STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 04 Juli 2011

Pembaharuan Pendidikan Muhammad Abduh

BAB I
PENDAHULUAN

Tercatat beberapa nama ulama besar yang berperan sebagai pembaharu bidang pendidikan Islam yang muncul di Timur Tengah, seperti Muhammad Ali Pasya, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dari Mesir. Kemudian tercatat nama Muhammad Iqbal dari India dan sebagainya. Pada masa kemunduran Islam abad 13-18, segala warisan filsafat dan ilmu pengetahuan diperoleh Eropa dari Islam, ketika umat Islam larut dalam kegemilangan sehingga tidak memperhatikan lagi pendidikan, maka Eropa tampil mencuri ilmu pengetahuan dan belajar dari Islam. Eropa kemudian bangkit dan Islam mulai dijajah dan mengalami kemunduran. Hampir seluruh wilayah dunia Islam dijajah oleh Bangsa Eropa termasuk di Mesir. Penemuan-penemuan baru dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi muncul di Eropa.

Dalam membuka mata kaum muslimin akan kelemahan dan keterbelakangannya, sehingga akhirnya timbul berbagai macam usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan, untuk mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan, termasuk usaha-usaha di bidang pendidikan. khususnya di Mesir di masa Muhammad Abduh ketika pemerintahan dipegang khadif Taufiq Pasya dan Inggris menghadapi dua aliran manusia. Yang pertama kelompok pembaharuan yang ingin melakukan pembaharuan sedikit demi sedikit, mereka melihat agenda perbaikan umat pertama-tama untuk meratakan pendidikan di kalangan bangsa agar mereka tau tentang hak dan kewajiban mereka. Adapun kelompok yang kedua adalah kelompok yang ingin mengadakan perbaikan dengan cepat, intinya adalah orang-orang yang belajar di Eropa sebagai mahasiswa non pemerintah. Dan Abduh termasuk golongan pertama yang menarik untuk dibahas sebagai fokus kajian pada makalah ini, yakni pembaharuan pendidikan yang dipelopori oleh Muhammad Abduh.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Pemikiran Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan tahun 1849 H/1266 M di salah satu Delta Mesir bagian hilir. Ayahnya seorang petani keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir dan ibunya keturunan Arab.[1] Muhammad  Abduh dilahirkan dan dibesarkan dan hidup dalam masyarakat yang sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan dasar di Eropa. Sayyid Quthub sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, dalam bukunya yang berjudul Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha,  memberikan gambaran singkat mengenai masyarakat tersebut yakni ”suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami sari’at Allah atau mengistinbatkan hukum-hukum karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berlandaskan khurofat”. Sementara itu di Eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu.[2]
Keadaan masyarakat Eropa tersebut sesungguhnya telah menanamkan benih pengaruhnya sejak kedatangan ekspedisi prancis (Napoleon) ke Mesir pada tahu 1798. Namun secara jelas tumbuhnya benih-benih tersebut mulai dirasakan Muhammad Abduh pada saat ia memasuki pintu gerbang Al-Azhar. Waktu itu, lembaga pendidikan tersebut para pembina dan ulamanya telah terbagi kedalam dua kelompok., mayoritas dan minoritas. Kelompok pertama menganut pola taqlid, yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya sekedar dihapal, tanpa mengantarkan pada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan. Sedangkan kelompok kedua menganut pola tajdid (pembaharu) yang menitik beratkan uraian-uraian mereka ke arah penalaran dan pengembangan rasa.[3]
Berkat pengetahuan Abduh tentang ilmu tasawuf serta dorongan Syekh Darwisy agar ia selalu mempelajari berbagai bidang ilmu, yang diterimanya ketika usia muda dulu, maka tidak mengherankan jika naluri Abduh yang didukung Syaikh tersebut membuat Abduh lebih condong untuk berpihak kepada kelompok minoritas yang ketika itu dipelopori oleh  Syekh Hasan Al -Thawil yang telah mengajarkan filsafat dan logika jauh sebelum Al-Azhar mengenalnya. Pada sisi lain pertemuan Abduh dengan Al-Afgani menjadikan Abduh aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik, dan kemudian mengantarkannya untuk bertempat tinggal di Paris, menguasai bahasa Prancis, menghayati kehidupan masyarakatnya, serta berkomonikasi dengan pemikir-pemikir Eropa ketika itu.[4]
B. Corak Pemikiran Muhammad Abduh
1.    Moderenisasi[5]
Sebagaimana yang telah disinggung pada latar belakang pemikiran Muhammad Abduh, bahwa semenjak perjumpaannya dengan Al- Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasan penyesuaian inilah kemudian disebut dengan moderniasasi. Sumber dari gagasan moderenisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhadap taqlid. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an  memerintahkan kepada ummatnya untuk menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara pasti hujah-hujah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya. Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kritrea perbuatan taqlid ini, ketiga kriteria tersebut adalah:
a.    Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.
b.    Mengiktikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah mencapai kesempurnaan.
c.    Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami Alqur’an, terutama yang berkaitan denga kecaman terhadap sikap dan perbuatan taqlid tersebut, walaupun menyangkut sikap kaum musrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum muslimin, khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan hujahnya.
Berkaitan dengan modernisasi ini, Rahman memberikan pernyataan bahwa seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri, diantaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta senantiasa melibatkan pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah menjadikan reformasi sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern.[6] Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan moral modern dengan berorientasi pada Alqur’an.
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah.[7] Islam menurut Abduh “harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[8]
2.    Reformis
Muhammad Abduh Adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat survive dan terus diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan yang bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis.[9]
3.    Konservatif
Gerakan pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan.[10]
Demikianlah muncul ke permukaan ketiga tipologi pemikiran, yaitu modernis, reformis, konservatif, yang dilontarkan berkaitan dengan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh. Ketiganya merupakan refleksi dalam membaca segala pemikiran Muhammad Abduh. Dalam pembacaan itu corak pertama lebih menekankan pada aspek slektifitas dan sikap kritis Muhammad Abduh dalam menyikapi dan memandang peradaban barat. Corak kedua lebih menekankan kepada upaya Muhammad Abduh dalam membangun kembali tradisi Islam secara rekonstruktif. Sedangkan corak yang ketiga memfokuskan bacaannya kepada upaya Muhammad Abduh dalam membela Islam melalui finalitas dan keunggulan Islam.
C. Inti Pemikiran Muhammad Abduh
1.  Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid dan memahami agama seperti kaum salaf sebelum timbulnya pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari pengetahuan agama kepada sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan dalam lingkungan timbangan akal yang diberikan Allah SWT untuk mencari keseimbangan dan mengurangi kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini orang dianggap sebagai sahabat ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia alam, mengajak menghormati kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan jiwa dan perbaikan amal.
2.  Memperbaiki bahasa arab dan susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau dalam surat menyurat antar manusia.
3.  Pembaharuan di bidang politik, ini dilakukannya di Majlis Syura sejak ia dipilih menjadi anggota majelis itu.[11]
Kita melihat di sini agenda pembaharuan dibidang bahasa, politik, dan akidah dan tunutunan umum. Dan dalam semua sisi itu, Abduh mengemukakan kritik yang membangun. Sedangkan inti seluruhnya adalah pendidikan Islam. Ia melihat bahwa rusaknya masyarakat Islam karena salahnya pendidikan.[12]
D. Aggenda Pembaharuan Muhammad Abduh
1.    Purifikasi
Purifikasi atau pemurnian ajaran islam telah mendapat tekanan serius dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid’ah dan khurafah yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslimin.
2.    Reformasi
Dengan agenda reformasinya, Muhammad Abduh berambisi untuk melenyapkan sistem dualisme dalam pendidikan di Mesir. Dia menawarkan kepada sekolah modern agar menaruh perhatian pada aspek agama dan moral. Dengan mengandalkan aspek intelektual saja sekolah modern hanya akan melahirkan pendidikan yang merosot moralnya.[13] Sedangkan kepada sekolah agama, seperti Al-Azhar, Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak menjadi lembaga pendidikan yang mengikuti sistem pendidikan modern. Sebagai pionirnya, ia telah memperkenalkan ilmu-ilmu Barat kepada Al-Azhar, disamping tetap menghidupkan ilmu-ilmu Islam klasik yang orisinil, seperti Muqodimah karya Ibnu Khaldun.[14]
Reformasi pendidikan tinggi Islam difokuskan Muhammad Abduh pada Universitas almamaternya, Al-Azhar. Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku kelasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela Islam. Akan tetapi kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai. Usaha awal reformasi Muhammad Abduh adalah memperjuangkan matakuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intlektualisme Islam yang padam diharapkan hidup kembali.
3.    Pembelaan Islam
Muhammad Abduh lewat Risalah Al-Tauhidny tetap mempertahankan potret diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh berusaha mempertahankan potret Islam dengan dengan menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran Illahi yang dipelajari melalui agama.
4.    Reformulasi
Agenda reformulasi tersebut dilaksanakan Muhammad Abduh dengan cara membuka kembali pintu ijtihad. Menurutnya, kemunduran kaum muslim disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan ekternal. Muhammad Abduh dengan reformulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya.[15]
E. Pemikiran Muhammad Abduh di Bidang Pendidikan
1.    Perlawanan terhadap taqlid dan kemadzahaban
2.    Perlawanan terhadap buku-buku yang tendensius, untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan pemikiran rasional dan historis.
3.    Reformasi Al-Azhar yang merupakan jantung umat Islam, jika ia rusak maka rusaklah umat dan jika baik maka baiklah umat.
4.    Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk mengenal intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah ummatnya, serta mengikuti pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan kondisi yang ada.[16]
Menurut Muhammad Abduh terpecahnya ummat Islam menjadi beberapa golongan disebabkan oleh kelemahan mereka sebagai satu ummat yang kuat, dan itu terjadi karena adanya fanatisme terhadap suatu madzhab. Banyaknya aliran madzhab pemikiran atau keyakinan, sebenarnya, bukanlah bahaya yang menghancurkan satu ummat, tapi yang bahaya adalah berhukum dan tunduk kepada aliran tersebut, sehingga pengikutnya tidak berani mengemukakan kritik atau pendapat lain. Ketika itu satu jamaah akan menjadi beberapa jamaah, suku dan golongan yang terpisah-pisah yang tidak memiliki satu arah dan tujuan, pemisah itulah fanatisme buta.[17]
F. Peran Penting Muhammad Abduh Dalam Pendidikan:
1.     Menerjemahkan buku pendidikan ke dalam bahasa Arab[18]
2.     Menjadi anggota Majelis Urusan Al-Azhar[19]
3.     Anggota Majelis Tinggi Pendidikan[20]
4.     Penggerak Al-jami’ah al-Khariyah al-Islamiyah[21] (Himpunan sosial Islam).
G. Pembaharuan di Bidang Pendidikan.
Rashid Ridho sebagaimana yang dikutip oleh Toto Suharto menyatakan bahwa pendidikan bagi Muhammad Abduh bertujuan “mendidik akal dan jiwa serta mengembangkannya hingga batas-batas yang memungkinkan anak didik mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”.[22]
Dari tujuan pendidikan di atas Muhammad Abduh nampaknya berkeinginan agar proses pendidikan dapat membentuk keperibadian Muslim yang seimbang antara jasmani dan rohani serta intlektualitas dan moralitas. Jadi pendidikan bukan hanya pengembangkan aspek kognitif (akal) semata, tapi juga harus menyelaraskan dengan aspek afektif (moral) dan psikomotorik (keterampilan). Pendidikan seyogyanya dapat memerhatikan segi material dan spritual sekaligus. Pandangan ini merupakan kritiknya terhadap situasi dan aktivitas pendidikan di Mesir pada waktu itu, di mana pendidikan hanya menekankan pengembangan salah satu aspek saja dengan mengabaikan aspek lainnya.
Ada beberapa faktor yang mendorong Abduh untuk mengadakan pembaharuan terhadap sistem pendidikan saat itu, faktor-faktor itu adalah: pertama Abduh mendapat inspirasi gerakan islah Sayid Jamaluddin Al-Afghani yang menjurus ke arah mewujudkan integrasi ilmu, kedua kesadaran Syeikh Muhammad Abduh terhadap keperluan kepada islah dalam kurikulum sekolah dan universitas yang sudah ketinggalan zaman, ketiga sistem pendidikan masa itu menjurus ke arah taqlid buta dan pasif (jumud), keempat kekurangan prasarana pendidikan serta bantuan dari kerajaan Mesir kepada golongan miskin, dan yang terkahir kadar gaji guru yang rendah.[23] Itulah bebarapa faktor yang mendorong Abduh untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pendidikan Islam. Adapun pembaharuan pendidikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya di Mesir, Di sini pemakalah mencoba membahas pembaharuan pendidikan yang dilakukan Abduh di Beirut dan di Mesir.
1.    Pembaharuan Pendidikan di Beirut
Di Beirut Muhammad Abduh menjadi guru dan mengarang dan mengajar. Ia memberi syarah (tafsir) mengajar tafsir Alqur’an di dua masjid yang ada di Beirut dengan cara yang pernah ia perkenalkan di mesir yaitu tidak terikat dengan sesuatu kitab tafsir tertentu. Ia membaca suatu ayat lalu ia beri tafsir, baik ia ambil dari kitab-kitab lainnya atau tidak, lalu dihubungkan dengan menerangkan keadaan umat Islam dan kritik terhadap mereka sebagaimana yang diilhami oleh ayat yang ia baca.[24]
Muhammad Abduh diminta untuk mengajar di Madrasah Al-Sultaniyah di Beirut. Kurikulumnya diperbaiki dan meningkatkan pelajaran di madrasah itu, hingga dengan demikian madrasah itu meningkat dari madrasah tingkat rendah menjadi madrasah tingkat tinggi. Di Beirut ini ia mengajar tauhid, mantiq, balaghah, sejarah Islam dan rumahnya dipergunakan tempat pertemuan ilmiah, sastra dan lain-lainnya.[25]
Selanjutnya ia menaruh perhatian untuk perbaikan umum  bagi dunia Islam. Ia mengajukan dua usul untuk perbaikan pendidikan agama di madrasah-madrasah kerajaan Ustmaniyah, dalam usulannya Muhammad Abduh melihat kelemahan umat Islam disebabkan karena buruknya aqidah dan bodohnya akar-akar agama, itulah yang merusak  akhlak mereka. Obat satu-satunya adalah memperbaiki pendidikan agama. Kemudian yang kedua yang diajukan kepada gubernur Beirut, Muhammad Abduh menggambarkan buruknya keadaan negeri itu, dan pertentangan politik yang ada di negeri itu akibat banyaknya sekolah-sekolah asing. Abduh menganjurkan memperbanyak madrasah nasional dan memperbaiki kurikulum pendidikan agama.[26]
2.    Pembaharuan Pendidikan di Mesir
Usaha praktis yang dilakukan Abduh dalam mewujudkan gagasan pembaharuannya adalah lewat Universitas Al-Azhar. Di perguruan ini seluruh kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Begitu juga ilmu-ilmu filsafat dan logika yang sebelumnya tidak diajarkan, di masa Abduh diajarkan dipelajari dan dihidupkan kembali, begitu juga dengan ilmu-ilmu umum perlu dijadikan perbendaharaan bagi lulusan-lusannya yang tentu saja diharapkan menjadi ulama modern.
Mulai dari sekolah SD yang selama ini kurang mendapat perhatian, tidak lepas dari sorotan Abduh, sekolah tingkat dasar hendaknya menjadikan mata pelajaran agama sebagai inti dari semua mata pelajaran. Karena agama dianggap sebagai dasar pembentukan jiwa dan keperibadian muslim. Abduh juga mendirikan sekolah-sekolah pemerintah yang telah didirikan untuk mendidik tenaga-tenaga yang perlu bagi mesir dalam lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, pendidikan dan sebagainya.[27]
Kedalam sekolah-sekolah di atas, ia berpendapat perlu dimasukan didikan agama yang lebih kuat, termasuk dalamnya sejarah Islam dan sejarah Kebudayaan Islam.  Atas usahanyalah didirikanlah Majlis Perguruan Tinggi. Muhammad Abduh melihat bahaya yang akan timbul dari sistem dualisme dalam pendidikan. Sistem madrasah lama akan mengeluarkan ulama-ulama yang tak ada pengetahuannya tentang ilmu-ilmu modern, sedangkan sekolah-sekolah pemerintah akan mengeluarkan ahli-ahli yang sedikit pengetahuannya tentang agama. Dengan memperkuat didikan agama disekolah-sekolah pemerintah jurang yang memisahkan golongan ulama dari golongan modern dapat diperkecil.[28]
Selain itu Abduh menyoroti keadaan dan sistem pendidikan, ia menata kembali seluruh struktur pendidikan yang berlaku di Al-Azhar, dari mulai metode pengajaran ia membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat itu. Ia mengkritik tajam penerapan metode hafalan tanpa pengertian yang umumnya dipraktikan di sekolah-sekolah saat itu, terutama sekolah agama.[29] Abduh menghidupkan metode munazarah dalam memahami pengetahuan,[30] yang sebelumnya mengarah kepada taqlid semata terhadap pendapat ulama yang berpengaruh. Bahasa Arab yang selama ini menjadi bahasa baku tanpa perkembangan, oleh Abduh dikembangkan dengan jalan menerjemahkan teks-teks pengetahuan modern ke dalam bahasa Arab, terutama isltilah-istilah baru muncul yang mungkin tidak ditemukan pada kosa kata bahasa arab.[31]Abduh melakukan perbaikan menganai honorium dosen dan pengaturannya.  Memberikan tunjangan untuk pakaian dinas, asrama mahasiswa, perbaikan kesehatan mahasiswa dan ujian.[32]
BAB III
KESIMPULAN
Ide-ide yang dibawa oleh Syeikh Muhammad Abduh telah mengubah pandangan umat Islam terhadap Islam yang sering taqlid dengan sebagian sarjana Muslim yang jumud dan pasif. Syeikh Muhammad Abduh berjasa dalam memberi gambaran yang jelas tentang keperluan umat Islam kepada pembaharuan, khususnya dalam bidang pendidikan. Ide pembaharuan Syeikh Muhammad Abduh dalam bidang pendidikan, khususnya di Universitas Al-Azhar telah memberi kesan yang mendalam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umat Islam. Antara ide tersebut ialah: mewujudkan mata pelajaran matematik, geometri, algebra, geografi, dan sejarah, mewujudkan farmasi khusus untuk pelajar Universitas Al-Azhar, menyediakan gaji guru dari perbendaharaan negara dan waqaf negara, memperbaiki asrama pelajar dengan menekankan aspek-aspek keselamatan dan kesehatan, mengganti metode pengajaran yang bersifat hafalan kepada penalaran atau lebih dekat dengan diskusi.
DAFTAR PUSTAKA
Al Bahiy, Muhammad. Pemikiran Islam Modern, terj. Su’adi Sa’ad, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986
Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, Jakarta: Djambatan, 1995
http://ms.wikipedia.org/wiki/Syeikh_Muhammad_Abduh#Faktor_melakukan_pengislahan dalam_sistem_pendidikan
Madjid, Nur Cholis. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1989
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rsullullah Sampai Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009
Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intlektual, terj. Ashin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1995
Sani, Abdul. Lintas Sejarah Pemikiran; Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Peersada, 1998
Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid ridha, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
Suharto,Toto. Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Arruzz, 2006
Syar’i, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005


[1] Ahmad Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hal. 108
[2] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 17
[3] Ibid, hal. 15
[4] Ibid, hal. 18
[5] Modernisasi merupakan proses perombakan pola pikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola pikir dan tata kerja baru yang rasional. Nur Cholis Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1989), hal. 172
[6] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006), hal. 258
[7] M. Qurais Shihab, Studi Kritis Tafsir Al Manar, hal. 19
[8] Ibid, hal. 20
[9] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 265
[10] Ibid, hal. 266
[11] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 487 – 488
[12] Muhammad Al Bahiy, Pemikiran Islam Modern, terj. Su’adi Sa’ad, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hal. 95
[13] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intlektual, terj. Ashin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1995), hal. 70
[14] Ibid, hal. 77-78
[15] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rsullullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 246-247
[16] Muhammad Al Bahiy, Pemikiran Islam Modern, hal. 84
[17] Ibid, hal. 85
[18] Ibid, 471
[19]Atas usulan Abduh inilah maka didirikannya majelis urusan al-azhar yang dikonsentrasikan untuk perbaikan Al-Azhar, meskipun banyak pertentangan yang ia hadapi. Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hal.  473
[20]Majelis ini muncul atau didirikan karena kritik Abduh terhadap Departemen Pendidikan. Ibid, hal. 447
[21]Himpunan ini dimaksudkan untuk menyiarkan pengajaran dan pendidikan dan membantu orang yang memerlukan. Lihat  Ibid, hal. 478
[22] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 276
[24] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hal. 462
[25] Ibid, hal. 462
[26] Ibid, hal. 463
[27] Abdul Sani, Lintas Sejarah Pemikiran; Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Peersada, 1998), hal. 53
[28] Ibid, hal. 54
[29] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 250
[30] Abdul Sani, Lintas Sejarah Pemikiran, hal. 54
[31] Ibid, hal. 54
[32] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hal. 475

Tidak ada komentar:

Posting Komentar