STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 28 Juni 2011

TAFSIR SURAT AL-FATIHAH

Pendahuluan
Surat ini dinamai al-Fatihah karena sebagai pembukaan atau mukaddimah dari al-Qur’an, dinamai Ummul Kitab atau Ummul Qur’an karena ia merupakan resume atau induk dari kitab suci yang agung itu. Surat ini disebut juga al-Sab’ul Matsani atau “Tujuh yang selalu berulang”, karena ia terus menerus dibaca secara berulang-ulang oleh setiap muslim dalam shalatnya. Selain nama-nama di atas, surat al-Fatihah ini disebut juga al-Asas, karena dianggap sebagai asas dari al-Qur’an.
Sesuai dengan nama tersebut diatas, asas-asas ajaran Islam terangkum dalam surat ini, yaitu:

1. Tauhid
            Ajaran mengenai suatu kepercayaan dan keyakinan yang menyatakan bahwa Allah itu Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan serta tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Ajaran tauhid ini merupakan pokok darai ajaran tentang keimanan kepada Allah dan keimanan kepada yang lainnya, seperti iman kepada para malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhirat, dan lain sebagainya. Ajaran tauhid ini tercantum dalam ayat “Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin”, juga tercantum pada ayat kelima.

2. Ibadat
            Ibadah adalah merupakan bukti-bukti keimanan seseorang atau buahnya. Manusia yang beriman kepada Allah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya, ia akan menyembah dan beribadah kepada-Nya sebaik mungkin. Bimbingan mengenai ibadah tercantum dalam ayat “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” dan pada ayat keenam.

3. Hukum dan peraturan
            Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat, Allah swt menetapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturann-Nya. Hukum dan peraturan itu mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan sesamanya itu menyangkut hubungan sosial, ekonomi, politik, peradaban, kebudayaan, dan pertahanan. Ajaran ini terangkum dalam ayat “Ihdinash shirathal mustaqim”.

4. Janji dan peringatan
            Al-Fatihah ini juga berisi tentang janji Allah swt bagi manusia yang beriman kepada-Nya. Siapa yang berbuat kebajikan, maka akan dibalas dengan kebajikan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akherat. Selain janji Allah, dibahas pula peringatan kepada orang yang melakukan kejahatan serta merusak, kemudian tidak bertobat dari perbuatannya, maka ia akan dibalas dengan azab. Hal ini tercantum dalam firman-Nya “Maliki yaumiddin” juga tercantum dalam ayat pertama, keenam, dan ketujuh.
5. Petunjuk dan hidayat
            Petunjuk dan hidayah adalah merupakan bimbingan menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat serta pengarahan agar memperoleh keridhaan Ilahi.

6. Berita, sejarah dan kisah-kisah
            Sebagai contoh dan perumpamaan, al-Qur’an mengungkapkan berita, sejarah dan kisah-kisah umat terdahulu agar dijadikan pelajaran oleh umat manusia. Dengan informasi tersebut diharapkan agar manusia mukmin dapat mencontoh yang baik dan terpuji serta meninggalkan yang tercela.
Ditinjau dari klasifikasi masa turunnya, surat al-Fatihah ini tergolong dalam surat-surat Makiyyah, yaitu surat yang diturunkan sebelum hijrah Rasul. Sebagian ahli berpendapat bahwa surat ini turun dua kali, pertama turun di Makkah dan kedua turun di Madinah. Surat pertama ini terdiri dari tujuh ayat.

Uraian dan Tafsir
1. الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللَّهِ بِسْمِ Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
            Lafadz “Allah” merupakan nama bagi Dzat yang ada dengan sendirinya (wajib al-wujudi). Kata ini hanya dipakai oleh bangsa Arab terhadap sembahan atau Tuhan yang sebenarnya. Tuhan yang berhak disembah, yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan. Di Maha Esa, Pencipta alam semesta dengan segala isinya, tidak beranak dan tidak diperanakkan serta tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya.
            Kata “al-Rahman” berasal dari kata “al-Rahmah” yang berarti belas kasih, yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan mengaruniai nikmat dan pemberian yang tidak terbatas. Maksudnya, Allah swt adalah Tuhan Yang Maha Pengasih, sangat banyak rahmat-Nya, sangat luas dan tidak terbatas. Kata “al-Rahim” juga maksudnya bahwa Allah itu memiliki sifat kasih sayang yang tetap dan terus menerus.
            Mengenai pengertian al-Rahman dan al-Rahim, Syaikh Muhammad Abduh berkata: “Apabila seorang Arab mendengar kata “al-Rahman”, ia merasakan bahwa Tuhan melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya. Tetapi mereka tidak merasakan bahwa rahmat dan nikmat itu merupakan sifat yang tetap. Baru setelah mendengar kalimat al-Rahim, mereka merasakan bahwa Allah terus menerus melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.” (al-Manar I, hal. 47-48)
            Ulama jumhur (mayoritas) berpendapat bahwa kata “al-Rahman” menunjukkan kasih sayang Allah yang bersifat umum, kasih sayang yang diberikan kepada semua makhluk-Nya, baik mukmin atau kafir, munafik atau atheis, penyembah Allah Yang Esa atau penyembah berhala. Sifat kasih sayang yang bersifat umum ini diberikan Allah kepada mereka dalam kehidupan dunia saja, sebab di akherat berlaku sifat Rahim-Nya. Kata “al-Rahim” adalah sifat kasih sayang Allah yang dikhususkan bagi orang-orang mukmin saja di akherat kelak. Selain orang mukmin tidak memperoleh karunia ini. Sebagian dari kalangan mereka juga berpendapat bahwa kata al-Rahman menunjukkan pada karunia dan rahmat Allah yang Agung, sedang al-Rahim menunjukkan pada rahmat dan nikmat-Nya, yang bersifat lembut dan halus. (ibid, hal. 47)
            Dimulai surat al-Fatihah ini dengan lafadz “bismillah”, memberikan petunjuk kepada setiap orang muslim agar membiasakan diri mengucapkan kalimat itu dalam mengawali suatu pekerjaan yang baik. Nabi saw bersabda: “Tiap pekerjaan yang berarti, yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah, akan terputus berkahnya.” (HR. al-Rahawi)

2. الْعَالَمِينَ رَبِّ لِلَّهِ الْحَمْدُ Segala puji bagi Allah, Tuhan pemelihara alam semesta.
            “Al-Hamdu” atau puji adalah suatu ungkapan rasa syukur yang ikhlas atas suatu kebaikan yang dilakukan oleh yang menerima pujian tersebut.
Puji Tuhan dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
  1. Puji Tuhan kepada diri-Nya
  2. Puji Tuhan kepada makhluk-Nya
  3. Puji makhluk kepada Tuhannya
  4. Puji makhluk kepada sesamanya
Keempat puji tersebut, pada hakekatnya adalah milik Allah semata.
            Kata “Rabbi” menurut pengertian aslinya berarti yang memelihara, yang mempunyai, dan berarti mendidik. Kata Rabbi dalam arti ini misalnya, pernah diucapkan oleh Abdul Muthalib di depan Abrahah: “Aku adalah pemelihara dan pemilik tentara itu, sedang bagi Baitullah ada pemelihara dan pemilik yang akan menjaganya pula.” (Tafsir al-Maraghi). Kata Rabb dalam arti demikian, disebutkan juga dalam surat Yusuf ayat 23. Kata “alamin” merupakan jama’ dari kata “alam”, yang maksudnya adalah alam semesta dengan segala isinya, termasuk di dalamnya segala sesuatu yang ada di luar tata surya kita.

3. الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ  Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang.
Dengan ayat ini, Allah mendidik umat manusia supaya bersifat kasih dan sayang kepada sesamanya dan terhadap makhluk lain. dengan sikap itu, seseorang akan mendapat rahmat dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Nabi bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang dikasihi Allah dari para hamba-Nya adalah mereka yang pengasih.” (HR. Thabrani). Dalam hadits lain Nabi tegaskan: “Mereka yang pengasih akan dikasihi Tuhan. Kasihanilah mereka yang ada di bumi, akan mengasihimu yang ada di langit.” (HR. Ahmad)
            Mengasihi sesama manusia atau makhluk lain meskipun sedikit akan dihargai oleh Allah, dan dibalas dengan kebaikan dan keridhaan-Nya. “Siapa yang mengasihi orang lain, meskipun hanya menyuguhkan daging seekor burung bondol, Allah akan mengasihi orang itu di hari kiamat.” (HR. Bukhari)     

4. الدِّينِ يَوْمِ مَالِكِ Yang Memiliki, Yang Menguasai di hari pembalasan.
            Lafadz “maliki” mempunyai dua wajah, dipanjangkan mim-nya (maaliki) berarti memiliki, dan dibaca pendek (maliki) artinya raja atau penguasa. Kedua macam bacaan tersebut boleh dipergunakan, karena memunyai pegangan yang kuat dari al-Qur’an. Kata “Yaum” berarti hari atau masa, sedang arti asalnya adalah waktu antara terbit matahari dan terbenamnya. Yang dimaksud dalam kalimat ini adalah waktu secara mutlak. Kata “al-Din” memiliki beberapa arti, diantaranya: perhitungan, balasan, ganjaran, patuh, menundukkan, syariat, dan agama. Yang sesuai dalam pembahasan ini adalah “pembalasan”. Yang dimaksud dengan “Maliki Yaumiddin” adalah: Tuhan Yang berkuasa di hari pembalasan.
            Maksud umum dari ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang akan dibalas sesuai dengan amal perbuatannya di akherat oleh Allah swt. Dalam hari pembalasan terdapat pengadilan yang Maha Adil dari Allah, unsur yang terlibat dalam pengadilan itu hampir serupa dengan pengadilan yang dipraktekkan para ahli hukum, yaitu terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
(1) Tertuduh, yaitu manusia, karena diberi amanat oleh Allah agar menjadi khalifah-Nya di bumi. Apakah ia melaksanakan amanat itu dengan baik atau mengkhianati-Nya. (2) Penuntut umum yang menyusun berita acara (para Malaikat). (3) Saksi-saksi yang terdiri dari anggota badan manusia sendiri. “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasiin, 36: 65). Dan (4) Hakim Yang Maha Adil, yaitu Allah swt. “Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” (QS. al-Thien, 95: 8)

5. نَسْتَعِينُ وَإِيَّاكَ نَعْبُدُ إِيَّاكَ Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan.
            Hanya kepada-Mu ya Allah, jiwa dan raga kami tunduk serta patuh, karena kami merasakan keagungan-Mu. Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan atas segala kekurangan dan kelemahan kami.

6. الْمُسْتَقِيمَ الصِّرَاطَ اهْدِنَا Tunjukilah kami ke jalan yang lurus.
            Maksudnya, berilah taufiq dan hidayat kepada kami wahai Allah, agar kami mengikuti jalan yang diajarkan agama-Mu, jalan yang lurus yang tidak membelokkan kita dari tujuan yang ingin dicapai. Hidayah atau petunjuk dari Allah terhadap makhluk-Nya terdiri dari empat macam, yatitu: (1) Hidayah berupa kejadian dan pembentukan dari makhluk yang beraneka ragam bentuk dan jenisnya. (2) Hidayah ilham, panca indera dan instink. (3) Hidayah akal dan pikiran. (4) Hidayah wahyu, berupa agama dan syariat-Nya yang diwahyukan kepada para Nabi dan Rasul.

7. عَلَيْهِمْ أَنْعَمْتَ الَّذِينَ صِرَاطَ Yaitu jalan orang-orang yang telah Kau karuniakan nikmat atas mereka.
            Mereka yang telah dikaruniai nikmat Allah swt, keridhaan, dan rahmat-Nya adalah para Nabi, Rasul, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang yang saleh. Mereka senantiasa taat dan patuh, mengabdi pada Allah dengan baik dan ikhlas. Kita mohon kepada Allah, agar digolongkan bersama mereka, sehingga memperoleh ridha-Nya.

8. الضَّالِّينَ وَلَا عَلَيْهِمْ الْمَغْضُوبِ غَيْرِ Bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.
Maksud kalimat ini, kita mohon kepada-Nya agar dijauhkan dan diselamatkan dari jalan mereka yang dimurkai Allah dan jalan mereka yang sesat. Yang dimaksud dengan al-maghdhubi ‘alaihim atau mereka yang dimurkai, adalah orang yang menentang ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka tidak beriman kepada Allah, sering berbuat kerusakan di muka bumi, menebarkan fitnah dan permusuhan dan melakukan perbuatan keji lainnya. Adapun orang-orang sesat adalah mereka yang tidak mengetahui kebenaran, terombang-ambing dalam kebingungan sehingga tidak memperoleh petunjuk. 
Pengertian al-maghdhubi ‘alaihim (mereka yang dimurkai) secara detilnya adalah mengenai orang-orang yang telah menerima atau memperoleh informasi tentang agama yang haq yang disyariatkan oleh Allah, tetapi mereka tetap menolak syariat itu, meskipun mereka mengetahui bahwa syariat itu adalah suatu kebenaran. Mereka lebih suka mengikuti warisan nenek moyangnya meskipun sesat, dan sebaliknya menolak kebenaran yang datangnya dari wahyu Allah.
Pengertian dhallin (orang-orang yang sesat), maksudnya adalah sekelompok manusia atau lebih yang tidak mengetahui dan memahami kebenaran. Mereka menolak syariat Allah tidak karena bersifat angkuh, tetapi karena belum memahami. Mereka terus terbelenggu dalam ketidak-mengertian terhadap kebenaran yang diajarjkan syariat Islam. Kesalahan mereka adalah karena tidak berusaha memahami kebenaran syariat itu dengan akal dan pikirannya yang jernih.
Mengenai sekelompok orang atau umat yang hidup pada masa fatrah atau tenggah masa ketika tidak dibangkitkan Rasul, atau mereka yang tidak memperoleh informasi tentang kedatangan Rasul Allah, maka mereka tidak terkena taklif (tugas-tugas keagamaan) dan di akhirat akan dibebaskan dari azab. Allah berfirman:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا
“dan Kami tidak akan mengazab (suatu umat) sebelum Kami mengutus seorang rasul.(QS. al-Isra, 17: 15)
Pendapat tersebut di atas dikemukakan oleh jumhur ulama atau ulama mayoritas yang dipelopori oleh aliran Sunni. Sedang aliran lain termasuk di dalamnya aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa umat yang belum kedatangan seruan Rasul itu tetap terkena taklif karena mereka memiliki akal pikiran. Meskipun seruan wahyu belum sampai pada mereka, karena mereka mempunyai akal dan pikiran, maka akan dapat mengetahui yang baik dan yang buruk. Dengan berpedoman pada akalnya, manusia berbuat baik dan menghindari perbuatan yang buruk. Dengan akalnya pula, manusia akan mengetahui sebagian besar kebenaran, meskipun tidak akan bisa mengetahui semua kebaikan dan keburukan.
Kalimat “Amin” sama dengan “Istajib”, maksudnya, perkenankanlah doa kami. Lafadz ini tidak termasuk al-Qur’an tetapi hanya hadits nabi, karena itu tidak tercantum dalam mushaf, namun begitu kita diperintahkan membacanya, dengan berpedoman kepada Sunnah Rasulullah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar