STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 21 Mei 2011

MUHKAM DAN AL-MUTASYABIH

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Salah satu persoalan ulum al-qur’an yang masih diperdebatkan sampai sekarang adalah kategorisasi muhkam-mutasyabih. Tellah dan perdebatan diseputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan islam, terutama menyangkut penafsiran al-qur’an. Perdebatan itu tida saja melibatkan sarjana-sarjana muslim sendiri karena sarjana-sarjana barat pun ikut mewarnainya.
Diantara sarjana muslim yang cukup intens membicarakan persoalan muhkam mutasyabih adalah ali bin hamzah al-kisa’I (wafat antara tahun 179 H dan 192 H). sarjana muslim yang terkenal sebagai pakar qira’ah ini memiliki karya penting tentang muhkam mutasyabih, yaitu kitab al-mutasyabihat fi al-qur’an. Karya ini dianggap penting karena berupaya menghimpun teks-teks al-qur’an yang masuk ke dalam kategori mutasyabih.
Sehubungan dengan persoalan ini, ibn habib an-naisaburi, pernah mengemukakan tiga pandapat mengenai kaitan ayat-ayat al-qur’an kaitannya dan muhkam-mutasyabih. Pertama, seluruh ayat al-qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah beriktu :

Artinya : “Alif Laam Ra, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya dusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah yang maha bijaksana lagi maha tahu.”
Kedua, seluruh ayat al-qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firmah Allah berikut :

Artinya : “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu al-qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang.”


Ketiga, pendapat yang paling tepat, ayat-ayat al-qur’an terbagi dalam dua bagian, yaitu muhkam dan mutasyabih, berdasarkan firman Allah berikut.



Artinya : “Dia-lah yang menurunkan Al-kitab (al-qur’an) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat muhkam, itulah pokok-pokok isi al-qur’an, dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapaun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kam.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Q. S. Al-imran 3:7)

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dari muhkam al-mutasyabih
2. Sikap para ulama terhadap ayat-ayat muhkam dan mutsyabih
3. Perbedaan muhkam dan mutasyabih
4. Muhkam dan mutasyabih serta kedudukannya masing-masing
5. Cara mengetahui atau menentukan kemuhkaman dan kemutasyabihan
6. Hikmah keberadaan ayat mutasyabih dalam al-qur’an
7. Fawatihus suwar
8. Hikmah fawatihus sawar




BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian muhkam wa al-mutasyabih
Muhkam menurut etimologi adalah sesuatu hal yang baik, atau suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah.
Mutasyabih menurut etimologi adalah persamaan atau kesamaran yang mengarah kepada kerupaan.
Menurut istilah (terminologi) muhkam dan mutasyabih ada beberapa pendapat. Diantaranya :
1. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil (metafora) ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah. Seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqathta’ah, definisi ini dikemukakan oleh kelompok ahlussunah.
2. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya jelas, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
3. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak memunculkan kemungkinan sisi arti lain. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih mempunyai kemungkinan sisi arti banyak, definisi ini dikemukakan oleh ibn abbas.
4. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya dapat diketahui atau dapat dipahami oleh akal. Seperti bilangan rakaat sholat dan lain-lain. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan oleh al-mawardi.
5. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam pemaknaannya), sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya yakni bergantu pada ayat lain.
6. Ayat-ayat muhkam adaah ayat yang maksudnya segera dapat diketahui tanpa penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih memerlukan penaklukan untuk mengetahui maksudnya.
7. ayat-ayat muhkam adalah ayat yang lafadz-lafadznya tidak berulang-ulang, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya.
8. ayat-ayat muhkam adalah ayat yang berbicara tentang kefarduan, ancaman, dan janji. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan perumpaan-perumpaan .
9. ulama’ golongan hanfiyah mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang jelas petunjuknya dan tidak mungkin telah dimansukh (dihapus hukumnya). Sedangkan lafadz mutasyabih ialah lafadz yang sama maksud petunjuknya, sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia ataupun tidak tercantum dalam dalil-dalil. Sebab, lafadz mutasyabih itu termasuk hal-hal yang diketahui oleh Allah SWT. Contohnya hal-hal yang ghaib.
10. imam athibi mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang jelas maknanya sehingga tidak mengakibatkan kemusykilan atau kesulitan arti. Sebab, lafadz muhkam itu diambil dari lafadz ihkam (ma’khudzul ihkam) yang berarti baik/bagus. Contohnya seperti lafadz yang dhohir, lafadh yang tegas dan sebagainya. Sedangkan lafadz mutasyabih ialah kebalikannya, yakni yang sulit dipahami sehingga mengakibatkan kemuskilan atau kesulitan. Contohnya seperti lafadz mustarah, mutlak, dan sebagainya .
Melihat pengertian dan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa inti muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Masuk dalam katagori muhkam adalah nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas, dan memang untuk makna itu ia disebutkan). Adapun mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas, masuk kedalam katagori mutasyabih ini adalah mujmal (global), mu’awwal (harus dita’wil). Muskil dan mubham (ambigius).


B. Sikap para ulama’ terhadap ayat-ayat muhkam dan mutasyabih
Para ulama’ berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui pula oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Pankal perbedaan pendapat ini bermuara pada cara menjelaskan struktur kalimat ayat berikut.


Artinya:
“… padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, …”
ada dua bahasan yang harus kita ketahui. Pertama, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm di-athaf-kan pada lafadz Allah, sementara lafadz Yaqulunah sebagai hal, ini artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalam ilmunya. Kedua, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm sebagai mubtada’. Sedangkan lafadz Yaqulunah sebagai khabar. Ini artinya ayat-ayat mutasyabih itu hanya diketahui Allah, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya mengimaninya.
Ada sedikit ulama yang berpihak pada penjelasan gramatikal pertama, di antaranya adalah Mujahid (W. 104 H.) yang diperolehnya dari Ibn Abbas al-mundzir mengeluarkan sebuah riwayat dari ibn abbas lalu berkata, “aku di antara orang yang mengetahui takwilnya.” Imam an-nawawi pun termasuk dalam kelompok ini. Di dalam syarah Muslim, ia berkata, “pendapat inilah yang paling sahih karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hamba-Nya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.” Ulama’ lain yang masuk ke dalam kelompok ini adalah abu hasan al-asy’ari dan abu ishaq asy-syirazi. Asy-syirazi berkata, “tidak ada satu ayat pun yang maksudnya hanya diketahui Allah. Para ulama’ sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?”
Sebagian besar sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya terutama kalangan ahlussunah, berpihak pada penjelasan gramatikal yang kedua. Ini pula yang merupakan riwayat paling sahih dari ibn abbas.
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
1. Madzhab salaf, yaitu ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-qur’an. Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam malik.
2. Madzhab khalaf. Yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Ulama’ khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih seperti : Istiwa’ ditakwilkan dengan keluhuran yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah ditakwilkan dengan kedatangan perintahnya. Wajah dan mata Allah ditakwilkan dengan pengawasan-Nya. Sisi Allah ditakwilkan dengan hal Allah. Demikian prinsip penafsiran ulama khalaf, kesan-kesan antromopistik Allah pada ayat-ayat al-qur’an ditakwilkan dengan arti yang cocok dengan kesucian Allah.

C. Perbedaan muhkam dengan mutasyabih
• Muhkam dan mutasyabih dalam arti umum
Muhkam berati (sesuatu) yang dikokohkan, ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalau muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Dengan pengertian inilah Allah mensifati al-qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam.
“Al-qur’an itu seluruhnya muhkam” maksudnya al-qur’an itu kata-katanya kokoh, fasih dan membedakan antara yang hak dengan yang bathil dan antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam al-amm atau muhkam dalam arti umu.
Mutasyabbih adalah mutamasil (sama) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain. Dengan pengertian inilah Allah mensifati al-qur’an bahwa seluruhnya mutasyabih.
“al-qur’an itu seluruhnya mutasyabih”, maksudnya al-qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-tasyabuh al-amm atau mutasyabih dalam arti umum.
• Muhkam dan Mutasyabih dalam arti khusus
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang penting diantaranya sebagai berikut :
1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
2. Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah.
3. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain sedang mutasyabih tidak demikian, ia memerulukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat yang lainnya.

D. Muhkamat dan mutasyabih serta kedudukannya masing-masing
Ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat dalam satu segi mempunyai kedudukan yang sama dan dalam segi yang lain berbeda satu sama lain. Keduanya sama dalam segi bahwa keduanya baru dapat dijadikan dalil setelah diketahui kebijaksanaan Allah yang berbicara dengan keduanya. Keduanya berbeda satu sama lain dalam hal sebagai berikut.
Ayat-ayat muhkamat, jika menurut hukum dasar pembentukan bahasa (mauldu’ al-lughah) atau kedudukannya dalam konteks pembicaraan (madlamah al-qorinah) hanya mengandung satu kemungkinan arti, siapapun yang mendengarkannya akan lasung dapat mengambilnya sebagai petunjuk atas hal yang ditunjukkannya, asalkan ia mengerti cara bicara dan memahami konteknya. Tidak demikian halnya dengan aya-ayat ini, walaupun ia ahli bahasa dan memahami konteksnya, membutuhkan pemikiran permulaan (fikr mubtada’) dan penalaran ulangan (nazar mujaddad) untuk dapat membawanya kepada pengertian yang sesuai dengan pengertian aya-ayat muhkamat atau petunjuk akal.

E. Cara mengetahui atau menentukan ke-muhkaman dan ke-mutasyabihan
Abd. Al-jabbar menyimpulkan bahwa yang menjadi tolak ukur paling kuat dalam menentukan ke-muhkaman dan ke-mutasyabihan adalah dali-dalil akal ( ). Ayat-ayat yang hanya mengandung satu pengertian yang sesuai dengan dalil-dalil akal ditetapkan sebagai muhkamat, sementara yang mengandung dua pengertian atau lebih yang berbeda ditetapkan sebaga mutasyabihat.
Mengapa dalil-dalil akal yang dipakai sebagai dasar? Karena menurut hukum dasar pembentukan bahasa (maudu’ al-lugah), setiap kata pada pembentukannya pasti yang bukan mengandung kemungkinan memberikan pengertian yang bukan pengertian asli. Karena itu, jika persoalannya tidak dikembalikan kepada sesuatu yang tidak mengandung wayuh-arti, maka tidak dapat dibedakan ayat-ayat yang muhkamat dan yang mutasyabihat.

F. Hikmah keberadaan ayat mutasyabih dalam Al-qur’an
Di antara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-qur’an dan ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya adalah :
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia
Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan aya-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.
Aya-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi pendudukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya, untuk mengungkapkan ayat-ayat mutasyabih itu.
2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih.
Pada penghujung surat al-imron (3) ayat 7, Allah menyebutkan Wa ma yadzdzakkaru illah ulu al-bab. Sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya. Yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak atik ayat-ayat mutasyabih sehigga mereka berkata Rabbana la tuzigh qulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengaharapkan ilmu ladunni.
3. Memberikan pemahaman abstrak-abstrak kepada manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa disaksikannya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran inderawi terlebih dahulu dalam kasus-kasus sifat Allah, sengaja Allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifatnya. Bersamaan dengan itu Allah menegaskan bahwa dirinya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan.

G. FAWATIHUS SUWAR
Menurut bahasa adalah jama’ dari kata “fatihun” yang berarti pembukaan, permulaan atau awalan.
Sedangkan kata as-suwar adalah jama’ dari kata as-surah, sekumpulan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai awalan dan akhiran.
Jadi, fawatius suwar berarti beberapa pembukaan dari surah-surah al-qur’an atau beberapa macam awalan dari surah-surah al-qur’an. Sebab seluruh surah al-qur’an yang berjumlah 114 surah itu dibuka dengan sepuluh macam pembukaan tersebut saja, tidak ada satu surat pun yang keluar dari sepuluh macam pembukaan tersebut dan tiap-tiap macam mempunyai rahasia atau hikmah masing-masing, sehingga perlu untuk dipelajari.
Sepuluh macam pembukaan itu adalah :
1. Pembukaan dengan pujian (al-istiftahu bits tsana’) kepada Allah SWT. Dengan menggunakan lafadz “hamdalah, tabarakah, subhana, sabbaha atau yusabbihu”.
2. Pembukaan dengan huruf-huruf terputus atau huruf hijaiyah, yaitu seperti Nun, alif lam mim dll.
3. Pembukaan dengan nida’ atau penggilan (al-istiftahu bil nida’) yaitu seperti
4. Pembukaan dengan jumlah khobriyah (al-istiftahu bi jumalil khobariyah) yaitu dengan menggunakan jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah, seperti :
Jumlah ismiyah :
Jumlah fi’liyah :
5. Pembukaan dengan sumpah atau qosam (al-istiftahu bil qosam) yaitu sumpah dengan benda-benda angkasa, sumpah dengan benda-benda di bawah (bumi), sumpah dengan waktu.
6. Pembukaan dengan syarat (al-istiftahu bil amri) yaitu dengan lafadz : Idza
7. Pembukaan dengan pertanyaan (al-istiftahu bil istifham) yaitu dengan kalimat positif : Hal, ‘Amna, Araayta, Alam.
8. Pembukaan dengan fi’el amar (al-istiftahu bil amri) yaitu dengan lafadz Iqra’, Qul.
9. Pembukaan dengan berdo’a (al-istiftahu bid du’a) yaiut do’a atau harapan yang berbentuk kata benda, seperti : Wail. Dan berbentuk kata kerja seperti : Tabbat.
10. Pembukaan dengan alasan (al-istiftahu bit ta’lili), yaitu pembukaan dengan memberi alasan, seperit yang digunakan untuk membuka surah : al-quraisy, yaitu dengan lafadz : lailafi quraisyin.

H. HIKMAH ADANYA FAWATIHUS SUWAR
Hikmah antara lain :
1. Memuji atau mensucikan Allah dan segala sifat kekurangan (negatif) tercele. Allah merupakan monopoli dari segala-galanya.
2. Bahwasanya al-qur’an datangnya dari Allah SWT bukan ciptaan nabi Muhammad SAW.
3. Untuk memperingati nabi Muhammad SAW dan umat islam agar memperhatikan firman-firman Allah SWT yang disebutkan setelah pembukaan itu, serta mengamalkan dan menjadikannya sebagai pedoman.
4. Pemukaan dengan sumpah, agar manusia bersifat dan bersikap jujur dan bersumpah dengan atas nama Allah.
5. Sumpah Allah SWT dengan benda-benda mewujudkan bahwasanya hanya Allah-lah yang mutlak melakukan monopoli.
6. Pembukaan dengan pertanyaan untuk memberikan peringatan atau petunjuk-petunjuk kepada umat manusia ke arah kebahagiaan hidup mereka di dunia dan di akhirat.



BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kami dapat menyimpulkan atau pengistimbatkan bahwa muhkam merupakan lafadz yang dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa dita’wilkan karena susunan tertibnya tetap, dan tidak muskil karena pengertiannya masuk akal sehingga dapat diamalkan karena tidak dinashkan. Sedangkan mutasyabihat ialah lafadz al-qur’an yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau akal manusia karena bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena susunan tertibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan disebabkan petunjuk artinya tidak kuat.

B. Saran-saran
Dengan selesainya makalah ini kami sebagai penyusun sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu kami minta saran dan kritikan yang bersifah membangun demi lancarnya pembuatan atau makalah selanjutnya. Dan semoga pembuatan makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amien …


DAFTAR PUSTAKA


Machasin, Drs. MA. Al-Qadi Abd. Al-Jabbar Mutasyabih Al-Qur’an Dan Dalih Rasionalitas Al-Qur’an. LKiS Yogyakarta. 2000
Rosihon Anwar, Drs. M.Ag. Ulumul Qur’an. Pustaka Setia, Bandung. 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar