Alquran merupakan salah satu dari sejumlah kecil kitab suci yang telah memberikan pengaruh begitu luas dan mendalam dalam jiwa dan tindakan manusia. Bagi kaum muslimin Alquran bukan saja sebagai kitab suci (scripture) melainkan juga petunjuk (hudâ) yang menjadi pedoman sikap dan tindakan mereka dalam memainkan peran sebagai khalifatullah di muka bumi. Ibarat katalog sebuah produk barang, Alquran adalah guide bagi pengelola alam ini sehinga dapat berfungsi dengan baik. Maka baik buruknya pengelolaan dan pendayagunaan alam sangat tergantung kepada tinggi rendahnya intensitas komitmen manusia terhadap petunjuk Alquran. Karena itu, tafsir dan yang berkaitan dengannya telah mendapat perhatian besar sejak masa awal perkembangan Islam sampai masa kini hingga masa mendatang mengingat posisi sentral yang dimilikinya sebagai hudan.
Sejarah Tafsir Klasik
Kendati pada mulanya berkembang secara lisan, tetapi kodifikasi ilmu tafsir telah dimulai sejak dini. Dalam kitab Thabaqât Ibnu Sa`d (5/216) di sinyalir, sejarawan Musa bin Uqbah dititipi oleh Kurayb bin Muslim (w 97 H) ‘sepikulan’ onta karangan gurunya, Tarjumân al-Qur`ân, Ibnu Abbas (w. 68 H). Disebutkan, Ali bin Abdullah bin Abbas (w 118 H) berkali-kali berkirim surat kepada Musa bin `Uqbah untuk mendapatkan kumpulan karya ayahnya guna ditulis ulang. Fuat Sezgin, pakar bibliografi turats Islam, mengomentari, “tidak ada yang menghalangi untuk mengatakan Ibnu Abbas telah menulis sendiri karya tafsirnya yang sekarang banyak berserakan dalam bentuk kutipan di buku-buku tafsir”.
Buah pikiran Ibnu Abbas dalam tafsir banyak yang sampai kepada kita melalui riwayat yang shahih, terutama yang melalu jalur Ali bin Abi Thalhah. Dalam tafsir Thabary terekam sekitar 1000 riwayat yang melalui jalur ini. Sebagian pakar menilai riwayat tersebut mengandung kelemahan karena Ali bin Abi Thalhah tidak meriwayatkannya langsung dari Ibnu Abbas. Tetapi dengan diketahui ‘perantara’ antara Ali bin Abi Thalhah dan Ibnu Abbas seorang yang tsiqah yaitu Mujahid (w 104 H) dan Ikrimah (w. 105 H) maka tuduhan tersebut menjadi tidak relevan (Musykil al-Atsar, Thahawi 3/186). Ahmad Ibnu Hanbal sering memuji karya tersebut yang pada masanya masih dapat dilihat dan tersimpan di Mesir (Tarikh Turats `Arabiy, Sezgin 1/180).
Tafsiran Ibnu Abbas tidak selalu melalui periwayatan dari Rasulullah dan para sahabat (tafsir bil ma`tsur), tetapi telah ada terobosan baru yaitu tafsir melalui pendekatan bahasa. Nafi` Ibnu al-Azraq (w. 65 H), pemimpin Khawarij saat itu, pernah mengajukan 200 kata yang maknanya tidak jelas dalam Alquran kepada Ibnu Abbas. Dengan piawainya Ibnu Abbas menjelaskan maknanya satu per satu dengan disertai argumentasi pendukung dari syair Arab jahily.
Tafsir dengan pendekatan bahasa dan logika secara umum semakin berkembang di tangan para murid Ibnu Abbas seperti Said bin Jubair (w 95 H), Mujahid, Ikrimah, Al-Dhahhak (w 105 H) dan Atha` bin Rabah (w. 114 H).
Karya-karya mereka, selain memuat hal-hal metafisik dan hikayat masa lalu, lebih terfokus pada kajian kosa kata Alquran. Upaya-upaya tersebut menjadi pijakan bagi lahirnya banyak literatur tentang kosa kata Alquran (gharîb al-Qur`ân) pada abad ke 2 hijriah seperti terlihat pada karya Abban bin Tighlib (w 141 H) dan Zaid bin Ali. Upaya penafsiran secara sintaksis (pendekatan nahwu) juga telah dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Du`aly (w 69 H), Nashr bin Ashim (w 89 H), Yahya bin Ya`mar (w. 129 H), Isa bin Umar al-Tsaqafiy (w. 149 H) dan Abu Amr bin al-`Ila (w. 145 H). Sayangnya, seperti halnya listeratur Islam klasik lainnya, banyak di antara karya tafsir yang muncul sejak masa awal sampai pada paruh pertama abad ke 2 hijriah hilang dan tidak sampai kepada kita kecuali dalam bentuk kutipan di buku-buku ulama yang muncul belakangan. Beberapa karya penting masa awal yang sampai kepada kita Al-Asybâh wa al-Nazhâ`ir fi Al-Qur`ân al-Karîm karya Muqatil bin Sulaiman al-Balkhiy (w 150 H), Majâz al-Qur`ân karya Abu Ubaydah (w 210 H) dan Ma`âny al-Qur`ân karya al-Farra (w 207 H).
Upaya menghimpun kembali karya-karya ulama masa lalu (abad ke 1 dan ke 2 H) telah dilakukan pada paruh pertama abad ke 3 H. Imam Bukhari, penyusun kitab hadis shahih, dalam karyanya banyak memuat penjelasan makna kosa kata Alquran yang kemudian dikumpulkan dalam bentuk buku tersendiri oleh M. Fuad Abdul Baqy. Selain memuat beberapa riwayat tafsir, meski terkadang tidak disertai sanad, karya Imam Bukhari itu banyak memuat pandangan ulama bahasa sebelumnya terutama Abu Ubaidah.
Usaha pengumpulan ini mencapai puncaknya dalam karya Imam Thabary (w. 310 H), Jâmi` al-Bayân fi Ta`wîl al-Qur`ân. Selain memuat tafsir secara utuh karya tersebut juga dilengkapi dengan sanad periwayatannya. Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan karya Thabari tersebut sebagai puncak karya tafsir bil ma`tsur meskipun juga banyak memuat pandangan ahli bahasa.
Tafsir Thabary dikatakan sebagai karya utuh tafsir karena pada umumnya karya yang muncul sampai pada akhir abad ke 4 H lebih menekankan pada satu kajian tertentu semisal Gharîb al-Qur`ân dan Musykil al-Qur`ân karya Ibnu Qutaybah (w 276 H), Fadhâ`il al-Qur`ân karya Abi Ubayd al-Qasim bin Salam (w 224 H), Ma ittafaqa lafzhuhu wa ikhtalafa ma`nâhu min al-Qur`ân al-Majîd karya al-Mubarrad (w 285 H), Al-Nasikh wa al-Mansûkh karya Abu Ja`far al-Nahhas (w 338 H), dan juga tidak menafsirkan seluruh ayat seperti terlihat pada karya al-Zajjaj (w 311 H), Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu dan Abu al-Laits al-Samarqandiy (w 373 H), Tafsir al-Qur`ân.
Tradisi periwayatan dalam tafsir model Thabariy kemudian diikuti selanjutnya pada abad ke 5 H oleh al-Tsa`labiy (w 427 H) dalam karyanya al-Kasyf wa al-Bayân dan al-Wahidiy (w 468 H) yang memiliki tiga karya tafsir; al-Wajîz, al-Wasîth dan al-Basîth.
Catatan negatif yang sering diberikan kepada model tafsir periwayatan adalah bercampurnya antara riwayat yang shahih dengan yang dha`îf (lemah) bahkan mawdhu` (palsu). Tak ubahnya mereka seperti pencari kayu bakar di malam hari (hâthib laylin) yang tidak bisa membedakan antara ular dan batang kayu bakar. Karena itu pada awal abad ke 6 H, seorang pakar hadis, al-Baghawiy (w 510 H) mencoba membersihkan karya al-Tsa`labiy yang dinilainya cukup banyak memuat informasi tafsir masa lalu dari dalam karyanya Ma`âlim al-Tanzîl. Selain memuat pikiran tafsirnya, al-Baghawi mendasari banyak tafsirannya dari karya Tsa`labiy, al-Kasyf wa al-Bayân. Karya Al-Baghawiy tersebut kemudian diringkas pada awal abad ke 8 H oleh Imam al-Khazin (w 725 H) dalam karyanya Lubâb al-Ta`wîl. Kepribadian al-Khazin sebagai seorang sufi yang menyenangi kisah-kisah aneh dalam nasihat-nasihatnya membuatnya tertarik untuk menukil kembali kisah-kisah yang ditulis Tsa`labiy dan telah dibuang oleh al-Baghawiy dari karyanya.
Di sisi lain penafsiran dengan pendekatan bahasa yang lebih rasional berkembang di kalangan mu`tazilah melalui tokoh-tokohnya seperti Abu Ishaq al-Nazhzham (w 231 H), al-Jahizh (w 255 H), dan mencapai puncaknya dalam karya Zamakhsyari (w 538 H), Al-Kasysyâf.
Jika tafsir Zamakhsyari muncul dari belahan timur dunia Islam saat itu, di belahan barat, tepatnya Andalusia, muncul karya tafsir yang tidak kalah kuatnya yaitu Al-Muharrar al-Wajîz karya Ibnu Athiyyah (w 546 H). Selain menghimpun banyak riwayat tafsir dan mengkritisinya, karya Ibnu Athiyyah pun cukup kuat dalam pendekatan bahasa dan logika.
Pada abad ke 6 H karya Zamakhsyari mendapat tempat terhormat di kalangan umat Islam. Pesona keindahan balaghah Aquran yang mewarnai tafsir Zamakhsyari membuat banyak orang terkesima dan tertarik untuk mengkajinya sehingga lahir beberapa karya yang berkhidmat kepadanya. Bentuk kajian tersebut antara lain membersihkan pengaruh aliran mu`tazilah yang ada di dalamnya seperti dilakukan oleh Ibnu al-Munayyir (w 683 H) dalam ‘al-Intishâf fi mâ tadhamanahu al-Kasysyâf min al-I`tizâl, atau menjelasakan kata atau ungkapan sulit yang ada di dalamnya seperti terlihat dalam karya Quthbuddin al-Tahtaniy (w. 766 H) dan al-Thibiy (w. 786 H), Futûh al-Ghayb fi al-Kasyf `a Qinâ` al-Rayb yang kemudian diringkas lagi oleh Al-Taftâzani (w 792 H) dalam hâsyiyah-nya.
Sementara pakar menduga, kelahiran karya al-Raziy (w 604 H), Mafâtîh al-Ghayb atau al-Tafsîr al-Kabîr, yang mewakili ulama ahlussunnah, juga dilatarbelakangi oleh pesona al-Kasysyaf. Khawatir umat terpengaruh oleh muatan i`tizâl di balik pesona keindahan balaghah, al-Razi menyusun karyanya tersebut dengan mengembangkan uraian balaghah Zamakhsyari dan memberi warna sunniy dalam beberapa masalah yang menyangkut akidah dan ilmu kalam.
Tak ayal kedua karya tersebut kemudian menjadi karya yang sangat kuat sehingga mendasari banyak karya setelahnya. Sebut saja misalnya Anwâr al-Tanzîl karya al-Baydhawiy (w 685 H). Seperti kebanyakan karya yang muncul sejak awal abad ke 7 H Baidhawi menulis karyanya secara ringkas, tetapi memuat keindahan pesona balaghah Alquran seperti dalam al-Kasysyâf dan mewakili aliran sunniy asy`ari yang mencapai puncak kematangannya saat itu di tangan al-Ghazali, Imam al-Haramain, dan al-Raziy. Penjelasan makna kata, kalimat dan ungkapan Alquran didapatinya dari al-Kasysyâf, sementara uraian hikmah Alquran, filsafat, pokok-pokok akidah dan syariah dirangkum dari Mafâtîh al-Ghayb. Al-Baidhawi berhasil melakukan itu dengan sangat memuaskan.
Dominasi Sunni di dunia Islam saat itu membuat karya al-Baidhawi menjadi sangat populer. Boleh dikata, karya al-Baidhawi lah yang membuat karya Zamakhsyari terus mendapat tempat di hati muslim sunni. Sebagai karya yang cukup kuat, Anwâr al-Tanzîl melahirkan banyak karya dalam bentuk syarh dan hâsyiyah. Sampai pada masa Mulla Katib al-Jalabiy (terkenal dengan sebutan Haji Khalifah/ w. 1017 H), penyusun bibliografi literatur Islam (Kasyf al-Zhunûn) tercatat 50 karya hasyiyat atas karya al-Baydhawi tersebut. Sebut saja misalnya Hâsyiyat Syeikh Zâdah (w 951 H), Hâsyiyat Ibnu Tamjid (w 880 H), Nawâhid al-Abkâr karya al-Suyuthi dan lainnya. Jika ditambah dengan karya hasyiyah yang muncul setelah Kasyf al-Zhunûn, seperti Hâsyiyat Al-Siyalakuti (w. 1067 H), Hâsyiyat al-Syihab (w 1069 H) yang berjudul `Inâyat al-Qâdhi wa Kifâyat al-Râdhi dan Hâsyiyat al-Qunawiy (w 1169 H) maka paling tidak terdapat 53 hasyiyah yang ditulis untuk menjelaskan karya al-Baidhawi tersebut.
Kemiripan antara karya Zamakhsyari dan Baidhawi dapat dilihat dengan membandingan hasyiyat keduanya. Imam Suyuthi yang menulis hasyiyat atas karya al-Baidhawi dalam karyanya banyak menukil penjelasan Al-Thibiy dan Al-Taftazaniy yang menulis hasyiyat atas karya Zamakhsyari.
Tradisi meringkas dan mensyarah karya-karya terdahulu masih terus berlanjut di belahan timur dunia Islam sampai akhir abad ke 9 H dan seterusnya. Dengan dominasi Dinasti Ottoman tradisi tersebut melebar sampai ke Persia dan Turki. Seorang ulama saat itu yang menguasai tiga bahasa; Arab, Persi dan Turki, Abu Al-Su`ud (w. 982 H) melanjutkan tradisi tersebut dengan menulis Irsyâd al-`Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Kitâb al-`Azhîm. Karya tafsir tersebut mengikuti metode yang dikembangkan dalam karya Zamakhsyari dan Baidhawi.
Tradisi keilmuan yang berbeda berkembang di belahan barat dunia Islam seperti Andalusia, Tunisia, Fas, Granada dan lainnya. Jika di timur yang berkembang adalah syarah dan komentar (ta`liq/hasyiyat) maka di barat tradisi anilitik tanpa melupakan uraian kata dan ungkapan berkembang dengan baik. Di antara karya tafsir yang muncul di sana adalah karya Ibnu Arfah (w 803 H) dan al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur`ân karya al-Qurthubiy (w 671 H).
Pada masa Ottoman, sampai awal abad ke 13 H literatur tafsir yang mendominasi dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian; pertama: tafsir ilmiah sunni yang diwakili oleh tafsir al-Baidhawi dan Abu Su`ud; kedua : tafsir ilmiah syiah seperti karya Al-Thusi, al-Qummiy dan al-Thabarsiy (Majma` al-Bayân), ketiga : tafsir sufi yang tidak terikat dengan istilah teknis ilmiah dan bahasa yang diwakili oleh Rûh al-Bayân karya Ismail Haqqi al-Barsawiy. Ketiga tradisi keilmuan; sunnah, syiah dan sufi tersebut mempengaruhi kehidupan Al-Alusiy (w. 1270 H) yang melahirkan karya Rûh al-Ma`âniy. Suatu karya yang cukup kuat dengan menghimpun ketiga tradisi keilmuan yang berkembang pada masa Ottoman. Al-Alusi berhasil menunjukkan kemampuan intelektualnya dalam menggali pesan-pesan Alquran dengan perangkat keilmuan yang memadai, selain juga menampilkan kepribadian sufi dalam dirinya dalam bentuk capaian makna-makna isyarat di balik lafal Alquran.
Sampai pada al-Alusi penafsiran Alquran lebih merupakan suatu masalah akademis. Memahami sebuah tafsir memerlukan pengetahuan yang detil terhadap kata-kata teknis dan istilah-istilah bahasa Arab, hukum dan dogma, sunah Nabi dan para Sahabat serta bigrafi Nabi. Tafsir-tafsir Alquran merupakan ensiklopedi-ensiklopedi dari ilmu-ilmu tersebut atau lebih merupakan kutipan dari ensiklopedi tersebut.
Tafsir di Era Modern
Abad ke 14 H merupakan titik awal dalam sejarah kebangkitan umat Islam secara umum. Bentuk penafsiran yang terkesan akademis dianggap tidak lagi mampu menjawab tantangan umat saat itu. Adalah Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang pertama kali menyerukan perlunya pemahamaan baru dalam kehidupan beragama. Abduh umpamanya mengkritik karya-karya tafsir terdahulu dengan mengatakan, “Hâdzâ lâ yanbaghi an yusammâ tafsîran, wainnamâ dharbun minattamrin fil funûn kannahwi wal ma’âni waghayrihim (Tafsir al-Manar,1/24). Menurut Abduh, “Pada hari akhir nanti Allah tidak menanyakan kita mengenai pendapat-pendapat para mufasir dan tentang bagaimana mereka memahami Alquran. Tetapi Ia akan menanyakan kepada kita kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur kita”. Abduh berpendapat, yang dibutuhkan oleh umat adalah pemahaman kitab suci sebagai sebuah hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat (Tafsir al-Manar,1/24). Dengan begitu, sudah pasti Alquran harus dapat memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan umat.
Terobosan Abduh dalam tafsir Alquran seperti tercermin dalam karya yang dikumpulkan dan dilengkapi oleh muridnya Rasyid Ridha boleh dibilang sebagai sesuatu yang baru dan orisinil. Kebaruannya dapat dilihat pada penekanannya yang baru dalam melihat Alquran, yakni sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spritual. Hemat penulis, pandangan Abduh yang menekankan perlunya rekonstruksi pemahaman Alquran, sedikit banyaknya, dipengaruhi oleh keberhasilan gerakan renaissance yang menitikberatkan pada pemahaman ulang terhadap kitab suci. Di sinilah terdapat titik temu gerakan pembaruan di Barat dan Timur.
Seruan Abduh tersebut mendapat sambutan hangat dari para reformis islam. Secara umum terdapat beberapa kecenderungan (trend) dan metodologi dalam tafsir modern. Kecenderungan dimaksud, yang dalam bahasa Arab disebut Ittijâh, adalah kumpulan pandangan dan pemikiran yang mewarnai sebuah karya tafsir, sekaligus mencerminkan latar belakang intelektual penafsirnya. Dengan kata lain, kesan umum tentang pemikiran penulis. Tafsir Thabari sering diklasifikasikan dalam kategori bi-l-Ma’tsur, padahal tidak sedikit kita temukan penggunaan nalar dalam karya tersebut. Al-Kasysyâf, karya Zamakhsyari, sering disebut bercorak tafsir aliran atau dogmatis seperti kata I. Godziher. Padahal Zamkhsyari, seperti dikatakan Jansen, dengan karyanya itu dapat disebut sebagai tokoh yang menyempurnakan analisis sintaksis terhadap Alquran setelah Abu Ubaydah, peletak dasar tafsir filologi modern. Ini menjelaskan bahwa klasifikasi yang sering didengar itu hanya sekadar kesan umum yang ditangkap dari kecenderungan penulisnya. Sedangkan metodologi yang dimaksud di atas adalah cara yang digunakan mufasir untuk mewujudkan kecenderungan tadi. Dengan kata lain wadah yang berisikan kecenderungan pemikiran mufasir. Dua istilah ini sering dipahami rancu dalam beberapa kajian tafsir.
A. Beberapa Tren Penafsiran Modern
I.Goldziher dalam karyanya Richtungen der Islamischen Koranauslegung, mengasumsikan ada lima kecenderungan dalam penafsiran Alquran; (1) penafsiran dengan bantuan hadits Nabi dan para Sahabatnya; (2) penafsiran dogmatis; (3) penafsiran mistik; (4) Penafsiran sektarian; (5) penafsiran modernis. Goldziher dalam karyanya itu belum sempat membahas tren yang berkembang pascaAbduh. J. Jomier dalam beberapa karyanya juga belum dapat membuat potret utuh tentang penafsiran modern. Demikian pula J.M.S. Baljon dalam karyanya, Modern Muslim Koran Interpretation. Sebuah studi yang paling sukses dalam mengungkap kecenderungan tafsir modern dapat dilihat pada karya Iffat. M. Syarkawi, Ittijâhât al-Tafsîr fil ‘Ashril Hadîts. Menurutnya tafsir modern yang disebutnya sebagai tafsir praktis, memiliki tiga kecenderungan utama; (1) sosial kemasyarakatan (ittijâh ijtimâ’iy); (2) tafsir saintifik (ittijâh ‘ilmi); (3) interpretasi filologik dan sastra (ittijâh adabiy). Kategorisasi yang sama juga dilakukan oleh J.J.G. Jansen dalam karyanya, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, dan DR. M. Ibrahim Syarif dalam karyanya, Ittijâhât al-Tajdîd fi tafsir al-Qur’ân al-Karim fî Mishr.
A.1. Tren Sosial Kemasyarakatan
Problem utama yang dihadapi umat islam di awal abad ini, setelah mengalami kemunduran dan terpecah belah, adalah mengatur siasat untuk melawan dominasi Barat dalam berbagai sektor kehidupan; militer, ekonomi dan budaya. Sudah barang tentu diperlukan cara pandang baru dalam melihat kehidupan. Diharapkan umat islam dapat memilih dan memilah produk nilai dan norma kehidupan modern. Kritik intrinsik (naqd dzâtiy) ini mengharuskan para reformis islam untuk mengkaji ulang Alquran dan sunnah. Hal yang sama juga dilakukan para reformis islam dalam sepanjang sejarah setiap kali umat menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun luar.
Apa yang dilakukan mufasir modern sebenarnya hanyalah kepanjangan dari karya-karya mufasir klasik. Bedanya, mufasir klasik, seperti dikatakan Iffat, dalam banyak hal sering menggunakan pendekatan filosofis dalam menghadapi tantangan zamannya. Sementara mufasir modern lebih menekankan pada gagasan-gagasan praktis yang langsung menyentuh persoalan umat. Yang patut dikagumi, para mufasir modern berhasil mengkompromikan temuan-temuan mufasir klasik dan mengemasnya dengan baik sehingga tepat dan jitu dalam menyelesaikan masalah. Tema-tema politik, persatuan, ekonomi, dan masalah-masalah sosial lainnya kerap kali ditemukan dalam karya-karya seperti Abduh, Rasyid Ridha, al-Maraghy, Syaltout dan lainnya.
Upaya tersebut paling tidak telah mampu menyaring dan mengerem laju peradaban Barat. Bila tidak, dapat dibayangkan peradaban islam akan kehilangan identitasnya. Di sisi lain, usaha tersebut berhasil mengobati kebimbangan umat dalam dua hal; produk baru peradaban Barat yang sangat asing bagi umat, dan keinginan hati untuk mengembalikan kejayaan turats peradaban islam. Satu hal yang patut disayangkan, penganut aliran in seringkali terkesan reaksioner dan lamban dalam mengantisipasi persoalan. Sehingga yang terkesan, hanya mengekor dan sekadar menjustifikasi gelombang pembaruan yang tengah terjadi.
A.2. Penafsiran Saintifik (ittijah ‘ilmy)
Kecenderungan menafsirkan Alquran dengan teori-teori ilmu pengetahuan sebenarnya telah lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun (w. 853 M) akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah. Kecenderungan ini muncul sebagai upaya kompromi dalam polemik hubungan antara Alquran dan ilmu pengetahuan. Karya al-Ghazali, Jawâhir al-Qur’ân, seringkali dikutip dalam membela keabsahan tafsir ilmiah. Dalam buku kecilnya itu, al-Ghazali mengajarkan bahwa Alquran hanya akan menjadi jelas bagi mereka yang mempelajari ilmu penegetahuan yang digali darinya. Seseorang tidak bisa memahami Alquran tanpa pengetahuan tata bahasa Arab dan orang tidak bisa memahami apa yang dimaksud oleh ayat seperti “dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku”, jika ia tidak mengerti kedokteran.
Pro-kontra tentang tafsir ilmiah selalu terjadi di kalangan tokoh-tokoh klasik dan modern. Selain al-Ghazali, al-Razi, al-Mursi dan Al-Suyuthi juga dikelompokkan sebagai pendukung tafsir ini. Berseberangan dengan mereka, al-Syathibi menentang keras penafsiran model seperti ini. Dalam barisan tokoh-tokoh modern, para pendukung tafsir ini seperti, M. Abduh, Thanthawi Jauhari, Hanafi Ahmad berseberangan dengan tokoh-tokoh seperti M. Syaltout, Amin al-Khuli dan Abbas Aqqad.
Polemik-polemik tersebut menghasilkan formula kompromistik yang mengatakan bahwa Alquran memang berisi kebenaran ilmu pengetahuan. Namun demikian Alquran tidak bisa diperlakukan sebagai sebuah buku teks ilmu pengetahuan. Alquran lebih merupakan buku petunjuk (hidayah) daripada teori-teori ilmu. “Memahami ayat-ayat Alquran sesuai penemuan-penemuan baru adalah ijtihad yang baik, selama paham tersebut tidak dipercayai sebagai aqidah Qur’aniyah dan tidak beretentangan dengan prinsip-prinsip dan ketentuan bahasa”, demikian Quraish mencoba menengahi.
Munculnya tafsir ilmiah modern, menurut Jansen, berhubungan dengan awal pengaruh Barat terhadap dunia Arab dan kawasan Muslim. Terlebih-lebih dalam paruh kedua abad kesembilan belas dunia islam berada di bawah pemerintahan Eropa. Kekuasaan Eropa atas kawasan Arab dan Muslim ini hanya dimungkinkan oleh superioritas teknologi Eropa. Bagi seorang muslim, membaca tafsir Alquran bahwa persenjataan dan teknik-teknik asing yang memungkinkan orang-orang Eropa menguasai umat islam sebenarnya telah disebut dan diramalkan di dalam Alquran, bisa menjadi pelipur lara. Inilah yang diungkapkan M. Quraish Shihab sebagai kompensasi perasaan Inferiority Complex (perasaan rendah diri). Lebih lanjut Quraish menulis, “Tidak dapat diingkari bahwa mengingat kejayaan lama merupakan obat bius yang dapat meredakan sakit, meredakan untuk sementara, tetapi bukan menyembuhkannya.”
Pandangan optimistik terhadap tren ini dilontarkan oleh Iffat. Menurutnya, tren ini berusaha membangun rumah baru bagi peradaban islam setelah umat islam mengalami dualisme budaya yang tercermin pada sikap dan pemikiran. Dualisme ini melahirkan sikap kontradiktif antara mengenang kejayaan masa lalu dan keinginan memperbaiki diri, dengan kekaguman terhadap peradaban Barat yang hanya dapat diambil sisi materinya saja. Sehingga yang terjadi, budaya di kawasan Muslim ‘berhati islam, tetapi berbaju Barat’. Upaya mufasir ilmiah pada hakekatnya ingin membangun kesatuan budaya melalui pola hubungan harmonis antara Alquran dan ilmu pengetahuan modern yang menjadi simbol peradaban Barat.
A.3. Interpretasi filologik dan sastra (Ittijâh Adaby)
Di awal abad modern, kecenderungan ini sebenarnya telah dimulai oleh penganut tren sosial kemasyarakatan seperti, M. Abduh, Rasyid Ridha dan al-Maraghy. Tetapi usaha mereka baru sebatas mengungkap sekilas retorika Alquran, belum dalam bentuk sebuah metode ilmiah. Sebab menurut mereka tujuan tafsir adalah mewjudkan hidayah Alquran.
Tren ini mencapai puncak kematangannya di tangan Amin al-Khuli. Menurutnya, Alquran harus diperlakukan sebagai kitab berbahasa Arab yang terbesar (Kitâb al-Arabiyyah al-Akbar). Maka hak-hak kebahasaannya harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum maksud-maksud lain. Amin mengatakan bahwa secara ideal studi tafsir harus dibagi dalam dua bagian : (1) kajian sekitar Alquran, dirâsah hawl al-nash, dan (2) kajian terhadap Alquran itu sendiri, dirâsah fi al-Qur’ân nafsihi. Kajian sekitar Alquran diarahkan pada aspek sosio historis, geografis, kultural dan antropologis wahyu. Studi terhadap latar belakang ini tidak jauh berbeda dengan yang diperkenalkan oleh Noldeke dalam karyanya, Geschichte des Qoran, sebagai “pendekatan historis tradisional”. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pada pelacakan kata-kata semenjak pertama diturunkan, pemakaiannya dalam Alquran serta sirkulasinya dalam bahasa Arab. Dia memberi alasan bahwa Alquran datang dengan sebuah pakaian Arab (fî tsaubihi al-arabiy) dan karena itulah untuk memahami Alquran sesempurna mungkin kita harus mengetahui sejauh mungkin keadaan bangsa Arab ketika Alquran diturunkan.
Sayyid A. Khalil menilai, sebenarnya gagasan yang disampaikan al-Khuli tidak lain adalah gagasan yang telah diperkenalkan oeh Schleirmacher yang dikenal sebagai pendekatan hermeneutik. Khalil tidak berlebihan, sebab al-Khuli adalah sosok yang dikenal banyak berinteraksi dengan kajian-kajian Barat, khususnya di bidang sastra. Ini tidak berarti pendekatan tafsir seperti ini berasal dari Barat. Sebab jika ditelusuri pendekatan hermeneutik dalam mengkaji teks telah berkembang lama sejak awal masa islam. Ibnu Abbas, Abu Ubaydah, al-Zamakhsyari dan al-Jurjani tidak dapat diragukan lagi kedudukannya sebagai peletak dasar-dasar filologi dan sintaksis Alquran. Ini membuktikan adanya ta’tsîr dan ta’atstsur positif antara Barat dan Islam sejak dulu.
Sampai akhir hayatnya, al-Khuli tidak meninggalkan karya utuh sebagai penjabaran atas metodenya, kecuali beberapa buku kecil hasil ceramahnya di radio yang diberi judul Min Hadyil Qur’ân. Tetapi murid-muridnya seperti Bintu Syathi dan M.A. Khalfallah berhasil mempraktekkannya dengan apik dalam beberapa karya yang memberikan kontribusi besar dalam kajian Alquran modern.
B. Metodologi Penafsiran Modern
Di muka telah disinggung, metode dimaksud adalah cara yang digunakan mufassir untuk mengungkapkan segenap pandangan dan pikiran yang menjadi kecenderungannya.
Metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa kodifikasi tafsir, yang oleh sementara pakar diduga dimulai oleh al-Farra (w.207 H), adalah menafsirkan Alquran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mushaf. Segala segi yang ‘dianggap perlu’ oleh sang mufasir diuraikan, bermula dari arti kosa kata, asbab al-Nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks dan kandungan ayat. Metode ini dikenal dengan metode tahlily atau tajzi’iy dalam istilah Baqir Shadr. Para mufasir klasik umumnya menggunakan metode ini. Kritik yang sering ditujukan pada metode ini adalah karena diangap menghasilkan pandangan-pandangan parsial. Bahkan tidak jarang ayat-ayat Alquran digunakan sebagai dalih pembenaran pendapat mufasir. Selain itu terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan umat karena terlampau teoritis.
Sampai pada awal abad modern, penafsiran dengan berdasarkan urutan mushaf masih dapat ditemukan. Tafsir al-Manar, yang dikatakan Ibnu Asyur (JR) sebagai karya trio reformis dunia islam; Afghani, Abduh dan Ridha, disusun dengan metode tersebut. Demikian pula karya karya reformis lainnya seperti, al-Qasimi, al-Maraghy, Izzat Darwaza dan Ibnu Asyur. Yang membedakan karya-karya modern dengan klasik, para mufasir modern tidak lagi terjebak pada penafsiran-penafsiran teoritis, tetapi lebih bersifat praktis. Jarang sekali ditemukan dalam karya mereka pembahasan gramatikal yang bertele-tela. Seolah-olah mereka ingin cepat sampai ke fokus permasalahan yaitu menuntaskan persoalan umat.
Sampai di sini, penulis merasa lebih sreg menyebut metode ini dengan metode maudhi’iy (sesuai tempat atau posisi ayat yang berurutan). Menyebutnya dengan tahlily, dengan pengertian analisis, terasa tumpang tindih dengan yang dikenal sebagai metode maudhu’iy (tematis atau topikal). Sebab karya-karya modern, meski banyak yang disusun sesuai dengan urutan mushaf tidak lagi mengurai penjelasan secara rinci. Bahkan tema-tema persoalan umat banyak ditemukan tuntas dalam karya seperti al-Manar. Demikian pula, metode maudhu’iy yang berkembang saat ini meski jarang menggunakan analisis gramatikal dalan lainnya, juga masih memerlukan analisis dengan teori-teori ilmu sosial modern misalnya.
Metode kedua yang dikembangkan mufasir modern, seperti telah disinggung, adalah metode maudhu’iy yang membahas tema-tema pokok dalam suatu surat atau ayat-ayat tertentu. Embrionya sudah lama muncul sejak diperkenalkan oleh al-Razy, al-Syathiby, Abu Hayyan dan al-Biqâ’iy. Kesemuanya berpendapat perlunya pemahaman ayat secara utuh. Di samping akan memunculkan sisi kemukjizatan Alquran, metode ini diharapkan mampu menuntaskan persoalan umat.
M. Abduh dalam beberapa karyanya telah menekankan kesatuan tema-tema Alquran. Namun gagasannya tersebut baru diwujudkan oleh murid-muridnya seperti M. Abdullah Diraz (bukan Darraz) dan Mahmud Syaltout. Pendekatan hermeneutik Barat yang diadopsi al-Khuli dalam ittijah adaby nya sebenarnya juga menitik beratkan pemahaman kesatuan teks-teks kitab suci. Al-Khuli misalnya menyatakan, “Yang ideal adalah menafsirkan Alquran secara tematis, tidak menurut urutan mushaf.”
Sejauh ini, penulis masih belum melihat pagar-pagar metodologis yang kuat dalam pengembangan metode ini, khususnya yang dikembangkan Quraish Shihab di IAIN. Sehingga kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti, ‘tingginya subyektifitas penafsir’, ‘penafsiran yang ‘mengikat” generasi berikut’, ‘sebagai justifikasi pendapat mufasir’ juga akan dialaminya.
Quraish memberikan ilustrasi metode maudhi’iy (tahlily) sebagai penyajian makanan dalam bentuk hidangan prasmanan, sedangkan metode maudhu’iy (tematis) diilustrasikan seperti menyodorkan kepada para tamu sebuah kotak makanan. Yang ingin cepat tentu akan memilih kotak ketimbang harus memilih makanan di meja prasmanan. Banyak persoalan umat sekarang menuntut penyelesaian cepat. Maka maudhu’iy tentu lebih tepat. Tetapi yang perlu diingat, kotak-kotak makanan itu tentunya dibuat sesuai dengan dana yang tersedia dan kemampuan kateringnya. Yang membaca karya-karya tematis Quraish dan Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Alquran nya akan dapat merasakan kualitas ‘katering’ masing-masing.
Bentuk lain dari metode penyajian tafsir modern adalah artikel-artikel tafsir yang sering ditemukan dalam kolom-kolom harian. Di tahun 1959, Abdurahman al-Banna, saudara kandung Hasan al-Banna, misalnya, banyak menulis dalam harian umum Kairo, al-Jumhuriyya. Dalam artikel ringkas ini ia menawarkan suatu penafsiran terhadap surah al-Hujurat, di mana Alquran bicara tentang perselisihan dalam masyarakat muslim. Masing-masing ayat dalam surah ini dibahas olehnya dalam lebih dari satu artikel. Hal serupa juga sering dijumpai dalam jurnal al-Manar pimpinan Rasyid Ridha dan Risalat al-Islam pimpinan Syaltout yang mencurahkan pada persatuan umat islam (Al-Taqrib Bayn al-Madzahib).
Metode ini oleh Sayyed Mursy, dosen penulis di Al-Azhar, disebut dengan maudhu’iy muthlak (tidak terikat), sedangkan yang terdahulu disebut maudhu’iy muqayyad (terikat). Agaknya ketiga metode inilah yang banyak digunakan dalam menyajikan pesan-pesan Alquran oleh para mufasir modern. Wallahua`lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar