STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Minggu, 25 November 2012

Pengertian Isrâ’îliyyât

Pengertian Isrâ’îliyyât
Isrâ’îliyyât adalah bentuk jamak dari isrâ’îliyyah, yaitu cerita yang dikisahkan dari sumber isrâ’îlî (Yahudi, Bani Israil). Dalam ilmu tafsir dan hadis, isrâ’îliyyât diperluas maknanya menjadi cerita yang dimasukkan oleh orang-orang di luar Islam, baik dari Yahudi, Nasrani, atau orang lain. Namun, kebanyakannya memang berasal dari kisah-kisah Yahudi.
Masuknya Isrâ’îliyyât ke dalam Tafsir
Isrâ’îliyyât terutama dimasukkan oleh para mantan pengikut Yahudi dan Nasrani yang sudah masuk Islam yang tetap memelihara baik pengetahuan keagamaan mereka, atau oleh musuh-musuh Islam yang sengaja mengacaukan ajaran Islam dengan melakukan penyusupan.
Para sahabat (juga orang-orang setelah mereka) menaruh atensi terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan mengingat pesan Rasulullah saw.:
“Janganlah kamu membenarkan (keterangan) Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami’…” (H.R. al-Bukhârî).
Bahkan, selama tidak bertentangan dengan akidah dan hukum, para sahabat menceritakan cerita-cerita itu pula mengingat sabda Rasul saw.:
“Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari Bani Israil karena yang demikian tidak dilarang. Tetapi, barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka!” (H.R. al-Bukhârî).
Sebenarnya para sahabat tidak mengambil berita-berita Ahli Kitab yang terperinci untuk menafsirkan al-Qur’an kecuali dalam jumlah sedikit. Namun, semasa tabiin perhatian para mufassir semakin besar.
Kisah-kisah isrâ’iliyyât banyak ditemukan di dalam penjelasan beberapa kisah dalam al-Qur’an, seperti komentar seputar Ya‘jûj dan Ma’jûj (Q.S. al-Anbiyâ’: 96), Dzû al-Qarnayn (Q.S. al-Kahf: 23), dan Ashhâb al-Kahf (Q.S. al-Kahf: 9).

Dampak Cerita Isrâ’îliyyât
Cerita isrâ’iliyyât sebetulnya memang bukanlah hujjah atau sesuatu yang dapat dipegang sebagai dalil. Akan tetapi, nyatanya cerita-cerita itu telah tercantum menjadi materi dalam banyak kitab-kitab orang terdahulu. Karenanya, cerita-cerita itu—terutama yang kental aroma khurafat—pada batas-batas tertentu telah berpengaruh terhadap keotentikan sebuah penafsiran, juga terhadap akidah umat Islam.
Di antara cerita isrâ’iliyyât, ada yang mengandung unsur tasybîh dan tajsîm kepada Allah, serta mensifati Allah dengan sifat yang tak sesuai dengan keagungan-Nya. Ada pula yang mengandung unsur peniadaan ‘ishmah para rasul dan menggambarkan mereka sebagai orang yang besar syahwatnya, dan lain sebagainya.
Cerita isrâ’iliyyât juga mengesankan seolah-olah Islam menjadi agama yang penuh khurafat, khayalan, dan kebohongan yang tak jelas sumbernya. Pada sisi lain, cerita-cerita itu nyaris mengurangi kepercayaan kita akan kesalehan para sahabat dan tabiin. Dan, yang lebih berbahaya lagi, cerita isrâ’îliyyât hampir-hampir memalingkan manusia dari maksud dan tujuan al-Qur’an yang sesungguhnya.
Macam-macam Cerita Isrâ’îliyyât
Dilihat dari tingkat kesahihan periwayatannya, cerita isrâ’îliyyât terbagi menjadi dua: yang shahîh dan yang dha‘îf (termasuk yang mawdhû‘). Bila dilihat dari kesesuaiannya dengan syariat, terbagi menjadi tiga: 1) yang sesuai kandungannya dengan ajaran syariat, 2) yang tidak sesuai dengan syariat, dan 3) yang kandungannya tak dibicarakan atau didiamkan (maskût ‘anhu) oleh syariat.
Sedangkan jika dilihat dari segi materinya, cerita isrâ’îliyyât terkelompok menjadi tiga: 1) yang berkaitan dengan masalah akidah, 2) yang berkaitan dengan masalah hukum, dan 3) yang kandungannya berupa nasihat atau peristiwa yang tak berhubungan dengan akidah maupun hukum.
Hukum Meriwayatkan Cerita Isrâ’îliyyât
a. Dalil-dalil yang Melarang
1. Ayat-ayat yang menyatakan bahwa orang Yahudi dan Nasrani telah mengubah kitab mereka, sehingga mereka sebenarnya sudah tak layak dipercaya.
2. Hadits riwayat al-Bukhârî dari Abû Hurayrah saat dikatakan kepada Rasulullah bahwa Ahli Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan menafsirkannya untuk umat Islam dengan bahasa Arab, lalu beliau bersabda:
لا تصدّقوا اهل الكتاب ولا تكذّبوهم وقولوا امنّا بالله وما انزل الينا…
3. Hadits riwayat Ahmad dari Jâbir ibn ‘Abd Allâh:
ان عمر بن الخطّاب اتى النبي صلّي الله عليه وسلّم بكتاب اصابه من بعض اهل الكتاب فقرأه النبي صلّي الله عليه وسلّم فغضب فقال: أمتهوكون فيها يا ابن الخطّاب؟ والذى نفسى بيده، لقد جئتكم بها بيضاء نقية لا تسألوهم عن شيء فيخبروكم بحقّ فتكذّبوا به او بباطل فتصدقّوا به، والذى نفسى بيده لو انّ موسى عليه السلام كان حيّا ما وسعه الا ان يتبعنى…
4. Hadits riwayat al-Bukhârî dari ‘Abd Allâh ibn ‘Abbâs:
يا معشر المسلمين كيف تسألون اهل الكتاب؟ وكتابكم الذى انزل على نبيّه صلّى الله عليه وسلّم احدث الاخبار بالله تقرءونه لم يشب، وقد حدّثكم الله انّ اهل الكتاب بدلوا ما كتب الله وغيّروا بايديهم الكتاب، فقالوا: هو من عند الله، ليشتروا به ثمنا قليلا، الا ينهاكم ما جاءكم من العلم عن مساءلتهم، ولا والله، ما رأينا منهم رجلا قطّ يسألكم عن الذى انزل اليكم.
b. Dalil-dalil yang Memperbolehkan
1. Ayat-ayat yang membolehkan mengembalikan persoalan itu kepada mereka dan membolehkan pula bertanya tentang sesuatu yang ada pada mereka. Contohnya Surat Yûnus ayat 94:
فإن كنت في شكّ ممّا أنزلنا إليك فاسأل الذين يقرأون الكتاب من قبلك…
2. Riwayat al-Bukhârî dari ‘Abd Allâh ibn ‘Amr:
بلّغوا عنّى ولو أية، وحدّثوا عن بنى إسرائيل ولا حرج، ومن كذّب علي متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّار.
3. Beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah pernah mendengar bacaan Kitab Taurat dan beliau tidak menyatakan mengingkarinya.
4. Kenyataan bahwa sebagian sahabat mengembalikan persoalan kepada Ahli Kitab yang telah memeluk Islam dan bertanya tentang sebagian isi kitab-kitab suci mereka.
c. Kesimpulan Hukumnya
Setelah menyelaraskan dalil-dalil di muka dengan mempertimbangkan konteks-konteksnya, Husayn al-Dzahabî menyimpulkan bahwa: 1) cerita isrâ’îliyyât yang sesuai dengan syariat boleh diriwayatkan, tetapi yang bertentangan harus ditolak dan haram meriwayatkan kecuali untuk menetapkan kesalahannya; 2) cerita isrâ’îliyyât yang didiamkan oleh syariat, jangan dihukumi dengan apapun juga, baik membenarkan maupun mendustakan, dan boleh meriwayatkannya, karena sebagian besar kandungannya berbicara masalah kejadian dan berita, bukan masalah akidah ataupun hukum; 3) cara meriwayatkannya hanyalah sekadar mengemukakan hikayatnya saja, tanpa melihat apakah cerita itu salah atau benar.
Perawi-perawi Cerita Isrâ’îliyyât yang Termasyhur
Dari kalangan sahabat, ada lima orang yang tercatat sering meriwayatkan cerita isrâ’îliyyât: Abû Hurayrah, ‘Abd Allâh ibn ‘Abbâs, ‘Abd Allâh ibn ‘Amr ibn ‘Âsh, ‘Abd Allâh ibn Salâm, dan Tamîm al-Dârî. Sesungguhnya cerita isrâ’îliyyât yang mereka riwayatkan tergolong sedikit ketimbang hadis-hadis yang bukan cerita isra’iliyyat. Umumnya, mereka meriwayatkan karena keluasan wawasan mereka.
Adapun dari kalangan tabiin ada dua orang: Ka‘b al-Ahbâr dan Wahb ibn Munabbih. Sedang dari kalangan pengikut tabiin ada empat yang masyhur: Muhammad ibn Sa‘îd al-Kalbî, ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Abd al-‘Azîz ibn Jurayj, Muqâtil ibn Sulayman, dan Muhammad ibn Marwân al-Su‘ûdî.
Di antara mereka itu yang paling banyak adalah: ‘Abd Allâh ibn Salâm, Ka‘b al-Ahbâr, Wahb ibn Munabbih, dan ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Abd al-‘Azîz ibn Jurayj. Cerita-cerita dari ‘Abd Allâh ibn Salâm umumnya diterima, sementara yang dari Ka‘b al-Ahbâr rata-rata ditolak.

Cerita Isrâ’îliyyât dalam Kitab Tafsir

Bila kitab-kitab tafsir dibagi-bagi berdasarkan sistem dalam meriwayatkan cerita isrâ’îliyyât, dalam mendiamkannya serta memberikan kritikan kepadanya, akan didapati enam kategori.
Pertama, kitab tafsir yang menyodorkan cerita isrâ’îliyyât dan kadang mengomentarinya apakah kandungan matan cerita bisa diterima atau tidak, serta menyertakan sanadnya secara lengkap, tetapi tak menyelidik sanad itu. Kitab yang dekat dengan kategori ini adalah Jâmi‘ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân karya al-Thabarî.
Kedua, kitab tafsir yang menyodorkan cerita isra’iliyyat dan menyebutkan sanadnya, serta mengkritisi atau memberi penilaian pada sanad dan kandungannya (terutama untuk cerita-cerita yang batil). Yang dekat dengan kategori ini adalah Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr.
Ketiga, kitab tafsir yang menyodorkan cerita isra’iliyyat tanpa menyebutkan sanadnya ataupun menimbang isinya. Yang dekat dengan kategori ini adalah Tafsir Muqâtil ibn Sulayman dan al-Kasyf ‘an Bayân Tafsîr al-Qur’ân atau yang dikenal dengan Tafsir al-Tsa‘labî.
Keempat, kitab tafsir yang menyodorkan cerita isrâ’îliyyât tanpa menyebut sanadnya, namun sedikit menunjukkan kelemahan ceritanya dengan memakai sighat qîla (dikatakan) dan kadang dengan ditunjukkan bagian yang tidak sahih atau dipotong ceritanya. Yang dekat dengan kategori ini adalah Lubâb al-Ta’wîl fî Ma‘ân al-Tanzîl atau yang dikenal dengan Tafsir al-Khâzin.
Kelima, kitab tafsir yang menyodorkan cerita isra’iliyyat dengan mengemukakan sanadnya yang dinukil dari kitab tafsir terdahulu, tetapi mengomentari setiap cerita yang tidak benar atau batil. Yang dekat dengan kategori ini adalah Rûh al-Ma‘ânî karya al-Alûsî.
Keenam, kitab tafsir yang mengkritik kecerobohan para mufassir yang mengutip cerita isra’iliyyat, namun kadang menyodorkan cerita isra’iliyyat yang dikutip dari kitab-kitab tafsir terdahulu dan dengan berani memberi komentar. Yang dekat dengan kategori ini adalah Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Rasyîd Ridhâ. Wa Allâh a‘lam bi al-shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar