STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Minggu, 03 Juli 2011

MEMBIMBING KEMATANGAN BERAGAMA (MATURE RELIGION) ANAK USIA DINI

I. PENDAHULUAN
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematanan beragama, jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik, keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.[1]


Seperti halnya yang telah dijelaskan diatas dalam tingkat perkembangan yang dicapai diusia anak-anak, maka kedewasaan jasmani belum tentu berkembang setara dengan perkembangan rohani. Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan berpikir, kematangan pribadi maupun kematangan emosi. Tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan sejajar. Secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia ternyata belum matang.
Usia anak-anak adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak . Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan,bimbingan, pola asuh, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan bimbingan , pola asuh, pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya dan kepribadian menuju pada kematangan keagamaan.
Membimbing kematangan beragaman anak haruslah dilakukan dan ditanamkan sejak dini, karena membimbing keagamaan sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak. Dengan agama dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama dan kematangan keagamaan anak setelah dewasa nanti.

II. PENGERTIAN KEMATANGAN BERAGAMA
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata membimbing diartikan; mengarahkan (pendapat, pendidikan, watak, jiwa, dsb), mengasuh, menunjuk (mengarahkan) ke jalan yg benar.[2] Membimbing merupakan suatu proses memberi arahan, didikan atau asuhan kepada individu agar mengenal dirinya dan dapat memecahkan masalah-masalah hidupnya sendiri agar tercapai kemampuan untuk memahami dirinya (self understanding), menerima dirinya (self acceptance), mengarahkan dirinya ( self direction), dan merealisasikan diri (self realization) sesuai kemampuannya dalam memcapai penyesuaian diri dengan lingkungan sehingga ia dapat menikmati hidup dengan bahagia.[3]
Manusia mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan, sebaliknya perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (Abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (Maturity).[4] Tetapi dalam kenyataan sehari-hari tak jarang dijumpai anak-anak yang memiliki perkembangan jasmani dan  rohani yang berbeda. Terkadang secara jasmani perkembangan sudah mencapai tingkat usia kronologis tertentu, namun belum memiliki kematangan yang seimbang dengan tingkat usianya. Anak-anak seperti ini disebut anak yang mengalami keterlambatan perkembangan rohani, yang kebanyakan disebutkan hambatan mental (mental bandicaped). Sebaliknya ada anak-anak yang perkembangan rohaninya mendahului perkembangan jasmaninya. Anak-anak seperti ini mengalami percepatan kematangan, yang umumnya dikarenakan adanya kemampuan bakat tertentu yang istimewa (gifted children).[5]
Secara bahasa maturation (kemasakan, kematangan) dapat diartikan perkembangan proses mencapai kemasakan/usia masak, atau proses perkembangan yang dianggap berasal dari keturunan, atau merupakan tingkah laku khusus spesies. Maturation adalah istilah yang dipinjam dari biologi, yang menunjuk pada keranuman atas kemasakan sel-sel seks. Para psikolog percaya akan lebih tepat menggunakan istilah insting atau naluri untuk menggambarkan tingkah laku yang tidak dipelajari, karena maturation menyatakan kegiatan dari proses-2 yang bisa dikenali, seperti metabolism, gerak badan, perkembangan alat pencerna makanan dan perkembangan hormon.[6] Oleh karenanya mature religion atau kematangan beragama pada anak adalah sesuatu yang bisa diupayakan karena ia bisa dipelajari dan ditanamkan.

III. ASPEK-ASPEK KEMATANGAN BERAGAMA
Keyakinan dan praktik keagamaan (yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kematangan beragama seseorang) menurut Sigmund Freud berakar dari pengalaman universal di masa kanak-kanak.[7] Pada usia dini, anak menganggap orang tua, terutama bapak adalah sosok mahatahu dan mahakuasa. Pemeliharaan yang penuh perlindungan dan kasih sayang yang dilakukan sosok berkuasa itu menentramkan anak. Kerinduan sosok bapak inilah yang disebut Freud merupakan akar setiap bentuk agama. Engan kata lain, Freud mengatakan agama hanya sekedar proyeksi ketakutan masa kecil.
Pandangan ini dibantah William James yang disebut sebagai bapak psikologi agama. James menolak mencari asal-usul agama yang patologis dan memusatkan perhatian keberagamaan dalam berbagai ragamnya yang tampak dari hasil atau ekspresi kehidupan orang-orang yang menjalankan agamanya secara mendalam. Dengan mengutip al kitab, ia merumuskan criteria menilai agama: “Dari buahnya kamu akan kenal mereka, bukan dari akarnya.”[8]
Sebelum membahas aspek-aspek kematangan beragama serta upaya menanamkan kematangan Bergama ana, ada baiknya kita mereview kembali pembahasan terdahulu tentang sifat-sifat agama serta perkembangan agama pada masa anak-anak.
  1. A. Sifat-sifat Agama pada Anak-anak
Sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept  on authority, artinya konsep keagamaan pada diri anak dipengarungi oleh factor dari luar diri anak. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia dini telah melihat dan mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Ketaatan pada ajaran agama merupakan kebiasaan yang dimiliki anak yang mereka pelajari dari para orang tua maupun guru. Berdasarkan hal tersebut, maka bentuk dan sifat agama pada anak dapat dibagi atas:[9]
1. Unreflective (tidak mendalam)
Hal ini ditunjukkan dengan: Kebenaran ajaran agama diterima anak tanpa kritik, tidak begitu mendalam dan sekedarnya saja. Mereka sudah cukup puas dengan keterangan-keterangan walau tidak masuk akal.
2. Egosentris
Hal ini ditunjukkan dengan:
a.  Dalam melaksanakan ajaran agama anak lebih menonjolkan kepentingan dirinya.
b.  Anak lebih menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Misalnya: anak berdo’a/sholat yang dilakukan utuk mencapai keinginan-keinginan pribadi.
3. Anthromorphis
Hal ini ditunjukkan dengan:
  • Konsep anak dengan Tuhan tampak seperti menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Dengan kata lain keadaan Tuhan sama dengan manusia, misalnya: pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat disaat orang itu berada dalam tempat yang gelap.
  • Surga terletak dilangit dan tempat bagi orang yang baik.
  • Tuhan dapat melihat perbuatan manusia langsung kerumah-rumah mereka seperti layaknya orang mengintai.
4. Verbalis dan Ritualis
Hal ini ditunjukkan dengan:
  • Menghapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan.
  • Mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan
5. Imitatif
Hal ini ditunjukkan dengan: anak suka meniru tindakan keagamaan yang dilakukan oleh orang-orang dilingkungannya terutama orang tuanya.
  1. Rasa Takjub/Kagum
Ini merupakn sifat keagamaan yang terakhir pada anak-anak. Hal ini ditandai dengan: anak mengagumi keindahan-keindahan lahiriah pada ciptaan Tuhan, namun rasa kagum ini belum kritis dan kreatif.
Robert W. Crapps menyatakan cirri-ciri pokok dan sifat agama pada anak dapat dibagi atas:[10]
  1. Egocentric Orientation
Orientasi egosentris masa kanak-kanak dilukiskan dalam penelitian Piaget tentang bahasa anak usia 3-7 tahun. Menurut Piaget bahasa anak tidak menyangkut orang lain, tetapi lebih merupakan monolog dan monolog kolektif.
  1. Anthropomorphic Concreteness
Pada tahap ini, kata-kata dan gambaran keagamaan diterjemahkan dalam pengalaman-pengalaman yang sudah dijalani dalam bentuk orang-orang yang sudah dikenalinya.
  1. Experimentation, initiative, spontaneity
Usia 4-6 tahun merupakan tahun kritis dimana anak pergi keluar, megambil inisiatif dan menampakkan diri di medan dimana teman sepermainan dan orang dewasa lainnya beraktivitas.
  1. B. Perkembangan Agama pada Anak
Ernest Harm dalam bukunya The Development of Religious on Children sebagaimana dikutib Jalaludin mengatakan perkembangan agama pada anak-anak mengalami tiga tingkatan sebagai berikut:[11]
  1. The Fairy Tale Stage
Tahap ini dimulai pada anak berusia 3-6 tahun. Konsep mengenai Tuhan dan agama lebih banyak dipengaruhi oleh factor fantasi dan emosi anak. Menurut Zakiah Daradjat, perkembangan agama anak pada tahap ini terutama banyak dipengaruhi tauladan orang tua, baik melalui ucapan yang didengarnya, sikap dan perbuatan yang dilihatnya, maupun perlakuan yang dirasakannya.[12]
  1. The Realistic Stage
Tahap ini dimulai ketika anak memasuki jenjang pendidikan dasar hingga masa adolesene. Konsep keagamaan anak pada tahap ini mulai mencerminkan konsep yang berdasarkan realitas atau kenyataan.
  1. The Individual Stage
Pada tahap ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi sejalan perkembangan usia mereka.
  1. C. Aspek-aspek yang Mempengaruhi Kematangan Beragama Anak
Seperti halnya tingkat perkembangan yang dicapai di usia anak-anak,maka kedewasaan jasmani belum tentu berkembang setara dengan kematangan rohani. Secara normal, seseorang yang telah mencapai perkembangan kedewasaan akan memiliki pula kematangan ruhani. Namun perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan ruhani adakalanya tidak berjalan sejajar.
Kematangan beragama menyangkut kehidupan batin manusia. Zakiah Daradjat menghubungkan kematangan beragama dengan kematangan kepribadian. Selanjutnya beliau menekankan pendidikan agama dalam pengertian pembinaan kepribadian yang utuh.[13] Kematangan beragama selanjutnya akan berpengaruh terhadap sikap keagamaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatan terhadap agama.
Aspek-aspek yang berpengaruh dalam pembentukan kematangan beragama anak secara garis besar terbag dalam 2 faktor, faktor internal dan eksternal. Dr. Singgih D. Gunarsa menyebutkan faktor internal anak yang berpengaruh terhadap kematangan beragama  adalah: 1) Konstitusi tubuh, 2)Struktur dan keadaan fisik, 3)Koordinasi motorik,
4) Kemampuan mental dan bakat khusus, intelegensi tinggi, dan hambatan mental. Adapun yang termasuk faktor eksternal adalah: 1) lingkungan keluarga, dan 2) lingkungan sekolah.[14]
Sejalan dengan Gunarsa, Jalaludin mengemukakan beberapa aspek yang termasuk dalam faktor internal kematangan agama anak, antara lain:[15]
  1. Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faKtor bawaan yang diwariskan secara turun-temurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan
lainnya seperti kognitif, afektif dan konatif.[16] Melalui pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan kematangan beragama anak akan terasah.[17] Namun demikian factor hereditas perlu pula mendapat perhatian dalam membimbing kematangan beragama anak. Dalam sebuah penelitian terhadap janin terungkap bahwa makanan/nutrisi dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan janin yang dikandungnya.[18]
Meskipun belum dilakukan penelitian mengenai sifat-sifat kejiwaan anak dengan orang tuanya, namun pengaruhnya dapat dilihat dari hubungan emosional. Dalam sebuah hadits Rosulullah menyatakan bahwa daging dari makanan yang haram, maka nerakalah yang lebih berhak atasnya. Hadits ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara status hokum makanan dengan sikap seseorang. Demikian juga ketika Rasulullah menyatakan, “Hati-hatilah dengan hadra al-Diman yaitu wanita cantik dari lingkungan yang jelek.” Hal ini menunjukkan benih yang berasal dari keturunan yang tercela dapat mempengaruhi sifat-sifat keturunan berikutnya.
  1. Tingkat usia anak
Tingkat kedewasaan usia biologis anak akan berpengaruh pada kematangan beragamanya. Hal ini dikarenakan perkembangan usia anak akan berdampak pada perkembangan aspek-aspek lainnya, seperti kemampuan berbahasa dan logika anak.Anak yang menginjak kemampuan berfikir kritis akan lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama.[19]
  1. Kepribadian
Kepribadian adalah perpaduan unsur tipologi dan karakter. Secara psikologis tipologi kepribadian akan mempengaruh kehiduan jiwa seseorang, termasuk jiwa dan kematangan beragamanya. Dalam penelitian W. James ia menemukan tipe melancholi yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam apat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya.[20]
Selanjutnya ia menyebut faktor eksternal dalam kematangan beragama meliputi:
  1. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Di dalam keluarga anak mendapat rangsangan, hambatan, dan pengaruh yang pertama dalam tumbuh-kembangnya, baik fisik  maupun psikis. Anak mulai mengenal masyarakat sekitar, mempelajari aturan dan norma, dari lingkungan keluarganya, utamanya kedua orang tuanya.[21]
Sigmund Freud dengan konsep Father Image menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan  anak dipengaruhi oleh citra anak terhadap bapaknya. Jika seorang ayah menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik maka anak akan cenderung mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku yang baik itu pada dirinya.
  1. Lingkungan Institusional/lembaga pendidikan
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal turut memberi andil yang besar dalam membentuk kepribadian anak. Apalagi di era sekarang ini, dimana anak semakin banyak menghabiskan waktu kesehariannya dengan berbagai kegiatan di sekolah. Aspek-aspek yang berpengaruh dari lingkungan institusional/sekolah ini antara lain: 1) Kurikulum, 2) Hubungan Guru dan Murid, 3) Hubungan antar anak. Dalam ketiga kelompok tersebutsecara umum tersirat unsur-unsur seperti ketekunan, kedisiplinan, kejujuran, simpati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, kesabaran dan keadilan.[22]
  1. Lingkungan masyarakat
Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsure tanggung jawab, elainkan hanya unsure pengaruh belaka. Tetapi norma dan tata aturan  nilai yang ada dalam masyarakat terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan anak, baik dalam bentuk positif maupun negative. Hal ini karena kehidupan masyarakat dibatasi oleh norma dan nilai-nilai yang didukung sangat solid oleh warganya.
  1. Fanatisme dan ketaatan
Kepribadian anak terbentuk oleh pengaruh lingkungan. Dalam pembentukan kepribadian itu aspek emosional dipandang sebagai unsure yang sangat dominan. Fanatisme dan ketaatan terhadap ajaran agama aganya tak dapat dilepaskan dari peran aspek emosional.
Tradisi cultural sering dijadikan penentu dimana seseorang harus melakukan sesuatu yan dilakukan nenek moyangnya.Dalam menyikapi tradisi eagamaan juga tak jarang kita temukan hal semacam ini. Jika kecenderungan taklid keagamaan itu dipengaruhi unsure emosional yang berlebihan, maka terbuka peluang bagi pembenaran spesifik. Kondisi ini akan menjurus pada fanatisme agama yang merugikan.  Sifat fanatisme ini berbeda dengan ketaatan beragama yang lebih didorong upaya menampilkan motivasi/arahan intrinsic (inner directed) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.[23]
  1. IV. UPAYA MEMBIMBING KEMATANGAN BERAGAMA ANAK USIA DINI
Dengan mengacu pada pembahasan terdahulu tentang sifat-sifat agama anak , perkembangan keagamaan anak, dan aspek-aspek yang mempengaruhi kematangan beragama anak maka dapat dirumuskan upaya-upaya membimbing kematangan beragama anak seyogyanya dilakukan secara terpadu di lingkungan keluarga, institusi pendidikan (sekolah), dan lingkungan masyarakat. Selanjutnya metode pendidikan yang berpengaruh terhadap upaya membimbing kematangan beragama anak dikemukakan Nashih Ulwan sebagai berikut:
  1. A. Pendidikan dengan Keteladanan
Keteladanan adalah metode tarbiyah yang selaras dengan fitrah manusia. Adalah bagian dari fitrah, jika setiap insan mendambakan hadirnya seorang tokoh atau figur yang layak menjadi panutan dalam hidup dan kehidupannya. [24] Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutib Anis mengatakan, anak berbahasa dengan bahasa ibu. Apabila bahasa yang digunakan orang tua baik, maka anak akan berbahasa dengan baik dan benar. Demikian pula dalam pembentukan akhlak dan pergaulan anak, orang tua selalu menjadi model bagi anak-anaknya.[25]
Seorang anak, bagaimana pun besarnya usaha yang dilakukan untuk kebaikannya, bagaimana pun suci fitrahnya, ia tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan pokok-pokok pendidikan utama selama ia tidak melihat orang tuanya sebagai teladan nlai dan moral yang tinggi. Adalah mudah orang tua mengajarkan banyak hal kepada anak-anak, namun adalah sesuatu yang teramat sulit bag anak melaksanakan sesuatu yang diajarkan sedangkan ia tidak melihat orang tuanya mengamalkan apa yang diucapkannya.[26]
Suatu hari, seorang lelaki mendatangi Khalifah Umar bin Khatab mengadukan kedurhakaan anaknya. Sang anak kemudian melakukan pembelaan, “Wahai, Amirul Mukminin, bukankah anak juga mempunyai ha yang harus diberikan bapaknya?” “Tentu, memilihkan ibunya, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan al Kitab kepadanya.” Jawab Umar. “Sesungguhnya ayahku belum melakukan satpun di antara itu semua. Ibuku seorang Bangsa Ethiopia keturunan Majusi, ayahku memberiku nama Ju’al (kumbang kelapa), dan ia belum mengajarkan kepadaku sehuruf pun dari al Kitab,” si anak membela diri. Umar menoleh kepada lelaki itu dan berkata, “Engkau telah dating kepadaku mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal engkau telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu, dan engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu!”[27]
Kisah di atas memberi hikmah, tak ada tuntutan anak sholeh kecuali orang tuanya telah mendidiknya menjadi sholeh. Tentu jauh panggang dari api bila orang tua menunggu kata-kata lembut anaknya sedangkan tak jarang ia berkata kasar dan kotor, menuntut anak tekun beribadah sedang orang tuanya malas, mengharap anak dermawan padahal orang tuanya kikir. Maka keteladanan bias disebut sebagi metode pendidikan terbaik.
  1. B. Pendidikan dengan Pembiasaan
Selain keteladanan, pembiasaan adalah metode yang paling memungkinkan dilakukan di lingkungan keluarga disbanding lingkungan sekolah dan masyarakat. Kebiasaan terbentuk dengan menegakkannya atau membuatnya menjadi permanen. Kebiasaan terjadi karena pengulangan-pengulangan (repetisi) tindakan secara konsisten. [28] Ketaatan beragama yang berujung pada kematangan beragama anak tidak akan dapat diwujudkan bias tanpa pembiasaan. Ibadah sholat, tadarus al Qur’an, infaq dan sedekah dan ritual serta pengalaman keagamaan lainnya perlu dikokohkan dengan pembiasaan. Menekankan pentingnya pembiasaan pada anak-anak, Sayid Sabiq menyatakan ilmu diperoleh dengan belajar, sedangkan sifat sopan santun dan akhaq utama diperoleh dari latihan berlaku sopan serta pembiasaan-pembiasaan.[29]
  1. C. Pendidikan dengan Nasehat
Nasehat adalah sebuah keutamaan dalam beragama. Nasehat juga menjadi cirri keberuntungan seorang sebagaimana tersirat dalam al Qur,an surah Al Ashr ayat 3. Menurut Nashih Ulwan, dalam menyajikan nasehat dan pengajaran , al Qur’an mempunyai 3 ciri utama, sebagai berikut:[30]
  1. Seruan yang menyenangkan seraya diikuti dengan kelembutan atau upaya penolakan.
  2. Metode cerita disertai perumpamaan yang mengandung nasehat dan pelajaran
  3. Metode wasiat dan nasehat
  4. D. Pendidikan dengan Perhatian/Pengawasan
Pendidikan dengan perhatian adalah upaya mencurahkan perhatian secara penuh dan senantiasa mengikuti perkembangan aspek aqidah dan moral anak, mengawasi dan memperhatikan kesiapan mental social, disamping selalu bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan kemampuan ilmiahnya.[31]
$pk??r’¯»t? tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3?Î=÷dr&ur #Y?$tR $ydß?qè%ur â¨$¨Z9$# äou?$yfÏtø:$#ur $pkö?n=tæ îps3Í´¯»n=tB Ôâ?xÏî ×?#y?Ï© ?w tbqÝÁ÷èt? ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿt?ur $tB tbrâsD÷sã? ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu…” (QS at Tahrim : 6)
Bagaimana mungkin seseorang memelihara keluarga dan anak-anak dari api neraka jika ia tidak amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak pula memperhatikan dan mengontrol mereka. Kemerosotan nilai moral keagamaan generasi saat ini juga disinyalir karena semakin hilangnya perhatian dan Kontrol atas perbuatan anak-anak.
  1. E. Pendidikan dengan hukuman
Syariat Islam yang adil dan lurus memiliki peran dalam melindungi kebutuhan-kebutuhan utama yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan umat manusia. Pendidikan dengan menggunakan hukuman adalah cara paling akhir yang ditempuh dalam proses pendidikan. Dalam pendidikan anak, hukuman juga diarahkan untuk membentuk disiplin. Pangkal disiplin adalah keteraturan dalam hidup yang bisa mulai diajarkan pada bayi sekalipun.[32] Orang tua dan guru hendaknya bijaksana dalam menggunakan hukuman. Beberapa prinsip Islam dalam penerapan metode hukuman kepada anak, antara lain:
  1. Lemah lembut dan kasih saying adalah dasa pembenahan anak.
  2. Menjaga tabiat anak yang salah dalam menggunakan hukuman
  3. Dilakukan secara bertahap dari yang teringan hingga yang paling keras
  1. V. PENUTUP
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematanan beragama. Aspek-aspek yang berpengaruh dalam membimbing kematangan beragama anak terbagi menjadi dua, factor internal yang meliputi: 1) hereditas, 2) Tingkat usia anak, 3)kepribadian. Sedangkan faktor eksternal meliputi: 1) Keluarga, 2) lingkungan institusi pendidikan, 3) lingkungan masyarakat, dan 4) Fanatisme dan ketaatan.
Perlu upaya yang serius, baik dari orang tua, pendidik, didukung kebijakan pendidikan yang tepat supaya penanaman kematangan beragama yang juga pembentukan kepribadian yang utuh pada anak-anak bisa terwujud. Upaya-upaya dalam membimbing kematangan beragama anak dapat dilakukan melalui 5 metode utama sebagai berikut: 1) Pendidikan dengan Keteladanan, 2) Pendidikan dengan Pembiasaan, 3) Pendidikan dengan Nasehat, 4) Pendidikan dengan Perhatian/Pengawasan, dan 5) Pendidikan dengan Hukuman.


  1. VI. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta, Pustaka Amani 2007)
Anwar Nurulyamin, Taman mini Ajaran Islam, (Bandung, Rosda Karya; 2004
Crapps. Robert W, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, terj. Agus M. Hardjana (Yogyakarta, Kanisius: 1994)
Depdiknas, Kamus Besar bahasa Indonesia ( Jakarta: Pusat Bahasa: 2008)
Irawati Istadi, Mendidik Anak dengan Cinta (Bekasi, Pustaka Inti: 2008)
Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta, Rajawali Press: 2008)
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar (Bandung, Mizan: 2003)
Jalaludin-Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta, Kalam Mulia: 1987)
JP. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono (Jakarta, Rajawali Pers: 1981)
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam cetakan ke-3 (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2005)
Muh. Anis, Sukses Mendidik Anak (Yogyakarta, Insan Madani: 2009)
Priatno H. Martokoesoemo, Spiritual Thinking, Sukses dengan NLP dan Tasawuf (Bandung, MIzania: 2007)
Sayid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, terj. Haryono S. Yusuf (Jakarta, Intermesa: 1981
Solikhin Abu Izzuddin &Dewi Astuti, The Great Power of Mother (Yogyakarta, Pro U Media: 2007
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta, Bulan Bintang: 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar