STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Minggu, 03 Juli 2011

TEORI KONFLIK

      Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.[1]
Teori konflik yang muncul pada abad  ke sembilan belas dan dua puluh dapat dimengerti sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Mc Quarrie, 1995: 65). Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya. Teoritisi konflik melihat masyarakat sebagai berada dalam konflik yang terus menerus diantara kelompok dan kelas, sekalipun Marx memusatkan perhatiannya pada pertentangan antar kelas. Untuk pemilikan atas kenyataan yang produktif, para teoritisi konflik modern berpandangan sedikit lebih sempit. Mereka melihat perjuangan meraih kekuasaan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan terkecuali satu hal dimana orang-orang muncul sebagai penantang kelas, bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin.[2]
Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi sebagi fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik. Teorim konflik ini berasal dari Simmel. Pada 1950-an dan 1960-an, teori konflik menyediakan alternatif terhadap fungsionalime struktural, tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah digantikan oleh berbagai macam teori neo-Marxian. Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural-fungsionalnya. Teori ini lebih merupakan sejenis fungsinalisme struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya.[3]

Karya Ralf Dahrendorf
            Seperti fungsionalis, ahli teori konflik beriorientasi ke studi struktur dan intitusi sosial. Sedikit sekali pemikiran teori ini yang berlawanan secara langsung dengan pendirian fungsionalis. Antitesis terbaiknya ditunjukkan oleh karya Dahrendorf (1958, 1959). Dalam karya Dahrendorf, pendirian teori konflik dan teori fungsional disejajarkan. Dahrendorf (1958, 1959) adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsesus. Teoritisi konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat takkan ada tanpa konsesus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, kita tak akan punya konflik kecuali ada konsesus sebelumnya.[4]
            Otoritas. Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas. Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, teapi di dalam posisi. Dahrendorf tak hanya tertarik pada struktur posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu: ”sumber struktur konflik harus di cari di dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan” (1959:165). Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Karena memusatkan perhatian kepada struktur berskala luas seperti peran otorita itu, Dahrendorf ditentang para peneliti yang memusatkan perhatian pada tingkat individual. Misalnya, ia dikritik oleh orang yang memusatkan perhatian pada ciri-cirri psikologi individu yang menempati posisi itu. Tetapi, menurut Dahrendorf, orang yang melakukan pendekatan demikian bukanlah sosiolog.[5]
Kelompok, Konflik dan Perubahan. Selanjutnya Dahrendorf membedakan tiga tipe utama kelompok. Pertama adalah kelompok semu (quasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama” (Dahrendorf, 1959:180). Kelompok semu ini adalah calon anggota tipe kedua, yakni kelompok kepentingan. Kedua kelompok ini dilukiskan oleh Dahrendorf seperti berikut:
Metode perilaku yang sama adalah karateristik dari kelompok kepentingan yang direkrut dari kelompok semu yang lebih besar. Kelompok kepentingan adalah kelompok dalam pengertian sosiologi yang ketat; dan kelompok ini adalah agen rill dari konflik kelompok. Kelompok ini mempunyai struktur, bentuk organisasi, tujuan atau program dan anggota perorangan (Dahrendorf, 1959:180).
Dari berbagai jenis kelompok kepentingan itulah muncul kelompok konflik atau kelompok yang  terlibat dalam konflik aktual.[6]
Singkatnya Dahrendorf  menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba. Apa pun ciri konflik, sosiologi harus membiasakan diri dengan hubungan antara konflik dan perubahan maupun dengan hubungan antara konflik dan status quo.[7]
Kritik Utama dan Upaya untuk Menghadapinya
Teori konflik telah dikritik dengan berbagai alasan. Misalnya, teori ini diserang karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas, sedangkan fungsionalisme struktural diserang karena mengabaikan konflik dan perubahan. Teori konflik juga dikritik kareena berideologi radikal, sedangkan fungsionalisme dikritik karena ideologi konservatifnya. Bila dibandingkan dengan fungsionalisme struktural, teori konflik tergolong tertinggal perkembangannya. Teori ini hampir tidak secanggih fungsionalisme, mungkin karena merupakan teori turunan.[8]
Teori konflik Dahrendorf menjadi subjek dari sejumlahanalisis kritis (misalnya, analisis Hazelrigg, 1972; turner, 1973; Weingart, 1969), termasuk pemikiran kritis oleh Dahrendorf sendiri (1968). Hasil analisis kritis itu sebagai berikut: Pertama, model Dahrendorf tak secara jelas mencerminkan pemikiran Marxian seperti yang ia nyatakan. Seperti segera akan terlihat, sebenarnya teori konflik ini merupakan terjemahan tidak memadai dari teori Marxian ke dalam sosiologi. Kedua, seperti yang telah dicatat, teori konflik lebih banyak kesamaannya dengan teori fungsionalisme struktural ketimbang dengan teori Marxian. Penekanan Dahrendorf pada hal-hal seperti sistem (asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa), posisi peran, secara langsung mengaitkannya dengan fungsionalisme  struktural. Akibatnya, teori menderita kekurangan yang sama dengan fungsinalisme struktural. Misalnya, konflik tampak muncul secara misterius dari sebuah sistem yang sah (sebagimana dalam fungsinalisme struktural). Selanjutnya, teori konflik menderita berbagai maslah konseptual dan logika seperti yang dialami fungsionalisme struktur (misalnya, konsep yang samar-samar tautologi) (Turner, 7975, 1982). Ketiga, seperti fungsinalisme struktural, teori konflik hampir selurunya bersifat makroskopik dan akibatnya sedikit sekali ditawarkan kepada kita untuk memahami pemikiran dan tindakan individu.[9]
Dalam memahami semua gagasan konflik dapat dirangkum dalam beberapa point yaitu (Dahrendorf): [10]
1.      Semakin sedikit kondisi teknikal, sosial, dan politik dari organisasi, semakin hebat konflik yang terjadi.
2.      Semakin sedikit mobilitas anyara kelompok yang memiliki otoritas, semakin hebat konflik akan terjadi.
3.      Semakin sedikit kondisi teknikal. sosial, dan politik dari organisasi, semakin hebat kekerasan akan terjadi.
4.      Semakin kecil kemampuan kelompok-kelompok konflik mengembangkan kesepakatan terkait dengan pengaturan, semakin besar kekerasan akan terjadi.
5.      Semakin hebat konflik, semakin akan terjadi reorganisasi dan perubahan structural.
6.      Semakin banyak kekerasan ada di konflik, semakin besar tingkatan reorganisasi dan perubahan structural (idem), lihat juga dalam George Ritzer (terjemah), 2004 : 157).
Teori Konflik yang Lebih Integratif
            Tokoh utama dalam upaya membangun teori konflik yang lebih sintesis dan integratif adalah Randall Collins. Conflict sociology karya Collins (1975) sangat integratif karena jauh lebih beriorentasi mikro ketimbang teori konflik makro Dahrendorf dan yang lainnya. Mengenai karya awalnya ini, Collins mengatakan ”Kontribusi utama untuk teori konflik adalah menambah analisis tingkat mikro terhadap teori yang bertingkat makro ini. Saya terutama mencoba menunjukkan bahwa stratifikasi dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari” (1990:72).[11]
            Stratifikasi Sosial. Collins memilih memusatkan perhatian pada stratifikasi sosial secara stratifikasi sosial adalah instuisi yang menyentuh begitu banyak ciri kehidupan, seperti “kekayaan, politik, karier, keluarga, klub, komunitas, gaya hidup” (1975:49). Menurut Collins teori-teori besar telah “gagal” menerangkan stratifikasi sosial. Teori besar yang dimaksud Collins adalah teori fungsionalisme struktural dan marxian. Dia mengkritik teori Marxian,  misalnya dengan menyatakannya sebagai “penjelasan monokausal untuk kehidupan multikausal” (Collins, 1975:49). Ia memandang teori Weber sebagai “antisistem”. Teori Weber berguna bagi Collins, tetapi “upaya sosiologi fenomenologi untuk melandasi semua konsep yang digunakan mengamati kehidupan sehari-hari” (Collins, 1975:53) adalah sangat penting bagi Collins karena sasaran utamanya dalam studi stratifikasi sosial adalah berskala kecil. Menurut pandangannya, stratifikasi sosial, seperti semua struktur sosial lainnya, dapat dikurangi ke tingkat individuasl dalam kehidupan sehari-hari yang saling berinteraksi menurut cara yang terpola.[12]
            Teori Stratifikasi Konflik. Dengan latar belakang di atas, Collins kembali ke pendekatan konflik stratifikasinya sendiri yang lebih banyak kesamaannya dengan teori fenomenologi dan etnometodologi ketimbang dengan teori Marxian dan Weberian. Collins bertolak dari beberapa asumsi. Orang dipandang mempnyai sifat sosial (sociable), tetapi juga terutama mudah berkonflik dalam hubungan sosial mereka. Konflik mungkin terjadi dalam hubungan sosial karena “penggunaan kekerasan” yang selalu dapat dipakai seseorang atau banyak orang dalam lingkungan pergaulan. Collins yakin bahwa orang berupaya untuk memaksimalkan “status subjektif” mereka dan kemampuan untuk berbuat demikian tergantung pada sumber daya mereka maupun sumber daya orang lain dengan siapa mereka berurusan. Ia melihat orang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri; jadi benturan mungkin terjadi karena kepentingan-kepentingan itu pada dasarnya saling bertentangan.[13]
Pendekatan konflik terhadap strafikasi dapat diurunkan menjadi tiga prinsip. Pertama, Collins yakin bahwa orang hidup dalam dunia subjektif yang dibangun sendiri. Kedua, orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subjektif seorang individu. Ketiga, orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Akbiatnya adalah kemungkinan terjadinya konflik individu.[14]
Berdasarkan penelitian ini, Collins mengembankan lima prinsip analisis konflik yang diterapkan terhadap stratifikasi sosial, meski ia yakin bahwa kelima prinsip itu dapat diterapkan di setiap bidang kehidupan sosial.
Pertama, Collins yakin bahwa teori konflik harus memusatkan perhatian pada kehidupan nyata ketimbang pada formulasi abstrak. Kedua, Collins yakin bahwa teori konflik stratifikasi harus meneliti dengan seksama susunan material yang mempengaruhi interaksi. Ketiga, Collins menyatakan bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikansumber daya kemungkinan akan mencoba mengekploitasi kelompok yang sumber dayanya terbatas. Keempat, Collins menginginkan teoritisi konflik melihat fenomena kultral seperti keyakinan dan gagasan dari sudut pandang kepentingan, sumber daya dan kekuasaan. Kelima, Collins membuat komitmen tegas untuk melakukan studi ilmiah tentang stratifikasi dan setiap aspek kehidupan sosial lainnya.[15]
Komitmen ilmiah ini mendorong Collins mengembangkan serangkaian proposisi mengenai hubungan antara konflik dan berbagai aspek khusus kehidupan sosial. Hanya beberapa proposisi saja yang disajikan disini, namun diharapkan dapat membantu dalam memahami tipe sosiologi konflik Collins.
v  Pengalaman meberikan dan menerima perintah adalah faktor yang menentukan pandangan dan tindakan individu.
v  Makin sering orang memberikan perintah, dia akan makin bangga, makin percaya diri, makin formal dan makin mengidentifikasikan dirinya dengan cita-cita organisasi dan dengan mengatasnamakan organisasi dia menjustifiaksi perintahnya itu.
v  Makin sering orang menerima perintah, maka ia makin patuh, makin fatalisits, makin terasing dari cita-cita organisasi, makin menyesuaikan diri secara eksternal, makin mencurigai orang lain, makin memikirkan imbalan ekstrinsik, dan amoral.
(Collins, 1975: 73-74)[16]
Semua proposi mencerminkan komitmen Collns untuk melakukan studi ilmiah tentang menifestasi sosial bersakala kecil dari konflik sosial.
      Domain sosial lainnya. Collins tidak puas menganalisis konflik di dalam sistem stratifikasi saja, tetapi memperluasnya ke berbagai bidang sosial lainnya. Misalnya, ia memperluas analisis stratifikasi ke hubungan antara jenis kelamin yang berbeda dan antara kelompok umur. Ia berpandangan bahwa keluarga adalah sebuah arena konflik perbedaan kelamin di mana lelaki menjadi pemenang dengan akibat wanita didominasi oleh lelaki dan tunduk pada berbagai jenis perlakuan yang tidak adil. Begitu pula, Collins melihat hubungan antara kelompok umur khususnya antara yang muda dan yang tua sebagai arena konflik.[17]
      Ringkasnya, seperti Dahrendorf, Collins bukan merupakan eksponen sejati teori konflik Marxian, meski dengan alasan yang berbeda. Meski Collins menggunakan pemikiran Marx sebagai titik tolak, namun pikiran Weber, Durkheim dan terutama etnometodologi lebih besar pengaruhnya terhadap karyanya. Orientasi skala kecil Collins adalah awal yang membantu menuju pengembangan teori konflik yang lebih integratif. Tetapi, meskipun dia menginginkan teori berskala besar dan berskala lengkap, namun dia tak menyelesaikan tugasnya itu secara lengkap.[18]

DAFTAR PUSTAKA
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media Group. 2007
Paul B. Horton, Chesterl L. Hunt. Sosiologi. Jakarta: Erlangga, 1984.
Michael Julpri Tarigan. Komplikasi Teori Teori Sosiologi. online (avaible): http://id. komplikasi teori teori sosiologi. Blogspot.com. diakses pada tanggal 29 November 2010.
Online (avaible): http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik, diakses pada tanggal 29 November 2010.



[1] Online (avaible): http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik, diakses pada tanggal 29 November 2010.
[2] Paul B. Horton, Chesterl L. Hunt, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 1984), Hal. 19.
[3] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hal. 153.
[4] Ibid, hal. 153-154.
[5] Ibid, hal. 154-155.
[6] Ibid, hal. 156.
[7] Ibid, hal. 157.
[8] Ibid, hal. 157-158.
[9] Ibid, hal. 158.
[10] Michael Julpri Tarigan, Komplikasi Teori Teori Sosiologi, online (avaible): http://id. komplikasi teori teori sosiologi. Blogspot.com, diakses pada tanggal 29 November 2010.
[11]George Ritzer dan Douglas J. Goodman,  OP. Cit., hal. 160.
[12] George Ritzer dan Douglas J. Goodman,  OP. Cit., hal. 161.
[13] George Ritzer dan Douglas J. Goodman,  OP. Cit., 162-163.
[14] George Ritzer dan Douglas J. Goodman,  OP. Cit., hal. 163.
[15] George Ritzer dan Douglas J. Goodman,  OP. Cit., hal. 163-164.
[16] George Ritzer dan Douglas J. Goodman,  OP. Cit., hal. 164.
[17] George Ritzer dan Douglas J. Goodman,  OP. Cit., hal. 165.
[18] George Ritzer dan Douglas J. Goodman,  OP. Cit., hal. 165.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar