A. Pendahuluan
Rahasia-rahasia hukum islam sering disebut sebagai “Asrarul Ahkam” dan ada juga yang menyebutkan Asrarut Tasyri’ atau Asrarus Syari’ah, tentang Asrarul Ahkam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari falsafah hukum islam. Bahkan Addahlawi menyebutkan bahwa ilmu yang paling tinggi martabatnya adalah ilmu-ilmu syari’ah yang membahas rahasia agama yang menerangkan hikmah-hikmah hukum. (hasbi Ash-shiddiqi, 1976: 380)
Walaupun rahasia-rahasia hukum islam itu sulit diketahui, tetapi paling tidak seseorang harus berusaha untuk mengungkapkannya. Yakni dengan mempelajari metode-metode, aspek-aspek dan wilayah Asrorul Ahkam itu sendiri. Allah SWT sendiri berfirman bahwa rahasia hukum islam hanya diketahui oleh orang-orang yang cerdik pandai atau orang-orang yang dikehendaki. Maka, agar rahasia-rahasia hukum islam itu bisa terungkap, seseorang harus mengetahui metode-metode, aspek-aspek dan wilayah Asrorul Ahkam. Oleh karena itu kami merasa perlu untuk mengungkapkan permasalahan ini yang selanjutnya terumus dengan judul “Asrorul Ahkam”
B. Substansi Kajian
Asrorul Ahkam atau yang dalam bahasa umum dinamakan hikmah atau ahdaf, adalah suatu cabang dari falsafah hukum islam, yang kita lihat atau kita tanggapi dari segi hikmah dan illat hukum.
Asrar ini, jika kita tinjau dari segi sebab-sebab hukum disyari’atkan kita namakan Asrarut Tasyri’ atau rahasia-rahasia pembinaan hukum. Dan jika kita tinjau dari segi materi hukum itu sendiri, kita katakan Asrarul Ahkam, atau Asrarusy Syari’ah.
Adapun pendapat ulama’ mengenai Asrorul Ahkam, yaitu:
Pertama, pendapat bahwa kita tidak boleh mengungkapkan hikmah dan illat hukum, tidak boleh mendasarkan hukum kepada illat dan hikmah itu, karena tidak ada keharusan terkaitnya antara taklif dan hikmah.
Mereka berpendapat bahwa: “Allah membebani para hamba (mukallaf) dengan apa yang Allah kehendaki, baik mengandung hikmah atau tidak.” Mereka menyandarkan pandangan Umar ketika beliau mencium Hajar Aswad:
اللهم إنى اعلم انك حجر لاتضر ولاتنفع, ولولا انىرايت رسول الله يقبلك ما قبلتك.
Artinya: “Wahai Tuhanku sesungguhnya aku mengetahui bahwasanya engkau hai batu hitam adalah batu yang tidak memberi madlarat dan tidak memberi manfaat. Andaikata aku tidak melihat Rasulullah mencium engkau tentulah aku tidak mencium engkau.”
Kedua, berpendapat bahwasanya setiap perbuatan mukallaf yang disyari’atkan Allah mengandung hikmah, mempunyai hukum dan disertai rahasia-rahasia yang harus kita mengungkapkannya.
Hanya saja hikmah-hikmah itu ada yang dapat dicapai dengan daya fikir manusia, ada yang tidak dapat dicapai dengan daya akal. Namun demikian setiap hukum mempunyai hikmah dan illat, walaupun tersembunyi bagi sebagian manusia, karena tidak sanggup meliputi segala Asrorul Ahkam, tidak sanggup mengetahui hakikat yang dikehendaki syara’, maka karenanya para mujtahid berbeda pendapat dalam menetapkan Manathul Ahkam atau Hikmah Tasyri’.
Sedangkan ulama’-ulama’ yang mengungkapkan tentang Asrorul Ahkam seperti al-Khaththabi ulama’ abad ke-empat. Al-Ghozali ulama’ abad ke-lima yang mengungkapkan Asrorul Ibadah dalam kitab as-Suluk. Ulama’ Abdis Salam ulama’ abad ke-tujuh dalam kitabnya Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam. Dan ad-Dahlawi seorang ulama’ besar di India dalam abad ke-dua belas Hijriah dalam kitabnya Al Hujjatul Baliqhah.
Pada masa itu akhir-akhir al-‘Allama ‘Allal al-Fasi menulis kitabnya Maqashidusy Syari’ah mengungkapkan rahasis-rahasia hokum secara keseluruan.
Ibnu Qayyim berpendapat:
“sesungguhnya tempat berpijak dan sendi syari’at adalah hikmah dan maslahah hamba dunia akhirat. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana, tidak melakukan sesuatu dengan sia-sia, bukan tanpa makna, maslahah dan hikmah, hikmah itulah yang dimaksudkan dengan perbuatan. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan Allah muncul dari hikmah yang mendalam, karena hikmah itulah perbuatan itu dikerjakan sebagaimana perbuatan-perbuatan itu timbul dari sebab-sebab, yang karena hikmah itulah perbuatan itu dilakukan. kalamNya dan sabda Rasul Nya menunjukkan hal ini, di dalam berbagai tempat yang hamper tidak dapat dihitung dan tidak ada jalan untuk mengumpulkan satu persatunya dengan sempurna”
Dalam mengungkap rahasia-rahasi hukum yakni illah dan hikmah hukum, perlu diperhatikan dua hal berikut ini:
Pertama, dalam mengahadapi kewajiban agama, khusus dalam bidang ibadat, jangan mengatakan bahwa kewajiban agama perlu dilaksanakan karena untuk perbaikan jiwa. Bila jiwa telah baik, maka tidak perlu lagi melaksanakan beban ibadah itu, atau kita mengatakan bahwa ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan kalau sudah dekat dengan jalan lain, tentulah tidak wajib beribadat.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali memberikan perumpamaan dengan mengisahkan seorang lelaki membina sebuah mahligai di suatu pegunungan. Di dalamnya ditanam semacam rumput yang berbau wangi. Dia mewasiatkan kepada anaknya supaya memelihara rumput itu dan jangan sekali-sekali tinggal di dalam mahligai itu, baik siang maupun mlam tanpa ada rumput tersebut. Kemudian si anak menanam bermacam-macam bunga dan beraneka tumbuhan yang berbau wangi, serta mendatangkan kasturi dan cendana ke dalam mahligai sehingga baunya semerbak dan harum dan mengalahkan kewangian rumput yang ditanam sang ayah. Pada suatu ketika sang anak mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ayahnya menyuruhnya memelihara rumput itu karena baunya wangi. Hal itu telah ditutupi oleh kembang-kembang, bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang lain yeng lebih semerbak baunya. Karenanya rumput yang ditanam ayahnya dibuang dari mahligai. Setelah mahligai telah kosong dari rumput tersebut, keluarlah dari beberapa lobang yang ada di mahligai itu ular-ular yang mengerikan, lalu dia memukul si anak dengan ekornya yang nyaris menewaskan sang anak. Ketika itu barulah sang anak menyadari bahwa diantara khasiat rumput yang ditanam ayahnya adalah untuk menolak bencana dan menyebabkan ular tidak dapat bergerak dari tempatnya.
Dari perumpamaan ini, sang ayah bermaksud:
1) supaya anak memanfaatkan rumput itu dengan baunya yang wangi. Hal ini dapat dipahami oleh sang anak.
2) supaya rumput itu melemahkan daya ular, hingga tidak dapat bergerak dari tempat persembuyiannya. Hikmah ini sulit dipahami oleh sang anak.
Al-Farabi dalam kitab Ihsha’ul Ulum menerangkan bahwa ketentuan-ketentuan dan ketepatan-ketepatan agama, tidak dapat diuji dengan akal manusia, karena ketepatan-ketepatan itu lebih tinggi martabatnya dari pada akal manusia. Di dalamnya terdapat rahasia Ketuhanan yang tidak dapat dijangkau akal dan dapat dijangkauakal. Kalau semua wahyu dapat dijangkau akal, tiak ada gunanya wahyu. Kalau memang dapat dijangkau akal tentulah syara’ diserahkan kepada akal manusia sendiri , dan tidak perlu mendatangkan Rasul. Sebenarnya yang disampaikan Jibril kepada Rasul adalah yang tidak dibenarkan akal manusia, hal ini adalah benar pada akal ke Tuhanan. Manusia, walaupun mencapai puncak kesempurnaan dalam kemanusiaanya, namun kedudukannya disisi orang-orang yang memiliki akal ke Tuhanan (akal-akal yang terdidik atas petunjuk ilahi dan mengimaninya) adalah missal anak kecil terhadap orang yang telah dewasa. Anak-anak banyak mengingkari hal-hal yang sebenarnya tidak boleh diingkari, karena kelemahan akalnya. Orang yang belum berpengalaman, akan mengingkari banyak hala yang dihadapinya. Akan tetapi sesudah mereka memiliki ilmu dan mempunyai pengalaman maka hilanglah persangkaan itu dan jadilah apa yang semula dianggap mustahil menjadi suatu yang pasti terjadi.
Kedua, keharusan berhati-hati dalam menghadapi illat hukum (jangan segera meninggalkan hukum sebab illat tampak tidak jelas).
Abu Sulaiman al-Manthiqi dalam Hasbi telah mengulas pendapat al-Farabi dengan suatu uslub bahasa yang teramat indah. Dia berkata:
“sesungguhnya syari’at diambil dari Allah’azza wa jalla dengan perantara utusan (duta) yang menghubungkan antara Allah dengan makhluq melalui jalan wahyu. Pintu munajat, kesaksian ayat-ayat dan munculnya mu’jizat dipertengahannya, adalah hal-hal yang tidak ada jalan untuk membahas dan mendalaminya. Dan kita harus mengikuti apa yang diserukan dan diperingatkan kepadanya, disanalah gugur pertanyaaan “karena apa” dan batal kata “mengapa” dan tergeser kata “mengapa tidak begini” dan lenyaplah kata “jikalau dan mudah-mudahan” dibawa angina. Sekiranya akal dapat menyukupi, maka wahyu tidak ada faedah dan gunanya, sebab kedudukan manusia berbeda akal dan kecerdasannya. Andaikata kita dapat mencukupi dengan akal dibandingkan wahyu, bagaimana kita berbuat, padahal akal tidak dimiliki oleh seseorang, hanya akal milik seseorang. Seandainya manusia dapat berdiri sendiri dengan akalnya dalam semua hal, baik agama dan dunianya, dan tentulah manusia dapat menyempurnakan sendiri semua kebutuhan pertukangan dan pengetahuan dan dia tidak memerlukan orang lain dari jenis dan sukunya. Ini sebagai pendapat yang rendah dan fikiran yang tidak dapat digunakan.”
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa memahami agama dapat dilihat dari dua pendekatan, wahyu dan akal. Wahyu untuk menjelaskan masalah syari’at yang dating dari Allah yang kita harus mengikutinya, dimana wahyu itu merupakan mu’jizat baik yang sudah disebutkan sendiri oleh Allah dan Rasul-Nya maupun mukjizat (keistimewaan) yang dating kemudian. Dua macam kemu’jizatan itu, hanya dapat dipahami dan digali melalui intervensi akal manusia oleh karena itu wahyu dan akal saling menunjang.
1. Metode Penggalian Rahasia-Rahasia Hukum Islam (Asrorul Ahkam)
Untuk penggalian Asrorul Ahkam diperlukan metode yang dapat mengungkap segala rahasia-rahasia hukum, para ulama’ mengadakan berbagai macam pendekatan untuk mengungkap rahasia-rahasia itu, adapun metode yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
a) Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi
Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi, yaitu suatu metode penggalian hukum-hukum islam melalui penganalisaan Illat (Motif) hukum. (muhammad Ma’ruf Ad-Dawalibi, 1965: 434).
Illat sendiri sebagian ulama mendefenisikan sebagai suatu sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum. Defenisi lain dikemukakan oleh sebagaian ulama Ushul Fiqh: Illat ialah suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar dalam penetapan hukum. Orang yang mengakui adanya illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas.
Para ulama Ushul Fiqh memandang masalah illat menjadi 3 golongan:
1. Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur) bahwa nash-nash hukum pasti memiliki illat, sesunggunya sumber hukum asal adalah illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
2. Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya illat.
3. Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang mengganggap tidak adanya illat hukum.
Dengan semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan meningkatnya tuntutan pelayanan hukum dalam kehidupan umat Islam.
Maka banyak ketentuan hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatar belakanginya, jiwa itu tidak dalam aplikasinya pada suatu saat dan keadaan tertentu, ketentuan hukum yang disebutkan dalam nash tidak dilaksanakan. Yang dimaksud dengan jiwa yang melatar belakangi sesuatu ketentuan hukum ialah illat hukum atau kausa hukum. Selama, illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang jika illat hukum tidak tanpak, ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam perkembangan ilmu Hukum Islam, para fuqaha’ melahirkan kaidah fiqih yang mengatakan :
“Hukum itu berkisar bersama illatnya, baik ada atau tidak adanya”
Arti kaidah fiqih tersebut ialah setiap ketentan hukum berkaitan dengan illat (kausa) yang melatarbelakanginya; jika illat ada, hukum pun ada, jika illat tidak ada, hukum pun tidak ada. Menentukan sesuatu sebagi illat hukum merupakan hal yang amat pelik. Oleh karenanya, memahami jiwa hukum yang dilandasi iman yang kokoh merupakan keharusan untuk dapat menunjuk illat hukum secara tepat. Mengenai adanya kaitan antara illat dan hukum, para fuqaha ”mazhab Zahiri” tidak dapat menerimanya sebab yang sesunguhnya mengetahui illat hukum hanyalah Allah dan Rasul-Nya.
Manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Manusia wajib taat kepada ketentuan hukum nash menurut apa adanya. Menetapkan adanya kaitan hukum dengan illat yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita akan mengetahui hukum peristiwa yang belum pernah terjadi pada masa Nabi, yang terlihat adanya persamaaan illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi disebutkan dalam nash.
Dengan mengetahui illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi dapat dilakukan qiyas atau analogi terhadap peristiwa yang terjadi kemudian. Illat sangat penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum dalam kasus baru sangat bergantung pada ada atau tidak adanya illat pada kasus tersebut. Sehingga illat dirumuskan sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara obyektif (zhahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya (mundabith) dan sesuai dengan ketentuan hukum, yang eksistensinya merupakan penentu adanya hukum.
Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum, dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. Illat merupakan “tujuan yang dekat” dan dapat dijadikan dasar penetapan hukum, sedangkan hikmat merupakan “tujuan yang jauh” dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum. Sedangkan menurut al-Syatibi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan illat adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadat, yang berkaitan dengan ditetapkannya perintah, larangan, atau keizinan, baik keduanya itu zhahir atau tidak, mundhabith atau tidak.
Jadi baginya illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dan mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya hukum dapat ditetapkan berdasarkan hikmat, tidak berdasarkan illat. Sebenarnya hikmat dengan illat mempunyai hubungan yang erat dalam rangka penemuan hukum. Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami, bahwa dalam qiyas penemuan illat dari hikmat sangat menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan hukum. Dari sinilah dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara metode qiyas dengan maqashid alsyari’at. Dalam pencarian ‘illat dinyatakan bahwa salah satu syarat diterimanya shifat menjadi illat adalah bahwa shifat tersebut munusabat, yakni sesuai dengan maslahat yang diduga sebagai tujuan disyariatkan hukum itu. Maslahat dalam illat menjadi maslahat daruriyat, hajiyyat, dan takmiliyyat, dan dari sinilah muncul pengembangan prinsip dan teori maqashid al-syariat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang menjadi tujuan utama disyariatkan hukum Islam, merupakan faktor penentu dalam menetapkan hukum melalui jalur qiyas. Illat adalah hal yang oleh syari’ (pembuat aturan) dijadikan tempat bersandar, tempat bergantung atau petunjuk adanya ketentuan hukum.
Illat pada pokoknya dapat dibagi menjadi 3 macam atas dasar sumber pengambilannnya, yaitu illat diperoleh dengan dalil naqli, nash yang diperoleh dengan ijma’ dan illat yang diperoleh dengan jalan istinbath (pemahaman kepada nash). Illat yang diperoleh dengan dalil naqli dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu yang diperoleh dengan jelas disebutkan dalam nash yang disebut sharih, yang diperoleh hanya dengan isyarat, yang disebut ima, dan yang diperoleh dari adanya petunjuk sebab. Illat yang diperoleh dengan jalan istinbath merupakan hal yang amat pelik. Untuk menentukan illat dengan jalan istinbath diperlukan ketajaman pemikiran. Sifat pemikiran kefilsafatan dalam menentukan illat dengan jalan istinbath ini amat nyata. Untuk menentukan illat dengan jalan istinbath ditempuh dua macam cara, yaitu :
1. Jika di dalam sesuatu ketentuan hukum terdapat beberapa hal yang dirasakan sesuai benar sebagai illat hukum, untuk menentukan mana di antara hal itu yang benar-benar sebagi illat dilakukan taqsim dan sabr. Taqsim ialah membatasi hal yang dirasakan sesuai sebagai „illat hukum, dan sabr adalah meneliti hal yang telah dibatasi dan dirasakan sesuai sebagi illat hukum itu sehingga dapat diketahui mana yang harus disisihkan sebagai illat dan mana yan harus diamblil atau ditetapkan. Cara ini merupakan peluang amat luas untuk berijtihad dan amat memungkinkan terjadi perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid.
2. Menetapkan kesesuaian illat bagi sesuatu ketentuan hukum dengan mengkaji illat yang sesuai dengan hukum, kemudian menetapkan berlakunya illat itu terhadap hokum bersangkutan. Illat yang sesuai dengan ketentuan hukum itu disebut al-illah almunasibah. Al-illah al-munasibah ada empat macam, yaitu: illat muatstsirah (membekas), illat mula-imah (sejalan), illat gharibah (asing) dan illat mursalah (lepas, bebas). di bawah ini akan dibahas tentang empat illat itu:
1. al-illah al-munasab
Illat yang secara jelas dapat diperoleh dari nash atau ijma’ dan diketahui membekas pengaruhnya terhadap ketentuan hukum. Misalnya perwalian yang ditetapkan atas anak di bawah umur, yang dipandang illatnya adalah keadaan di bawah umur.
2. illat mula-imah
Illat yang diperoleh dari nash, tetapi agak jelas membekas pengarunya terhadap hukum karena nash yang mengandung hukum memang tidak memberikan kejelasan mengenai illatnya. Namun illat itu dapat dipeoleh dari sejumlah nash lain mengenai masalah yang sejenis yang dapat dipandang ada kesejalananya untuk dijadikan illat hukum yang bersangkutan.
3. illat gharibah
Illat yang diperoleh dari nash, tetapi tidak jelas bahwa illat itu membekas pengaruhnya terhadap hukum dan tidak ketahui dengan jelas kesejalanannya dengan hukum bersangkutan dari nash lain mengenai masalah yang bersangkutan dari nash lain mengenai masalah yang sejenis. Namun illat yang diperoleh dari nash itu sendiri dipandang sesuai dengan hukum yang diakandungnya.
4. illat mursalah
Illat yang tidak terdapat pendukungnya dari nash, tetapi dapat diketahui dari jiwa ajaran Islam pada umumnya. Illat macam inilah yang merupakan hal yang amat pelik. Untuk menetapkannya diperlukan ketajaman pandangan dan keluasan cakrawala pemikiran tentang tujuan dan rahasia hukum Islam khususnya dan ajaran Islam umumnya. Oleh karenanya illah adalah sifat yang jelas dan ada tolak ukurnya, yang di dalamnya terbukti adanya hikmah pada kebanyakan keadaan.
Maka illah ditetapkan sebagi bertanda (madzinnah) yang dapat ditegaskan dengan jelas bagi adanya hikmah. Hikmah itu bersifat implisit di dalam illah dan tidak terpisah dengannya, karena hikmah tidak ada jika illah tidak ada. Di samping itu, illah adalah dasar perbuatan. Jika „illah ada tanpa adanya hikmah, maka illah tidak dapat dianggap berasal dari hukum. Jika illah itu jelas, tidak ada kesulitan, namun apabila „illah itu tidak jelas, para ahli Ushul Fiqh berbeda pendapat. Ada yang mengambil jalan takwil dan mencoba menggali illah berkenaan dengan kata-kata nash yang implisit. Sedangkan yang lainnya mengambil metode interprestasi nash sesuai dengan akal berkenaaan dengan kepentingan masyarakat (social utility). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa illah merupakan “sebab” atau “tujuan” ditetapkan hukum. Adakalanya langsung disebut dalam nash (manshushah) dan adakalanya tidak (muntanbathah).
Model metode qiyasi (ta’lili) banyak dikembangkan oleh Al-Farabi dalam mengungkapkan rahasia-rahasia hukum islam, beliau membagi qiyas menjadi lima macam, yaitu:
a) Qiyas Burhani, yaitu qiyas yang memberikan keyakinan tentang suatu hukum.
b) Qiyas Jadali, yaitu qiyas yang terdiri dari hal-hal yang sudah terkenal dan bisa diterima (Al-Masyhurat wa Al-Musallamat) “yang terkenal” adalah yang sudah biasa dipercayai oleh orang banyak, seperti keadilan itu baik dan kedustaan itu jelek “yang biasa diterima” adalah pikiran yang diterima oleh orang orang lain, baik dikenal atau tidak, unsur-unsur yang terpenting bagi apa yang biasa diterima ialah keputusan orang lain, meskipun sebenarnya salah. Qiyas Jadali juga digunakan untuk menimbulkan dugaan-dugaan kuat yang mendekati yaqin pada diri orang lain sedang apabila diteliti makasebenarnya tidak dapat menyakinkan.
c) Qiyas Sofistika, yaitu qiyas yang menimbulkan sangkaan bahwa sesuatu yang tidak benar atau sebaliknya.
d) Qiyas Khatabi, yaiti qiyas yang menimbulkan dugaan yang tidak begitu kuat.
e) Qiyas Syi’ri, yaitu qiyas yang memakai perasaan dan khayalan untuk menarik orang lain. (A Hanafi. 1982: 130-131)
Contoh-contoh metode ini adalah keharaman minum khamar adalah karena merusak akal (memabukkan), keharaman makan babi karena dikhawatirkan kena penyakit cacing pita dsb.
b) Metode Ta’wili
Metode Ta’wili adalah Metode penggalian rahasia-rahasia hukum islam melalui penyuguhan hukum islam dengan berpijak pada arti dibalik yang aslinya. (Muhammad Abu Zahrah, 1958: 135)
Ibnu Rusdy banyak menggunakan metode Ta’wili dalam mengungkapkan hukum islam, karena beliau memberikan aturan penakwilan yaitu:
a) Setiap orang harus menerima prinsip-prinsipatau dasar-dasar syar’i dan mengikutinya, bila dilarang syara’ maka dipatuhinya.
b) Yang berhak mengadakan penakwilan hanyalah golongan filosof saja, bahkan filosof-filosof tertentu saja, yaitu mereka yang dalam ilmunya. Ta’wil tidak boleh dipergunakan ulama’ fiqih atau ulama’ mutakallimin, sekalipun ilmunya tinggi tetapi mereka kurang mendalam.
c) Hasil pena’wilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan pemakai qiyas burhani (orang-orang filosof) bukan untuk orang awam yang tidak memahami pena’wilan.
d) Hukum syara’ di bagi 3 bagian, pertama, bagian yang diartikan menurut lahiriyah, kedua, bagian yang perlu dita’wilkan, ketiga, bagian yang masih diperselisihkan. Bagi Ibnu Rusdy semua bagian itu tetap merupakan wilayah ta’wil. (A. Hanafi, 1982: 95-96)
Tokoh yang banyak mengembangkan metode ta’wil (metaforis) adalah al-Jahiz (wafat 225 H/868 M), beliau ulama’ rasional dalam bidang teolog, dengan metodenya dia banyak menyelesaikan sekian banyak problema umat yang dihadapi waktu itu. (Quraisy Syihab, 1992: 90)
Pemakaian metode ta’wili terdapat 2 penekanan pemaknaan bagi As- Syaithibi penekanan ta’wil pada kebahasaan, dan dia mensyaratkan agar ta’wili yang digunakan memakai makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas, dan arti yang dipilih, dikenal oleh bahasa Arab klasik. Sedangkan Muhammad Abduh lebih menekankan penggunaan ta’wil dengan akal, sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan ma’na pena’wilan dengan kata yang dita’wilkan, misalnya, term “JIN” diartikan dengan “sesuatu yang tertutup” sedang bagi Rosyid Ridlo memberi arti “kuman yang tertutup”. (Quraisy Syihab, 1992: 90-91)
Penggunaan ta’wil yang tepat adalah pemakaian ta’wil yang berdasarkan akal yang ditopan oleh unsur kebahasaannya, kerena bila mengabaikan unsur kebahasaan mengakibatkan pertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah dan menyalahi ayat itu sendiri. (Quraisy Syihab, 1992: 91)
c) Metode Hikmi
Metode Hikmi adalah Metode pencarian rahasia hukum melalui pengungkapan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Misalnya, mengapa disyari’atkan sholat, karena sholat itu dapat mencegah segala gangguan kejiwaan, misalnya stress serta memberikan ketenangan yang tinggi, mensucikan diri dari perbuatab keji dan mungkar serta berdampak pada perbuatan yang positif.
2. Wilayah Asrorul Ahkam
Menurut ibnu Rusdy, Asrorul Ahkam hanya berlaku bagi hukum-hukum amaliah lahiriyah, belum sampai pada aqidah. Karena hukum aqidah diharuskan memakai dalil-dalil yang qoth’i yang tidak dipertentangkan, baik dari golongan orang-orang Rosikh ilmunya maupun orang awam. Sedangkan hukum amali lahiriyah dapat dikembangkan melalui metode-metode baik metode Qiyasi, ta’wili maupun menerangkan hikmah-hikmah yang dicapai walaupun setiap ulama’ berbeda hasil yang diperoleh dalam mengungkapkan rahasia hukum tersebut. (A. Hanafi 1982: 96)
3. Aspek-Aspek Asrorul Ahkam
Aspek-aspek yang mengungkapkan rahasia hukum islam dapat diketahui melalui 2 (dua) sudut, yaitu sudut kebahasaan atau pun sudut ma’nanya, yaitu:
1. Sudut Bahasa, yaitu menerangkan hukum islam dengan melihat teks ayat atau hadits yang teliti. Misalnya, dalam masalah pencurian lafadz “sariq” (pencuri laki-laki) lebih didahulukan dari pada lafadz “sariqoh” (pencuri wanita), sedangkan masalah perzinaan lafadz “zaniyah” (pezina wanita) lebih didahulukan dari pada lafadz “zani” (pezina laki-laki). Firman Allah SWT:
QS. Al-Maidah: 38
Artinya: ”Adapun laki-laki yang mencuri maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah: 38)
Dan, QS. An- Nur: 2
• • •
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah masing-masing dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An- Nur: 2)
Secara psikologi, nafsu wanita lebih dominan dari pada nafsu laki-laki, sehingga dalam masalah perzinaan wanita didahulukan dari laki-laki, sebaliknya masalah rasa malu lebih dominan laki-laki dari pada wanita, sehingga masalah pencurian laki-laki didahulukan dari pada wanita.
2. Sudut Ma’na, yaitu menerangkan rahasia hukum islam dengan melihat konteks makna pada ayat atau hadits yang diteliti. Misalnya, hadits yang menyatakan bahwa tiga hal yang main-main dianggap sungguhan, yaitu nikah, talaq dan ruju’. Hal itu disyari’atkan agar seseorang tidak membiasakan main-main dalam hal yang sakral, sehingga ia berhati-hati dalam menentukan sikap, apalagi masalah thalaq, karena thalaq merupakan penghianatan jiwa yang semula disepakati bersama.
Misalnya, hukum aqidah ditetapkan dengan hikmah mempersatukan kerukunan yang merata pada masyarakat, sedang hukum aqidah sam’iyah ditetapkan dengan hikmah menguji tingkat keimanan pada mukallaf untuk menumbuhkan rasa takut kepada kekuatan yang harus dirasakan oleh dlamir, sedang hukum-hukum ibadah ditetapkan dengan hikmah menarik kebaikan dan menolak keburukan, sedang hukum-hukum mu’amalah ditetapkan dengan hikmah mengatur hubungan manusia yang harmonis, penuh keinsyafan, keadilan, kasih sayang dan persamaan, dan hukum akhlak karimah ditetapkan dengan hikmah menjadi medium (wasilah) untuk memelihara keamanan dan kebahagiaan masyarakat. (Hasbi Asy-Shidiqi, 1976: 392)
C. Kesimpulan
Asrorul Ahkam atau yang dalam bahasa umum dinamakan hikmah atau ahdaf, adalah suatu cabang dari falsafah hokum islam, yang kita lihat atau kita tanggapi dari segi hikmah dan illat hokum.
Adapun metode yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
1. Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi
Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi, yaitu suatu metode penggalian hukum-hukum islam melalui penganalisaan Illat (Motif) hukum. (muhammad Ma’ruf Ad-Dawalibi, 1965: 434).
2. Metode Ta’wili
Metode Ta’wili adalah Metode penggalian rahasia-rahasia hukum islam melalui penyuguhan hukum islam dengan berpijak pada arti dibalik yang aslinya. (Muhammad Abu Zahrah, 1958: 135)
3. Metode Hikmi
Metode Hikmi adalah Metode pencarian rahasia hukum melalui pengungkapan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.
Menurut Ibnu Rusdy, wilayah Asrorul Ahkam hanya berlaku bagi hukum-hukum amaliah lahiriyah, belum sampai pada aqidah.
Adapun Aspek-aspek yang mengungkapkan rahasia hukum islam dapat diketahui melalui 2 (dua) sudut, yaitu sudut kebahasaan atau pun sudut ma’nanya, yaitu:
a) Sudut Bahasa, yaitu menerangkan hukum islam dengan melihat teks ayat atau hadits yang teliti.
b) Sudut Ma’na, yaitu menerangkan rahasia hukum islam dengan melihat konteks makna pada ayat atau hadits yang diteliti.
D. Skematika Pembahasan
Daftar Pustaka
Basyir, Ahmad Azhar. 1984. Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: UII Pres
Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum dalam Islam. Jakarta: Logos
Kitab Suci al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia. 2002. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mahkota
Ramali, Ahmad. 1956. Memelihara Kesehatan Dalam Hukum Syara’ Islam. Jakarta: Balai Pustaka
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy di edit oleh H. Z. Fuad Hasbi Ash-Shiddieqy. 2001. Filsafat Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1975. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Usman, Muchlis. 1993. Hi’matus Syar’i. Malang: Unit Penerbitan dan Percetakan LBB. Yan’s
http://www.google.com: rahasia-rahasia hukum islam. 01 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar