Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad  –hafizhahullaah- berkata, “Termasuk  perkara yang sangat disayangkan  terjadi di zaman ini adalah apa-apa  yang terjadi di kalangan Ahlus  Sunnah, berupa ketidakcocokan dan  perpecahan, yang mengakibatkan mereka  sibuk saling men-tajrih  (melukai), men-tahdzir, dan meng-hajr. Yang  wajib mereka lakukan adalah  usaha mereka diarahkan kepada selain mereka,  dari kalangan orang-orang  kafir dan ahli bid’ah yang memusuhi Ahlus  Sunnah. Hendaknya Ahlus  Sunnah bersatu, saling menyayangi, dan saling  mengingatkan di antara  mereka secara halus dan lembut.” (Rifqan Ahlas  Sunnah bi Ahlis Sunnah,  hal 19)
Syaikh Al-Albani berkata, ((Wahai akhi.. aku nasehati engkau dan para pemuda yang lain yang berdiri di atas garis yang menyimpang –wallahu A’lam, inilah yang nampak padaku- janganlah kalian menyia-nyiakan waktu kalian untuk mengkritik antara sebagian kalian terhadap sebagian yang lain. Engkau berkata, “Si fulan mengatakan demikian.., si fulan bilang demikian…”. Karena pertama hal ini sama sekali bukanlah ilmu dan yang kedua uslub (cara) seperti ini membuat hati menjadi marah, dan menimbulkan hasad dan permusuhan pada hati-hati (kalian).
Syaikh Al-Albani berkata, ((Wahai akhi.. aku nasehati engkau dan para pemuda yang lain yang berdiri di atas garis yang menyimpang –wallahu A’lam, inilah yang nampak padaku- janganlah kalian menyia-nyiakan waktu kalian untuk mengkritik antara sebagian kalian terhadap sebagian yang lain. Engkau berkata, “Si fulan mengatakan demikian.., si fulan bilang demikian…”. Karena pertama hal ini sama sekali bukanlah ilmu dan yang kedua uslub (cara) seperti ini membuat hati menjadi marah, dan menimbulkan hasad dan permusuhan pada hati-hati (kalian).
Yang wajib bagi kalian adalah menuntut ilmu,  ilmulah yang akan  mengungkap bahwa apakah perkataan yang memuji si fulan  karena si fulan  ini memiliki banyak kesalahan –misalnya- apakah berhak  bagi kita untuk  menamakan orang yang memuji si fulan ini sebagai pelaku  bid’ah yang  kemudian apakah kita hukumi sebagai mubtadi’???, kenapa kita  harus  terlalu tenggelam hingga mendetail seperti ini??. Aku nasehati (engkau) agar jangan terlalu tenggelam hingga mendetail seperti ini!!. Karena   kenyataannya kita mengeluhkan perpecahan yang sekarang terjadi  di   antara orang-orang yang berintisab kepada dakwah Al-Kitab dan As-Sunnah   atau sebagaimana yang kita katakan sebagai dakwah salafiyah, perpecahan   ini, wallahu a’lam, penyebab utamanya adalah dorongan jiwa yang   memerintahkan kepada keburukan (an-Nafsul ammarah bis suu`) dan bukanlah   perselisihan pada sebagian pemikiran. Inilah nasehatku…
Aku  sering sekali ditanya, “Apa pendapatmu tentang fulan?”, dan aku   langsung faham bahwa ia (penanya) orang yang memihak atau memusuhi. Dan   terkadang orang yang ditanyakan adalah termasuk ikhwan-ikhwan kita.  Dan  terkadang orang yang ditanyakan termasuk diantara ikhwan-ikhwan  lama  kita yang dikatakan dia telah menyimpang, maka kami bantah penanya   tersebut, apa yang engkau inginkan terhadap fulan dan fulan??
Berlaku  luruslah sebagaimana engkau diperintahkan! Tuntutlah ilmu!  Dengan ilmu  engkau akan dapat memilah-milah mana yang thalih dan mana  yang shalih,  siapa yang benar dan siapa yang salah.!!! Kemudian  janganlah engkau ini  mendengki terhadap saudaramu sesama muslim hanya  dikarenakan ia bersalah  atau kita katakan ia telah munharif  (menyimpang). Akan tetapi ia  menyimpang dalam dua atau tiga  permasalahan, adapun  permasalahan-permasalahan yang lain ia tidak  menyimpang…)) (Silsilah  Al-Huda wan Nuur kaset 784)
Kalau kita perhatikan kenyataan yang  ada pada medan dakwah di  Indonesia, kita dapati bahwa salah satu sebab  terbesar yang menimbulkan  perpecahan di kalangan Ahlus Sunnah,  terhambatnya penyebaran dakwah,  dan tertawanya ahli bid’ah -karena  mengejek Ahlus Sunnah yang menyeru kepada persatuan tetapi mereka sendiri tidak bersatu- adalah   penerapan hajr yang dilakukan secara sembarangan, tanpa memperhatikan   kaidah-kaidah yang telah digariskan oleh para ulama. Penerapan hajr   secara membabi buta ini diterapkan oleh sebagian Ahlus Sunnah yang   mengaku paling dekat kepada Sunnah, dan kemudian menuduh Ahlus Sunnah   lain yang tidak sejalan dengan mereka sebagai ahli bid’ah yang wajib   untuk di-hajr (diboikot).
Hal ini wajar, karena banyak dari  mereka yang membaca kitab-kitab  tanpa bimbingan para ulama besar.  Terutama buku-buku yang berkaitan  dengan hajr mubtadi’ (ahli bid’ah),  sehingga akhirnya mereka menerapkan  hajr secara sembarangan. Ditambah  lagi dengan ghirah dan semangat yang  sangat besar dalam memberantas  bid’ah tanpa dibekali dengan ilmu  tentang kaidah-kaidah dalam menghukumi  (membid’ahkan) seseorang. Maka  yang terjadi adalah pembid’ahan dengan  membabi buta dan penghalalan  harga diri dan kehormatan kaum muslimin  (saudara-saudara mereka sesama  Ahlus Sunnah) di depan khalayak umum,  atau bahkan saudara-saudara  mereka tersebut jadi bahan tertawaan dan  lelucon di majelis-majelis  mereka. Penerapan yang keliru ini berakibat  buruk bagi dakwah  salafiyah, bagi kaum muslimin pada umumnya, dan  terlebih lagi bagi diri  mereka sendiri di akhirat kelak.
Praktek Jarh wa Ta’diil Membutuhkan Taqwa dan Waro’
Memang  benar bahwa memperingatkan seseorang dari bahaya seorang  mubtadi’  adalah perkara yang wajib demi menjaga syari’at Islam.  Sebagaimana para  ulama berbicara tentang al-jarh wat ta’diil demi  menjaga keutuhan  syari’at dari noda-noda bid’ah dan kedustaan.
Ibnus Sholaah  berkata, “Pembicaraan tentang hal ini baik jarh maupun  ta’diil telah ada  sejak dulu dari Rasulullah shallallahu ‘alihi wa  sallam kemudian dari  banyak sahabat dan tabi’in, kemudian orang-orang  setelah mereka. Dan  dibolehkan hal ini demi untuk menjaga syari’at dan  menolak kesalahan dan  kedustaan tentang syari’at…
Dan aku telah meriwayatkan dari Abu  Bakar bin Khollad ia berkata,  “Aku berkata kepada Yahya bin Sa’iid,  “Tidakkah engkau takut mereka  yang telah engkau tinggalkan hadits-hadits  mereka akan menjadi  musuh-musuh engkau pada hari kiamat di hadapan  Allah?”. Yahya bin  Sa’iid berkata, “Mereka menjadi musuh-musuhku pada  hari kiamat adalah  lebih aku sukai daripada yang menjadi musuhku adalah  Rasulullah  shallallahu ‘alihi wa sallam, ia shallallahu ‘alihi wa sallam  berkata  kepadaku, “Kenapa engkau tidak membantah kedustaan dari   hadits-haditsku?”.
Dan kami meriwayatkan atau sampai kepada kami  bahwasanya Abu Turoob  An-Nakhsyabi Az-Zahid mendengar sesuatu perkataan  (tentang  perawi-perawi hadits) dari Imam Ahmad bin Hanbal maka iapun  berkata  kepada Imam Ahmad, “Wahai Syaikh, janganlah engkau menggibah  para  ulama”. Maka Imam Ahmad pun berkata kepadanya, “Celaka engkau, ini   adalah nasehat dan bukan ghibah” (Uluumul hadits hal 350, Dan kisah Imam   Ahmad dengan Abu Turoob An-Nakhsyabi ini diriwayatkan juga oleh   Al-Khotiib Al-Bagdaadi dalam Tariikh Bagdaad XII/316)
Syu’bah berkata, “Marilah kita berghibah ria karena Allah” (Diriwayatkan oleh Al-Khothiib Al-Bagdaadi dalam Al-Kifayah hal 45)
Namun  perlu diingat, janganlah seseorang tatkala semangat dalam  menjarh  (mencela) orang-orang yang melakukan kesalahan, mereka hanya  melihat dan  mencontohi bagaimana kerasnya para salaf dalam mencela para  ahlul  bid’ah. Namun hendaknya mereka juga melihat dan mencontohi para  salaf  dalam ketakwaan mereka, kewaro’an mereka, serta ibadah mereka.  Para  salaf tatkala mereka menjarh seorang ahlul bid’ah atau menghukumi   seseorang sebagai ahlul bid’ah maka mereka menjarahnya atau   menghukuminya dengan penuh ketakwaan, dan penuh sifat waro’, sehingga   mereka memberikan derajat orang tersebut sesuai dengan kondisinya   (haknya).
Yang sungguh menyedihkan yang terjadi di zaman ini  sebagian orang  menjarh saudara-saudara mereka dengan keras dan sangat  mudah  membid’ahkan saudara-saudara mereka tersebut namun keadaan mereka   sangat jauh dari sifat waro’. Hal ini sangatlah berbahaya bagi kaum   muslimin dan terlebih lagi bagi diri mereka sendiri di akhirat kelak.
Orang yang masuk dalam bab al-jarh wat ta’diil maka harus membutuhkan sifat waro’ dan ketakwaan.
Berkata Adz-Dzahabi,
وَالْكَلَامُ فِي الرُّوَاةِ يَحْتَاجُ إِلَى وَرَعٍ تَامٍ وَبَرَاءَةٍ مِنَ الْهَوَى وَالْمَيْلِ…
“Dan  pembicaraan tentang para perawi membutuhkan sifat waro’  yang sempurna  dan terlepasnya diri dari hawa nafsu dan kecondongan…” (Al-Muuqizhoh hal 82)
Demikian juga pembicaraan terhadap kaum muslimin pada umumnya.
Ibnu  Daqiqil ‘Ied (tatkala beliau menyebutkan lima sebab timbulnya  jarh  (celaan) terhadap seorang rawi, kemudian tatkala beliau  menyebutkan  sebab terakhir yaitu yang kelima) beliau berkata,  “Kesalahan yang  terjadi karena disebabkan tidak adanya sifat waro’ dan  menghukumi dengan  persangkaan dan indikasi-indikasi yang terkadang  berbeda-beda.  Barangsiapa yang melakukan demikian maka ia telah masuk  dalam sabda  Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam “Hati-hatilah kalian dengan persangkaan karena sesungguhnya persangkaan adalah perkataan yang paling dusta”.  Dan  perkara (menghukumi seseroang dengan persangkaan dan tanpa sifat   waro’-pen) ini bahayanya sangatlah besar jika yang menjarh (mencela)   dikenal dengan ilmu namun rasa takwanya sedikit, karena ilmu yang   dimilikinya tersebut menjadikan ia sebagai orang yang berhak (ahli)   untuk didengar perkataannya dan jarhnya, akibatnya timbullah kesalahan   karena kurangnya sifat waro’nya dan berhukum berdasarkan persangkaan…
Dan  karena sulitnya terkumpulnya syarat-syarat ini (yaitu  syarat-syarat  yang harus dipenuhi oleh orang yang menjarh-pen) maka  besarlah bahaya  pembicaraan tentang orang-orang…. Oleh karena itu aku  (Ibnu Daqiqil  ‘Ied) katakan,
أَعْرَاضُ الْمُسْلِمِيْنَ حُفْرَةٌ من حُفَرِ  النَّارِ وَقَفَ عَلَى  شَفِيْرِهَا طَائِفَتَانِ مِنَ النَّاسِ  الْمُحَدِّثُوْنَ وَالْحُكَّامُ
Harga diri kaum muslimin  adalah sebuah jurang dari jurang-jurang  neraka, yang berdiri di tepi  jurang tersebut dua kelompok manusia,  yaitu para muhaddits (ahlul hadits  yang berbicara tentang derajat para  perawi hadits-pen) dan para qodhi  (hakim)” (Al-Iqtirooh hal 301-302)
Dan perkara yang sangat  berbahaya, yaitu jika ternyata tukang jarh  (tukang tabdi’) tersebut  dikenal memiliki ilmu, namun jauh dari sifat  waro’, lisannya terkenal  ceplas-ceplos, harga diri saudaranya jadi  mainan dan makanan  sehari-harinya dalam majelis-majelisnya. Bahkan  sering menjadi bahan  tertawaan…majelisnya terasa tidak sedap jika tidak  diberi bumbu celaan  terhadap saudara-saudaranya…,lalu perkataannya itu  dijadikan pegangan  oleh banyak orang. Betapa banyak beban dosa yang  harus dipikulnya pada  hari kiamat kelak…Wallahul Musta’aan
Praktek Jarh wa Ta’dil Diterapkan Secukupnya, Tidak Boleh Berlebih-Lebihan
Berikut  ini nasehat Syaikh Abdul Malik Romadhoni –hafidzohullah-  terhadap  mereka yang berlebih-lebihan dalam praktek jarh wa ta’diil  (Khurofat  Haroki hal 12-15)
Syaikh Abdul Malik berkata, ((….Ibnu Taimiyyah berkata,…“Akan tetapi hendaknya tujuan dari pemberi nasehat adalah agar Allah meluruskan orang tersebut, dan agar Allah menghindarkan kaum muslimin dari kejelekannya, baik dalam perkara-perkara dunia mereka maupun akhirat mereka. Dan hendaknya dia menempuh jalan yang teringan yang memungkinkannya” (Majmu’ Fatawa XXVIII/221).
Syaikh Abdul Malik berkata, ((….Ibnu Taimiyyah berkata,…“Akan tetapi hendaknya tujuan dari pemberi nasehat adalah agar Allah meluruskan orang tersebut, dan agar Allah menghindarkan kaum muslimin dari kejelekannya, baik dalam perkara-perkara dunia mereka maupun akhirat mereka. Dan hendaknya dia menempuh jalan yang teringan yang memungkinkannya” (Majmu’ Fatawa XXVIII/221).
Mungkin maksud  dari perkataan Ibnu Taimiyyah “jalan yang teringan  yang memungkinkannya”  adalah tidak berlebih-lebihan dan kebablasan  dalam menyebutkan  aib-aibnya jika tujuan dari mentahdzirnya telah  tercapai. Sampai-sampai  disebutkan dalam ilmu hadits dalam permasalahan  ini sebuah ungkapan,  الْكَلِمَةُ الأُوْلَى لَكَ وَالثَّانِيَةُ  عَلَيْكَ “Perkataan yang  pertama (tatkala engkau menyebutkan  kejelekannya) adalah untukmu (tidak  mengapa dan merupakan hakmu-pen)  adapun kalimat yang kedua (tatkala  engkau terus menyebutkan  kejelekan-kejelekannya-pen) adalah dosa  atasmu”.
Oleh karena itu dalam kitab “Tahdzibul Kamal” karya  Al-Mizzi (ada  sebuah kisah) dari Roja’ bin Abi Salamah berkata, “Pernah  terjadi  permusuhan antara ‘Ubadah bin Nusai dan seseorang. Lalu orang  tersebut  mengucapkan sebuah perkataan yang dibenci oleh ‘Ubadah.  Kemudian  ‘Ubadah bertemu dengan Roja’ bin Haywah maka iapun berkata  kepada  ‘Ubadah, “Aku dengar bahwasanya orang itu telah mengucapkan  perkataan  (yang jelek) kepadamu (apakah perkataan itu?)”. ‘Ubadah  berkata  kepadanya, “Kalau bukan karena hal ini merupakan ghibah maka  sungguh  akan aku kabarkan kepada engkau tentang perkataan (jelek) yang  ia  lontarkan tentang aku” (Tahdzibul Kamaal XIV/194 pada biografi  ‘Ubadah  bin Nusai Al-Kindi Abu Umar Asy-Syaamii Al-Urduni)
Aku  (Syaikh Abdul Malik) berkata, “Semoga Allah merahmati ‘Ubadah,  siapakah  yang mampu untuk bersikap sedemikian bijaknya…??, siapakah  yang mampu  untuk berakhlak dengan akhlak yang mulia ini…”, akan tetapi  demikianlah  sikap para salaf. Sikap ini merupakan sikap asal,  karena menukil  kejelekan dan keburukan orang-orang merupakan namimah,  terlebih lagi  jika mengakibatkan perpecahan diantara ahlus sunnah, maka  perkaranya  lebih menjadi lebih sangat buruk.
Dalam shahih Muslim (no 2590) dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam beliau bersabda
لاَ يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tidaklah seorang hamba menutup (aib) hamba yang lain di dunia kecuali Allah akan menututp (aibnya) pada hari kiamat
Ini  merupakan hadits yang agung yang seyogyanya bagi setiap muslim  untuk  selalu mengingatnya tatkala timbul dalam dirinya keinginan untuk  menang  terhadap musuhnya agar ia tidak melampaui batas yang dibolehkan  baginya  dalam praktek tajrih –sebagaimana perincian lalu-.
Hadits ini  termasuk hadits-hadits yang dilalaikan oleh sebagian  penuntut ilmu yang  menyangka bahwa kebaikan (keistimewaan) itu terdapat  pada orang yang  pertama kali mengungkapkan kesalahan seseorang yang  salah kemudian  menyebarkan kesalahan tersebut serta merobek tabir  (penutup aib)  saudaranya.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya “Al-Adab  Al-Mufrod”  (324) demikian juga Ibnu Abid Dunya dalam kitabnya “As-Shomt”  (260) dan  dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam “Shahih Al-Adab” (247)  dari Ali  beliau berkata,
الْقاَئِلُ كَلِمَةَ الزُّوْرِ وَالَّذِي يَمُدُّ بِحَبْلِهَا فِي الإِثْمِ سَوَاءٌ
“Pengucap perkataan dusta sama dosanya dengan orang yang memanjangkan tali perkataan tersebut”
Dan makna dari perkataan Ali “yang memanjangkan tali perkataan tersebut” yaitu menyebarkannya, karena lafal perkataan Ali ini dalam Al-Adab Al-Mufrod
الْقَائِلُ الْفَاحِشَة وَالَّذِي يُشِيْعُ بِهَا فِي الإِثْمِ سَوَاءٌ
“Pengucap kejelekan dan orang yang menyebarkannya dosanya sama”
Bahkan  dikawatirkan terhadap orang yang terburu-buru dalam  permasalahan ini  (terburu-buru cepat menjarh-pen) tanpa memandang nilai  kehormatan  seorang ahlus sunnah serta tanpa menimbang dampak-dampak  (nagatif) yang  akan menimpa dakwah ahlus sunnah (akibat sikap  tergesa-gesanya  tersebut-pen) dikawatirkan sikapnya itu merupakan sikap  yang  disengajanya untuk meniru-niru ahli jarah wa ta’dil dari kalangan  ahlus  sunnah….
Oleh karena itu para ahli jarh -dalam rangka  membela syari’at-  merupakan orang-orang yang paling besar rasa takut  mereka kepada Allah  tatkala menjarh harga diri manusia. Al-Khothiib  Al-Baghdaadi dalam  “Tariikh Baghdad” (II/13) telah meriwayatkan  bahwasanya Imam Al-Bukhari  pernah berkata, إِنِّي أَرْجُوْ أَنْ أَلْقَى  اللهَ وَلاَ يُحَاسِبُنِي  أَنِّي اغْتَبْتُ أَحَدًا “Aku berharap aku bertemu dengan Allah dan Allah tidak menghisabku bahwa aku pernah menghibah seorangpun”
Berkata  Adz-Dzahabi dalam “As-Siyar” (Siyar ‘Alam An-Nubala’  XII/439)  mengomentari perkataan Imam Al-Bukhari ini, “Sungguh benar  beliau (Imam  Al-Bukhari) –semoga Allah merahmati beliau-. Barang siapa  yang  memperhatikan perkataan-perkataan beliau dalam jarh wa ta’diil  maka akan  mengetahui sifat waro’ beliau tatkala membicarakan (derajat)  manusia  dan akan mengetahui keadilan beliau terhadap rawi-rawi yang  beliau  dho’ifkan…”
Ibnu Bisyron meriwayatkan dalam ‘Al-Amaali” (288)  dari Thowuus  beliau berkata, “Hati-hatilah kalian terhadap Ma’bad  Al-Juhani karena  sesungguhnya ia adalah Qodari (Yaitu dari sekte Qodari  kelas kakap  karena Ma’bad Al-Juhani mengingkari ilmu Allah yang  azali-pen)”,  وَكَانَ طَاوُسُ لاَ يَتَكَلَّمُ إِلاَّ بِمَا يَنْبَغِي dan Thowuus tidaklah berbicara kecuali yang semestinya”
Demikianlah  sikap para salaf, mereka tidaklah melalaikan hak-hak  Allah dengan  membela agama Allah serta juga tidak berlebih-lebihan  dalam (menjarh)  harga diri manusia.
Bahkan terkadang mereka (para salaf)  menjatuhkan jarhnya sebagian  ahli jarh jika mereka terkenal dengan sikap  yang berlebih-lebihan dalam  menjarh. Sebagaimana dalam “Tahdzibul  Kamal” (XX/168) karya Al-Mizzi  bahwasanya Ali bin Al-Madini berkata,  “Abu Nu’aim dan ‘Affaan adalah  dua orang yang jujur, aku tidak menerima  perkataan mereka berdua dalam  permasalahan para perawi, karena mereka  tidak meninggalkan seorangpun  kecuali mereka berbicara tentang  kejelekannya”
Berkata Syaikh Abdurrahman Al-Mu’allimi –semoga  Allah merahmati  beliau- di muqoddimah kitab “Al-Jarh wat Ta’diil” -karya  Ibnu Abi  Hatim-, “Ada pembesar-pembesar dan orang-orang yang mulia dari  ahli  hadits yang berbicara tentang (derajat) para perawi hadits namun   perkataan mereka tidak dijadikan patokan dan tidak dipandang”, kemudian   beliau menyebutkan atsar yang lalu (yaitu perkataan Ali bin Al-madini)   dan berkata setelahnya –dengan kepandaian beliau serta istimbat beliau   yang tajam-, “Abu Nu’aim dan ‘Affan termasuk para pembesar ahli hadits.   Dan perkataan Ali bin Al-Madini menunjukan bahwa banyaknya   perkataan-perkataan mereka tentang para perawi hadits, namun meskipun   demikian hampir-hampir tidak ditemukan dalam buku-buku jarh wa ta’diil   sedikitpun penukilan dari perkataan-perkataan mereka”
Abu Nu’aim  adalah Al-Fadhl bin Dukain dan ‘Affan adalah bin Muslim  –semoga Allah  merahmati keduanya-. Kedudukan mereka dalam ilmu hadits  telah diketahui  bersama. Jika hal ini (tidak dipandangnya perkataan  mereka) diterapkan  pada para pembesar ahlul hadits maka bagaimana lagi  terhadap orang–orang  yang rendah agama mereka???
Sebagaimana juga para salaf tidaklah  bergembira jika menemukan  kesalahan seorang ahlus sunnah. Bahkan hati  mereka yang bersih  mengantarkan salah seorang dari mereka terkadang  mendebat saudaranya  dengan harapan bahwasanya dialah yang bersalah bukan  saudaranya. Ibnu  Hibban telah meriwayatkan dalam shahihnya (V/498)  dengan sanad yang  shahih dari Hasan Az-Zagfarooni beliau berkata, “Aku  mendengar (Imam)  Asy-Syafi’i berkata, مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَط  فَأَحْبَبتُ أَنْ  يُخْطِئَ “Tidaklah aku mendebat seorangpun lantus aku  senang kalau dia  yang bersalah” ….))
Catatan :
Perkataan  Imam Asy-Syafi’i ini berlaku jika perdebatan yang terjadi  adalah antara  sesama ahlus sunnah. Adapun jika seorang ahlus sunnah  mendebat Ahlul  bid’ah maka hendaknya dia senang jika keborokan ahlul  bid’ah tersebut  terungkap dihadapan masyarakat.
Ibnu ‘Asakir dalam bukunya  “Tabyiin Kadzibil Muftari” (hal 340)  menukil dari Al-Hasan bin ‘Abdil  Aziz Al-Jarowi berkata, “Aku mendengar  (Imam) Asy-Syafi’i berkata, مَا  نَاظَرْتُ أَحَدًا فَأَحْبَبتُ أَنْ  يُخْطِئَ إِلاَّ صَاحِبَ بِدْعَةٍ  فَإِنَِّي أُحِبُّ أنْ يَنْكَشِفَ  أَمْرُهُ لِلنَّاسِ “Tidaklah aku  mendebat seorangpun lantus aku senang  kalau dia yang bersalah, kecuali  ahlul bid’ah maka aku ingin agar  kesalahannya terungkap dihadapan  manusia”
Karena terungkapnya kesalahan ahlul bid’ah dihadapan  manusia  merupakan pertolongan bagi sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa  sallam.  Dan memberantas akar-akar syubhat para perusak (diantaranya  ahlul  bid’ah) merupakan perkara yang dituntut dalam syari’at. Tidakkah  engkau  lihat bahwasanya Allah memuji diriNya setelah memusnahkan  orang-orang  zholim hingga ke akar-akarnya
فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُواْ وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (الأنعام : 45 )
Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. (QS. 6:45)
Jika demikian, maka siapakah dari kalangan ahlus sunnah yang tidak gembira jika ahlul bid’ah terungkap keborokan-keborokannya???
Oleh  karena itu Al-Khollaal dalam As-Sunnah (1896) meriwayatkan  dengan sanad  yang shahih dari Abu Bakar Al-Marwadzi beliau berkata,  “Dikatakan  kepada Abu ‘Abdillah –yaitu Imam Ahmad-, “Seseorang gembira  dengan apa  yang menimpa para sahabat Ibnu Duaad – yaitu seorang  mubtadi’ yang  berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk- apakah ia  berdosa??. Imam  Ahmad berkata, “Siapakah yang tidak gembira dengan hal  ini??” (Lihat  Khurofat Haroki hal 14-15)
Mencela dan Merendahkan Harga Diri (Kehormatan) Seorang Muslim Tanpa Hak (Tanpa Alasan Syar’i) Merupakan Dosa Besar.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram, darahnya, hartanya, dan harga dirinya (HR Muslim IV/1986 no 2564)
((فَإِنّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ  حَرَامٌ  كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ   هَذَا))  فَأَعَادَهَا مِرَارًا
((Sesungguhnya darah kalian,  harta kalian, dan harga diri kalian  adalah haram atas kalian sebagaimana  haramnya hari kalian ini, di  negeri kalian ini, di bulan kalian ini)). Berkata Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam mengulang-ngulangi perkataan beliau ini” (HR Al-Bukhari II/619)
Berkata  Al-Mubarokfuri, “Yaitu haramnya sebagian kalian melakukan  pelanggaran  terhadap jiwa sebagian yang lain, terhadap harta, dan harga  diri pada  hari-hari yang lain sebagaimana haramnya kalian melakukan  pelanggaran  pada hari ini di tanah ini (tanah suci Mekah)…” (Tuhfatul  Ahwadzi  VI/313)
Berkata Imam An-Nawawi, “…Maksud dari perkataan  Rasulullah  shallallahu ‘alihi wa sallam ini semua adalah untuk  menjelaskan  penekanan akan kerasnya pengharaman harta, jiwa (harta), dan   kehormatan, dan untuk memperingatkan akan hal ini” (Al-Minhaj Syarh   shahih Muslim XI/169)
Berkata Al-Munawi, “Islam yang paling mulia  adalah manusia selamat  dari lisanmu (ucapanmu) maka janganlah engkau  mengumbar lisanmu dengan  ucapan-ucapan yang memberi mudhorot kepada  mereka” (Faidhul Qodiir  I/523)
Sebagaimana kita tidak boleh  melanggar hak orang lain yang berkaitan  dengan harta (seperti  mencurinya) maka kita juga tidak boleh melanggar  hak orang lain yang  berkaitan dengan harga dirinya. Maka kita tidak  boleh mencelanya,  menghinanya, atau menjatuhkannya. Bahkan  pelanggaran yang berkaitan  dengan harga diri lebih berat daripada yang  berkaitan dengan harta.  Seseorang lebih terasa sakit tatkala harga  dirinya dijatuhkan,  direndahkan, dan dihinakan, apalagi dihadapan  khalayak ramai daripada  jika hartanya dicuri atau diambil dengan tanpa  hak. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam pernah bersabda (dari hadits Sa’id bin Zaid y),
إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةَ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ
Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak (HR   Abu Dawud IV/269 no 4876 bab في الغيبة. Berkata Ibnu Hajar, “Dan  hadits  Sa’id bin Zaid…dikeluarkan oleh Abu Dawud dan ia memiliki syahid   sebagaimana dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan Ibnu Abid Dunya dari hadits   Abu Hurairah, dan dikeluarkan oleh Abu Ya’la dari hadits Aisyah”   (Al-Fath X/470). Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam   As-Shahihah no 3950)
Berkata Syamsul Haq Al-‘Azhim Aabaadi,  أَرْبَى الرِّبَا  “Yaitu riba  yang paling besar bahayanya dan yang  paling keras pengharamannya” ,  الاِسْتِطَالَةُ Yaitu mengulurkan lidah  terhadap kehormatan seorang  muslim, maksudnya yaitu merendahkannya dan  merasa tinggi atasnya serta  mengghibahnya, semisal menunduhnya berzina  atau mencelanya. Hanyalah  hal ini merupakan riba yang paling keras  pengharamannya karena  kehormatan merupakan perkara yang paling mulia  bagi seseorang, lebih  daripada harta” (‘Aunul Ma’bud XIII/152)
Berkata  Ibnul Atsir, “Mengulurkan lisan pada harga diri manusia  yaitu  merendahkan mereka dan merasa tinggi dihadapan mereka serta  menggibahi  mereka” (An-Nihayah fi Goribil Hadits III/145)
Berkata  Al-Baidhowi, “الِاسْتِطَالَةُ (Mengulurkan lisan) pada  kehormatan  seorang muslim yaitu dengan menjelekkannya lebih dari yang  seharusnya  sebagaimana perkataannya kepadanya, atau lebih dari rukhsoh  yang  diberikan. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam   memisalkannya dengan riba dan memasukkannya dalam bagian riba,  kemudian  menjadikannya riba yang paling besar, karena hal ini lebih  berbahaya dan  kerusakannya lebih parah. Karena kehormatan (harga  diri) -baik  meurut syari’at ataupun menurut akal- adalah lebih mulia  pada diri  seseorang dibanding hartanya dan lebih besar bahayanya dari  pada harta” (Sebagaimana dinukil oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qodiir II/531)
Berkata Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ، أَشَدُّ عِنْدَ اللهِ مِنْ سِتَّةٍ وَ ثَلاَثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu  dirham karena hasil riba yang dimakan oleh seseorang  padahal dia tahu,  lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh  perzinahan.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Thabrani, lihat Goyatul Marom :172, As-Shahihah 1033, Shahih Al-Jami’ 3375)
Asy-Syaukani mengomentari hadits ini, “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam ((lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perzinahan….dan seterusnya)), menunjukan   bahwa maksiat riba termasuk maksiat yang paling parah. Karena senilai   maksiat zina yang  merupakan maksiat yang paling jelek dan jijik dengan   jumlah yang banyak (36 kali zina), bahkan (maksiat riba) lebih parah   dari zina-zina tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa maksiat   tersebut telah melampaui ambang batas keburukan. Dan yang lebih buruk   dari ini adalah mengulurkan lisan pada harga diri saudaranya sesama   muslim. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam   menjadikan hal ini (mengulurkan lisan untuk mencela kehormatan orang   lain) merupakan riba yang paling parah. Dan sungguh jauh (dari   rahmat Allah) orang yang mengucapkan suatu kalimat yang ia tidak   menemukan keledzatan dalam ucapannya tersebut dan tidak tidak menambah   hartanya serta tidak juga meninggikan kedudukannya, lantas dosanya di   sisi Allah lebih besar dari pada dosa orang yang berzina sebanyak tiga   puluh enam zina. Ini adalah perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang   yang berakal. Kita memohon kepada Allah keselamatan (dari hal   ini)….amin..amin.” (Nailul Author V/297)
Sebagian orang  tidak bisa mengendalikan lisannya, tidak peduli  dengan apa yang  diucapkannya, tidak peduli siapapun yang sedang ia  bicarakan, yang  sedang ia rendahkan, yang ia jatuhkan harga dirinya,  tidak peduli siapa  yang sedang ia ghibahi.
Apalagi ghibah yang ia lakukan berkaitan dengan agama seseorang.
Berkata  Al-Qurthubhi, “..Para ulama sejak masa awal dari kalangan  para sahabat  Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan para tabi’in setelah  mereka, tidak  ada ghibah yang lebih parah menurut mereka dari ghibah  yang berkaitan  dengan agama (seseorang), karena aib yang berkaitan  dengan agama  merupakan aib yang terberat. Setiap orang mukmin lebih  benci jika  disinggung kejelekan agamanya daripada jika disinggung  (cacat) tubuhnya”  (Tafsir Al-Qurthubhi XVI/337)
Bahkan para ulamapun tidak selamat  dari lisannya. Tidak hanya ulama  di masanya yang tidak selamat dari  lisannya bahkan ulama masa lalupun  tidak selamat dari lisannya.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya  seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang  menjadikan Allah murka dan  ia tidak perduli dengan perkataan tersebut  maka iapun terjerumus dalam  neraka Jahannam” (HR Al-Bukhari V/2377 no 6113)
Dia tidak  tahu bahwasanya bisa jadi orang yang ia ghibahi atau yang  ia rendahkan   dan ia lecehkan kedudukannya disisi Allah sangatlah  agung. Ia tidak  menyangka bahwa ucapannya tersebut yang terasa  sangatlah ringan di  lisannya ternyata sangatlah berat di sisi Allah.
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ (النور : 15 )
Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. 24:15)
Ia  tidak tahu bahwa satu kalimat yang ia keluarkan untuk menggibahi  orang  tersebut atau merendahkan kedudukannya dan harga dirinya bisa   menghancurkan kabaikan-kebaikannya yang banyak yang seukuran gunung yang   telah ia kumpulkan bertahun-tahun dengan penuh perjuangan dan   keletihan…
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
أَتَدْرُوْنَ  مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ  دِرْهَمَ لَهُ  وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي  يَأْتِي يَوْمَ  الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكاَةٍ وَيَأْتِي  قَدْ شَتَمَ هَذَا  وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ  هَذَا وَضَرَبَ هَذَا  فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ  حَسَنَاتِهِ فَإِنْ  فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا  عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ  خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي  النَّارِ
“Tahukah kalian apa yang disebut dengan orang yang bangkrut?”, mereka (para sahabat) berkata, “Orang bangkrut yang ada diantara kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya dan tidak memiliki barang”. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan sholat, puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan si fulan. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum cukup untuk menebus kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia dzolimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu iapun dilemparkan ke neraka” (HR Muslim IV/1997 no 2581)
“Tahukah kalian apa yang disebut dengan orang yang bangkrut?”, mereka (para sahabat) berkata, “Orang bangkrut yang ada diantara kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya dan tidak memiliki barang”. Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan sholat, puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan si fulan. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum cukup untuk menebus kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia dzolimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu iapun dilemparkan ke neraka” (HR Muslim IV/1997 no 2581)
Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam
وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟
Bukankah  tidak ada yang menyebabkan manusia terjungkal di atas  wajah-wajah  mereka dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka ? (HR At-Thirmidzi V/11 no 2616 dan Ibnu Majah II/1314 no 2973 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 1122)
Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam:
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ
Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan. (Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain)
Kalau  maksiat yang ia lakukan berkaitan antara ia dan Allah maka  Allah Maha  Pengampun dan Maha Pemurah, mudah bagi Allah untuk  mengampuninya jika Ia  menghendaki. Namun jika kedzoliman berkaitan  dengan hak  manusia….ketahuilah bahwa semuanya membutuhkan hasanaat  (kebaikan) pada  hari kiamat…, semuanya butuh untuk menyelamatkan  dirinya dari api  neraka…
Berkata Ibnu Taimiyyah, “Adapun hak orang yang terdzolimi  maka  tidaklah gugur hanya dengan sekedar bertaubat…barangsiapa yang   bertaubat dari kedzoliman maka tidaklah gugur hak orang yang terdzolimi   dengan taubatnya tersebut, akan tetapi merupakan kesempurnaan taubatnya   hendaknya ia mengganti hak tersebut dengan yang seperti kedzoliman  yang  dilakukannya. Jika ia tidak mengganti hak tersebut di dunia maka  ia  pasti akan menggantinya di akhirat. Maka wajib bagi orang yang  berbuat  dzolim yang telah bertaubat untuk memperbanyak  perbuatan-perbuatan baik  hingga jika orang-orang yang didzoliminya  telah mengambil  kebaikan-kebaikannya (kelak diakhirat sebagai penebus  hak-hak mereka)  maka ia tidak jadi orang yang bangkrut (yaitu masih  tersisa  kebaikan-kebaikannya). Meskipun demikian jika Allah menghendaki  untuk  menebus hak orang yang terdzolimi dari sisiNya maka tidak ada  yang  menolak karuniaNya, sebagaimana jika Allah menghendaki untuk  mengampuni  dosa-dosa yang dibawah kesyirikan bagi siapa yang ia  kehendaki…
Dan ghibah merupakan kedzoliman yang berkaitan dengan kehormatan. Allah berfirman
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ
Sukakah  salah seorang dari kalian memakan daging bangkai  saudaranya yang telah  mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah  kalian kepada Allah,  sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha  Pengasih. (Al Hujurat 12)
Allah telah memperingatkan kaum mukminin untuk bertaubat dari ghibah dan ia merupakan kedzoliman…” (Majmu’ fatawa XVIII/187-189)
Tidakkah  ia tahu bahwasanya ia akan dimintai pertanggungjawaban di  hadapan  Allah, Hakim yang Maha Adil, yang tidak ada sesuatupun yang  tersembunyi  bagiNya?, tidakkah ia tahu bahwasanya orang yang ia ghibahi  dan ia  lecehkan tersebut akan menuntut haknya di hadapan Allah para  hari kiamat  kelak…??
Bagaimana lagi jika ia telah menjatuhkan harga diri banyak orang…??
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
لَتُؤَدُنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادُ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقُرَنَاءِ
“Kalian  akan menunaikan hak-hak kepada para pemiliknya pada hari  kiamat, hingga  kambing yang bertanduk diqishos untuk kambing yang  tidak bertanduk” (HR Muslim IV/4997 no 2582)
Tidakkah ia tahu bahwa…
إِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kedzoliman adalah kegelapan-kegelapan pada hari kiamat” (HR Muslim IV/1996 no 2579)
Oleh  karena besarnya bahaya menjatuhkan harga diri seorang muslim  tanpa hak  maka Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda
مَنْ  كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ   فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ   وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدَرِ   مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ   صَاحِبِهِ فَحُمِّلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang melakukan  kedzoliman kepada seseorang baik  berkaitan dengan harga dirinya atau  yang lainnya maka hendaknya ia  memintanya untuk menghalalkannya pada  hari ini sebelum datang hari yang  tidak ada dinar dan tidak juga dirham.  Jika ia memiliki amalan sholeh  maka akan diambil darinya sesuai dengan  ukuran kedzolimannya. Dan jika  ia tidak memiliki kebaikan maka akan  diambil kejelekan-kejelekan orang  tersebut dan dipikulkan kepadanya” (HR Al-Bukhari II/856 no 2317, lihat juga V/2394 no 6169)
Rasulullah  shallallahu ‘alihi wa sallam mengkhususkan penyebutan  harga diri pada  hadits ini menunjukan bahwa perkara melecehkan harga  diri orang lain  tanpa alasan yang dibenarkan merupakan perbuatan yang  berbahaya.
Ibnus  Solaah berkata, ((Kemudian wajib bagi orang yang berkecimpung  dalam hal  ini (jarh wa ta’diil-pen) untuk bertakwa kepada Allah, dan bertatsabbut (mengecek dengan baik), dan menjauhi sifat tasahul (terlalu mudah dalam mencela) agar   ia tidak menjarh seorang yang selamat (dari celaan tersebut) dan tidak   mensifati seseorang yang tidak bersalah dengan sifat yang buruk  kemudian  sifat jelek tersebut akhirnya tertempel pada orang tersebut  hingga hari  kiamat…Apa yang kami riwayatkan atau kami sampaikan  bahwasanya  Yusuf bin Al-Hasan Ar-Roozi As-Shuufi menemui Ibnu Abi Hatim  dan ia  sedang membaca buku karyanya tentang al-jarh wat ta’diil. Maka  Yusufpun  berkata kepadanya, “Betapa banyak dari mereka (yaitu  orang-orang yang  tercantum dalam buku Ibnu Abi Hatim al-Jarh wat  Ta’diil) yang telah  menempati tempat-tempat mereka di surga semenjak  seratus atau dua ratus  tahun yang lalu dan engkau masih sibuk  menyebut-nyebut mereka dan  menggibah mereka”. Maka Abdurrahman (Ibnu  Abi Hatim) pun menangis.
Dan  telah sampai kepada kami juga bahwasanya tatkala ia (Ibnu Abi  Hatim)  sedang membacakan kitabnya Al-Jarh wat Ta’diil kepada  orang-orang maka  disampaikan kepadanya kabar dari Yahya bin Ma’in  bahwasanya ia berkata,  “Sesungguhnya kita sedang mencela orang-orang  yang mungkin saja mereka  telah menempati tempat-tempat mereka di surga  semenjak dua ratus tahun  lebih”. Maka Abdurrahman (bin Abi Hatim) pun  menangis dan kedua  tangannya gemetar hingga jatuhlah kitab (yang sedang  dibacanya) dari  tangannya)) (Uluumul hadits 350-351)
Semoga Allah membimbing kita semua menuju jalan yang benar.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar