STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Jumat, 08 Juli 2011

JIHAD DAN TERORISME

Pendahuluan
Islam menempatkan ketauhidan dalam visinya. Untuk menjadikan diri sebagai Muslim, seorang diharuskan mengucapkan syahadatain, dua kalimat syahadat :"Asyhadu ala Ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad ar-Rasulullah" (Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah). Pernyataan ini sekaligus menjadi sebuah "proklamasi" diri. Pengakuan yang didasarkan pada ketulusan hati ini menyiratkan makna, bahwa pada saat syahadatain diucapkan, ia telah menentukan sikap secara tegas, secara sadar dan penuh ketulusan, serta telah menentukan pilihan untuk menempatkan Allah sebagai Tuhannya, dan mengakui Muhammad sebagai Rasul-Nya.
Saat pengucapan la Ilaha illa Allah, secara psikologis seorang Muslim berada pada dua kondisi yang kontraversial sekaligus, yakni yakin dan ingkar. Mengakui akan keesaan Allah, dan menolak segala bentuk kemusyrikan. Konsekuensi kalimat tauhid, la ilaha illa Alla , ialah berserah diri kepada Allah semata dengan melaksanakan semua syari'at den ketetapannya (Salman bin Fahd Al-Audah, 2002: 86).

Perumpamaan ini menggambarkan sosok kepribadian Muslim seutuhnya. Kepribadian dari orang yang memiliki komitmen tinggi terhadap kalimat tauhid yang diucapkannya dan tampilannya ibarat tegakan pohon besar. Keyakinan terhadap Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa tertanam hingga ke relung hatinya yang paling dalam, kuat den tidak bakal tergoyahkan. Kehadirannya dalam kehidupan dimanifestasikan dalam aktivitas yang mencerminkan sosok pelindung, pemberi rasa aman, damai, dan keteduhan bagi lingkungannya. Ia pun melambangkan sosok manusia yang aktif dan kreatif, sehingga mampu memberi manfaat bagi masyarakat maupun lingkungannya, kepada manusia ataupun makhluk Tuhan yang lainnya.
Selanjutnya berkaitan dengan jihad, Jihad sering dikonotasikan pada pemaknaan negatif, yakni tindakan penyerangan lawan secara fisik dengan semboyan "membela agama". Pemahaman seperti inilah yang umumnya berkembang dan dikembangkan di kalangan masyarakat. Kata jihad telah dibentuk sedemikian rupa, hingga telah memunculkan semacam persepsi negatif terhadap nilai-nilai ajaran agam, khususnya Islam. Bila berhadapan dengan kata "jihad", dalam gambaran dan pemikiran masyarakat umum, pastilah dihubungkan dengan "bentrok fisik", perusakan bangunan dan rumah ibadah, yang memakan korban. Bayangan perang tanding antara kelompok muslim dan non-muslim. Padahal dalam makna yang sesungguhnya, jihad tidak semata-mata hanya terfokus pada kesan-­kesan yang "dibuat" negatif seperti itu.
 
Pengertian Jihad
Dari segi bahasa, kata jihad berasal dari bahasa Arab, dalam bentuk isim masdar dari fi'il jahada. Ar­tinya mencurahkan kemampuan. Kamus Al­-Munjid fillughah wal a'lam lebih lanjut menye­butkan lafal jahada al-'aduwwa, artinya gatalahu muhamatan `aniddin: menyerang musuh dalam rangka membela agama (Ma’luf 1986, hlm. 106). Sedangkan Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic menulis, "jihad: fight, battle, holy war (against the infidles as a religious duty)". Ji­had ialah perjuangan, pertempuran, perang suci melawan musuh-musuh sebagai kewajiban aga­ma (Wehr 1976, hlm. 142).
Hasan Al-Banna, seperti dikutip Yusuf Qar­dhawi, menyebutkan, jihad adalah suatu kewa­jiban muslim yang berkelanjutan hingga hari kia­mat; tingkat terendahnya berupa penolakan hati atas keburukan atau kemungkaran dan tertinggi berupa perang di jalan Allah. Di antara keduanya adalah perjuangan dengan lisan, pena, tangan berupa pernyataan tentang kebenaran di hadap­an penguasa yang zalim (Qardhawi 1980, hlm. 74). Sedangkan penulis Al-Ta'rifat mendefinisikan jihad seba­gai seruan kepada agama yang haq (Syarif t.t.,  hlm. 70).
Ahmad Warson Munawir dalam Kamus Arab­ Indonesia Al-Munawwir mengartikan lafal jihad sebagai kegiatan mencurahkan segala kemampu­an. Jika dirangkai dengan lafal fi sabilillah, berarti berjuang, berjihad, berperang di jalan Allah. Jadi kata jihad artinya perjuangan (Warsono 1984, hlm. 234). Sedangkan Ibn Mandzur dalam Lisan al-'Arab menulis, jihad ialah memerangi musuh, mencurahkan se­gala kemampuan dan tenaga berupa kata-kata, perbuatan, atau segala sesuatu yang dimampui.
Ar-Raghib Al-Asfahani menyatakan dalam Al­-Mufradat li Gharib Al-Qur'an, jihad adalah men­curahkan kemampuan dalam menahan serangan musuh. Lebih lanjut Al-Asfahani menambahkan, bahwa jihad itu tiga macam, yakni berjuang meng­hadapi atau melawan musuh yang tampak, ber­juang menghadapi syetan dan berjuang meng­hadapi hawa nafsu. Perjuangan tersebut dilaku­kan dengan tangan dan lisan. Berdasar sabda Nabi saw: jahidu al-kuffar biaydikum waalsina­tikum.
Kamil Salamah Ad-Daqs, menjelaskan, bahwa dalam Al Qur'an terdapat kata jihad yang ber­makna mencurahkan kemampuan sepenuh ke­kuatan secara mutlak, seperti tersebut dalam al-Qur'an, "Kami amanatkan kepada manusia berlaku baik terhadap kedua orangtuanya. Tetapi jika mereka berusaha memaksa kau memperse­kutukan Aku dengan sesuatu yang tak kau keta­hui; maka janganlah taati mereka; kepada-Ku kamu akan dikembalikan, dan Aku akan mem­beritahukan kepada kamu tentang apa yang ka­mu kerjakan." (QS. Al-Ankabut (29): 8).
Kamil Salamah lebih lanjut menyimpulkan, bahwa jihad lebih luas cakupannya daripada pe­rang. la meliputi pengertian perang dan membe­lanjakan harta dan segala upaya dalam rangka mendukung agama Allah, berjuang menghadapi nafsu dan menghadapi syetan. Kata jihad seringkali dirangkaikan dengan lafal fi sabilillah (di jalan Allah), misalnya dalam QS. Al-Maidah (5): 54, Al-Anfal (8): 72 At-Taubah (9): 41, 81. Hal itu mengisyaratkan, bahwa tiada jihad yang diridhai Allah kecuali jihad pada jalan­-Nya.
Abdullah Yusuf menulis dalam tafsirnya, bahwa jihad berarti perjuangan di jalan Allah; suatu bentuk pengorbanan diri. Intinya terdapat dalam dua hal. Pertama, iman yang sungguh-­sungguh dan ikhlas yang tujuannya hanya karena Allah, sehingga segala kepentingan pribadi atau motif-motif duniawi dianggap remeh dan tidak berbekas. Kedua, kegiatan yang tidak kenal lelah, termasuk pengorbanan nyawa (kalau diperlukan), pribadi atau harta-benda, dalam mengabdi ke­pada Allah SWT. Perjuangan yang hanya asal hantam, jelas berlawanan dengan jiwa jihad yang sebenarnya. Sementara pena seorang sarjana atau lisan seorang mubaligh yang sungguh-sung­guh ataupun harta kekayaan seseorang penyum­bang mungkin merupakan bentuk jihad yang sa­ngat berharga.
Selain dirangkai dengan kata jihad, lafal sa­bilillah juga dirangkaikan dengan qital, hijrah dan infaq, seperti dalam QS: Al-Baqarah (2): 154, 190, 246, 261; An-Nisa (4):89, 100; Al-Hajj (22): 58; An-Nur (24): 22. Nabi Muhammad saw menafsirkan lafal sabilillah dengan kalimat Allah, seruan-Nya, prinsip-prinsip dan menhaj-Nya. Imam Bukhari meriwayatkan (ditulis terjemahnya) sebagai berikut: "Seseorang ber­perang untuk memperoleh rampasan, yang lain berperang untuk memperoleh sebutan dan sese­orang berperang supaya dilihat kedudukannya. Siapakah di antara mereka yang fi sabilillah?" Nabi saw menjawab, "Siapa berperang agar kali­mat Allah unggul, maka ia fi sabilillah”. Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya menyatakan, bahwa sabilillah adalah jalan yang mengantarkan kepada keridhaan Allah yang de­ngannya agama dipelihara dan keadaan umat membaik.
Ketika al-Qur'an di suatu tempat menyebut jihad fi sabilillah dan di tempat lain menyebutkan qital fi sabilillah, menurut hemat penulis, bahwa kedua lafal tersebut tidaklah sama maksudnya. Lafal jihad adalah lebih luas daripada istilah qi­tal yang tersebut dalam beberapa ayat al-Qur'an. Oleh sebab itu penulis berpendapat, bahwa qital adalah suatu bentuk dari jihad. Hal itu akan tam­pak lebih jelas melalui penelusuran atas ayat­ayat dan hadis jihad yang akan dibahas berikut.
 
Tujuan Jihad
Islam lebih dari sekadar sebuah agama for­mal tetapi merupakan risalah yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepen­tingan-kepentingan pribadi. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh penekanannya kepada pesan zakat yang dimaksudkan untuk distribusi kekaya­an kepada fakir dan miskin, untuk membebaskan budak-budak, membayar hutang mereka yang berhutang dan memberikan kemudahan bagi ibnu sabil.
Inti Islam itu adalah gerakan pembebasan. Islam adalah aqidah revolusioner yang aktif. Ar­tinya, jika ia menyentuh hati manusia dengan ca­ra yang benar, maka dalam hati itu akan terjadi suatu revolusi. Revolusi dalam konsepsi, revolusi dalam perasaan, revolusi dalam menjalani kehidupan dalam hubungan individu dan kelompok. Revolusi yang berdasarkan persamaan mutlak antara seluruh umat manusia. Seseorang tidak lebih baik dari yang lainnya selain dengan tak­wa. Revolusi itu berdasarkan keadilan mutlak yang tidak dapat membiarkan ketidakadilan dari sia­pa pun juga dan tidak merelakan ketidakadilan terhadap apa pun juga. Begitu seseorang merasa­kan kehangatan aqidah ini, ia akan maju ke depan untuk merealisasikannya dalam alam nyata de­ngan seluruh jiwa raganya.
Islam adalah gerakan revolusioner berskala internasional yang bertujuan untuk membawa dunia ke arah yang ideal. Untuk mewujudkan gagasan-gagasan ideal itu di atas pundak setiap Muslim terpikul kewajiban jihad sebagai bakti universal kepada kemanusiaan. Ajaran Islam mengenai tauhid dan pengab­dian kepada Tuhan bukan suatu seruan religius seperti seruan konvensional yang biasa dikenal. Ia adalah seruan untuk melaksanakan revolusi sosial. Seruan tersebut secara langsung menye­rang sistem kelas yang memperbudak manusia, dengan tujuan mengakhiri dominasi sistem-sistem yang tidak Islam dan menggantikannya dengan sistem-sistem yang Islam, balk dalam bidang aki­dah, tata pergaulan dalam bidang politik, sosial ekonomi dan sebagainya.
Revolusi terus-menerus di bawah bimbingan Tuhan ini akan mengarah pada munculnya suatu masyarakat yang setiap orang adalah khalifah dan partisipan yang sejajar dalam kekhalifahan, yang tidak mentolelir setiap pembagian kelas yang didasarkan pada posisi sosial dan kelahiran. Semua orang menikmati status dan posisi yang setara dalam masyarakat demikian. Satu-satunya kriteria superioritas dalam tata sosial yang demi­kian adalah karakter dan kemampuan pribadi. Tujuan akhir dari revolusi terus-menerus di bawah bimbingan Tuhan adalah untuk menegakkan ke­khalifahan universal. Upaya perbaikan itu ber­hubungan langsung dengan aktivitas jihad.
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mereka yang berjihad di jalan Allah dengan sungguh-sungguh untuk me­negakkan kalimat Allah yang tinggi. Tegaknya kalimat Allah di atas bumi tidak akan dapat ter­wujud kecuali jika ketidakadilan dan kesewenang­-wenangan telah dihilangkan, hingga seluruh ma­nusia memperoleh persamaan. Jihad masa kini dan masa depan adalah ke­lanjutan jihad masa lalu. Ia dilaksanakan berda­sarkan tuntutan nash al-Qur'an dan Sunnah, de­ngan teladan langkah-langkah perjuangan Ra­sulullah saw dan dengan mempertimbangkan perkembangan situasi dan kondisi yang meliputi kaum Muslimin di mana saja mereka berada. ji­had ini dirumuskan secara garis besar dalam dua bentuk kegiatan, yakni sosialisasi dan inter­rialisasi kebajikan (amar ma'ruf) dan pencegahan, penghapusan kemungkaran (nahi munkar).
Islam Terorisme vs Teror terhadap Islam
Perumpamaan sosok kepribadian Muslim seutuhnya dapat dilihat dari komitmen tinggi terhadap kalimat tauhid yang diucapkannya, tampilannya ibarat tegakan pohon besar. Keyakinan terhadap Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa tertanam hingga ke relung hatinya yang paling dalam, kuat den tidak bakal tergoyahkan. Kehadirannya dalam kehidupan dimanifestasikan dalam aktivitas yang mencerminkan sosok pelindung, pemberi rasa aman, damai, den keteduhan bagi lingkungannya. Ia pun melambangkan sosok manusia yang aktif dan kreatif, sehingga mampu memberi manfaat bagi masyarakat maupun lingkungannya, kepada manusia ataupun makhluk Tuhan yang lainnya.
Seorang Muslim ibarat lebah, kata Rasul. Lebah mengkonsumsi sari bunga. Mengambil makanannya dari sari bunga yang harum. Makanan diolah dalam tubuhnya, lalu dihasilkan madu. Cairan yang kental, manis, dan harum sangat bermanfaat bagi manusia. Di kala hinggap, lebah tak pernah melalukan pengrusakan, ujung-ujung ranting yang disinggahinya, tak bakal ada yang patah sehingga kemulusan kelopak tajuk bunga, serta kepala putik tak ada yang terganggu. Malahan pengembaraannya dari bunga ke bunga lain memberi "berkah" pada tumbuhan yang disinggahinya. Mempertemukan serbuk sari den kepala putik, lalu terjadilah pembuahan.
Lebah sejenis dengan kumbang. Termasuk jenis serangga (insect), namun dalam perikehidupan masing-masing menampilkan perilaku yang jauh berbeda. Meskipun keduanya sama-sama mengkonsumsi sari bunga, namun hasil yang diproduk sama sekali berbeda. Dari perut lebah dihasilkan madu, sedangkan dari perut kumbang dikeluarkan kotoran. Selain itu kumbangpun termasuk serangga "biang kerok." Sengatannya berbahaya, singgahannya tidak terbatas pada pepohonan, kayu matipun didatanginya. Nempel di kayu, is membuat lobang untuk dijadikan tempat berteduh. Si biang kerok ini membuat sarang dari hasil pengrusakan. Beda dengan lebah yang membuat sarang menggantung di dahan dan tidak membuat kerusakan, bahkan saat pindah, masih sempat meninggalkan lilin.
Lalu bagaimana halnya dengan terorisme yang sering dihubung­-hubungkan dengan ajaran Islam ? Pengertian etimologisnya saja sudah beda. Intisari dari Islam itu sebenarnya sudah terkandung dalam kata Islam itu sendiri. Arti yang terkandung di dalamnya : (1) berserah diri; menundukkan diri, atau teat sepenuh hati; dan (2) masuk ke dalam salam, yakni selamat sejahtera, damai, hubungan yang harmonis, atau keadaan tanpa cela den node. Tepatnya intisari Islam, adalah berserah diri atau tact sepenuh hati kepada kehendak Allah demi tercapainya kepribadian yang bersih dari cacat den node, hubungan yang harmonis den damai sesame manusia, atau selamat sejahtera di dunia den akhirat (Ensiklopedi Islam 1992, hlm. 445).
Islam menggariskan misinya sebagai misi pemeliharaan. Lima target pokok yang terumus dalam pemeliharaan ini, yakni : 1) memelihara agama; 2) memelihara nyawa; 3) memelihara akal; 4) memelihara harta; dan 5) memelihara keturunan. Misi pemeliharaan ini sejalan dengan makna Islam itu sendiri, sebagai agama yang mengutamakan penyerahan diri tanpa pamrih kepada Allah, menciptakan suasana kehidupan yang damai, aman, sejahtera, dan berkualitas.
Memelihara di sini perlu dipahami dalam arti yang luas. Memelihara agama mengandungmakna, memelihara Islam sebagai agama yang dianut, serta memelihara agama lain yang dianut oleh umatnya. Maksudnya tidak merusak ptau menciderai agama-agama non-Islam. Demikian pula yang dimaksud dengan memelihara nyawa, yaitu memelihara nyawa sendiri maupun nyawa makhluk Allah yang lainnya. Oleh karena itu Islam mengutuk bunuh diri, membunuh orang lain, atau bahkan hewan-hewan. Kemudian memelihara akal, agar sebagai makhluk termulia, manusia mampu memelihara akal sehatnya. Makanya Islam melarang penganutnya untuk mengkonsumsi minuman keras dan sejenisnya, yang dapat memberi pengaruh terjadinya kerusakan akal.
Lebih lanjut, memelihara harta dimaksudkan, agar manusia dapat memperoleh dan memanfaatkan harta kekayaan dengan cara yang baik dan benar. Harta kekayaan harus diperoleh dari sumber yang diperkenankan oleh Allah, serta kemudian mendistribusikannnya untuk kepentingan diri, keluarga, serta masyarakat sesuai dengan ketentuan Sang Pemberi Rezki, yakni hukum Allah. Akhirnya, memelihara keturunan dimaksudkan, agar generasi manusia tetap terpelihara. Dalam hubungan ini, Islam mengajarkan agar dalam membentuk rumah tangga, harus dilakukan melalui pernikahan. Pernikahan merupakan sesuatu yang dianggap suci. Islam melarang perbuatan zina atau sejenisnya.
Terorisme dan Agama
Dari pengertian awalnya saja sudah beda dengan terorisme. Asal kata terorisme adalah teror. Secara etimologis teror mencakup dua pengertian, yakni : 1) perbuatan (pemerintah dan sebagainya) yang sewenang-wenang (kejam, bengis dan sebagainya); 2) usaha menciptakan ketakutan, kengerian, kekejaman oleh seseorang atau golongan. Sedangkan terorisme berarti penggunaan kekerasan atau menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990: 939). Jadi terorisme mungkin dilakukan oleh siapa saja, baik pemerintah, golongan tertentu, atau orang perorangan.
Dengan merujuk pendapat Smith dan Jungman, Hasnan Habib mendefinisikan terorisme adalah tindakan yang dengan sengaja menggunakan atau mengancam menggunakan kekerasan terhadap sipil atau sasaran sipil untuk mencapai tujuan politik (Hasnan Habib, 2002). Smith dan Jungman dalam definisi tersebut lebih menekankan terorisme pada cara, sasaran, dan tujuan, bukan pada subjeknya. Hal ini memberi kesan, bahwa terorisme dapat dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Terorisme bagaikan kawasan tak bertuan. Boleh dimasuki siapapun yang merasa berkepentingan. Adapun indikasinya berupa perbuatan sengaja (direncana, sistematik, dan terorganisasi), penggunaan kekerasan (ancaman, langsung), sasaran (sipil, non-militer), dan tujuannya terkait dengan kepentingan politik.
Tindakan teroristik sebenarnya bukan lakon baru. Bila dicermati latar belakang sejarah manusia dan kemanusiaan, teroris telah berlangsung cukup lama. Aktivitas terorisme ada yang berbentuk gerakan kecil-kecilan dan tersembunyi. Mereka dikenal dengan sebutan gerakan "bawah tanah." Bila dukungan bertambah, dan merasa cukup kuat, gerakan ini menjelma jadi "pemberontakan." Bahkan dalam kulminasi puncak kekuatanya, terorisme dapat berubah menjadi sebuah gerakan revolusioner. Merebut kekuasaan politik. Sudah berapa banyak kekuasaan politik tumbang oleh kekuatan kaum revolusioner, yang dilahirkan dari gerakan teror yang bersifat sporadis.
Walaupun lebih terkesan sebagai mitos, barangkali Perang Troya , yang dituangkan penyair Yunani Homeros dalam karyanya Iliad (Ensiklopedi Indonesia : 3635), menggambarkan hal ini. Perlawanan Indian suku Apache terhadap pasukan Federal, dalam kasus penyerobotan "tanah leluhur",di priode-priode awal pendirian negara Amerika Serikat. Gerakan perlawanan, Robespierre terhadap kediktatoran Louis XVI dan kasus korupsi. Ataupun penampilan legenda Robin Hood. Seorang pemimpin penyamun berhati mulia dalam melawan penindasan kalangan bangsawan di masa pemerintahan Raja Richard I. Gerakan Carbonari di Italia dalam upaya menumbangkan diktator Musollini. Juga Che Guevara, gembong teroris asal Kuba, yang sempat dielu-elukan masyarakat tertindas di Amerika Latin.
Bila gerakan-gerakan serupa dikategorikan sebagai terorisme, maka rangkaian akan bertambah panjang. Inggris mengenal kelompok IRA. Di Nepal ada gerakan Maois, dan Srilanka terus digerogoti kelompok separatis Elam Tamil. Filipina berhadapan dengan kelompok Abu Sayyaf. Thailand berurusan dengan minoritas Muslim, sedangkan Myanmar berhadapan dengan suku Karen. India dan Pakistan sama-­sama disibukkan oleh pejuang Kashmir. Rusia menuduh Chechya sebagai sarang teroris. Sementara Israel menyebut pejuang Palestina, terutama kelompok Hamas termasuk teroris.
Bila dikaji secara lebih mendalam, sebenarnya pemahaman tentang terorisme itu sendiri masih "ngambang" Belum ada kesatuan pemahaman tentangnya. Bila teroris dikaitkan dengan tujuan politik, maka apa tidak mungkin peninjauan terhadapnya juga mengandung muatan politik, setidaknya bila dilihat dan disimak latar belakang produk definisi itu sendiri. Mereka yang melontarkan kasus ini, adalah pihak yang memiliki kekuatan politik, umumnya negara-negara besar yang kemungkinan merasa terganggu dan sulit untuk menyelesaikannya, hingga perlu mengajak negara-negara lain untuk membasminya. Cara mereka yang paling efektif, adalah dengan membentuk isi bersama, menyatukan visi dalam memerangi teroris. Rekayasa politik ini kemudian dituangkan dalam konsep-konsep yang dikaitkan dengan agama. Dua aliran keagamaan yang sering disebut-sebut sebagai pemicu gerakan terorisme, yakni fundamentalisme dan radikalisme.
Fundamentalisme
Istilah fundamentalisme, menurut Thomas Meyer muncul di Amerika Serikat sekitar tahun 1910-1915 dalam rangkaian publikasi berjudul The Fundamentals, A Testimony to Thruth, serta tahun 1919, World's Christian Association. Dengan demikian, istilah "fundamentalisme" menjadi semacam keyakinan Kristen dengan menempatkan diri untuk keperluan umum dan akademik (Thomas Meyer 2002, hlm. 11). la kemudian mengemukakan empat karakter gerakan ini, yakni : 1) penggunaan tidak tepat atas keseluruhan isi AI-Kitab; 2) pernyataan bahwa semua teologi, agama, dan ilmu pengetahuan adalah tidak berlaku, bilamana bertentangan dengan kata-kata dalam AI-Kitab; 3) keyakinan, bahwa siapa saja yang ke luar dari teks Al- Kitab (sesuai dengan interpretasi kaum fundamentalis) dapat menjadi seorang Kristen yang benar, walaupun dengan yakin menyatakan demikian; dan 4) keyakinan yang pasti untuk membatalkan pemisahan modern atas gereja dan negara, agama dan politik, demi kepentingan politik, dengan cara menginterpretasikan agama sebagai jalan masing­masing, bilamana ketentuan hukum/politik dalam masalah krusial bertentangan dengan etika masing-masing (Thomas Meyer, hlm. 12).
Adapun Webster's Ninth New Collegiate Dictionary mendefinisikan fundamentalieme sebagai "sebuah gerakan Protestanisme abad ke-20, yang menekankan penafsiran Injil secara literal sebagai hal fundamental bagi kehidupan dan ajaran Kristen". Bagi banyak orang Kristen, "fundamentalis" adalah hinaan, yang digunakan agak sembarangan untuk orang-orang yang menganjurkan posisi Injil yang literalis, dengan demikian dianggap statis, kemunduran, dan ekstremis (John I. Elposito, 1994: 17). Sebagai akibatnya, fundamentalisme acapkali dianggap secara umum sebagai mengacu kepada orang-orang literalis yang ingin kembali dan meniru masa lalu.
Berangkat dari pemahaman ini, menurut Thomas Meyer, terlihat bahwa fundamentalisme tidak hanya terkait dengan masalah keagamaan semata. Fundamentalisme dimana-mana adalah salah satu dari berbagai kemungkinan untuk dapat mengerti dan mempraktikkan tradisi kultural. Dalam masing-masing budaya, fundamentalisme menyatakan perang terhadap modernisme dan tradisionalisme, dengan talk tergoyahkan mengupayakan untuk mengembalikan identitas yang benar dari budaya tradisional yang saat itu berada dalam keterpurukan, dengan membangkitkannya kembali dengan cara mengambilalih kekuasaan politik dan supremasi absolut (Thomas Meyer; 3). Dalam agama, tulis John l Elposito, fundamentalisme merupakan usaha yang menghendaki kembali ke kepercayaan dasar atau dasar-dasar suatu agama (John I Elposito : 17).
Beranjak dari penjelasan di atas, dalam batas-batas tertentu, barangkali sulit dipahami adanya hubungan langsung antara fundamentalisme sebagai gerakan keagamaan dengan terorisme. Konon pula "fundamentalisme " itu dikaitkan dengan konsep jihad dalam Islam. Selain terdapat perbedaan prinsip, juga faktor latar belakang sejarah penggunaan istilah itu sendiri. Dalam penilaian John I Elposito , "fundamentalisme " terlalu dibebani oleh praduga Kristen dan streotip Barat, dan juga menyiratkan ancaman monolitik yang tidak pernah ada. Istilah umum yang lebih cocok adalah :" kebangkitan Islam" atau "aktivisme Islam" yang tidak terlalu dibebani oleh nilai-nilai, dan berakar pada tradisi Islam (John I. Elposito, hlm. 18).
Ditilik dari pemahaman ini, tampaknya sulit untuk mengidentifikasikan adanya sentuhan fundamentalisme terhadap terorisme. Aliran keagamaan ini lebih dititikberatka pada usaha pemurnian nilai-nilai agama. Jadi gerakannya terbatas pada kalangan intern umat atau pemeluk agama itu send in. Tidak ke luar. Maka akan jadi sebuah pertanyaan, kalau sampai fundamentalisme dikaitkan dengan terorisme yang kental uengan nuansa politik di dalamnya. Kesannya, "tuduhan" tersebut lebih banyak dilatarbekalangi oleh stigma (sifat negatif) sejarah hubungan masa lalu antar kelompok, golongan, masyarakat atau bangsa. Jadi bukan semata-mata murni karena fundamentalisme itu sendiri.
Radikalisme
Kelompok kedua yang banyak disebut-sebut sebagai pelaku terror, adalah radikalisme. Sebagai aliran atau paham yang menghendaki pembaharuan sosial atau politik dengan cara keras dan drastis, radikalisme diidentikkan dengan sikap ektrem dalam aliran politik (K881, 1990: 719). Di sisi lain, terorisme yang menampilkan ciri berupa ancaman dan kekerasan dengan sasaran sipil (non-militer) yang dilatar belakangi oleh tujuan politik. Maksud yang berada di balik terorisme adalah untuk menciptakan chaos (kekacauan), demoralisasi, dan disfungsi sosial. Barangkali berangkat dari kedekatan ciri antara keduanya, maka radikalisme dan terorisme dianggap memiliki hubungan timbal-balik. Saling mempengaruhi.
Beda dengan fundamentalisme, pada dasarnya radikalisme bukan sepenuhnya terdapat di lingkungan keagamaan. Munculnya radikalisme sering dipicu oleh adanya perlakuan yang diskriminatif. Di Amerika dan Eropa misalnya muncul emansipasi wanita yang dikenal sebagai gerakan radikal. Gerakan ini menuntut persamaan hak, fungsi, dan peran dengan kaum pria. Demikian radikalnya, hingga dalam masalah­masalah seksualpun, menurut mereka, kaum perempuan tidak seharusnya tergantung kepada laki-laki. Radikalisme kaum perempuan ini bahkan menuntut adanya kesetaraan jender dalam pengertian yang luas. Ide ini kemudian memunculkan kelompok lesbian.
Radikalisme juga muncul dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang sosial politik, aktivitas ini dikenal dengan gerakan pembaharuan. Gerakan mereka memunculkan revolusi yang sempat mengguncangkan dunia. Tokoh-tokoh seperti Adolf Hitler, Stalin, maupun Mao Tse Tung sering dinilai sebagai tokoh radikalisme. Dalam sejarah agama Barat sendiri, misalnya Protestan dan Calvinisme dianggap sebagai gerakan radikal. Sayangnya gerakn ini luput dari publikasi umum. Sama sekali "dibebaskan" dari "tuduhan" sebagai terorisme.
Seperti halnya fundamentalisme, maka radikalisme juga dianggap sebagai ektremisme dan ekiusivisme. Keras dan tertutup. Cocok untuk dikaitkan dengan terorisme. Namun setelah dicermati secara mendalam, pandangan yang demikian itu sama sekali talk lepas kaitannya dengan latar belakang politik. Wadah identitas kelompok ini vis a vis dunia sekitarnya yang dianggap dekaden, sebuah dunia iblis yang harus dimusnahkan. Mereka meyakini dirinya yang paling benar, paling dekat ambang pintu Tuhan (Komaruddin Hidayat, Kompas, 13 Desember 2002).
Keyakinan merupakan "wilayah hati" yang sekerdil apapun, ada kaitannya dengan prinsip dan sistem nilai yang jadi pandangan hidup seseorang, atau masyarakat. Apakah sistem nilai tersebut bersumber dari ajaran agama, ataupun dari ideologi tertentu. Nilai adalah sesuatu yang dianggap benar, dan perlu dipertahankan, serta diperjuangkan. Dalam situasi tertentu, bahkan orang talk segan-segan mengorbankan nyawa demi mempertahankan nilai. Dalam kondisi seperti itu, nalar (common sense) akan kehilangan fungsinya. Benar dan salah sudah tidak jadi pertimbangan lagi. Dominasi emosional begitu kental, hingga yang dijadikan ukuran adalah "kawan" dan "lawan". Siapapun yang berseberangan harus dihancurkan.
Bila saja radikalisme diidentikkan dengan teroris, maka peluang munculnya terbuka lebar. Radikalisme sebagai paham atau aliran, sebenarnya berpeluang muncul dalam berbagai bidang kehidupan. Tuntutan terhadap perubahan yang drastis dan cepat dapat terjadi di bidang politik, militer, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Radikalisme pada dasarnya merupakan gerakan pendobrak terhadap kondisi yang mapan, karena didorong oleh keinginan untuk menciptakan suatu kondisi baru yang diinginkan, dengan cara yang cepat. Dengan demikian, radikalisme tidak selalu berkonotasi negatif. Bila gerakan tersebut mampu menciptakan kondisi baru yang bermanfaat bagi peningkatan peradaban dan manusia, bagaimanapun produk radikalisme dapat diterima. Sebaliknya, bila kondisi baru yang dihasilkan itu menimbulkan petaka bagi kemanusiaan, radikalisme dinilai terorisme. Begitu kira-kira pendapat umum.
Mitos Keagamaan
Menurut Elizabeth K. Nottingham, agama adalah gejala yang begitu sering terdapat dimana-mana, dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dan keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri (Elizabeth K. Nottingham 1985, hlm. 3). Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang adikodrati (supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Olehnya, tidak mengherankan bila dalam kehidupan individu maupun masyarakat, agama berfungsi sebagai sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu.
Memang menurut Mc. Guire, diri manusia memiliki sistem nilai tertentu. Sistem nilai itu dianggap sebagai sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Perangkat system nilai itu sendiri dipengaruhi oleh keluarga, teman, institusi pendidikan, dan masyarakat luas (Meredith Mc. Guire, 1981, hlm. 24). Selanjutnya menurut Mc.Guire, berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh dari belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya sehingga sejak itu perangkat nilai tersebut menjadi sistem nilai yang menyatu dalam membentuk identitas seseorang. Ciri khas ini dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti bagaimana sikap, penampilan, maupun untuk tujuan apa ia turut berpartisipasi dalam suatu kegiatan tertentu.
Pada garis besarnya, menurut Mc. Guire, sistem nilai yang berdasarkan agama dapat memberi individu dan masyarakat perangkat sistem nilai dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam mengatur sikap individu dan masyarakat (Mc. Guire, hlm. 26). Ketika itu, sistem nilai sudah terbentuk sebagai kata hati, yakni panggilan manusia kepada dirinya (Erich Fromm, 1988, hlm. 110). Dalam kondisi yang seperti itu, sistem nilai sudah menempatkan fungsinya sebagai keyakinan, dan kata hati jadi penentu tindakan. Atas dasar keyakinan, manusia terpanggil untuk melakukan sesuatu, betapapun berat dan sulitnya. Apalagi kalau semuanya itu dihubungkan dengan agama. Sebab keyakinan yang sudah terinternalisasi dalam prinsip hidup akan menjadikan penganut agama bersedia untuk berkorban. Dalam situasi yang demikian ini, mitos keagamaan akan menjadi "dagangan" yang laris untuk menggerakkan para pendukungnya dalam melakukan tindakan teror.
Dalam buku ”Terorisme Berjubah Agama”, Riwan al-Makassary mengawali tulisannya dengan mendeskripsikan latar belakang sejarah pertalian antara agama dan terorisme. Keduanya, bukanlah hal yang baru. Secara etimologis, The Zealot sebagai gerakan perlawanan dari sekte Yahudi terhadap penjajahan Romawi, pada tahun 66 dan 73 Masehi, dapat dianggap sebagai gerakan terorisme. Kemudian gerakan yang hampir serupa dilakukan kaum Syi'ah antara tahun 1090 dan1272 dalam melawan pasukan salib. Gerakan yang tak jauh berbeda juga pernah terjadi di India, berupa pembunuhan terhadap para wisatawan sebagai persembahan kepada kali, sang dewa teror dan penghancur Hindu. Karenanya, dalam pandangan Walter Laquer, sampai abad ke-19, agama sekedar jadi justifikasi bagi terorisme (Ridwan al-Makassary, 2003, hlm. 5-6).
”Terorisme berjubah agama”, tampaknya tidak sebatas itu itu saja. Menurut penulis lebih lanjut, bahwa selam tahun 1990-an jumlah terorisme agama bertumbuh secara "mengesankan" di antara organisasi-organisasi terorisme internasional yang aktif. Tahun 1992, jumlah kelompok terorisme agama bertambah dari dua menjadi 11 kelompok yang berbasis pada agama besar, serta pelbagai sekte dan kultus. Tahun 1994, ada 16 dari 45 organisasi yang diidentifikasikan sebagai tergolong dalam kasus terorisme agama. Lalu tahun berikutnya menjadi 26 dari 56 organisasi keagamaan. Sedangkan tahun 1996, hanya 13 dari 46 kelompok yag dinilai memiliki motivasi agama yang dominan (Ridwan al- Makassary, 2003, hlm. 6-7).
Apa yang diungkapkan Ridwan al- Makassary, menunjukkan bahwa terorisme agama bukan hanya milik ataupun bersumber dari agama tertentu. Semuanya ini menjadi kian jelas, bila dihubungkan dengan sejarah agama-agama dunia. Agama-agama besar seperti Yahudi, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan Islam, sama sekali tak lepas dari garapan gerakan terorisme. Agama dijadikan "objek". Gerakan tersebut dimunculkan oleh kelompok sempalan dari sekte, aliran, atau kultus. Bukan murni dari ajaran agama. Sayangnya, kasus-kasus seperti itu sering diidentikkan dengan "agama payungnya" karena khalayak tidak lagi mencermati, bahwa tindakan teroristik tersebut sama sekali bertentangan dengan keluhuran nilai-nilai ajaran agama.
Menurut Hasnan Habib, terorisme merupakan kekerasan sipil (civil violence). la mengemukakan factor yang menjadi latar belakang terorisme sebagai: 1) tindakan kekerasan 85%;  2) politik 65 %;  3) teror (kekerasan mendalam) 51 %;  4) ancaman 47 %   5) efek psikologis dan reaksi yang diantisipasi 41 %; 6) diskrepansi (ketidakcocokan) sasaran dengan korban 37,5 %; 7) sengaja direncanakan secara sistematis dan terorganisasi 32 $; dan 8) metode, strategi dan taktik 30,5 %. Lebih lanjut, menurutnya, pada garis besarnya terorisme ditandai oleh : 1)penggunaan kekerasan; 2) bertujuan politik; dan 3) sasarannya adalah masyarakat sipil (Hasnan Habib: 2002).
Kelompok teroris cenderung menggunakan atau mengatas­namakan agama, juga punya pertimbangan tersendiri. Setidaknya bila dikaitkan dengan fungsi agama itu sendiri. Secara sosiologis, fungsi agama itu antara lain, sebagai pemupuk solidaritas dan juga memiliki fungsi penyelamat (Elizabeth K. Nottingham : 75 -82). Dari fungsi pertama, agama dapat "dimunculkan" dalam upaya merekrut massa pendukung. Sedangkan fungsi kedua, agama dapat dimanipulasi ke dalam mitos, hingga para pendukung gerakan teroris merasa dirinya berada di "jalan Tuhan." Maka cukup beralasan, bila B. J. Berkowitz (1972) mencoba melihat terorisme dari sudut pandang psikologis. Menurut psikolog ini, pelaku teroris yang mendasarkan aktivitasnya "atas nama tuhan," muncul dari enam kelon; ook. Keenam kelompok itu tersebut adalah : 1) paranoids; 2) paranoid schizophrenics; 3)borderline mental defectives; 4) schizophrentic types; 5) passive­aggressive personality type; dan 6) sociopath. Adapun sociopath, merupakan tipe yang paling memungkinkan untuk menggunakan senjata pemusnah massa! (Berita Pagi, 19 November 2005). Temuan B. J. Berkowitz menunjukkan, bahwa sebenarnya pelaku teroris bukanlah tergolong manusia normal. Para pelakunya adalah kelompok pengidap gangguan mental. Mereka yang talk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Ajaran agama sebenarnya berisi nilai-nilai luhur. Namun demikian, nilai-nilai tersebut acapkali dengan sengaja " dipasung" oleh tokoh atau kelompok tertentu, lalu diformulasikan ke dalam mitos. Tindakan yang bersifat manipulatif ini menjadikan ajaran agama kehilangan nilai-nilai luhurnya. Menurut Komaruddin Hidayat, pada tingkat tertentu, alam pikiran mitologis cenderung anti-sejarah dan anti-peradaban modern. Realitas yang ada dipandang semu, maya, imitasi, dan tidak sesuai dengan arketipe yang ada di alam surgawi. Selanjutnya pemikiran mitologis itu muncul dalam dua bentuk paradoksal. Pertama, radikalisme eskapis, berusaha melepaskan kehidupan dunia, hidup bertapa, membebaskan diri dari berbagai kenikmatan duniawi yang dianggap racun dan bersifat maya. Kedua, radika!isme teologis, membangun komunitas ekslusif benteng pertahanan.
Mitologi keagamaan sering dihubung-hubungkan dengan radikalisme paradoksal ini. Terutama yang bersifat teologis. Tipe ini umumnya memiliki sudut pandang hitam-putih, yakni : iman-kafir, pahala-dosa, halal-haram, dan surga-neraka. Mereka yang dianggap memiliki prinsip teologi yang sama adalah kawan, serta yang berbeda adalah musuh dan harus dilawan. Melenyapkan musuh diketegorikan sebagai " kewajiban" dan "panggilan" agama. Dianggap sebagai tugas suci, dan pelakunya yang menjadi korban dimasukkan sebagai "pahlawan" yang "dijanjikan" akan menempati kehidupan surgawi. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh mitos keagamaan di kalangan pendukungnya.
Sejarah mendokumentasikan, bahwa selama Perang Dunia II, ketika terlibat dalam Perang Pasifik, Jepang memobilisasi pasukan harakiri. Pasukan berani mati ini, terlihat begitu tulus "mempersembahkan" nyawa mereka demi Kaisar. Perbuatan nekad perajurit Jepang ini tak lepas dari mitos keagamaan yang dikembangkan ke dalam ajaran bushido. Ajaran yang menekankan kewajiban untuk mengabdi kepada pemimpin yang dimanifestasikan dalam bentuk sikap patuh tanpa pamrih. Semuanya itu dikaitkan dengan mitos agama Shinto, bahwa Kaisar adalah titisan dewa matahari (Amiterasu Omi Kami). Bakti kepada Kaisar diidentikkan kepada kepatuhan pada perintah dewa.
Mitos keagamaan dapat dijelmakan dalam berbagai situasi dan untuk tujuan politik. Diselundupkan ke dalam terorisme. Dalam kajian psikologi agama, tindakan teror merupakan bagian dari tingkah laku keagamaan yang menyimpang. Gerakan seperti itu tak lepas dari faktor-faktor kejiwaan yang mempengaruhi pendukungnya. Di antara faktor-faktor yang dianggap dominan dalam mempengaruhi dukungan secara massal, adalah :
Messianime
Konsep messianis umumnya lahir dan tumbuh dalam kelompok atau masyarakat marginal yang tertindas. Masyarakat miskin dan tertindas adalah gambaran dari kelompok yang lemah. dalam keadaan tertindas ini mengangan-angankan datangnya seorang tokoh penyelamat (Messiah) yang dapat membebaskan mereka dari ketertindasan.
Tokoh yang diyakini sebagai sosok penyelamat (pertaining to the Messiah) dan bakal dapat mengubah nasib menjadi lebih baik. Tegasnya, masyarakat tertindas berharap akan datangnya "Ratu Adil."
Walaupun dalam versi yang berbeda, konsep messianisme selalu dijumpai dalam setiap kelompok masyarakat, dan juga dalam kelompok penganut agama. Konsep messianisme ini ada yang dikenal dengan sebutan Ratu Adil, al-Mahdi, Mujaddid (pembaharu), Reformis, ataupun Messiah. Nama berbeda, namun intinya adalah sama, yakni "tokoh" yang dianggap mampu membawa masyarakat ke kondisi kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih nyaman. Tokoh ini muncul dalam momen yang tepat. Saat masyarakat membutuhkan. Umumnya mereka ini adalah sosok pribadi yang mampu mempengaruhi massa. Cara yang paling efektif adalah dengan memanfaatkan ajaran agama.
Tebusan Dosa
Dalam pandangan agama, manusia adalah makhluk yang suci. Atas dasar nilai-nilai kesucian bawaan ini, maka manusia pada dasarnya cenderung untuk melakukan segala yang baik. Sayangnya, terkadang pengaruh lingkungan, menjadikan manusia terdorong untuk melakukan perbuatan jahat. Di kala menyadari akan perbuatan salah itu, secara psikologis manusia merasa dirinya bersalah. Dalam kehidupan beragama, perasaan ini dikenal sebagai rasa bersalah (sense of guilt), sebagai perbuatan dosa. Padahal agama mengajarkan agar pemeluknya untuk senantiasa menghindari perbuatan dosa. Bila dilakukan, maka kredibilitasnya sebagai penganut agama akan tercoreng.
Bila terlanjur, maka kepada pelakunya dianjurkan untuk memohon ampunan kepada Tuhan. Idealnya permohonan tersebut disertai dengan pengakuan yang tulus. Intinya adalah agar si pelaku memiliki tekad yang kuat untuk memperbaiki diri dari kesalahan. Jadi ada semacam ubahan sikap. Dalam ajaran agama tindakan "rujuk kembali" ini disebut tobat. Dengan bertobat, diharapkan si pelaku akan merasa berada kembali dalam "naungan kasih Ilahi." Dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya, dianggap sudah terhapuskan. Batinnya jadi tercerahkan, dan mulai menapak ke kehidupan baru dalam keadaan damai.
Dalam kondisi tertentu, konsep tobat ini dapat dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi, yakni "pengampunan total" dengan janji " kehidupan surgawi. " Untuk mencapai tingkat "terhormat" dan "mulia" ini, perlu adanya pengorbanan yang berat. Salah satu alternatif yang banyak ditawarkan adalah tindakan nekad. Tindakan ini sering dikaitkan dengan konsep ajaran agama. Agar lebih luwes dan terkesan "luhur", maka tindakan nekad tadi dikemas menjadi "martir" atau "syahid." Berjihad di jalan Tuhan. Padahal di balik itu, tersembunyi tujuan-tujuan lain.
Untuk memperkuat pendapat tadi, lazimnya tokoh penggerak, berupaya menghubungkannya dengan doktrin agama pada tataran teologis. Penggunaan doktrin teologis dinilai lebih kuat dalam memberi pengaruh. Sebab secara psikologis, para pendosa sedang didera konflik batin. Ada semacam kegelisahan yang berkepanjangan. Mereka berada dalam situasi yang menginginkan ketenangan. Mencari tempat bernaung. Gayungpun bersambut. Dengan dukungan dalil-dalil keagamaan, para pelaku dosa seakan diberi peluang untuk memperoleh "tiket surga." Kiat ini akan memberi pengaruh yang bersifat sugestif, hingga mampu mengubah sikap mental seseorang. Mengubah perilaku seseorang hingga terdorong untuk berbuat nekad.
Taruma Sejarah
Adanya kesan yang menghubungkan Islam dengan terorisme, pada dasarnya tak dapat dilepaskan dari latar belakang sejarah. Di awal-awal kelahirannya, Islam dihadapkan kepada dua peradaban besar dunia, yakni Romawi dan Parsi. Peradaban Romawi tersebar di sebagian besar kawasan Eropa. Secara politis berada di bawah penguasaan seorang Kaisar. Sedangkan wilayah Timur direpresentasikan oleh peradaban Parsi yang dikepalai oleh Kisra. Setelah kebangkitan Islam, kedua kekuasaan pemegang hegemoni peradaban itupun menyurut. Kekuasaan Parsi berakhir, setelah kerajaan Sasanid ditaklukkan oleh Umar ibn Khaththab pada abad ke-8 Hijriyah (Ensiklopedi Indonesia, 1984.-2686). Demikian pula kekuasaan Romawi berakhir tahun 475 Masehi setelah dikalahkan bangsa Jerman di bawah Odoaker (Ensiklopedi Indonesia : 2932).
Sejak keruntuhan Parsi (Persia), hegemoni peradaban dunia dipegang oleh dua agama besar, yakni Kristen dan Islam. Peradaban Kristen berkembang di wilayah Eropa dan wilayah Timur sebagian besar berada di bawah peradaban Islam. Namun kawasan Palestina masih dalam perebutan, antara dua kekuasaan ini. Wilayah yang di dalamnya terdapat kota suci Jarussalem ini kemudian memicu terjadinya Perang Salib. Perang yang berlangsung selama hampir dua abad ini (1095 - 1291 M). Perang ini berakhir setelah pasukan Mamluk yang berhasil merebut kembali Antiokia, Tripoli dan Acre, tahun 1291 dari pasukan Salib (Ensiklopedia Islam, 1992: 837-838).
Perang Salib selalu dimunculkan sebagai perang agama. Perang antara Kristen dan Islam. Kekalahan yang "menyakitkan" di Perang Salib ditambah pula oleh penguasaan Semenanjung Pyrenia (Andalusia) oleh dinasti Umawiyah, serta sebagian kawasan Balkan oleh bani Utsman (Turki Utsmani). Tidak mengherankan kalau peristiwa ini kemudian menimbulkan semacam trauma sejarah Barat terhadap Islam. Dan setelah Revolusi Industri, oleh negara-negara Eropa dijelmakan dalam bentuk kolonialisme. Awalnya tujuan "pengembaraan" ke dunia Timur didasarkan pada pengembangan perdagangan. Mencari bahan baku dan memperluas pemasaran produk industri. Namun kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, mendorong bangsa-bangsa Eropa untuk menjadikan wilayah wilayah bekas kekuasaan Islam sebagai koloni tetap.
Penguasaan bangsa-bangsa Eropa terhadap wilayah kekuasaan Islam ternyata tidak berjalan mulus. Sebelum dapat ditaklukkan, mereka harus menghadapi berbagai perlawanan. Dalam perlawanan terhadap kaum penjajah ini, kembali tema ''perang suci" dimunculkan oleh kaum penjajah, gerakan perlawanan selalu dikonotasikan sebagai tindakan jahat. Disebut sebagai pemberontak, ataupun sebuatan-sebutan lain yang berkonotasi negatif. Kesan seperti itu tampaknya terus dikembangkan, walaupun setelah wilayah bekas kekuasaan Islam tersebut berhasil menjadi negara. Hal ini pula tampaknya yang menyebabkan hubungan antara keduanya belum pernah berjalan mulus. Anehnya lag!, agama selalu diusung sebagai faktor penyebabnya.
Terorisme tak lebih dari "reinkarnasi" dari julukan "pemberontak" yang pernah dijadikan label oleh kaum penjajah terhadap gerakan anti-kolonialisme. Akhir-akhir ini suara yang bernada miring itu berkembang jadi terorisme. Langsung dikaitkan dengan konsep jihad dalam Islam. Hubungan ini dinyatakan secara tegas oleh seorang pakar dari Pusat Strategi Internasional (CISA), yakni Prof. Ross Babbage, dalam ceramahnya yang berjudul The New Terrorims: Implications For Asia Pasific Governance di gedung Parlemen Australia, ia menyimpulkan bahwa terorisme terkait dengan gerakan minoritas umat Islam militan Wahabi yang dikenal radikal dan akrab dengan kekerasan (Sriwijaya Post, 12 Desember 2002).
Selanjutnya Ross membagi terorisme menjadi, terorisme lama dan terorisme baru. Kelompok pertama antara lain termasuk: Tentera Merah Jepang, Tentera Republik Irlandia, Macan Pembebasan Tamil (Elam) di Srilangka, Front Pembebasan Moro, dan kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Sedangkan Jema'ah Islamiyah dan al-Qaeda dikelompokkannya ke dalam terorisme baru. Kelompok ini dalam melakukan operasi tidak memerlukan peralatan berat seperti perang konvensional atau jaraingan yang berbentuk organisasi, sebagaimana organisasi militer. Namun menurut Ross, perjuangan mereka didukung oleh doktrin agama yang dikaikan dengan ”perang suci”.
Pandangan Ross, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Menurut Karel A. Steenbrink, sejak komunisme dihancurkan, maka Barat memerlukan kambing hitam yang baru. Beberapa pihak telah menemukannya dalam fundamentalisme Islam. Teroris-teroris dari Timur Tengah, Palestina, Syria, dan Libya dalam film, pers, dan politik Barat sejak permulaan dijadikan musuh utama dalam budaya Barat. Kecenderungan ini masih diperkuat oleh hukuman mati terhadap Salman Rushdie, berdasarkan fatwa yang dikeluarkan Imam Khomeini pada bulan Maret 1989 (Karel A. Steenbrink, 1995: 222). Pandangan Barat ini dinilai oleh Prof. Thomas Meyer, terkait dengan skenario Huttington mengenai perselisihan peradaban.
Dengan konstruksi seperti itu, lanjut Meyer, maka teori Huttington dapat membenarkan kepentingan yang berhubungan dengan kekuasaan dan supremasi, di mana sebuah pandangan adil dan tidak berpihak, tidak dapat memberikan pembelaan pada tingkat keyakinan manapun. Huttington memperlakukan peradaban-peradaban yang berbeda seolah-oleh terdiri dari tidak lain hanya fundamentalisme (Thoma Meyer, 2002: 2). Walau tersamar, teori Huttington, seakan memunculkan kembali trauma "Perang Salib" dalam skenario modern.
Teori ini bagaikan "angin segar" bagi kepentingan politik Barat. Dan ibarat kata pepatah " Elang lalu, ranting patah," maka tragedi 11 September 2001, seakan menjadi semakin absah untuk memperkokoh tuduhan hubungan Islam dengan teorisme. Teori Huttington jadi semakin laris di bursa politik kolonialisme modern Barat. Barangkali tidak sulit untuk menyepakati, bahwa visi politik Barat modern tak pernah berubah. Sama dengan dari visi kolonialisme Eropa tempo dulu yang dikenal dengan tiga G, yakni Glory, Gospel, and Gold. Kemenangan, Injil , dan Kekayaan. Menyerang dan menguasai wilayah, melakukan misi Kristenisasi, dan "menjarah" kekayaan. Tak jauh berbeda dari prinsip kolonialisme diktator Julius Caesar (47S.M):" Veni, vidi, vici." Aku datang, berperang dan menang (Ensiklopedi Indonesia: 569). Namun sejalan dengan perkembangan sejarah dan peradaban, tampilan kolonialisme mordern diperhalus, untuk memberi kesan lebih santun. Kemasannya dijelmakan dalam bentuk kerjasama politik, militer, ekonomi, sosial budaya, teknologi, ataupun pendidikan.
 
Terorisme dan Politik
Amerika dan sekutunya paham benar, bahwa apa yang mereka cari berada di kawasan negara-negara Muslim. Beberapa negara dapat dikuasai melalui pendekatan diplomasi. Dapat dirangkul jadi negara sahabat. Bisa diajak "berbulan madu." Namun tidak semua negara Muslim dapat diperlakukan demikian. Dibujuk tidak mau, dan dirangkui malah menjauh. Negara yang dinilai keras kepala tersebut adalah Irak dan Iran. Meskipun sudah diadu-domba selarna 10 tahun ternyata keduannya tetap eksis. Malah menganggap Amerika sebagai musuh. Dua negara penghasil minyak yang cukup potensia: ini dianggap keras kepala, hingga perlu diberi "pelajaran".
Politik pecah belah dan kuasai ini dibungkus dalam kemasan modern. Wilayah Asia Selatan berhasil "dipenggal" jadi negara, India, Pakistan dan Bangladesh. Sebagai pengimbang kekuatan besar yang bakal muncul di Asia Selatan ini, maka dihadirkan kasus Kashmir. Asia Tengah mulai dipreteli. Afghanistan dituding sebagai pendukung dan, pelindung "gembong" teroris internasional Osama bin Laden dan sebagai negara yang memproduk senjata "pemusnah”. Kedua isu tersebut mulai ”diusung” ke bursa politik, hingga terbentiklah opini global sehingga Irak dan Afghanistan seakan "diabsahkan" dunia internasional untuk dihukum. Dengan mengatas­namakan PBB, Pasukan Koalisi yang berintikan unsur ras Anglo-Saxon mulai menerapkan Vini, Vidi, Vici-nya Julius Caesar. Kedua negara itupun diserang dan diduduki.
Sementara Libia yang sudah "kapok" dengan embargo, sudah menunjukkan sikap "santun" kepada Barat, dianggap sudah dapat dijinakkan. Sebaliknya Iran yang secara politis pernah "mempermalukan" Amerika, terlihat masih "ngotot." Mulai dicari-cari pula alasan yang diperkirakan cukup rasional dan dapat diterima masyarakat internasional. Isu sebagai "sarang teroris" belum dianggap mempan. Amerika semakin gerah. Lalu dialihkan ke isu baru. Pengayaan uranium ternyata lebih relevan untuk diketengahkan. Isu yang lebih berpeluang untuk memperoleh dukungan dunia internasional. Padahal di balik isu tersebut, tersembunyi "hasrat" untuk menguasai negara Islam ini. Dan bila Iran berhasil dikuasai, minimal dalam sikap tunduk ke Barat, maka mata rantai negara di rangkaian kawasan Circum Pasific mulai tersambung. Maroko, Aljazair, Libia, Mesir, Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Irak, Iran, Afghanistan, Pakistan, dan Bangladesh.
Sayangnya Iran di bawah kepemimpinan Presiden Mahmoud Ahmadinejad dalam pandangan pemimpin-pemimpin negara Barat sulit "didikte." Di tengah ancaman Barat (AS dan Uni Eropa), pada tanggal 10 Januari, Iran malah membuka segel yang dipasang Badan Energi Atom Internasional atau IAEA di fasilitas nuklir Iran di Natanz (Kompas, 17Januari 2006). Tindakan ini semakin memperkuat tekad Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa terutama Inggris, Perancis dan Jerman untuk membawa permasalahan nuklir Iran ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK-PBB). Berusaha keras mendesak agar Badan Dunia ini menjatuhkan sanksi kepada Iran. Negara yang mengklaim diri sebagai Republik Islam Iran, yang digandengkan dengan Korea Utara oleh Amerika disebut sebagai poros terorisme.
Di sela-sela kegigihan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Iran. bukan tanpa alasan, bila dirajut kembali kebijakan luar negeri Paman Sam ini, maka akan terlihat adanya kaitan antara politik, ekonomi dan militer dengan "penguasaan" kawasan Circum Pasific di wilayah Timur Tengah. Semua hampir rampung, tinggal Iran. Mencermati semuanya itu, maka diprediksi akan tampil tiga skenario politik yang bakal dilakukan. Pertama, berusaha mencari dukungan dunia, terutama negara-negara besar seperti Rusia can Cina untuk membawa masalah Iran ke Dewan Keamanan PBB. Memperjuangkan agar Badan Dunia ini dapat menjatuhkan sanksi. Kedua, m(-qkoordinasi kelompok oposisi yang membelot dengan agenda pemberuntak. Dalam gejolak tersebut, Amerika can sekutunya ikut "membonceng" dengan dalih menegakkan demokrasi. Ketiga, terus menghembuskan isu terorisme, untuk mempermudah dukungan internasional, khususnya negara-negara Muslim.
Agama yang jadi sorotan tajam ini adalah Islam. "Benang merah" yang direntang adalah "konsep jihad." Para pelaku yang tertuduh secara "in absentia" adalah kelompok Jema'ah Islamiyah. Khusus di Indonesia, lembaga penggodok yang dicurigai "pondok pesantren." Fakta yang diangkat antara lain keterlibatan Imam Samudra, Amrozi dan kawan-kawan, termasuk Dr. Azhari dan Noordin M. Top yang ditengarai pernah nyantri. Gaya bahasa pars pro toto, satu untuk semua ini, sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Ngutip dari logika Aristoteies.
Premis mayornya: Pelaku teror pernah nyantri di pondok pesantren.
Premis minornya: Pondok pesantren mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.
Kesimpulan : Pondok pesantren perlu dicurigai.
Logika berpikir Aristotelianisme ini kemudian dikembangkan lebih jauh. Premis mayor : Dalam Islam -ada konsep jihad. Premis minor: Aktor teroris mengusungkan tema jihad. Kesimpulan : Islam adalah agama yang mengajarkan teror. Sepintas memang terkesan logis. Masuk akal. Apalagi tanpa dicermati secara mendalam. Padahal logika seperti itu dapat saja direkayasa. Tergantung ketepatan meletakkan premis mayornya. Di zaman Yunani Kuno logika digunakan untuk berdebat. Untuk kemenangan, bukan untuk kebenaran. Untuk menjatuhkan seseorang. Dalam keadaan seperti itu, biasanya premis mayor dibuat dalam bentuk pertanyaan, seperti : Apakah Anda merasa kehilangan tanduk ?
Premis mayor seperti itu memang sengaja dikemukakan oleh kaum sophis. Direkayasa sedemikian rupa dalam upaya untuk menjebak lawan debatnya. Tujuan utama mereka adalah untuk mencari "kemenangan". Bukan mencari kebenaran. Bila dijawab dengan "iya," mereka akan balik mengatakan :" kalau begitu tanduk itu masih ada pada Anda." Sebaliknya, jika dijawab "tidak" , merekapun akan berkata :" Oh, kalau begitu dulunya Anda pernah mempunyai tanduk." Dari putar balik logika berpikir seperti itu, sebenarnya ada niat tersembunyi, yakni untuk menjatuhkan lawan debatnya. Secara tak disadari, jawaban, "iya" ataupun "tidak", merujuk kepada pengakuan dari lawan debat itu sendiri, bahwa dirinya adalah "hewan." Maju kena, mundur kena.
Gonjang-ganjing dan tarik-ulur yang dialamatkan kepada Islam ini bukanlah sesuatu yang baru. "Tuduhan" yang salah alamat ini sebenarnya tak lebih dari reinkarnasi hegemoni politik. Jelmaan dari sepenggal trauma sejarah masa lalu, antara Dunia Eropa daan Dunia Islam. Dalih "benturan peradaban" seperti dikemukakan Huttington dan terorisme, tak lebih dari upaya untuk membentuk opini dunia. Peradaban itu sendiri, seperti diungkapkan oleh Marshall G. S. Hodgson, adalah sebuah keharusan sejarah. Peradaban milik kemanusiaan. Bukan kepunyaan Barat atau Timur, ataupun agama tertentu (Lihat Nurcholish Madjid, 1989: 52-53).
Terorisme memang ada, dan dapat terjadi di mana-mana. Bisa muncul di masyarakat, kelompok, atau agama apapun. Prof. Musa Asy'arie melukiskan dengan sejumlah kasus bom bunuh diri. Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa di masyarakat di mana ketidakadilan dan kesewenang-wenangan merajalela dan dilakukan oleh kelompok yang kuat, berkuasa, kaya, atas mereka yang lemah, terpinggirkan dan miskin, alur nalar kekerasan dan bom bunuh diri dihidupkan sebagai pilihan paling efektif guna melawan kekuatan dan kekuasaan destruktif di Irak, Palestina, Afghanistan, dan wilayah lain ( Kompas, 2 Desember 2005).
Dalam menyikapi masalah terorisme ini, Abdurrahman Wahid menegaskan tentang nilai-nilai ajaran Islam itu sejatinya. Khususnya dalam kaitan dengan keadilan. Dijelaskan, bahwa AI-Qur'an memerintahkan kaum Muslimin untuk menegakkan keadilan," Wahai orang-orang beriman, tegakkan keadilan." Jadi yang diperintahkan bukan berbuat keras, tetapi senantiasa bersikap adil dalam segala hal. Juga dalam Kitab Suci, banyak ayat yang eksplisit memerintahkan kaum Muslimin agar bersabar. Tidak lupa, selalu ada perintah untuk memaafkan lawan. Jadi, sikap "lunak" dan moderat bukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya sikap terlalu keras itulah yang "keluar" dari batas-batas ajaran Islam (Kompas, 2 desember 2005).
 
Penutup
Bila dilacak latar belakang kita diplomasi negara-negara Barat yang dipelopori Amerika Serikat terhadap negara-negara Muslim, tampaknya kepentingan politik dan ekonomi lebih mereka utamakan. Kerjasama antar negara dalam berbagai bidang, sama sekali tidak lepas dari dua kepentingan dimaksud. Meskipun kerjasama tersebut menyangkut masalah-masalah yang berhubungan dengan kemanusiaanya dan peradaban, kesan sebagai "tuan," tak pernah hilang. Penampilan sebagai "sinterklas," namun perilaku bak "lintah darat." Terkesan "dermawan", tetapi menjebak." Berusaha mencari peluang untuk mengambil kekuasaan dan hak dari pemiliknya, dengan menggunakan "pemimpin-pemimpin boneka" yang mereka persiapkan. Tepatnya "menjajah" dan "menguasai" kawasan penghasilan sumber energi, yang kebetulan secara politis berada di kawasan negara-negara Muslim.
Isu terorisme merupakan otak-atik Barat untuk ”menggebuk” Islam karena tidak mungkin menyerang langsung seperti Afganistan dan Irak. Dunia Islam dipojokkan, agar bisa menjadi musuh bersama kemudian dikuasai, terutama oleh negara yang mengklaim diri sebagai adi daya dan polisi dunia. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya umat Islam jangan sampai terhanyut, terjebak atau terdikte oleh isu terorisme. Cara yang terbaik adalah bagaimana membangun kesamaan wawasan dan saling pengertian di antara kelompok umat Islam sendiri. Setiap kelompok bisa bergerak dengan kepribadiannya dan pemikirannya send iri-sendiri, lengkap dengan mozaik yang ada, tetapi semuanya punya sinergi untuk kesejahteraan umat.
Kalau mau dicermati secara seksama, barangkali Islam sudah cukup banyak menyediakan nilai-nilai ajaran untuk umatnya. Bahkan untuk manusia dan kemanusiaannya. Secara tegas Rasul Allah SAW, mengamanatkan, bahwa beliau telah meninggalkan dua pedoman hidup yang lengkap dan sempurna. Umatnya yang tetap konsisten dan konsekuen berpegang kepada keduanya, dijamin tidak akan sesat selam-lamanya. Itulah AI-Qur'an dan Hadits. Ajaran ini selalu dikemukakan oleh para ustadz dan ulama. Mengajak umat Islam untuk mematuhi ajaran agamanya. Menjadi sosok Muslim yang taat. Mulai dari diri, sabda Rasul Allah SAW.
   
DAFTAR PUSTAKA 
A1i bin Nafayyi' al-'Alyani, Tujuan dan Sasaran Jihad, terjemah Abu Fahmi jakarta: Gema Insani Press, 1992
Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 3 Semarang: Thoha Putra, t.th
Abu Fahmi (ed), Himpunan Telaah Jihad, Ban­dung: Yayasan fi Zilalil-Quran, 1992
Abu Husain Muslim, Hadis Muslim, terjemah A.D. Hanie, Yogyakarta: Penyiar Islam, 1962
Abu Luwis Ma'luf, Al-Munjid fillughah, Beirut: Darul Masyriq, 1986
Ahmad Warsono Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, ter­jemah Hairus Salim dan Imam Baihaqy, Yogyakarta: LKIS dan Pustaka Pelajar, 1993.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Ja­karta: Paramadina, 1996.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996
Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur'an: Jihad" dalam Ulumul Quran, No. 7 Vol. II, 1990,
G.H. Jansen, Islam Militan, terj. Armahedi Mahzar, Bandung: Pustaka, 1980)
Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi'ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke­ 20, terjemah Asep Hikmat, Bandung: Pustaka, 1988
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, New York: Ithaca, 1976
Hasan bin Falah Al-Qahthani, Pedoman Harakah Islamiyah, terjemah Ummu 'Udhma `Azmina (Solo: Pustaka Mantiq, 1994
M. Husain Fadhlullah, Islam dan Logika Kekuatan, terj. Afif Muhammad & Abdul Adhiem, Bandung: Mi­zan, 1995
Murtadha Muthahhari, Jihad, terjemah M. Hasem Bandar Lampung: YAPI, 1987
Nurcholish Madjid, Dar al-Islam dan Dar al­-Harb: Damai dan Perang dalam Islam" dalam Ulumul Quran, No. 2, Vol. VI, Tahun 1995
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Keputusan Muk­tamar Muhammadiyah ke-43 Beserta Makalah Prasarannya (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 1995
Salman al-Audah, jihad: Sarana Menghilangkan Ghurbah Islam, terjemah Kathur Suhardi Jakarta: Pusta­ka Al-Kautsar, 1993
Sayid Qutb, Beberapa Studi tentang Islam, terjemah A. Rachman Zainuddin, Jakarta: Penerbit Media Da'wah, 1981.
Sayyid Syarif All ibn Muhammad, at-Ta'rifat, Mesir: Mathba'ah Mustafa Al-Babiy Al-Halabi, 1938
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kan­cah Dunia Modern, terj. Luqman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994
Taufiq All Wahbah, jihad dalam Islam, terjemah Abu Ridha jakarta: Media Dakwah, 1985
Tim Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya  Madinah: Mujamma' Khadim al-Harmaini li Thiba'atil Mus­shhaf asy-Syarif, 1413.
Yusuf Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terjemah Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1980,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar