PENDAHULUAN
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَ ضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ
مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ, وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِهِ, مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ
) رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai
keinginan untuk jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan." (HR. Muttafaq Alaihi)”
َوَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه
أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( جَاهِدُوا اَلْمُشْرِكِينَ
بِأَمْوَالِكُمْ, وَأَنْفُسِكُمْ, وَأَلْسِنَتِكُمْ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ,
وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ.
“Dari
Anas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Berjihadlah
melawan kaum musyrikin dengan hartamu, jiwamu dan lidahmu." (Riwayat Ahmad dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim)”
Allah
ta'ala berfirman:
وَعَدُوَّكُمْ اللَّهِ عَدُوَّ بِهِ تُرْهِبُونَ الْخَيْلِ رِبَاطِ وَمِنْ قُوَّةٍ مِنْ اسْتَطَعْتُمْ مَا لَهُمْ وَأَعِدُّوا
إِلَيْكُمْ يُوَفَّ اللَّهِ سَبِيلِ فِي شَيْءٍ مِنْ تُنْفِقُوا وَمَا يَعْلَمُهُمْ اللَّهُ تَعْلَمُونَهُمُ لا
دُونِهِمْ مِنْ وَآخَرِينَ تُظْلَمُونَ لا وَأَنْتُمْ
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak
akan dianiaya (dirugikan).” (QS al Anfal:60)
Meskipun
begitu, tidak dapat diingkari bahwa jihad dapat pula mengambil bentuk peperangan,
tetapi jihad di dalam pengertian ini bersifat kondisional, bukan pengertian
satu-satunya. Yang jelas bahwa jihad sebagai cara untuk memelihara dan
mempertahankan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat harus dilaksanakan
secara terus-menerus. Karena itu pula maka jihad dalam pelaksanaannya harus
bermotifkan tekad yang bulat untuk mencari ridha Allah. Di dalam hal ini,
Al-Qur’an menya-takan bahwa pengerahan tenaga, pikiran, dan harta benda secara
optimal tidak boleh menyim-pang dari jalan yang diridhai oleh Allah, seperti
diisyaratkan di dalam beberapa ayat; misalnya QS. Al-Baqarah [2]: 218, QS.
Al-Mâ’idah [5]: 35 dan 54, QS. Al-Anfâl [8]: 72 dan 74, QS. At-Taubah [9]: 19,
24, dan 41, QS. Al-Hajj [22]: 78, QS. Al-Hujurât [49]: 15, dan QS. Ash-Shaff
[61]: 11.
Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk bahwa
orang yang mengerahkan tenaga, pikiran, dan harta bendanya akan memperoleh
ridha Allah bila mereka berjuang dengan ikhlas pada jalan yang diridhai Allah.
Di
samping jihad dengan harta, juga disebutkan bersama-sama jihad dengan anfus (أَنْفُس), yang
dapat berarti ‘hati, jenis, nyawa, dan totalitas manusia’. Maka, ketika
Al-Qur’an memerintahkan berjihad dengan anfus, ia dapat mencakup jihad
dengan nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, dan pikiran, bahkan juga waktu dan
tempat.
Perintah
berjihad dengan menggunakan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia
disebutkan pula di dalam QS. Al-Hajj [22]: 78. Hal itu berarti bahwa jihad
merupakan puncak dari segala aktivitas.
Pengertian
umum bahwa jihad fisabilillah adalah dengan berperang di jalan Allah, perang
membela agama Allah dan kalau gugur mendapatkan titel sebagai syuhada. Jadi
ketika pengertian ini diterapkan maka hanya orang-orang tertentu lah yang bisa
mendapatkan kehormatan sebagai syuhada. Wah, enak temen ya para pejuang Islam
di jaman dulu, mati dan berpredikat syuhada.
Memaknai
“jihad” janganlah dipandang dari unsur “perang”. Atau mencontoh Amrozi CS
dengan bom Bali nya. Kalau hanya dimaknai perang mengangat senjata, kita-kita
ini jelas tidak kebagian jatah karena kebetulan saja tempat kita jauh dari
lokasi perang itu sendiri.
Jihad
fisabilillah yang paling berat adalah berjuang memerangi hawa nafsu, bagaimana
kita memerangi syetan yang ada dalam tubuh ini. Justru nafsu inilah yang sangat
sulit untuk diperangi karena teramat halusnya syetan ini bersemayam dan lalu
menghembuskan bisikan-bisikan manis tetapi penuh racun. Nafsu kesombongan,
amarah, merasa dirinya mampu, merasa lebih pintar, merasa lebih kaya, merasa
lebih khusyuk. Perang melawan hawa nafsu inilah perang yang sangat besar dalam
sejarah manusia, karena perang ini hanya berakhir ketika ruh ini lepas dari
tubuh yang fana ini.
Dan
kami pemakalah akan membahas permasalahan jihad ini lebih memfokuskan kepada
sasaran yang dimaksud dengan jihad itu sendiri. Jadi kami lebih mengambil segi
pendidikan yang tersembunyi di balik jihad fiisabilillah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jihad Fiisabilillah
Istilah jihâd
di dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 41 kali di dalam Al-Qur’an. Kata
jihâd yang berasal dari kata juhd (جُهْد) dan jahd (جَهْد), berarti ‘kekuatan, kemampuan,
kesulitan, dan kelelahan’. Dari pengertian itu dipahami bahwa jihad membutuhkan
kekuatan, baik tenaga, pikiran maupun harta. Pada sisi lain, dipahami bahwa
jihad pada umumnya mengandung risiko kesulitan dan kelelahan di dalam
pelaksanaannya.
Kata al-juhd
hanya dijumpai sekali di dalam Al-Qur’an, yakni QS. At-Taubah [9]: 79. Ayat ini
berbicara mengenai sikap dan penghinaan orang munafik terhadap orang-orang
beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela, sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Adapun kata al-jahd ditemukan lima kali di dalam Al-Qur’an,
masing-masing di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 53, QS. Al-An‘âm [6]: 109, QS.
An-Nahl [16]: 38, QS. An-Nûr [24]: 53, dan QS. Fâthir [35]: 42, semuanya
berbicara di dalam konteks sumpah, baik sumpah yang benar maupun sumpah yang
bohong. Akan tetapi, ayat-ayat tersebut cukup memberikan petunjuk tentang
kesungguhan pelakunya di dalam bersumpah walaupun belum tentu benar.
Di dalam
terminologi Islam, kata jihâd diartikan sebagai ‘perjuangan secara
sungguh- sungguh mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk
mencapai tujuan’, khususnya di dalam melawan musuh atau di dalam mempertahankan
kebenaran, kebaikan, dan keluhuran.
Meskipun
begitu, istilah jihad yang dijumpai dalam Al-Qur’an tidak semuanya berarti
berjuang di jalan Allah karena ada juga ayat yang menggunakan kata jihad untuk
pengertian ‘berjuang dan berusaha seoptimal mungkin untuk mencapai tujuan’,
walaupun tujuan yang dimaksud belum tentu benar. Hal seperti ini dijumpai di
dalam QS. Al-‘Ankabût [29]: 8 dan QS. Luqmân [31]: 15. Kedua ayat tersebut
berbicara di dalam konteks hubungan antara anak yang beriman dan orang tuanya
yang kafir.
Kata jihâd
yang mengandung pengertian ‘berjuang di jalan Allah’, ditemukan pada 33 ayat:
13 kali di dalam bentuk fi‘l mâdhi (فِعْلُ مَاضٍ = kata kerja bentuk lampau), lima kali di dalam bentuk fi‘l
mudhâri‘ (فِعْلُ مُضَارِعٍ i= kata kerja bentuk sekarang atau yang akan
datang), tujuh kali di dalam bentuk fi‘l amr (فِعْلُ أَمْرٍ i= kata kerja perintah), empat kali di dalam bentuk
mashdar, dan empat kali di dalam bentuk ism fâ‘il (إِسْمُ
فَاعِلٍ i= kata benda yang menunjukkan
pelaku).
Ayat-ayat tersebut memberikan indikasi bahwa jihâd
mengandung pengertian yang luas, yakni perjuangan secara total yang meliputi
seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya perang fisik atau mengangkat
senjata terhadap para pembangkang atau terhadap musuh.
Dengan
begitu, istilah jihâd tidak selalu berkonotasi perang fisik, bahkan
terdapat beberapa ayat yang berbicara tentang jihâd, tetapi tidak
berkonotasi perang, khususnya ayat-ayat Makkiyah seperti QS. Al-‘Ankabût
[29]: 6 dan 69. Ayat-ayat tersebut memberikan indikasi bahwa jihâd
yang dimaksudkan adalah mencurahkan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk mencapai
ridha Allah. Karena itu, orang yang berjihad di jalan Allah tidak mengenal
putus asa, menyerah, atau berkeluh kesah. Bahkan, QS. Al-Furqân [25]: 52 yang
juga termasuk ayat Makkiyah, secara tegas memerintahkan berjihad
terhadap orang-orang kafir dengan jihâd yang besar. Akan tetapi, ayat
ini pun tidak dapat dipahami sebagai jihâd di dalam bentuk kontak
senjata, mengingat bahwa selama Nabi saw. mengembangkan misi kerasulannya di
Mekkah, beliau tidak pernah melakukan kontak senjata dengan orang-orang kafir.
Padahal, ayat-ayat ini secara jelas dan tegas memerintahkan agar menghadapi
orang-orang kafir dengan jihad yang besar. Bahkan, ketika orang-orang musyrik
mengadakan tekanan dan penyiksaan terhadap umat Islam, terdapat indikasi bahwa
kaum Muslim berupaya menghadapi kekejaman tersebut tidak dengan berperang,
tetapi beliau menyatakan kepada sahabatnya, “Ishbirû fa innî lam u’mar
bil-qitâli” (إِصْبِرْ فَإِنِّى لَمْ أُؤْمَرْ بِالقِتَالِ = bersabarlah kalian karena aku belum mendapat
perintah untuk berperang). Dengan begitu, perintah berjihad di dalam QS.
Al-Furqân [25]: 52 di atas bukanlah perintah berperang. Perintah berjihad
terhadap orang-orang kafir adalah dengan menggunakan Al-Qur’an, yakni menyampaikan
ajaran Al-Qur’an dengan informasi rasional atau pendekatan-pendekatan lainnya
yang dapat menarik perhatian mereka kepada Islam. Terbukti bahwa banyak orang
kafir yang tertarik kepada Islam karena pendekatan yang lunak dan simpatik.
Di
samping itu, QS. At-Taubah [9]: 73 dan QS. At-Tahrîm [66]: 9, secara tegas
memerintahkan berjihad terhadap orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
Terhadap orang kafir, jihad di dalam bentuk kontak senjata telah dilaksanakan
oleh Nabi, tetapi terhadap orang-orang munafik, Nabi tidak melakukannya. Ini
pun memberikan kesan bahwa jihad terhadap orang-orang munafik bukanlah jihad
dalam bentuk mengangkat senjata sebab secara formal mereka adalah umat Islam;
mereka juga tidak secara terang-terangan mengadakan aksi untuk menghancurkan
Islam. Karena itu, usaha maksimal yang dapat dilakukan untuk menghadapi
mereka adalah membendung pengaruh buruk yang ditimbulkan mereka.
Meskipun
begitu, tidak dapat diingkari bahwa jihad dapat pula mengambil bentuk
peperangan, tetapi jihad di dalam pengertian ini bersifat kondisional, bukan
pengertian satu-satunya.
Yang jelas bahwa jihad sebagai cara untuk
memelihara dan mempertahankan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat harus
dilaksanakan secara terus-menerus. Karena itu pula maka jihad dalam
pelaksanaannya harus bermotifkan tekad yang bulat untuk mencari ridha Allah. Di
dalam hal ini, Al-Qur’an menya-takan bahwa pengerahan tenaga, pikiran, dan
harta benda secara optimal tidak boleh menyim-pang dari jalan yang diridhai
oleh Allah, seperti diisyaratkan di dalam beberapa ayat; misalnya QS.
Al-Baqarah [2]: 218, QS. Al-Mâ’idah [5]: 35 dan 54, QS. Al-Anfâl [8]: 72 dan
74, QS. At-Taubah [9]: 19, 24, dan 41, QS. Al-Hajj [22]: 78, QS. Al-Hujurât
[49]: 15, dan QS. Ash-Shaff [61]: 11. Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk bahwa
orang yang mengerahkan tenaga, pikiran, dan harta bendanya akan memperoleh
ridha Allah bila mereka berjuang dengan ikhlas pada jalan yang diridhai Allah.
Mengenai
luasnya ruang lingkup dan cakupan jihad di jalan Allah, seperti yang
ditunjukkan di dalam Al-Qur’an, meliputi jihad dengan diri dan jihad dengan
harta, seperti disebutkan dalam beberapa ayat, misalnya: QS. Al-Anfâl [8]: 72,
QS. At-Taubah [9]: 20, 41, dan 88, QS. An-Nisâ’ [4]: 95, QS. Al-Hujurât [49]:
15, serta QS. Ash-Shaff [61]: 11. Istilah jihad di dalam ayat-ayat
tersebut dikaitkan dengan alat yang digunakan untuk berjihad, yaitu harta dan
diri. Hal ini dapat dimaklumi karena jihad tidak dapat dilaksanakan tanpa modal
dan karena itu maka jihad disesuaikan dengan modal serta tujuan yang ingin
dicapai. Sebelum tujuan tercapai dan selama modal masih ada di tangan, selama
itu pula jihad masih tetap dituntut.
Di
samping jihad dengan harta, juga disebutkan bersama-sama jihad dengan anfus (أَنْفُس), yang dapat berarti ‘hati,
jenis, nyawa, dan totalitas manusia’. Maka, ketika Al-Qur’an memerintahkan
berjihad dengan anfus, ia dapat mencakup jihad dengan nyawa, emosi,
pengetahuan, tenaga, dan pikiran, bahkan juga waktu dan tempat.
Perintah
berjihad dengan menggunakan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia
disebutkan pula di dalam QS. Al-Hajj [22]: 78. Hal itu berarti bahwa jihad
merupakan puncak dari segala aktivitas.
B. Sasaran Jihad Fiisabilillah
Jihad
mempunyai ketentuan hukum yang pasti serta saran yang jelas, sebab syariat
jihad itu datang dari dzat yang Maha Mengetahui. Karena itu sesalam yang
memerintah itu yang Maha Bijaksana, tentu hikmah dan kemaslahatannya itu pasti
ada dan benar.
Hikmah
dan maslahat yang berkenaan dengan sasaran jihad, mengharuskan kita kembali
kepada kitab Allah serta sunnah Rosul-Nya.
Sasaran
pokok jihad adalah agar manusia mengabdikan diri kepada Allah dan mengeluarkan
mereka dari system pengabdian kepada manusia menuju pengabdian kepada tuhan
yang pantas diabdi, serta menyingkirkan para penantang hukum Allah dimuka bumi
ini dan menghilangkan dari dunia ini segala bentuk kerusakan dan kejahatan.
Rasulullah SAW bersabda dalam
hadis qudsi :
“Sesungguhnya
Aku telah menciptakan hamba-hambaKu sebagai orang-orang hanif (cenderung kepada
kebenaran) seluruhnya. Aku datangkan kepada mereka berupa syaitan-syaitan yang
menagguhkan mereka dari dien mereka. Syetan pulalah yang mengharamkan terhadap
mereka apa-apa yang Aku halalkan atas mereka, dan yang memerintahkan mereka
agar mempersekutukanKu dengan sesuatu yang tak ada kekuasaan sedikitpun dariKu” (HR.
Muslim)
Berkata Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya “Fii Zhilalil
Qur’an”, “Sesungguhnya motivasi jihad dalam agama islamyang sebenarnya harus
dicari dalam tabiat islam, sebagai seorang muslim pertama-tama harus mewujudkan
manhaj islam agar terbukti pada diri kita sendiri. Sebab rukun islam yang
pertama adalah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, artinya mengEsakan
Allah didalam pengabdian dan tidak mempersekutukan dengan siapapun dari
makhlukNya dalam sifat apapun.
Hak Allah yang mutlak adalah berkuasa hukum bagi
makhluknya dalam segala aspek kehidupan. Maka syahadah suatau kesaksian yang
tidak ada artinya jika tidak diiringi drngan pengakuan bahwa Allah berhak
mengatur manhaj kehidupan mereka.
Kita wajib menegakkan manhaj itu dikarenakan
adanya beberapa sebab dalam manhaj itu sendiri. Hanya manhaj islam yang dapat
menjamin kemuliaan manusia dan memberikannya kemerdekaan yang hakiki, serta
melepaskannya dari system perbudakan antar manusia, sebab yang menciptakannya
adalah Zat yang Maha Kuasa dan menginginkan
kebaikkan-kebaikkan bagi manuisa itu sendiri.
C. Dalil Tentang Sasaran Inti Jihad
Sasaran
inti jihad adalah agar manusia mengabdi kepada Allah semata dan mengeluarkan
manusia dari penyembahan terhadap manusia lain, termasuk menghilangkan segala
tindak kerusakan dan kejahatan dari muka
bumi.
Dalil yang menunjukan sasaran
tersebut diantaranya adalah :
الظَّالِمِينَ عَلَى إِلا عُدْوَانَ
فَلا انْتَهَوْا فَإِنِ لِلَّهِ الدِّينُ وَيَكُونَ فِتْنَةٌ تَكُونَ لا حَتَّى وَقَاتِلُوهُمْ
“Dan perangilah mereka
itu, sehingga tidak ada lagi fitnah (sehingga) agama itu hanya milik Allah
saja, jika mereka berhenti dari memusuhimu, maka tidak ada permusuhan lagi
kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah : 193)
Berkata As-Syaukani : “Maksud dari pada perangilah mereka
supaya tidak ada fitnah adalah perintah untuk memerangi kaum musyrikin sehingga
tidak lagi terjadi fitnah”.
Maka siapa yang masuk ke agama
islam dan meninggalkan kemusyrikan, ia tidak boleh diperangi atau dibunuh.
Rasulullah SAW bersabda :
“Barang
siapa yang berperang untuk menjadikan kalimat Allah tinggi menjulang, maka ia
berperang di jalan Allah” (HR. Muslim)
Sesungguhnys menegakkan kalimatullah itu ialah kewajiban
semua muslim, karena itulah yang diperintahkan dalam ajaran islam, bahwasanya
islam itu adalah agama proklamasi bagi kemerdekaan manusia dimuka bumi, yaitu
pembebasan manusia atas hawa nafsunya. Ini berarti penolakan sempurna terhadap
segala bentuk dan system hukum ciptaan manusia.
Proklamasi rububiyah Allah ini
berarati mengembalikan kekuasaan Allah yang dirampas, serta menghalau para
perampasnya yang menghukumi manusia dengan syari’at-syari’at mereka sendiri.
Sehingga mereka menempati kedudukan sebagai Tuhan-tuhan. Padahal sebenarnay
hukum-hukum itu hanyalah milik Allah SWT. Sebagaimana Firmannya :
الْقَيِّمُ الدِّينُ ذَلِكَ إِيَّاهُ إِلا تَعْبُدُوا أَلا أَمَرَ لِلَّهِ إِلا الْحُكْمُ إِنِ
“Hukum
itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain
Dia, itulah agama yang benar” (QS. Yusuf : 40).
Kerajaan Allah di muka bumi berdiri dengan berdaulatnya
syari’at Allah dan kembalinya segala urusan kepada Allah sesuai dengan syari’at
yang telah ditetapkan. Bahwasanya proklamasi tentang kemerdekaan manusia dari
segala kekuasaan yang bukan kekuasaan Allah itu bukanlah proklamasi yang
teoritis, falsafi dan pasifakan tetapi ia adalah proklamasi yang dinamis,
realistis dan aktif. Karena itu, maka proklamasi ini harus mengambil bentuk
gerakan untuk menghadapi relitas manusia dengan segala aspeknya.
Realitas manusia, kemarin, sekarang dan esok denagn
segala hambatan konsep ideologis dan material harus dihadapi oleh agama
islam.dakwah dan harokah menghadapi realita manusia secara total dengan sarana yang
dimilikinya. Keduanya harus ada untuk melancarkan proklamasi kemerdekaan
manusia dibumi dengan jalan menghapuskan
“realita” yang bertentanagan dengan proklamasi ini dan mengupas
kekuatan-kekuatan politik yang memperhambakan manusia kepada selain Allah SWT.
Di zaman ini banyak pemimpin yang menjadi usahawan atau
konglomerat, sehingga menguasai sumber-sumber penghasilan dengan
mengumpan
orang-orang miskin bahkan ada pula yang mengaku dialah sebagai tuhan.
Mereka
memaksa orang lain untuk tunduk kepada perintahnya, sambil berkata :
الأعْلَى مُرَبُّكُ أَنَا
“Akula Rabbmu yang paling tinggi” (QS. An Nazi’at : 24)
Mereka juga mengucapkan berbagai macam ungkapan
kesombongan dan dakwaan keuhanan mereka dengan lantang dan menantang.
Dari
apa yang telah disebutkan itu, jelaslah bahwa ajaran islam melarang
menyekutukan Allah, setiap kali Nabi diutus untuk menyeru kepada manusia :
غَيْرُهُ إِلَهٍ مِنْ لَكُمْ مَا
اللَّهَ اعْبُدُوا قَوْمِ يَا
“Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan kecuali
Hanya Dia” (QS. Al-A’raf : 59)
Dakwah
jihad Nabi bukan hanya sekedar keterangan, tapi merupakan seruan kepada
revolusi sosial yang universal. Islam adalah satu-satunya system kebaikkan yang
dapat menyelamatkan manusia dari penyakit kejahatan dan kedurhakaan dan membawa
kesejahteraan dunia dan akhirat. Setiap orang yang beriman dan beramal shaleh,
maka dia termasuk jamaah muslimin Hizb Islam. Hizb ini dibentuk untuk mencapai
tujuan, yaitu menegakkan system kebenaran dengan Jihad sebagai jalannya.
Sebagaimana firman Allah SWT :
بِاللَّهِ وَتُؤْمِنُونَ الْمُنْكَرِ عَنِ وَتَنْهَوْنَ بِالْمَعْرُوفِ
تَأْمُرُونَ لِلنَّاسِ أُخْرِجَتْ أُمَّةٍ خَيْرَ كُنْتُمْ
“Kamu adalah umat terbaik yang telah dilahirkan
untuk manusia. Kamu menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan
beriman kepada Allah” (QS. Al-Imran : 10).
Dalam Hizb
ini sejak pertama bertujuan menghapus sumber-sumber kejahatandan kezaliman di
muka bumi serta menahan kendali tuhan-tuhan palsu yang berlaku sombogn di muka bumi dengan cara yang tidak benar. Serta
menggantikannya dengan dengan system pemerintahan yang ada dan benar.
Allah SWT mengisyaratkan dalam Al-Qur’an :
لِلَّهِ كُلُّهُ الدِّينُ وَيَكُونَ
فِتْنَةٌ تَكُونَ لا حَتَّى وَقَاتِلُوهُمْ
“Dan
perangilah mereka, agar jangan ada fitnah dan agar agama itu semata-mata bagi
Allah” (QS. Al-Anfaal : 39)
Maka telah jelas bahwa salah satu tujuan jihad dalam
islam adalah menumbangkan bangunan system-sistem yang bertentangan dengan
perinsip-perinsip dan kaidah-kaidah islam. Sesungguhnya kebenaranlah yang
menolak batas-batas geografis dan tidak dapat menerima untuk dibatasi pada
batas-batas yang diciptakan dan diistilahkan oleh manusia.
D. Sasaran-sasaran Jihad Lainnya
Sasaran-sasaran
jihad dan hukum-hukum jihad haruslah mengikuti sasaran yang inti, antara lain :
1.
Melawan orang-orang kafir yang
memerangi kaum muslimin, dengan menghindari cara-cara yang melampaui batas.
Dalam firman-Nya :
دِينَالْمُعْتَ يُحِبُّ لا اللَّهَ إِنَّ تَعْتَدُوا وَلا يُقَاتِلُونَكُمْ الَّذِينَ اللَّهِ سَبِيلِ فِي وَقَاتِلُوا
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”
(QS. Al-Baqarah : 190)
2.
Menghilangkan fitnah dari umat manusia,
sehingga mereka mau mendengarkan dalil-dalil tauhid tanpa ada penghalang
siapapun.
Fitnah
terbagi menjadi tiga macam :
a.
Fitnah berarti gangguan dan penindasan
yan dilakukan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin.
b.
Fitnah berarti system kemusyrikan yang
menimbulkan kerusakan dalam berbagai segi kehidupan termasuk pengertiannya
adalah tunduknya ahli dzimmah terhadap hukum-hukum islam, seperti menghilangkan
perbuatan zina, riba dan lain sebagainya.
c.
Fitnah berarti penolakan orang-otang
kafir untuk mendengarkan kebenaran islam.
Itu
disebabkan system penguasa syirik tegak berdiri sebagai penghalang sampainya
kebenaran kepada manusia sehingga mereka umbuh diatas kerendahan dan kehinaan
serta tejadilah penghambaan manusia atas manusia tanpa memperdulikan
penciptanya.
System
yang demikian tidak mampu membawa manusia kepada kedudukan yang mulia.
3.
Melindungi negeri-negeri adri kejahatan
orang-oarang kafir.
Sayyid
sabiq dalam fiqhus sunnah mengatakan bahwa islam menganjurkan agar perlindungan
daerah strategis itu dijaga dengan jalan menyiapkan pasukan. Dengan begitu
negeri-negeri islam tetap kaut dan terlindungi.
Para
ulama sependapat bahwa penjagaan terhadap daerah strategis ini lebih utama dari
pada tetap tinggal di kota Mekkah. Dalam hal ini Allah berfirman :
تُفْلِحُونَ لَعَلَّكُمْ اللَّهَ وَاتَّقُوا وَرَابِطُوا وَصَابِرُوا اصْبِرُوا نُوا آمَالَّذِينَ أَيُّهَايَا
“Hai orang-orang
yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap
siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
beruntung” (QS. Ali Imran : 200)
Dalil diatas merupakan suatu pertanda, bahwa perlindungan terhadap
Negara islam, merupakan sasaran jihad yang benar.
4.
Membunuh orang orang kafir,
mencelakakan dan membinasakan mereka.
Membunuh
orang-orang kafir dlakukan karena kekufuran mereka, di ibaratkan seperti
penyakit kangker, ia ganas serta membahayakan jiwa. Jika orang mau tidak mau
tunduk, tidak mau mematuhi hukum islam tentu kita harus memusnahkannya.
Firman Allah :
الْكَافِرِينَ دَابِرَ وَيَقْطَعَ بِكَلِمَاتِهِ الْحَقَّ يُحِقَّ أَنْ
اللَّهُ وَيُرِيدُ
“Dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan
ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir” (QS. Al Anfaal : 7)
5.
Membuat orang-orang kafir ketakutan,
hina dan marah.
Firman
Allah SWT :
وَعَدُوَّكُمْ اللَّهِ عَدُوَّ بِهِ تُرْهِبُونَ الْخَيْلِ رِبَاطِ وَمِنْ قُوَّةٍ مِنْ اسْتَطَعْتُمْ مَا لَهُمْ وَأَعِدُّوا
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu” (QS. Al Anfaal : 60)
Ayat
tersebut melegitimasi, bahwa salah satu tujuan jihad adalah agar musuh menjadi
takut dan gentar.
Ibnu
Qayyim berkata : “Tidak ada sesuatu yang
lebih dicintai Allah dari pada orang yang mencari perlindungan (dari kejahatan)
musuhnya yang membuat mereka murka kepadanya”
Umat
islam dituntut agar mau melaksanakan tujuan jihad ini sebagai pengejawantahan
kesempurnaan penghambaannya kepada Allah SWT.
E. Manfaat Jihad di Jalan Allah
Dalam
jihad terdapat manfaat dan sasaran yang ingin dicapai. Ini harus terwujud bagi
setiap muslim. Diantara manfaatnya adalah :
1.
Tersingkapnya kaum munafiq.
Adalah
kenyataan, bahwa sifat munafiq, rakus, material oriented yang destruktif
terhadap tegaknya kalimat Allah terhadap diantara kaum muslimin.
Jihad
merupakan salah satu alat untuk menyingkap kedok mereka. Sebab didalam jihad
terdapat pengorbanan yang sangat besar, artinya menyangkut segala sesuatu yang
menjadi potensi manusia, bahkan nyawa sekalipun dapat dikorbankan. Orang
munafik tidak akan mau memberikan potensinya, kecuali untuk menyelamatkan
nyawanya dan memperoleh kenikmatan dunia. Terbukti ketika ada seruan untuk
berjihad, dimana sebagai taruhannya adalah nyawa, niscaya mereka menolak. Hal
ini disinyalir dalam firman Allah SWT :
رَأَيْتَ الْقِتَالُ فِيهَا وَذُكِرَ مُحْكَمَةٌ سُورَةٌ أُنْزِلَتْ فَإِذَا
سُورَةٌ نُزِّلَتْ لَوْلا آمَنُوا الَّذِينَ وَيَقُولُ
لَهُمْ فَأَوْلَى
الْمَوْتِ مِنَ عَلَيْهِ الْمَغْشِيِّ نَظَرَ إِلَيْكَ يَنْظُرُونَ مَرَضٌ قُلُوبِهِمْ فِي الَّذِينَ
“Dan orang-orang yang beriman berkata: "Mengapa tiada
diturunkan suatu surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas
maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang
yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang
yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka” (QS. Muhammad : 20)
Kenalnya
orang-orang mukmin terhadap orang-orang munafik mempunyai manfaat yang sangat
banyak. Mereka ini sesungguhnya musuh dalam selimut dan sangat berbahaya dari
musuh eksternal.
Jika
identitas mereka diketahui, mereka bisa dicegah untuk bergabung dengan kaum
muslimin dalam berjihad. Sebab mereka selalu menyebarkan berita-berita bohong
dan enggan (berlambat-lambat) melakukan perintah. Hendaknya orang-orang mukmin
berjihad menghadapi mereka sesuai dengan perintah Allah SWT.
Hal ini
tertera dalam firman_Nya :
عَلَيْهِمْوَاغْلُظْ وَالْمُنَافِقِينَالْكُفَّارَ جَاهِدِ النَّبِيُّ يَا أَيُّهَا
“Hai Nabi,
berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan
bersikap keraslah terhadap mereka” (QS.
At Taubah : 73)
2.
Membersihkan Orang-orang mukmin dari
dosa-dosa mereka.
Sesungguhnya
bagi orang mukmin berjihad dengan niat ikhlas karena Allah semata. Kemudian
dimedan perang dia membunuh orang-orang kafir, maka baginya pahala yang besar
Sebagaimana Hadist Nabi :
“orang kafir dan
orang yang membunuhnya tidak akan pernah disatukan dalam neraka”
Jika
hatinya disertai rasa takut kepada Allah dalam berjihad dijalannya, berguguranlah
kesalahan-kesalahannya itu dari sisinya. Dan jiak ia gugur di tangan-tangan
orang-orang kafir, maka baginya setinggi-tingginya kesuksesan, yakni Syahid.
Rosulullah SAW bersabda :
”Tak seorangpun yang masuk surga
menyukai untuk kembali kedunia lagi. Sekalipun tidak memiliki sesuatu kekayaan
apapun di dunia kecuali orang mati syahid. Ia menghendaki kembali ke dunia agar
dapat terbunuh sampai sepuluh kali dalam berjihad dijalan Allah. Sebab ia telah
menyaksikan balasab penghormatan kepadanya (pahala berjihad)” (HR.
Bukhari).
Maksudnya adalah bahwa syahid
dijalan Allah serta tertebusnya dosa-dosa itu merupakan sasaran yang tinggi dan
mengandung banyak manfaat yang patut diberikan kepada kaum muslimin atas jihad
merka.
3.
Mendidik orang-orang beriman kepada
kesabaran, keteguhan, ketaatan dan pemurah.
Sesungguhnya
sikap santai dan tidak siap menghadapi berbagai kesulitanakan mengantarkan
seorang beriman kepada kehinaan, kemanjaan dan ketergantungan kepada kehidupan
dunia. Sedang pergolakan dalam kancah jihad untuk memperoleh ridho Allah akan
mengasah dan mendidik jiwa menjadi sabar, berani, kuat, semangat dan mempunyai
rasa persaudaraan, serta sifat-sifat terfuji lainnya. Disisi lain akan
menghilangkan sifat-sifat tercela, seperti egoisme, pengecut dan lain sebagainya.
4.
Memperoleh harta rampasan dan tawanan
perang.
Nabi
SAW memberiakn hak prajurit yang membunuh guna memperoleh harta rampasan dari yang
dibunuhnya. Nabi juga memberi bagian dari ghonimah (harta rampasan) kepada
sebagian kaum muslimin yang turut berperang sesuai dengan kemampuan mereka.
Nabi
SAW bersabda kepada sebagian sahabatnya ketika sampai berita tentang kafilah
Abu Sofyan. Kaflah ini merupakan kafilah yang kuat dan lengkap perbekalannya
yang baru datang dari negeri Syam. Yang artinya :
“Ini kafir Quraisy yang padanya
terdapat harat mereka. Sebab itu keluarlah kalian kepadanya. Semoga Allah
memberikan karunia kepada kalian untuk memperolehnya” (Kitab
Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir)
Ghonimah merupakan salah satu
diantara sekian sasaran jihad. Akan tetapi bukan sasaran inti, melainkan
saasran tambahan. Sedang bagi orang-orang yang berjihad semata-mata untuk
mendapatkan Ghonimah, maka tidak ada nilai jihad baginya.
F. Tujuan Jihad Fiisabilillah
Adalah
merupakan tujuan utama dari pada jihad seandainya seluruh penduduk dunia
menganut agama Islam.
Bagi
ahli kitab dan majusi, jika mereka menolak masuk islam, mereka harus membayar
jizyah (Upeti). Seandainya menolak, tidak ada pilihan lain kecuali masuk islam
dan tunduk pada hukum-hukumnya.
Jihad
islam tidak akan pernah padam selama-lamanya, sebab syetan terus-menerus
menyesatkan umat islam. Sesungguhnya pertarungan antara hak dan batil tidak
akan pernah selesai hingga akhir zaman.
Dari
Jubair bin Nafir, bahwa Salmah bin Nafil membritahukan kepada para sahabat,
bahwasanya ia telah mendatangi Nabi SAW, lalu berkata : “Aku bosan menunggang
kuda dan perang telah berhenti dan tidak ada peperangan lagi. Maka Nabi SAW
bersabda : “sekarang ini datang waktu
perang. Tak ada henti-hentinya akan datang sekelompok dari umatku yang gigih
membela kebenaran atas umat manusia. Allah membuat angkuh hati suatu kaum,
sehingga mereka (kelompok itu) bangkit memeranginya. Allah berkenan member
rejeki kepada mereka dari kaum tersebut, sampai datang keputusan Allah, sedang
mereka tetap gigih membela kebenaran”. (Musnad
Ahmad bin Hanbal).
Berkata
Imam Bukhari didalam kitab shohihnya, Rasulullah SAW bersabda :
“Pada kuda yang terlambat, pada
tambatannya terdapat kebaikannya hingga hari kiamat”
Menurut
interpretasi Ibnu Hajar dalam kitab syarahnya mengemukakan, bahwa perkataan
“Kebaikkan yang ada pada kuda yang tertambat hingga hari kiamat”, artinya
adalah mendapatkan pahala dan ghonimah (Harta rampasan). Pahala dan ghonimah
yang didapat itu hanya jika kuda tersebut digunakan untuk bejihad.
Dengan
demikian jelaslah, bahwa kontinuitas dalam berjihad adalah hingga datangnya
hari kiamat. Hukum perintah dalam berjihad melawan orang-orang kafir tidak akan
hilang hingga mereka komitmen dan mau menyatakan ke islamannya atau membayar
jizyah bagi ahli kitab dan majusi.
Mengenai
penentuan yang diharuskan membayar jizyah diantara golongan kafir, para Ulama
berlainan pendapat. Namun mereka sepakat, bahwa Yahudi dan Nasrani dari luar
Arab (yang bukan orang Arab), jika
mereka menolak membayar jizyah wajib untuk diperangi. Adapun untuk golongan
kafir selain mereka, maka disini terdapat perbedaan pendapat.
Pendapat
para ulama tersebut dibagi kepada empat kelompok :
a.
Pendapat Imam Syafi’I, Imam Ahmad Abu
Tsauri dan pengikutnya, berpendapat bahwa jizyah orang musyrik (selain ahli
kitab) tidak boleh diterima. Orang musyrik hany mempunyai dua pilihan, masuk
islam atau dibunuh.
Sebagaimana
sabda Nabi SAW : “Aku diutus untuk
memerangi manusia sehingga mereka bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT”
Masih
banyak dalil dan hadits lain yang menegaskan, bahwa tujuan jihad adalah agar
manusia masuk islam, kecuali untuk ahli kitabdan majusi. Jika mereka menolak,
maka bagi mereka harus membayar jizyah.
b.
Pendapat Imam Hanafi, bahwa Rasulullah
SAW melarang jizyah dipungut dari orang Arab tetapi dipungut dari orang kafir.
c.
Pendapat Imam Malik, bahwa jizyah tidak
bisa diterima dari orang Quraisy, namun dapat diterima dari orang kafir selain
mereka.
d.
Bahwa jizyah diterima dari setiap orang
kafir yang ada di muka bumi, tanpa terkecuali. Hal ini diriwayatkan dari Imam
Malik dan Auza’I, serta Ibnu Qayyim, dan juga disepakati oleh ulama masa kini.
Kalau
ada orang lebih cenderung kepada
pendapat yang pertama, dimana jizyah tidak dapat dipungut dari orang musyrik,
itu dikarenakan mengartikan lafadz “musyrik” dalam hadits muslim diatas, dengan
ahli kitab.
Allah
SWT berfirman :
اللَّهِ ابْنُ الْمَسِيحُ النَّصَارَى
وَقَالَتِ اللَّهِ ابْنُ عُزَيْرٌ الْيَهُودُ وَقَالَتِ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan
orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah".” (QS. At Taubah : 30)
Kami melihat, pendapat yang paling kuat diantara yang empat diatas
adalah pendapat yang pertama, yaitu tidak diterima jizyah dari orang-orang
musyrik kecuali ahli kitab dan majusi. Karena orang musyrik hanya punya dua
alternative, masuk islam atau diperangi.
Adapun mengenai ketentuan, bahwa selama Ahli kitab berdomosili di
areal islam harus dipungut jizyah. Itu dikarenakan khawatir berdampak negative
bagi kaum muslimin, sebagaiman yang terjadi pada akhir masa kejayaan dinasti
Abbasiyah, dimana sebagian Khalifahnya terbiasa memaafkan Ahli Kitab, yaitu
dengan tidak memungut jizyah kepada mereka.
Dalam hal ini Ibnu Qayyim memberikan komentar mengenai
diharuskannya membayar jizyah bagi Ahli Kitab dan Majusi didalam wilayah Islam,
dengan menyebutkan, bahwa didalamnya terdapay beberapa hikmah, yaitu: “Agar
kekufuran dan kemusyrikan hilang dimuka bumi dan menjadikan Dienullah sebagai
satu-satunya Dien, seperti firman Allah SWT :
“Dan Perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan agar
Dien itu seluruhnya milik Allah SWT”.
Demikianlah akhir dari pada tujuan dan sasaran jihad yang harus
ditegakkan di muka bumi ini dengan keadilan dan kebenaran.
BAB III
KESIMPULAN
Setelah
melakukan pembahsan Makalah kami Jihad Fiisabilillah yang memfokuskan pada
tujuan dan Sasaran jihad yang terjadi pada zaman Rasulullah, sehingga kita bisa
mengambil Ibrah dan maksud tujuan jihad uang sebenarnya yang terjadi pada zaman
Rasul. Dan akhirnya sampailah kepada kesimpulan sebagai berikut :
ü Jihad
mempunyai sasaran yang esensial, yaitu menuntut manusia untuk mengabdikan diri
hanya kepada Allah SWT semata dan manafikan kepada selain-Nya.
ü Jihad
sebagai salah satu media untuk menyingkap oaring-orang munafik dengan segala
bentuk propagandanya.
ü Mengislamkan
manusia seluruh dunia merupakan dasar dari pada tujuan jihad.
ü Kita
dituntut untuk senantiasa menegakkan dan menjadikan jihad sebagai salah satu
upaya mensyi’arkan Islam yang tidak boleh berhenti hingga tiba hari Kiamat.
DAFTAR
PUSTAKA
ü Al-Qur’an
Al-Kariim.
ü Fahmi
Abu, Marjan Ibnu , Tujuan dan Sasaran
Jihad, Dar al-Fikr, Beirut, 1411 H.
ü Dr. Ali
bin Nafayyi’ al-‘Alyani, Ahdaf Al- Jihad
Wa Ghayatuhu,
ü Al-Hafizh
Ibnu hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul
Maram dan Penjelasannya, Pustaka Amani, Jakarta, 2000 M.
ü Imam Nawawi, Ringkasan
Syarah Arba’in An-Nawawi & Terjemah Riyadhus Shalihin, Pustaka
Amani, Jakarta, 1999 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar