JEAN-JACQUES ROUSSEAU 1712-1778
ahir di Jenewa, Swiss, filosof tenar Jean-Jacques Rousseau ini. Malang menimpa, bundanya hembuskan napas teraklrir tak lama sesudah melahirkannya. Rupanya, nasib buruk masih terus membuntuti: di umur sepuluh tahun ayahnya diusir dan meninggalkan Jenewa dan hiduplah Rousseau seorang diri. Kemudian Rousseau sendiri meninggalkan Jenewa tahun 1728 ketika umurnya menginjak enam belas tahun. Bertahun Rousseau awam seawam-awamnya, tak terkenal namanya samasekali, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, dan bekerja di satu tempat dan pindah kerja di tempat lain. Di sela-sela itu dia terlibat percintaan dengan banyak wanita, antara lain dengan Therese Levasseur yang ujungujungnya punya lima anak di luar perkawinan. Dia tempatkan kelima anak itu di asrama anak-anak yang tidak ketahuan bapak-ibunya. (Tatkala usianya mencapai lima puluh tahun, Therese dinikahinya betul-betul).
Pada tahun 1750 –di umur tiga puluh delapan– mendadak Rousseau jadi tenar. Akademi Dijon menawarkan hadiah esai terbaik tentang pokok soal: apakah seni dan ilmu pengetahuan memang punya manfaat buat kemanusiaan, berhasil dapat hadiah pertama. Sesudah itu namanya melangit. Beruntun muncullah karya-karya lainnya, termasuk Discourse on the Origin of Inequality (1755); La nouvelle Heloise (1761); Emile (1762); The Social Contract (1762); Confessions (1770) yang kesemuanya itu melambungkan kemasyhurannya. Tambahan lagi, karena Rousseau suka musik, dia menggubah dua opera masing-masing Les muses galantes dan Le devin du village.
Kendati mulanya Rousseau sahabat sejumlah penulis pembaharu Perancis –termasuk Denis Diderot dan Jean d’Alambert, jalan pikirannya segera bersimpang jalan tajam dengan mereka. Karena Rousseau menentang rencana Voltaire mendirikan sebuah teater di Jenewa (Rousseau bersikeras bahwa teater merupakan sekolah yang membejatkan moral), Rousseau dibenci habis-habisan oleh Voltaire. Disamping itu, citra rasa Rousseau berbeda amat dengan rasionalisme Voltaire dan kaum Encyclopedist. Mulai tahun 1762 dan seterusnya, Rousseau menghadapi kesulitan dengan pihak penguasa karena tulisan-tulisan politiknya.
Beberapa kawan dekatnya mulai menjauh darinya dan bersamaan dengan saat itulah Rousseau tampak mengalami kelainan jiwa. Meskipun sejumlah orang masih bersahabat dengannya, Rousseau bersikap bermusuhan dengan mereka karena sifatnya sudah menjadi penuh curiga dan kasar. Selama dua puluh tahun sisa hidupnya, dia umumnya menjadi orang penuh benci dan kecewa serta dirundung kemurungan tak bahagia. Dia meninggal dunia 1778 di Ermenonville Perancis.
Tulisan-tulisan Rousseau orang bilang merupakan faktor penting bagi pertumbuhan sosialisme, romantisme, totaliterisme, anti-rasionalisme, serta perintis jalan ke arah pecahnya Revolusi Perancis dan merupakan penyumbang buat ide-ide modern menuju demokrasi dan persamaan. Dia juga dianggap punya sumbangan penting dalam hal pengaruh teori pendidikan modern. Telah lama dipermasalahkan di bidang teoritis bahwa manusia hampir pada hakekatnya merupakan produk alam sekitarnya (karena itu mudah berubah serta peka). Anggapan ini berasal pula dari tulisan-tulisan Rousseau. Dan sudah barang tentu, dia pun punya saham dalam hal pemikiran bahwa teknologi modern dan masyarakat itu sesuatu yang buruk. Dia pula yang memperkenalkan khayalan tentang “kualitas keprimitifan.”
Pada mulanya Rousseau tidak pernah menggunakan sebutan itu, dan juga dia tidak merupakan seorang pengagum penduduk pribumi pulau-pulau di laut selatan, atau pun orang-orang Indian. Pikiran tentang apa yang disebut “kualitas keprimitifan” telah dikenal jauh sebelum jaman Rousseau, dan penyair Inggris kenamaan, John Dryden, sudah menggunakan sebutan yang persis begitu lebih dari seabad sebelum Rousseau lahir ke dunia. Dan bukan pula Rousseau yang berpendapat dan bersikap bahwa masyarakat itu dasarnya brengsek. Malah sebaliknya, dia senantiasa menekankan bahwa masyarakat itu perlu untuk manusia.
Dan akan halnya Rousseau-lah yang mula-mula mencetuskan gagasan “kontrak sosial” itu pun sepenuhnya palsu. Gagasan ini sudah didiskusikan panjang-lebar oleh John Locke yang hasil karyanya sudah diterbitkan jauh sebelum Rousseau lahir. Bukti menunjukkan, filosof Inggris yang masyhur Thomas Hobbes telah pula mendiskusikan pikiran ini (kontrak sosial) bahkan sebelum John Locke.
Bagaimana pula ihwal penolakan Rousseau terhadap teknologi? Amatlah gamblang dan jelas bahwa dua abad sesudah Rousseau meninggal dunia menyaksikan tumbuhnya teknologi yang luar biasa. Penentangan Rousseau terhadap teknologi dengan begitu jelas sia-sia belaka. Kalau toh terasa ada gerutu anti teknologi dewasa ini, itu sama sekali bukanlah bertolak dari tulisan Rousseau melainkan akibat yang tak diharapkan dari penggunaan teknologi yang tak terkendali di abad akhir ini.
Banyak para pemikir mengusulkan bahwa faktor lingkungan punya makna penting dalam pembentukan karakter manusia, karena itu saya pikir tak ada alasan mengaitkan ini dengan pikiran Rousseau karena toh memang menjadi pendapat umum. Begitu juga nasionalisme, sudah merupakan faktor pendorong utama jauh sebelum Rousseau hidup dan peranannya dalam pertumbuhan nasionalisme ini tidaklah seberapa.
Apakah tulisan-tulisan Rousseau merintis jalan ke arah pecahnya Revolusi Perancis? Sampai batas tertentu memang tak dapat disangkal, dan mungkin lebih penting dari apa yang disumbangkan oleh Diderot dan d’ Alambert. Tetapi, pengaruh Voltaire yang tulisan-tulisannya muncul lebih dulu, jumlahnya lebih banyak, lebih jelas arahnya, pokoknya lebih punya kaitan dari banyak segi.
Memang benar, Rousseau seorang anti-rasionalis diukur dari wataknya, khusus bertentangan dengan para penulis masyhur Perancis pada jamannya. Tetapi, anti-rasionalis bukanlah pula barang baru; kepercayaan politis serta sosial kita sering bertolak dari emosi dan prasangka, kendati kita coba-coba menyebutnya rasional sekedar satu alasan untuk meyakinkan mereka.
Tetapi, jika pengaruh Rousseau tidaklah sebesar anggapan para pengagumnya, bagaimanapun juga cukup meluas. Sebab, sepenuhnya benar bahwa dia merupakan faktor penting dalam hal pertumbuhan romantisme dalam kesusasteraan, dan pengaruhnya di bidang teori pendidikan berikut pemraktekannya telah membuktikan arti pentingnya. Rousseau memperkecil makna penting pendidikan anak-anak lewat buku bacaannya, karena dianggapnya lebih efektif belajar lewat pengalaman. (Kebetulan, Rousseau seorang penganjur gigih agar bayi minum susu ibu). Kedengarannya mencengangkan betapa seorang yang meninggalkan anaknya sendiri punya keberanian beri ceramah perihal bagaimana memelihara dan membesarkan anak-anak, tetapi tak usah diragukan bahwa gagasan-gagasan Rousseau punya pengaruh mendalam pada teori pendidikan modern.
Banyak pikiran menarik dan orisinal terdapat dalam tulisan-tulisan politik Rousseau. Tetapi yang paling menonjol dari kesemuanya itu adalah gairahnya yang berkobar-kobar terhadap terjelmanya persamaan hak dan derajat, dan perasaan yang membawa bahwa struktur masyarakat yang ada merupakan sesuatu yang tak tertahankan ketidakadilannya. (“Manusia dilahirkan merdeka; dan di mana-mana dia terbelenggu oleh rantai”). Rousseau sendiri tidak menganjurkan tindak kekerasan, tetapi jelas dia menggoda orang lain memilih revolusi kekerasan untuk mencapai perbaikan tingkat demi tingkat.
Pandangan Rousseau terhadap milik pribadi (dan juga terhadap pelbagai pokok masalah) sering bertentangan satu sama lain. Pernah dia menggambarkan hak milik pribadi itu merupakan “hak yang paling suci dari semua hak penduduk.” Tetapi, bisa juga dibilang bahwa serangannya terhadap hak milik pribadi punya akibat lebih besar terhadap sikap para pembacanya ketimbang komentar-komentarnya yang bernada memuji dan menyanjung. Rousseau merupakan salah satu dari penulis modern pertama yang punya arti penting melabrak habis lembaga hak milik pribadi, karena itu dia bisa dianggap selaku pemula dari faham sosialisme dan komunisme modern.
Akhirulkalam, orang tidak boleh anggap sepele teori Rousseau di bidang konstitusi. Ide sentral tentang “Kontrak sosial” adalah, menurut bunyi kalimat Rousseau sendiri “pengalihan secara total seluruh hak-hak orang per orang kepada masyarakat secara keseluruhan.” Kalimat ini mempersempit ruang gerak buat kebebasan pribadi atau untuk hak-hak asasi. Rousseau sendiri adalah seorang pembangkang terhadap penguasa, tetapi pengaruh pokok dari bukunya dapat dibuktikan kemudian oleh negara-negara totaliter.
Rousseau dikritik sebagai seorang kehinggapan penyakit syaraf yang gawat (belum lagi anggapan bahwa dia sinting), sebagai seorang lelaki chauvinis, seorang pemikir yang bikin resah dan pikirannya tidak praktis. Kritik-kritik macam ini umumnya dapat dibenarkan. Tetapi, yang lebih penting dari kekurangan-kekurangan yang ada pada Rousseau adalah pandangannya yang tajam dan kecerdasan yang orisinal yang terus berlangsung mempengaruhi pemikiran modern selama lebih dari dua abad.
Teori Pendidikan John Dewey
Menurut John Dewey, sekolah adalah lembaga penyelenggara pendidikan yang mempumyai maksud dan tujuan untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk memperkembangkannya. Hal ini harus dilakukan dengan berpangkal pada pengalaman –pengalaman anak. Harus diakui bahwa tidak semua pengalaman berfaedah, oleh karena itu sekolah harus memberikan “bahan pelajaran” sebagai pengalaman-pengalaman yang bermanfaat bagi masa depan anak sekaligus juga anak dapat mengalaminya sendiri. Sehingga anak didik dapat menyelidiki, menyaring, dan pengatur pengalaman tadi.
Pandangan progresivisme mengenai konsep belajar bertumpu pada anak didik. Disini anak didik dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan, dibandingkan makhluk lain, yaitu akal dan kecerdasan. Dan dalam proses pendidikanlah peserta didik dibina untuk meningkatkan keduanya.
Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu pikologi dari aliran behaviorisme dan pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbing. John Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus diabdikan pada kehidupan sosial; jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.
Konsep Pendidikan John Dewei
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kondisi kehidupan manusia, kadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Dan mungkin kita tidak tahu alasan mengapa kita berbuat sesuatu. Kalau kita mau bercermin pada pendapat Paulo Freire, maka kita dapat membaca jalan pikiran seseorang. Apakah ia termasuk pada kategori orang yamg berkesadaran magic, naif, atau kritis.Adanya wacana tentang tingkatan kesadaran tersebut, mau tidak mau guru atau dosen sebagai penanggungjawab akan perubahan pada peserta didik harus memformat pola pendidikan untuk membawa kesadaran manusia pada tingkatan yang lebih tinggi.
Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan manusia. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.John Dewey sebagai salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. Pendidikan partisipatif membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada dilingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada.
Konsep pendidikan John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi Indonesia. Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika. Oleh karena itulah maka saat kita akan menerapkan konsep tersebut maka dasar psikologis dan sosiologis pun perlu kita perhatikan.
B. Pokok Bahasan
1. Riwayat Hidup John Dewey
2. Ajaran John Dewey
3. Analisis terhadap Pragmatisme John Dewey
4. Relevansi pada pendidikan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP JOHN DEWEY
Ia dilahirkan di Burlington Amerika pada tanggal 20 Oktober tahun 1859 M, dan meninggal 1 Juni 1952 M, di New York. Sesudah mendapat diploma ujian kandidat, ia 2 tahun menjadi guru (1879). Tiga tahun kemudian ia menjadi mahasiswa lagi dan mendapat gelar doctor dalam filsafat (1884). Ia diangkat menjadi dosen lalu asisten professor dan kemudian professor di Michingan. Sebagai professor dalam filsafat di Chicago, ia memimpin juga dibidang Pedagogik dan mendirikan suatu sekolah percobaan untuk menguji dan mempraktekkan teorinya.
Sepuluh tahun ia bekerja keras pada universitas ini dan mengumpulkan serta mendidik orang-orang yang akan meneruskan cita-citanya.Pada tahun 1904 sampai 1931 ia bekerja pada Universitas Columbia di New York, disamping memberikan kuliah filsafat ia juga sering di undang oleh berbagai negara untuk memberikan kuliah, seperti : Jepang, China, Turki, Mexico, Rusia, dan Inggris. Dan pada usianya yang ke-93 ia meninggal dunia pada tahun 1952.
B. AJARAN JOHN DEWEY
John Dewey adalah sorang pragmatis. Menurut dia, tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience) dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis.
Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu system norma-norma dan nilai.Menurut Dewey, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera ketika dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam diri kita sendiri. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang mengandung di dalamnya pemisahan antara subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sasarannya.
Di dalam pengalaman langsung itu keduanya bukanlah dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai suatu hal yang penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah yang menyusun sasaran pengetahuan.Menurut Dewey penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja.
Oleh karena itu penyelidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumen). Jadi yang dimaksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan cara pertama-tama meyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Sekolah sebagai lembaga penyelengara pendidikan menurut John Dewey mempunyai maksud dan tujuan untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk memperkembangkannya. Hal ini harus dilakukan dengan berpangkal kepada pengalaman-pengalaman anak. Harus diakui bahwa tidak semua pengalaman berfaedah.
Oleh karena itu sekolah harus memberikan sebagai “bahan pelajaran” pengalaman-pengalaman yang bermanfaat bagi masa depan anak sekaligus juga anak dapat mengalaminya sendiri. Sehingga anak didik dapat menyelidiki, menyaring, dan mengatur pengalaman-pengalaman tadi. Pandangan progresivisme mengenai konsep belajar bertumpu pada anak didik. Disini anak didik dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk lain, yaitu akal dan kecerdasan. Dan dalam proses pendidikanlah peserta didik dibina untuk meningkatkan keduanya.
Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu pikologi dari aliran behaviorisme dan pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbing.John Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus diabdikan pada kehidupan sosial; jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.
C. ANALISIS TERHADAP PRAGMATISME JOHN DEWEY
Secara etimologi pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragma yang berarti guna, sesuatu yang dilakukan, tindakan kerja.Adapun secara terminologi pragmatisme dapat diartikan sebagai aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan akibat-akibat (konsekuensi) yang bermanfaat secara praktis. Sehingga disini benar atau tidaknya suatu teori tergantung pada bermanfaat atau tidaknya teori itu bagi kehidupan manusia; dan ukuran untuk segala perbuatan tergantung pada manfaatnya dalam praktek. Aliran Pragmatisme ini dikembangkan oleh orang-orang Amerika.
Dengan dipelopori oleh Pierce, William James dan John Dewey. Sehingga orang-orang Amerika yang pada saat itu sedang sibuk mempelajari filsafat dari luar mulai sadar bahwa sebenarnya dinegara mereka terdapat filsafat yang telah digali dan digarap di tanah airnya sendiri.Untuk menganalisis teori kebenaran bagi Dewey, saya sedikit mengutip dari penjelasan Dewey dalam bukunya Harun Hadiwijono: “Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali ditentukan dan tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah”.
Dari sedikit penyataan itu setidaknya bisa dipahami bahwa menurut Dewey kebenaran itu selalu berubah-ubah, progresif, dan bukan final. Jika memang demikian maksud Dewey alangkah sulitnya untuk mengatur kehidupan di dunia ini. Bisa dibayangkan apabila semua kebenaran yang ada sekarang hanya bersifat sementara, dan tidak ada kebenaran tetap. Kita akan hidup pada pegangan hidup yang tidak kuat dan serba bimbang. Memang banyak kebenaran yang sifatnya sementara, sedang menjadi, belum final, tetapi apakah itu berlaku pada semuanya.
Lalu bagaimana misalnya dengan pernyataan-pernyataan sederhana berikut ini ;“Gajah adalah hewan yang lebih besar dari semut”, Membunuh orang yang tidak bersalah adalah perbuatan salah”, “Memberi maaf pada seseorang adalah lebih baik dari pada membenci seseorang” Bagaiman Dewey memberikan penjelasan terhadap pernyataan tersebut. Sesuai dengan filsafat pragmatismenya, menurut pandangan Dewey tidak menghendaki adanya norma atau kaidah yang tetap dan yang terlebih dulu ditentukan oleh sejarah atau agama, karena ia tidak turut campur tangan pada waktu membuatnya.
Norma harus timbul dari masyarakat sendiri yang selalu berubah, berganti sesuai dengan keadaan masyarakat yang senantiasa mengalami proses dan pergantian, dari suatu zaman ke zaman yang lain. Juga tujuan hidup yang erat hubungannya dengan kaidah itu wajib pula selalu berubah dan berganti menurut masanya. “Tak ada sesuatu yang tetap”Disamping itu juga, istilah bahwa segala sesuatu itu baik “apabila berguna” juga perlu di kritisi.
Apabila itu dipergunakan secara umum dapat membahayakan. Karena nanti orang boleh berkata, “pergaulan bebas, kumpul kebo, atas dasar suka sama suka, adalah baik”, karena berguna, minuman keras boleh, karena “berguna”. Belum lagi ini berguna bagi siapa? bagi saya, bagi kamu. Dewey menolak ‘yang umum’; ia menerima yang khusus. Sehingga bisa dibayangkan hal itu akan menimbulkan kekacauan nilai, akan mengancam manusianya itu juga.
C. Relevansi pemikiran John Dewey pada pendidikan di Indoensia.
Pendidikan partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru. Tanpa mengetahui apakah yang diikutinya baik atau buruk.
Dalam pendidikan partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai tenaga fasilitator, sedangkan keaktivan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreatifitas.
Dengan cara melibatkan siswa secara langsung ke dalam proses belajar. Sehingga nantinya peserta didik dapat secara mandiri mencari problem solving dari masalah yang ia hadapi.Model pendidikan partisipatif bertumpu pada nilai-nilai demokratis, pluralisme, dan kemerdekaan peserta didik.
Dengan landasan nilai-nilai tersebut fungsi pendidik lebih sebagai falisitator yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk berekspresi, berdialog, dan berdiskusi.Kalau kita membandingkan antara konsep pendidikan John Dewey dengan kurikulum yang sekarang dialami, maka kita akan menemukan kesamaan, yaitu adanya kebebasan kepada para pendidik untuk membuat kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Tidak lagi tersentral separti pemerintahan Soeharto.Sekolah yang akan dihasilkan adalah sekolah yang sedikit mata pelajaran.
Namun, itu berguna bagi masyarakat. Sebab, kadang pelajaran yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan masrakat yang ada. Sebenarnya di Indonesia sudah banyak sekolah seperti tersebut. Diantaranya; SMK dan STM.Dari segi gurunya, dengan menggunakan pendidikan partisipatif, maka guru bukan lagi sebagai sentral pengajaran. Akan tetapi fungsi guru lebih sebagai fasilitator, sehingga setiap siswa turut berpartisipaif dalam proses belajar. Dengan demikian maka seorang guru akan dapat membawa siswa menuju apa yang dicita-citakannya.
BAB III
KESIMPULAN
Pandangan-pandangan yang berasal dari pragmatisme John Dewey banyak mempengaruhi alam bawah sadar dan berdampak pada kehidupan masyarakat Amerika, misalnya saja pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat munculnya sikap subjektifisme, individualisme, dan dua sikap ini saja cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.
Oleh karena itulah saat akan diterapkan di Indonesia maka perlu dirancang agar sesuai dengan kondisi sosio masyakat Indonesia.
Untuk dapat mencapai pendidikan yang diidealkan maka, kita perlu melakukan pembenahan di segala bidang. Bukan hanya menyangkut kurikulum yang ada. Tetapi tenaga pendidik pun menjadi faktor penentu akan berhasilnya tujuan pendidikan yang ada.Sekolah sebagai lembaga pendidikan bukan hanya melaksanakan rutinitas pembelajaran di kelas. Akan tetapi fungsi sekolah harus lebih menekankan akan bagaimana siswa mampu mencari problem solving bagi masyarakatnya. Sehingga, lulusan yang dihasilkan tidak menjadi masalah baru bagi masyarakat.
Disinilah peran pendidikan akan dipertanyakan saat pendidikan tidak mampu memberikan jalan keluar bagi masalah yang berkembang dimasyarakat. Apalagi kalau pendidikan tidak bisa mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang ingin ia capai.Namun, tetap semuanya tidak ada yang sempurna. Konsep pendidikan yang berlandaskan filasafat pragmatisme nantinya yang menjadi ukuran keberhasilan adalah bisa tidaknya sesuatu tersebut digunakan untuk kepentingan hidup. Yang nantinya akan melahirkan pola hidup yang hedonis dan mekanis.
Daftar Pustaka
Ahmadi, Asmoro. 1995. Filsafat Umum. Jakarta : Raja Grafindo Persada.Dewey, John. 1955. Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan. alih bahasa E.M. Aritonang. Jakarta: Saksana.Dhofir, Zamahsary. 1990. Kamus Filsafat. Bandung : Rosda Karya. Djumhur, I. dan H. Danasuparta. 1974. Sejarah Prndidikan. Bandung: CV. Ilmu. Hadiwijono, Harun. 2004. Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta : Kanisius.Iman, Muis Sad. 2004. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey. Yogyakarta : Safiria Insani Press & MSI UII. Soejono, Ag.. 1980. Aliran Baru dalam Pendidikan. Bandung : CV. Ilmu.Suparlan, Y. B.. 1984. Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.
[1] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hal. 133.
[2] John Dewey, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan, alih bahasa E.M. Aritonang, (Jakarta: Saksana, 1955), hlm. 5.
[3] Ag. Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, (Bandung : CV. Ilmu, 1980), hal. 126.
[4] Y. B. Suparlan, Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), hlm. 82-84
[5] I. Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Prndidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 0974), 88-90.
[6] Zamahsary Dhofir,Kamus Filsafat, (Bandung : Rosda Karya, 1990), hal. 261
[7] Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 118.
[8] Muis Sad Iman, M.Ag. Pendidikan Partisipatif: Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey, Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII, 2004, hlm. 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar