STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Kamis, 23 Juni 2011

Tafsir Ayat-ayat Gender dalam Al-Quran

(Tinjauan terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur dalam “Bacaan Kontemporer”)
Muhammad ‘Aunul ‘Abîed Shah
Muqaddimah
Membicarakan kaum perempuan dan kedudukannya dalam kehidupan sosial tentulah menarik. Apalagi dalam masyarakat yang —secara umum— bersifat patrilineal (memuliakan kaum lelaki dalam semua aspek kehidupan). Tanpa menggunakan gender sebagai pisau analisa terhadap realita, tidak akan pernah kita dapatkan kejanggalan. Semua “proses” kehidupan berjalan “normal” sebagaimana ghalibnya. Sehingga, tanpa disadari, kita sendiri terjerumus dalam praktek misoginy, sebuah idiom modern yang berarti tindakan penindasan terhadap kaum perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung dan baik berlangsung dengan kasar maupun halus.
Memang, tidak selamanya kekerasan dan ketidakadilan gender dilakukan oleh lelaki terhadap perempuan, melainkan bisa juga terjadi antara perempuan terhadap lelaki. Namun karena relasi kekuasaan gender yang berlangsung di masyarakat, umumnya yang menjadi korban kekerasan gender adalah kaum perempuan. Sayangnya, ketidakadilan tersebut belum bisa dirasakan oleh semua pihak, termasuk oleh sebagian besar kaum perempuan yang menjadi korbannya. Menurut Mansour Fakih, hal itu disebabkan karena mereka belum memiliki kesadaran dan sensitivitas gender.

Dan ketika alat analisa gender dalam ilmu-ilmu sosial ditemukan, barulah terasa ada “yang tidak beres” dalam keseharian hidup kita. Satu contoh, Hampir semua ulama Fiqh (hukum Islam) pada periode awal telah “lengah” dalam menafsirkan ayat-ayat gender dalam al-Qur’an, sehingga mereka memahaminya secara literal. Akibatnya, tidak heran kalau hukum Islam banyak menghadapi serangan gencar di abad modern, dengan tuduhan telah “menindas” kaum perempuan dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat “kelas dua”. Di lain pihak, kita sendiri cenderung “menganggap benar” atau paling tidak “menganggap biasa” praktek misoginy yang terjadi, seperti justifikasi makna literal ayat al Qur’an “al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ’”, dengan alasan bahwa prosentase akal dalam diri perempuan hanya 1%, sedangkan 99% yang lain dikuasai oleh emosi. Ada juga yang mengatakan bahwa akal kaum perempuan hanya setengah kemampuan akal laki- laki. Tidak heran kalau kaum perempuan cenderung bertindak emosional (Bâhitsât al-Bâdiyah: hal. 62). Dan mengenai sifat emosional ini, Allah SWT berfirman: “Inna al-nafs la ammâratun bi al-sû’”(Sesungguhnya jiwa itu betul-betul mendorong kepada kejelekan). Jadi, sangatlah logis kalau mereka tidak dibebani dan tidak boleh diberi tanggung jawab di luar batas kemampuan “kodrati” tersebut. Sampai kaum perempuan sendiri —secara apologis— seringkali “membenarkan” pandangan seperti ini. Bahkan mereka menjadikan ayat-ayat tersebut untuk menjustifikasikan ketidakmampuan diri dan berperilaku bak cinderella yang hanya bisa di- “lindungi”, di-“tolong”, di-“jaga” dan di-“perhatikan”.
Kiranya, latar belakang ini telah mendorong Muhammad Syahrur, dalam buku kontroversialnya “al-Kitâb wa al-Qur’ân”, untuk mencoba menerapkan metodologi semantiknya terhadap ayat-ayat gender yang terdapat dalam al-Qur’an.
Penggunaan istilah ayat-ayat gender terhadap ayat-ayat yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan —kiranya— lebih tepat daripada, misalnya, ayat-ayat Nisâ-iyah atau ayat-ayat perkawinan. Penggunaan istilah “Nisâ-iyah” (atau Fiqh al-Nisâ’) yang dinisbahkan kepada “al- Nisâ’” (kaum perempuan) terasa kurang tepat, karena menyiratkan bahwa subyek aktiv dalam interaksi kehidupan yang terdapat dalam ayat itu hanya kaum perempuan. Padahal, kenyataannya, secara teknis kaum lelaki juga terlibat di dalamnya. Penggunaan istilah ayat-ayat perkawinan juga kurang bisa diterima, karena sebagian di antara ayat-ayat tersebut —meskipun bisa dimasukkan dalam lingkup perkawinan—, ternyata cakupannya lebih luas dari itu.
Sedangkan pengertian istilah Gender berbeda dengan jenis kelamin (sex). Gender adalah pembagian lelaki dengan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun kultural. Istilah ini pertama digunakan oleh Ann Oakley dan didefinisikan sebagai: “Behavior differences between women and men that are socially constructed —created by men and women themselves; therefore they are matter of culture.” Sementara, jenis kelamin (sex) lebih merupakan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis atau ketentuan Tuhan.(Fakih, 1996: hal. 1-2)

Metodologi Tafsîr Syahrur terhadap Ayat-ayat Gender
Selayaknya penulis membahas terlebih dahulu metodologi kontroversial Syahrur dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an, secara lengkap dan mendetail. Tetapi hal itu bukanlah obyek utama dari kajian kita pada kesempatan yang terbatas ini. Apalagi pada beberapa edisi sebelumnya, Nuansa telah mempublikasikannya. Sehingga, cukuplah kiranya, kalau penulis hanya membahas ide-ide Syahrur yang berkaitan dengan ayat-ayat gender. Dalam konteks ini, Syahrur menulis:
    Bahwasanya kajian tentang kedudukan perempuan dalam Islam termasuk dalam bidang yang sangat sensitiv. Dan sudah banyak yang mencoba mengkajinya, baik dari kalangan “pendukung“ Islam maupun kelompok yang “memusuhi“ Islam. Meskipun demikian, saya tidak yakin bahwa sudah ada yang melakukan kajian orisinil terhadap obyek ini, dengan bertolak dari perspektiv pertentangan (yang terus menerus, pen) antara kelompok substansialis yang formatnya bisa berubah (Dalam bahasa Syahrur disebut sebagai al Hanîfîyah) dan kelompok formalis yang statis (Baca: al Shirâth al Mustaqîm atau al Istiqâmah) —dalam ajaran Islam— di satu sisi, dan pertentangan keduanya dengan fitrah kemanusiaan di sisi lain, seraya menjadikan konsep al-hudûd sebagai pilar utama (Syahrur, 1992: hal. 592 )
Kemudian ia memaparkan pandangannya tentang penafsiran ayat-ayat gender sebelumnya, dengan menyebut kesalahan-kesalahan para penafsir terdahulu sebagai berikut:
  1. Dalam klaim Syahrur, kesalahan utama Fiqh Islam dan Tafsîr al-Qur’an konvensional yang ada sekarang bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks kitab suci. Akibatnya hukum Islam yang ada sekarang membebani punggung ummat dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi-kondisi abad ke-20. (Al-‘Ourî: hal. 127)
  2. Bahwa hukum-hukum Islam tentang kaum perempuan mempunyai sifat yang sama dengan hukum-hukum Islam tentang perbudakan, yang tidak menggunakan cara revolusi dalam menuntut perubahan. Keduanya dilakukan secara berangsur-angsur. Karena itu, harus dikatakan bahwa emansipasi kaum perempuan dalam Islam telah dimulai dari zaman Nabi saw dan belum berakhir, sebagaimana halnya dengan pembebasan budak. Karena itu, dengan bersandarkan kepada ayat-ayat hudûd, “program” perbaikan kondisi sosial kaum perempuan harus tetap berlanjut.
  3. Kesalahkaprahan para ulama dalam menafsirkan QS. Ali ‘Imrân: 14 serta QS. Al-Baqarah: 223, sudah menjebak mereka dalam kesalahan fatal: Memposisikan perempuan sebagai harta-benda milik laki-laki. Kesalahan ini dilatari oleh ketidaktahuan mereka terhadap konsep hudûd dalam penafsiran al-Qur’an kontemporer.
  4. Bahwa Islam, pada hakikatnya, meletakkan perempuan dalam posisi yang seimbang. Perhatikan, misalnya, QS. Al-Baqarah: 182 (Hunna libâs lakum wa antum libâs lahunna). Islam juga menyamakan lelaki dan perempuan dalam sistem hukum, tanpa memandang perbedaan yang ada, baik perbedaan fisik (seperti QS. Al-Najm: 45 dan QS. Al-Dzâriyât: 49), maupun perbedaan kemampuan akal (seperti QS. Al-Hujurât: 13 dan QS. Al-Isrâ’: 70).
  5. Syahrur menamakan bukunya “Al Kitâb wa al Qur’ân: Qirâ’ah Mu‘âshirah”. Sub judul “Bacaan Kontemporer” (Qirâ’ah Mu‘âshirah) menyiratkan adanya unsur perkembangan arti sesuai dengan bertambahnya masa. Dalam konteks ayat-ayat gender ini, adalah logis —menurut Syahrur— kalau para ulama terdahulu belum mengetahui adanya teori perbatasan (al-hudûd) ini, karena teori ini baru ditemukan oleh Newton pada awal abad modern. Dan masalah perbatasan (al-hudûd) termasuk masalah pelik yang hanya mampu dipahami oleh manusia terdidik (baca: educated, mutahadldlir). Lawannya adalah orang “kampungan”, tidak berpendidikan dan tidak berperadaban. Untuk konteks kearaban, mereka disebut sebagai orang bedouin (badui) atau al-A‘rab.Karena itu, Allah berfirman: Al-A‘râb asyadd kufran wa nifâqan wa ajdar an lâ ya‘lamû hudûd Allah (QS. Al- Tawbah: 97).
  6. Dalam interpretasi ayat-ayat gender, Syahrur banyak berpegang kepada konsep al-hudûd yang yang dirumuskannya (al-had al adnâ —perbatasan maksimal, al had al a‘lâ —perbatasan minimal— dan mâ baynahumâ —yang di antara keduanya). Ia menuduh bahwa kesalahan para fuqahâ’ disebabkan karena mereka mencampur-adukkan ayat-ayat gender yang terdapat dalam Umm al- Kitâb, antara yang bersifat hudûd dengan yang bersifat ta‘limât. Ayat-ayat yang bersifat ta‘limât bisa dilanggar atau tidak dikerjakan, atau malah mengerjakan yang sebaliknya, karena ia hanya sekedar petunjuk etis. Sedangkan ayat-ayat hudûd harus bisa mentolerir perilaku-perilaku anak manusia, selama perilaku tersebut masih dalam batasan mâ baynahumâ dan belum melewati perbatasan al-adnâ (minimum) ataupun yang al-a‘lâ (maksimum). (Al- Syawwâf, 1993: hal. 24)
  7. Bertolak dari pandangan di atas, perlu ditekankan bahwa QS. Al-Nûr: 31 termasuk ayat-ayat yang menjelaskan batasan-batasan dalam adab berpakaian. Begitu juga QS. Al-Nisâ’: 3 termasuk ayat-ayat yang menjelaskan batasan-batasan dalam berpoligami. Di lain pihak, QS. Al-Ahzâb: 59 termasuk ayat-ayat ta‘limât.
  8. Di dalam menafsirkan kitab suci al-Qur’an, Syahrur bersandar kepada metode semantik Abû ‘Alî al Fârisî yang bisa didapatkan dalam khazanah pemikiran Ibn Jinnî dan ‘Abdu-l-Qâdir al- Jurjânî. Di samping itu, ia juga menggunakan ilmu linguistik modern dengan premisnya bahwa semua lisan kemanusiaan —termasuk lisan kearaban— tidak mempunyai satu katapun yang sinonim. Sehingga, sebuah makna kata bisa tereduksi oleh proses evolusi sejarah atau —lebih dari itu— bisa juga membawa tambahan arti lebih dari kata lain yang serupa, tapi tak sama. Dalam hal ini, Tsa‘lab mempunyai postulat terkenal: “Ma yudhann fi al-dirâsah al-lughawiyah min al-mutarâdifât huwa min al-mutabâyinât.” (Apa yang sebelumnya diduga dalam kajian bahasa sebagai kata-kata yang sinonim —sebenarnya— termasuk di antara kata-kata yang mempunyai arti berbeda). Karena itu, Syahrur memilih Kamus Maqâyîs al-Lughah karya Ibn Fâris sebagai referensi utama dalam mencari perbedaan makna kata-kata yang dikajinya.(Al-Banna, 1996: hal. 126)

Membaca Penafsiran Syahrur
Sebelum mengkaji lebih jauh, perlu kiranya mendefinisikan “Perempuan” dalam Islam: Apakah itu “Perempuan” ? Allah sudah mendefinisikan perempuan dan —juga— laki-laki dalam dua perspektiv yang berbeda: Yang pertama dalam perspektivnya sebagai makhluq hidup secara fisiologis (baca: al- basyar) dan dalam perspektiv yang kedua, sebagai manusia yang berlogika dan mempunyai kesadaran (baca: al-insân).
Dalam perspektiv yang pertama, Allah berfirman: Wa min kulli sai’in khalaqNâ zawjayn la‘allakum tadzakkarûn (QS. al Najm: 45). Dalam perspektiv ini, manusia (laki-laki dan perempuan) tidak berbeda dengan makhluq Allah yang lain. “Perempuan” termasuk dari golongan manusia, sedangkan “betina” berasal dari golongan hewan. Keduanya sama-sama mempunyai susunan fisiologis yang bisa menerima pembuahan, bisa hamil dan melahirkan, menyusui dan punya kemampuan untuk membina keturunan. Dalam konteks ini, perempuan dan betina sama saja. Sedangkan “laki-laki” adalah pasangannya perempuan, lawan jenisnya, dan berinteraksi dengannya dalam hubungan yang saling mempengaruhi. Laki-laki mempunyai potensi untuk membuahi. Dan dalam konteks ini, laki-laki tidak berbeda dengan hewan jantan.
Sedangkan dalam perspektiv yang kedua, Allah berfirman: Yâ ayyuhâ al-nâs innâ khalaqNâkum min dzakar wa untsâ wa ja‘alNâkum syu‘ûban wa qabâila li ta‘ârafû, inna akramakum ‘inda Allah atqâkum (QS. Al-Isrâ’: 70). Dari ayat ini bisa dipahami bahwa, yang dimaksud dengan kata “al-Nâs” dalam firman-Nya berlaku untuk kedua jenis: laki-laki dan perempuan. Begitu juga kalau Ia menggunakan kata-kata “Ya ayyuhâ-l-ladzîna âmanû”, khithâbnya juga ditujukan kepada semua pihak, baik berkelamin laki-laki maupun yang berkelamin perempuan.
Maka, Allah SWT telah memuliakan semua jenis manusia dengan nilai-nilai kemanusiaannya. Allah tidak pernah melebihkan salah satu jenis dari jenis yang lain, kecuali dengan kualitas amal-perbuatannya sebagai standar penilaian. Berarti, kaum perempuan mempunyai derajat yang sama dengan kaum lelaki. Ia juga mempunyai hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menyalurkan keinginan dan aspirasinya, selama situasinya memungkinkan. Sehingga, mitos yang menyatakan bahwa “kaum perempuan adalah golongan yang kualitas akalnya kurang dan nilai agamanya rendah” harus ditinjau kembali.
Untuk sekedar contoh, di antara bentuk interpretasi baru yang ditawarkan oleh Syahrur adalah pengertian ayat-ayat berikut ini:
  1. Nisâ’ukum hartsun lakum fa’tû hartsakum annâ syi’tum wa qaddimû li anfusikum wattaqû Allah wa‘lamû annakum mulâqûhu wa basysyir al-mu’minîn (QS. Al-Baqarah: 223)
    Makna kata: Kata al-Nisâ’ —menurut Syahrur— adalah bentuk jamak (plural) dari kata al-Nasî’ah, yang berarti (hasil usaha, pen) yang datang belakangan/ terlambat (al-mutaakhhar) atau yang baru muncul (al-mustajid). Berbeda dengan penafsiran umum yang mengartikannya sebagai bentuk jamak dari al-mar’ah (=perempuan), min ghayr lafdzihâ (tanpa mengikuti bentuk katanya). Sedangkan kata al-harts berarti mengumpulkan (al-jam‘) dan mencari penghasilan (al-kasb) yang berkenaan dengan materi. Berbeda dengan penafsiran umum yang mengartikannya sebagai melempar bibit di atas muka bumi dan disebut juga sebagai ladang. Sedangkan kata ganti (dlamîr) “-kum” adalah kata ganti orang kedua jamak, yang dalam bahasa Arab lazim digunakan untuk kedua jenis kelamin, apabila terdapat dalam susunan katanya qarînah (embel-embel, keterangan) yang menjelaskan maksud.
    Pengertian ayat: Dari pengertian kosa-kata di atas, kita bisa menerjemahkan ayat tersebut dalam sebuah format baru yang berbeda dengan yang biasa dikenal: “Hasil usaha kalian (wahai laki-laki dan perempuan, pen) adalah kapital yang kalian kumpulkan dari pekerjaan kalian. Maka perlakukanlah pekerjaan kalian seperti yang kalian kehendaki. Dan kerjakanlah perbuatan yang menguntungkan kalian dan bertakwalah kepada Allah (dalam pekerjaan kalian itu, pen). Serta ketahuilah bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang- orang yang beriman.”
  2. Zuyyina li-l-nâs hubb al-syahawât min al-nisâ’ wa-l-banîn wa al-qanâthir al-muqantharah min al-dzahab wa al-fidldlah wa-l-khayl al-musawwamah wa al-an‘âm wa al-harts, dzâlika matâ‘ al hayât al-dunyâ wa Allah ‘indahu husnu-l-ma’âb (QS. Àli ‘Imrân: 14)
    Makna kata: Sebagaimana yang disinggung di atas, kata al-Nâs mencakup kedua jenis: Laki-laki dan perempuan. Begitu juga kata al-Nisâ’ berarti yang datang belakangan/terlambat atau sesuatu yang baru muncul. Sedangkan kata al-banûn merupakan bentuk jamak dari kata al-Abniyah, yang berarti benda-benda yang tidak mudah dipindahkan (bangunan). Berbeda dengan penafsiran umum yang mengartikannya sebagai bentuk jamak dari kata al-Ibn dan asal katanya al-banawun, yang artinya adalah “anak”.
    Pengertian ayat: Dari pengertian kosa-kata di atas, kita bisa menerjemahkan ayat ini dalam sebuah format baru: “Difithrahkan dalam diri ummat manusia kecenderungan untuk menyukai hasil kerjanya, bangunan-bangunan megah, harta berlimpah yang terbuat dari emas dan perak, kuda pilihan dan binatang-binatang dari jenis ternak serta pekerjaan/profesi yang menghasilkan keuntungan. Semua itu adalah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).”
  3. Wa-l-yadlribna bi khumurihinna ‘alâ juyûbihinna wa lâ yubdîna zînatahunna illa li bu‘ûlatihinna... ... ... ... wa lâ yadlribna bi arjulihinna li yu‘lama ma yukhfîna min zînatihinna ... ... ... (QS. Al-Nûr: 31)
    Makna kata: Asal kata al-dlarb dalam bahasa Arab mempunyai dua arti. Yang pertama adalah melangkah di atas muka bumi untuk kepentingan profesi, perdagangan dan jalan-jalan (perhatikan QS. Al-Nisâ’: 94 dan 101, QS. Al-Mâ’idah: 106). Sedangkan yang kedua berarti pembentukan, menjadikan dan pelaksanaan (QS. Ibrahim: 45). Adapun kata al-khumur berasal dari al-khamr yang berarti penutup. Sedangkan kata Juyûb adalah bentuk jamak dari kata al-jayb, yang berarti suatu hal yang terbuka dan mempunyai dua tingkat, tidak sekedar satu. Berbeda dengan penafsiran umum yang mengartikannya sebagai kantong atau lubang pakaian. Penafsiran ayat: Kita bisa menerjemahkan ayat di atas sebagai berikut: “Dan jadikanlah kain penutup tubuh kalian di atas bagian yang tubuh yang berlekuk/bercelah dan mempunyai tingkat....”. Selanjutnya, “Dan janganlah kalian (wahai kaum perempuan) berprofesi yang menunjukkan perhiasan diri kalian yang tersembunyi (baca: al-juyûb, lekuk tubuh mempunyai celah dan bertingkat).”
Bisa dipahami dari pengertian di atas, bahwa al-khimâr yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan penutup kepala seperti yang lazim diketahui. Al-Khimâr yang dimaksud mencakup segala macam penutup tubuh, baik kepala maupun anggota badan yang lain. Adapun anggota tubuh yang berlekuk, bercelah dan mempunyai tingkat —bagi kaum perempuan— adalah bagian di antara kedua belah buah dada, bagian di bawah buah dada, di bawah ketiak, kemaluan dan kedua bidang pantat. Kalaulah ada yang mempertanyakan: Bukankah hidung, mata dan mulut bisa dimasukkan juga dalam kategori al-juyûb dalam pengertian ini ? Syahrur menjawab, memang betul demikian adanya. Tetapi perlu digaris-bawahi bahwa mulut, hidung dan mata adalah al-juyûb al-dhâhirah (yang —biasa— terlihat) bukan al-khâfiyah (yang —harus— tersembunyi). Apalagi bagian-bagian itu terletak di wajah yang merupakan identitas pengenal diri manusia.
Sedangkan larangan yang tersebut dalam “wa lâ yadlribna bi arjulihinna” dimaksudkan agar kaum perempuan tidak menampakkan bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyûb. Berarti, Allah melarang kaum perempuan beriman untuk bekerja dalam bidang-bidang yang menampakkan bagian tubuh yang terlarang, seperti profesi penari striptease dan prostitusi. Berarti juga, diperbolehkan bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam bidang- bidang profesi yang tidak termasuk dalam kategori ini.
Apabila dikaitkan dengan konsep Syahrur tentang al-hadd al-adnâ (perbatasan minimal) dan al-hadd al-a‘lâ (perbatasan maksimal), kemudian dibandingkan dengan hadits Nabi saw bahwa seluruh bagian tubuh perempuan adalah ‘aurat, kecuali wajah dan telapak tangan, maka bisa dikatakan di sini: Bahwa al-hadd al-adnâ dari bagian tubuh yang harus ditutup adalah bagian-bagian yang termasuk kategori al-juyûb, sedangkan al-hadd al-a‘lâ-nya adalah bagian- bagian mâ dhahara minhâ (wajah, telapak tangan dan telapak kaki). Konsekwensinya, seorang perempuan yang menutup seluruh bagian tubuhnya telah melanggar hudûd Allah, begitu juga kaum perempuan yang memperlihatkan tubuhnya lebih dari yang termasuk kategori al-juyûb. Dan diperbolehkan bagi kaum perempuan untuk berpakaian “sekehendaknya”, selama masih dalam batasan antara keduanya dan tidak dimaksudkan untuk menunjukkan al-zînah al- khâfiyah (perhiasan yang harus disembunyikan).

Analisa Kritis terhadap Ayat-ayat Gender dalam “Bacaan Kontemporer”
Buku al-Kitâb wa al-Qur’ân dengan metodologi dan berbagai idenya memang telah memberikan warna baru dalam interpretasi teks al-Qur’an. Karena merupakan pemikiran yang baru sama sekali, tidak heran kalau menghadapi banyak tantangan. Sampai saat ini, sudah ada beberapa buku yang terbit sebagai reaksi balik terhadapnya, baik dari kelompok yang mendukung (seperti Jamal al-Banna dan Halah al-‘Ourî), maupun dari kelompok yang mendapatkan banyak kejanggalan di dalamnya (Seperti Khaled al-‘Akk, Salîm al-Jâbî, Munir al-Syawwâf dan Ahmed ‘Omrân).
Nada “tidak setuju” yang digaungkan oleh lawan-lawan pemikiran Syahrur, sebenarnya, bisa dibagi dalam dua argumen pokok:
  1. Yang bisa dikatakan sebagai kesalahan utama Syahrur dalam “Bacaan Kontemporer”-nya adalah pelanggaran terhadap metodologi tafsir al-Qur’an yang secara ilmiyah sudah dianggap baku (al- ‘Akk,1994: hal. 5). Dan menurut Salîm al-Jâbî, karena tidak mengikuti petunjuk yang sudah ada, permisalan Syahrur adalah seperti orang yang meraba-raba apa yang akan terjadi di masa depan tanpa memiliki landasan apapun. Ia pun menuding Syahrur dengan sebuah postulat Arab yang terkenal “Kadz-dzaba al-munajjimûn wa law shadaqû” dan firman Allah SWT “Wa man adhlam min man iftarâ ‘ala Allah al-kadziba wa huwa yud‘â ilâ al-Islâm”.(Al-Jâbî, 1992: hal. 7)
  2. Bahwa sumber utama pemikiran Syahrur adalah dialektika marxisme, sebagaimana yang tersirat dari judul bukunya “Qirâ’ah Mu‘âshirah”. Berarti —sebagaimana yang dikatakan oleh Munir al-Syawwâf, bahwa waktu adalah landasan pemahaman dan pemikiran anak manusia untuk memenuhi segala kebutuhannya dan bahwa realita material adalah sumber ilmu pengetahuan. (Al- Syawwâf, 1993: hal. 29-30)
  3. Di sisi lain, ada sebagian pakar Tafsîr —contohnya Prof. Dr. Ibrâhîm ‘Abdurrahmân Khalîfah, ketua Dept. Tafsîr dan Ilmu-ilmu al-Qur’an, Fak. Ushuluddin, Universitas al-Azhar di Kairo— yang berpendapat bahwa “sebuah penafsiran makna ayat al-Qur’an yang menyimpang dari pengertian yang terdetik dalam pikiran (al-mutabâdir fî al-fahm) bisa disinyalir sebagai penafsiran yang lebih dekat kepada kesalahan, apalagi kalau diikuti oleh kejanggalan-kejanggalan dari aspek yang lain. (Khalîfah,1994: Vol. II)
Dalam kesempatan yang sangat terbatas ini, penulis hanya akan membatasi analisa penulis kepada obyek kajian kita kali ini, yaitu, ayat-ayat gender dalam “Bacaan Kontemporer”:
  1. Tentang konsep bacaan kontemporer yang ditawarkan oleh Syahrur, khususnya tentang konsep al-hudûd, mungkin kita perlu bertanya: Apakah benar bahwa pengertian yang dipaparkan Syahrur, dalam bukunya itu, adalah pengertian yang dimaksud oleh Allah SWT, yang telah menurunkannya kepada Nabi saw ??? Apalagi, dengan terang-terangan, Syahrur menisbahkannya kepada Newton, seorang ilmuwan di zaman pra-modern, bukan pakar Tafsîr al-Qur’an dan lebih dari itu adalah seorang non muslim yang tidak tahu menahu sama sekali akan kebenaran dan —bahkan juga— tidak pernah mendengar akan adanya al-Qur’an. Ataukah pengertian tersebut termasuk penafsiran sains yang dipaksakan terhadap al-Qur’an dan sama sekali bukan dari al-Qur’an, seperti yang dikhawatirkan oleh Imam al-Syâthîbî dalam al-Muwâfaqât dan Sheikh Amîn al-Khûlî dalam Manahij al-Tajdîd ??? (Al-Khûlî, 1995: hal. 219-223)
  2. Kemungkinan untuk meletakkan ayat-ayat gender dalam posisi yang sama dengan ayat-ayat tentang perbudakan, mungkin, perlu dikaji lebih teliti, karena perbedaan berikut:
    • Bahwa sistem perbudakan adalah pilar perekonomian masyarakat Arab pada waktu itu. Sehingga, penghapusan sistem ini akan sangat mengganggu roda perekonomian ummat dan menimbulkan reaksi destruktiv terhadap da’wah Islam. Bandingkan saja, misalnya, dengan Keputusan Presiden Amerika, Abraham Lincoln, yang secara tiba-tiba menghapuskan sistem perbudakan. Ternyata, Keppres tersebut secara serta merta mengobarkan perang sipil yang berkepanjangan dan memakan banyak korban. Karena itu, dengan penuh kebijaksanaan, ajaran Islam menghapuskannya secara evolutiv, seraya memposisikan orang yang takwa dalam derajat kemuliaan —walaupun ia budak— dan mendorong ummatnya untuk membebaskan budak (fakk raqabah).
    • Perempuan dalam Islam bukan berkedudukan sebagai budak laki-laki (raqîqah), melainkan pasangan hidup yang setara (rafîqah). Dan hukum-hukum yang berkenaan dengan kaum perempuan telah diturunkan secara final dalam al-Qur’an, seperti hak waris, hak-hak dalam perkawinan, persamaan dalam norma berpakaian dan sistem hukum pidana, hak menuntut ilmu dan kewajiban berjihad di jalan Allah, dan sebagainya.(‘Omran, 1995: hal. 470-471). Kesimpulannya, ada kaidah Ushûl al-Fiqh mengatakan: Al-qiyâs ma‘a al-fâriq bâthil.
  3. Metodologi semantik an sich (dengan berdasarkan kepada pengertian yang terdapat hanya dalam kamus), yang digunakan oleh Syahrur dalam menafsirkan al-Qur’an, akan menjurus kepada penafsiran yang “kering” dan jauh dari makna yang terpahami secara integral dalam susunan ayat al-Qur’an. Kejanggalan ini bisa dilihat dari penafsirannya terhadap QS. Al-Baqarah: 223, bila dihubungkan dengan ayat sebelumnya, QS. Al-Baqarah: 222.(Al-Banna, 1996: hal. 133)
  4. Menurut metodologi Tafsîr yang baku, di antara yang membawa penafsir kepada pemahaman yang lebih mendekati kebenaran adalah merujuk kepada asbâb al-nuzûl (konteks peristiwa turunnya) ayat tersebut. Karena, dari asbâb al-nuzûl itu, bisa diketahui latar-belakang turunnya ayat itu dalam kerangka zamannya. Ternyata, penafsiran semantik murni ala Syahrur sama sekali tidak memperhatikan background ini, sehingga terbawa oleh imajinasinya kepada thesa yang kurang bisa dibenarkan. Sebagai contoh, penafsiran Syahrur terhadap QS. Al-Baqarah: 223, yang sangat kontradiktiv dengan sabab al-nuzûl yang diriwayatkan oleh Abû Dawûd dan al-Hakîm dari Ibn ‘Abbâs ra, bahwa Ibn ‘Umar ra menceritakan keengganan beberapa perempuan Anshar untuk melayani suaminya (yang berasal dari kaum Muhajirin) dalam variasi seni bercinta, dengan berargumentasikan mitos yang menjadi kepercayaan orang Yahudi Madinah saat itu. (Al-Suyûthî: hal. 76 )
  5. Konsekwensi dari penafsiran Syahrur tentang pakaian wanita dalam al-Qur’an, menjurus kepada dua kesimpulan yang terlalu riskan:
    • Bahwa berpakaian termasuk di dalam ayat-ayat ta‘lîmât, yang boleh tidak dikerjakan. Karena manusia secara natural diciptakan telanjang. Firman Allah SWT, Yâ banî Àdama qad anzalNâ ‘alaykum libâsan yuwârî saw-atakum warisyâ (QS. Al-A‘râf: 26). Ayat ini, dalam klasifikasi Syahrur termasuk dalam ayat-ayat ta‘lîmât. Adapun perintah yang bersifat hudûd, hanya wajib dikerjakan apabila perempuan atau lelaki itu berkumpul dengan orang-orang non-muhrim/bukan suaminya. Firman Allah, lâ li bu‘ûlatihinna ... ... .... (QS. Al-Nûr: 31)
    • Bahwa hampir semua bentuk pakaian penduduk dunia, dengan beranekaragam modelnya, masih disyahkan menurut agama, karena masih termasuk dalam kategori baynahumâ: Menutup al-juyûb (di antara payudara, di bawah payudara, ketiak, pantat dan kemaluan) sebagai al-hadd al-adnâ dan menutup seluruh tubuh kecuali mâ dhahara minhâ (wajah, telapak tangan dan telapak kaki) sebagai al-hadd al-a‘lâ. Konotasinya, bahwa kaum perempuan masih diperbolehkan untuk memamerkan paha, mempertontonkan betis, memperlihatkan perut dan menampakkan rambut.
  6. Akhirnya, kalau kita mengikuti pendapat Ibrâhim ‘Abdurrahmân Khalîfah, sulit kiranya untuk menerima penafsiran Syahrur. Karena banyak pengertian kosa-katanya yang berbeda dengan pengertian yang biasa dikenal, ditambah lagi dengan adanya kejanggalan-kejanggalan yang membuat penafsiran Syahrur patut dipertimbangkan kembali.

Khatimah
“Bacaan Kontemporer” ini adalah sebuah karya monumental yang patut dihargai dalam bidang kajian al-Qur’an. Komitmen keislaman penulisnya yang tinggi dan wawasannya yang luas terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, telah membuka cakrawala baru bagi diskursus pemikiran keislaman. Lebih dari itu, harus diakui pula bahwa Syahrur telah memberikan kontribusinya dalam upaya melepas ummat dari belenggu stagnasi pemikiran dan —khususnya dalam konteks tulisan ini— memecahkan problem ketidakadilan gender.
Sayangnya, karena kelemahan-kelemahannya yang —bagaimanapun— sangat manusiawi, Syahrur belum berhasil memberikan jawaban yang bisa diterima oleh semua pihak, terutama oleh para pakar Tafsir al-Qur’an, yang notabene dianggap lebih berkompeten. Sehingga, berbagai masalah kekinian —termasuk praktek misoginy— tetap harus dicarikan pemecahan legal (baca: syar‘iyah islâmiyah) yang lebih tuntas.
Yang terakhir, penulis hendak berapologi atas segala kekurangan yang ada dalam pemaparan ini. Seandainya boleh penulis mencari alasan, tentu penulis akan berlindung di balik argumen keterbatasan tempat dan keterbatasan waktu: Tempat yang tersedia untuk menuangkan fikrah dan waktu yang selalu saja tidak mencukupi tuntutan kesibukan. Tetapi hakikat yang sebenarnya, tentu saja, berpulang kepada keterbatasan kemampuan penulis sendiri yang tidak seberapa. Penulis hanya bisa berharap bahwa tulisan ini membawa manfaat bagi mereka yang mempunyai kepentingan dalam bidangnya atau, paling tidak, berminat dan konsern terhadap diskursus keislaman kontemporer. Wa Allah A‘lam bi al-shawâb.

Daftar Kepustakaan
  1. Al-Qur’an al-Karîm
  2. Bahitsat al Badiyah, Al Nisâ’iyât, Dar al Huda, Kairo, tt
  3. Fakih, Mansour, Kekerasan Gender dalam Pembangunan, Makalah Halaqah “Budaya Kekerasan dalam Pandangan Islam”, P3M, Jakarta, 1996
  4. Syahrur, Muhammad, Al Kitâb wa al Furqân, Sina Publisher, Kairo, cet. I, 1992
  5. Al-Banna, Jamal, Nahwa Fiqh Jadîd, Dar al Fikr al Islamy, Kairo, cet. I, 1996
  6. Al-Khûlî, Amîn, Manâhij Tajdîd, Hay’ah Mishriyah ‘Ammah li al Kitâb, Kairo, 1995
  7. Khalîfah, Ibrâhîm ‘Abdurrahmân, Minnat al Mannân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Al-Azhar, Kairo, 1994, Vol. II
  8. Al-‘Ourî, Halah, Qirâ’ah fî Kitab al Kitâb wa al-Qur’an, Dar al Fikr al-Islamî, Kairo, t.t.
  9. Al-‘Akk, Khaled ‘Abdurrahman, Al-Furqân wa al Qur’ân, Al-Hikmah, Damaskus, 1994
  10. Al-Jâbî, Salîm, Mujarrad Tanjîm, 3 Volume, Akâd, damaskus, 1992-1993-1994
  11. Al-Syawwâf, Munir Muhammad Thahir, Tahâfut Qirâ’ah Mu‘âshirah, Al-Syawwâf, Limassol, Cyprus, 1993
  12. ‘Abdu-l-Bâqî, Muhammad Fuad, al-Mu‘jam al-Mufahharas, Muassasah Jamal, Beirut, t.t
  13. Al-Ashfahânî, Al-Râghib, Mufradât Alfâdz al-Qur’an, Dar al-Qalam, Damaskus, 1992
  14. ‘Omrân, Ahmad, al-Qirâ’ah al-Mu‘âshirah li al-Qur’an fî al-Mîzân, Dar al-Nafâ-is, Beirut, 1995
  15. Al-Suyûthî, Jalaluddin, Asbab al-Nuzûl, (Dalam Muhammad Hassan al-Hamshî, Al-Qur’an al-Karîm: Tafsîr wa Bayân), Dar al-Rasyîd, Damaskus, t.t

Tidak ada komentar:

Posting Komentar