
pasal 20 adalah sebagai berikut: Pasal 14 (1) Pendidikan keagamaan Islam
berbentuk pendidikan Diniyah dan pesantren (2) Pendidikan diniyah
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur
formal, nonformal dan informal (3) Pesantren dapat menyelenggarakan 1
(satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur
formal, nonformal dan informal Pasal 15 Pendidikan diniyah Formal
menyelenggarakan pendidikan pada ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran
agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pasal 16 (1) Pendidikan
diniyah dasar menyelenggarakan pendidikan sederajat MI/SD yang terdiri
atas 6 tingkat dan pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP
yang terdiri dari 3 tingkat (2)Pendidikan diniyah menengah
menyelenggarakan pendidikan diniyah menengah sederajat MA/SMA yang
terdiri atas 3 tingkat (3)Penanaman satuan pendidikan diniyah dasar dan
menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak
penyelenggara pendidikan yang bersangkutan Pasal 17 (1) Untuk dapat
diterima sebagai peserta didik di madrasah diniyah pendidikan dasar,
seorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun (2) Dalam hal
daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka pendidikan yang
berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan
diniyah dasar (3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik madrasah
diniyah pendidikan menengah pertama, seorang harus berijazah pendidikan
diniyah dasar atau yang sederajat (4) Untuk dapat diterima sebagai
peserta didik madrasah diniyah pendidikan menengah atas, seseorang harus
berijazah pendidikan diniyah menengah pertama atau yang sederajat.
Pasal 18 (1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal wajib memasukkan
muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika dan ilmu
pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar (2)
Kurikulum pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan
pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu
pengetahuan alam, dan seni dan budaya. Pasal 19 (1) Ujian nasional
pendidikan diniyah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukan
standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang
bersumber dari ajaran Islam (2) Ketentuan lebih lanjut tentang ujian
nasional pendidikan diniyah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang
bersumber dari ajaran Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dalam peraturan menteri agama dengan berpedoman kepada
Standar Nasional Pendidikan Pasal 20 (1) Pendidikan diniyah pada jenjang
pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, vokas, dan
profesi berbentuk universitas, institute dan sekolah tinggi (2)
Perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan ilmu pembelajaran
agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia
(3) Mata kuliah dala program studi memiliki program wajib belajar yang
dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks) (4) Pendidikan diniyah
jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional
Pendidikan.
E. CIVIL EFFECT LULUSAN MADRASAH DINIYAH
Desain kurikulum institusi
pendidikan , apapun jenis, bentuk dan jenjang pendidikan yang dikelola
akan memiliki civil effect. Bagi lulusan. Kurikulum madrasah diniyah,
jika merujuk pada ketentuan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, dan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan juga memiliki civil effect, secara strategis
sedikitnya ada dua civil effect yang dapat diraih oleh para lulusan
madrasah diniyah, yakni dalam masalah kelanjutan studi dan dalam masalah
lapangan kerja.
1. Civil Effect Tentang Kelanjutan Studi Civil effect tentang kelanjutan studi.
Sebelum diundangkannya tiga
ketentuan itu para lulusan madrasah sangat terbatas kelanjutan studinya.
Lulusan Madrasah Diniyah Ula ( MDU) hanya bisa diterima di Madrasah
Diniyah Wustha (MDW), dan lulusan MDW hanya bisa diterima di Madrasah
Diniyah Ulya (MD’U), dan sebagian MD’U yang disetarakan bisa melanjutkan
ke Ma’had Aly / UIN/IAIN/ STAIN/ PTAIS. Setelah diberlakukan UU Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP No. 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan para lulusan madrasah Diniyah
tidak lagi terbatas untuk melanjutkan studi hanya di perguruan agama,
tetapi sekaligus diperguruan umum. Artinya lulusan MDU bisa melanjutkan
ke MDW/ MTs/SMP dan yang sederajat. Lulusan MDW bisa melanjutkan ke MD’U
/ MA/ SMA/SMK dan yang sederajat.
Selanjutnya, lulusan MD’U bisa
melanjutkan Perguruan Tinggi Agama Islam seperti UIN/IAIN/STAIN/PTAIS
dan perguruan Tinggi umum negeri dan swasta. Namun demikian, jelas bahwa
ini berimplikasi terhadap semangat pendalam santri tentang pengetahuan
keagamaan substantif yang telah mentradisi dari waktu ke waktu, karena
santri tidak lagi hanya terkonsentrasi belajar agama, tetapi juga
dituntut belajar materi pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika,
fisika, dan sebagainya sebagai syarat mengikuti penyetaraan, sehingga
konsentrasi santri pada satu sisi meluas, tetapi pada saat yang sama
orientasi santri secara keilmuan menjadi terpecah.
2. Civil Effect Tentang Peluang
Kerja Lulusan Sebelum diberlakukannya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan , dan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan para lulusan madrasah diniyah tidak memiliki
kesempatan peluang kerja, namun bagi madrasah diniyah yang disetarakan
mempunyai kesempatan lapangan kerja yang terbatas, sesuai dengan
pandangan orang tua memasukkan anaknya ke madrasah agar mereka
memperoleh ilmu-ilmu agama, dan disinari jiwanya dengan agama tanpa
mengkaitkannya dengan lapangan kerja untuk hidup di masyarakat.
Pandangan yang sedemikian
akhir-akhir ini bergeser, di mana orang tua memasukkan anaknya ke
madrasah, di samping agar anak-anak mereka memperoleh ilmu. F. Madrasah
Diniyah Dan Tantangan Masa Depan Madrasah diniyah merupakan bagian dari
sistem pendidikan pesantren yang wajib dipelihara dan dipertahankan
keberadaannya karena lembaga ini telah terbukti mampu mencetak para
kyai/ulama, asatidz dan lain sebagainya. Diundangkannya UU No. 19 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, dan secara khusus adalah diundangkannya PP
No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP
tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan bagi madrasah diniyah.
Peluangnya, karena PP 55 Tahun 2007 khususnya telah mengakomodir
keberadaan pendidikan diniyah, madrasah diniyah dan pendidikan
pesantren. Sedangkan tantangannya adalah bagaimana para pengasuh pondok
pesantren dan madrasah diniyah secara arif merespon pemberlakuan PP 55
Tahun 2007 tersebut.
Standarisasi pendidikan madrasah
diniyah jelas merupakan salah satu solusi dan alternatif yang harus
dilakukan. Namun demikian, apapun jenis, bentuk dan jenjang pendidikan
madrasah diniyah yang akan diberlakukan harus tetap memperhatikan tiga
pilar utama, yaitu: 1. Pilar Filosofis Adalah pilar yang harus dijadikan
pijakan bahwa madrasah diniyah adalah fardhu ‘ain untuk dipertahankan
sebagai lembaga pendidikan tafaqquh fiddiin melalui sumber pembelajaran
pada kitab-kitab kuning yang merupakan ide, cita-cita dan simpul
keagungan dari pondok pesantren. 2. Pilar Sosiologis Adalah pilar yang
dijadikan dasar pemikiran bahwa madrasah diniyah tidak berada dalam
ruang kosong (vacuum space), tetapi ia bagian dari system sosial yang
lebih luas untuk memberikan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan masyarakat. Pilar ini memerlukan refleksi secara mendalam
agar eksistensi madrasah diniyah tidak sekedar sebagai pelengkap
(supplement), tetapi diharapkan menjadi pilihan utama masyarakat. 3.
Pilar Yuridis Merupakan pilar yang harus mendapat perhatian bahwa
pendidikan di Indonesia berlaku sistem pendidikan nasional. Artinya,
jenis, bentuk dan jenjang pendidikan apapun harus menyesuaikan dengan
regulasi pendidikan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan
tentang pendidikan. PP 55 Tahun 2007 jelas merupakan salah satu pijakan
yuridis yang mengatur tentang posisi dan eksistensi madrasah diniyah,
pendidikan diniyah dan pondok pesantren.
Di masa depan pengelolaan dan
pelaksanaan untuk memberdayakan madrasah diniyah perlu mengambil
langkah-langkah strategis sebagai berikut:
1. Membentuk badan hokum
pendidikan berbentuk “Yayasan pendidikan madrasah diniyah” atau apapun
namanya yang terdaftar di “notaris”
2. Menyusun jenjang
pendidikan/satuan pendidikan, seperti: (1) madrasah diniyah ula, (2)
madrasah diniyah wustha dan (3) madrasah diniyah ‘ulya.
3. Secara bertahap, menyiapkan
tenaga pengajar (guru) madrasah yang mempunyai kualifikasi minimal
diploma empat (D IV) atau strata satu (S1) bidang pendidikan sesuai mata
pelajaran yang diampunya/diajarkan.
4. Berupaya menerapkan kurikulum madrasah diniyah yang standar (dan sesuai ketentuan) secara bertahap dan berkesinambungan.
5. Pengelolaan madrasah diniyah
harus intens melakukan kajian (evaluasi diri), khususnya tentang
kelemahan, kekuatan, ancaman dan peluangnya karena dengan melakukan itu
kita akan mudah mengembangkan strategi untuk memberdayakan madrasah
diniyah.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan Madrasah di dunia
Islam merupakan tahapan ketiga dari perkembangan lembaga pendidikan.
Sedangkan masjid merupakan tahapan pertama lembaga pendidikan Islam dan
masjid tidak hanya berfungsi sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai
pusat pengajaran. Madrasah Klasifikasi Madrasah Diniyah ada dua (2)
yaitu: 1). Madrasah Diniyah dalam bentuk pendidikan Formal seperti
pendidikan dasar sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 (enam) tingkat,
pendidikan diniyah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri atas 3
(tiga) tingkat serta pendidikan diniyah menengah atas sederajat MA/SMA
yang terdiri atas 3 (tiga) tingkat dan 2). Madrasah Diniyah dalam bentuk
pendidikan Non-Formal/Informal seperti: pengajian kitab, majelis
taklim, pendidikan Al-Qur’an dan diniyah takmiliyah.
Terkait dengan kurikulum
Madrasah Diniyah, dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, pendidikan
diniyah termasuk jenis pendidikan keagamaan yang diatur pada pasal 30
yang terdiri dari (5) ayat dan pasal 36 dan 37 yang mengatur
kurikulumnya. Civil effect lulusan madrasah diniyah ada 2, yaitu Civil
Effect Tentang Kelanjutan Studi dan Civil Effect Tentang Peluang Kerja
Lulusan. Madrasah diniyah merupakan bagian dari sistem pendidikan
pesantren yang wajib dipelihara dan dipertahankan keberadaannya karena
lembaga ini telah terbukti mampu mencetak para kyai/ulama, asatidz dan
lain sebagainya. Diundangkannya UU No. 19 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, dan secara khusus adalah diundangkannya PP No. 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
- Soebahar, Abd. Halim. 2009. Pendidikan Islam Dan Trend Masa Depan. Jember : Pena Salsabila
- Abd. Halim. 2009. Matrik Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Marwa. Himpunan Peraturan Perundang-undangan. 2009. Undang-undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional). Bandung: Fokusmedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar