STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 09 Agustus 2011

Al-Muharrar

Di kalangan madzhab Syafi’i nama ar-Rafi’i sudah tidak asing lagi. Sebab, ia adalah salah satu tokohnya. Nama lengkapnya adalah Syeikh al-Islam Imâm ad-Dan Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim bin Muhammad bin al-Fadhl bin al-Husain bin al-Hasan ar-Rafi’i al-Qazwini asy-Syafi’i. Ia lahir 555 H dan wafat  dipenghujung tahun 623 H.

Penguasaan ar-Rafi’i atas ilmu fiqh, tafsir, dan hadits telah menghantarkan dirinya menjadi pakar (imâm) ketiga bidang tersebut. Di mata Muhyi ad-Din an-Nawawi, ar-Rafi’i adalah orang saleh dan memiliki karamah nyata. Ia juga termasuk intelektual Muslim yang produktif.
Di antaranya ialah kitab Fath al-‘Azîz fi Syarh al-Wajîz, sebuah syarh yang sangat bagus dan nyaris di kalangan madzhab Syafi’i tak ada buku yang menyamainya. Di samping itu ar-Râfi’i juga menulis kitab Syarh Musnad asy-Syâfi’i, at-Tadwîn fi Dzikr Akhbâr Qazwînî, al-Îjâz fi Akhthâr al-Hijâz, dan kitab al-Muharrar.


Kitab al-Muharrar adalah salah satu kitab yang terkenal di kalangan madzhab Syafi’i. Dari kitab inilah kemudian lahir kitab-kitab lain yang ditulis para ulama generasi setelahnya dari kalangan madzahb Syafi’i. Hal ini menunjukkan pengaruh ar-Rafi’i sangat besar bagi generasi setelahnya.

Ironisnya, meski pengaruh ar-Rafi’i sangat besar tetapi pandangannya mengenai fiqh yang tertuang di dalam kitab al-Muharrar jarang dikutip. Terutama kalangan ulama dari Indonesia. Mereka malah lebih sering mengutip pandangan ulama generasi setelah ar-Rafi’i yang mengutip pandangannya, seperti an-Nawawi, Jalaluddin al-Mahalli, al-Bakri Muhammad Syatha dan lain-lain. Padahal kitab al-Muharrar adalah salah satu rujukan primer bagi kalangan madzhab Syafi’i.

Bahkan pesantren yang mayoritas adalah pengikut madzhab Syafi'i setahu saya belum ada yang mengajarkan kitab al-Muharrar. Padahal dalam beberapa soal fiqh mereka juga sering merujuk -secara tidak langsung- kepada pendapat ar-Rafi’i. 

Gaya penyusunan kitab al-Muharrar memang sama dengan kitab-kitab fiqh lainnya yang ditulis ulama dari kalangan madzhab Syafi'i. Di awali dengan pembahasan tentang Thahârah dan diakhiri dengan pembahasan mengenai ‘itq al-ummahât. Meski ar-Rafi; juga termasuk ahli tafsir dan hadits tetapi jarang sekali kita menemukan ayat al-Qur`an atau hadits Nabi yang dijadikan sebagai landasan hukum suatu persoalan fiqh.

Sebagai salah satu rujukan primer kalangan madzhab Syafi'i maka wajar jika kitab al-Muharrar banyak menarik perhatian para ulama generasi setelah ar-Rafi’i. Di antara mereka adalah al-Qâdhî Syihâbuddin (wafat 895 H). Ia adalah salah seoarng intelektual dari kalanga madzhab Syafi'i yang banyak menguasi beberapa bidang ilmu pengetahuan. Dan salah satu karyanya adalah kitab bertitel Kasyf ad-Durar fi Syarh al-Muharrar. Yaitu  sebuah kitab syarh (anotasi) atas kitab al-Muharrar.

Di samping itu juga kita akan menemukan ringkasan kitab al-Muharrar, yang berjudul al-Minhâj atau yang lebih dikenal dengan nama Minhâj ath-Thâlibîn yang ditulis Muhyiddin Syarf an-Nawawi (wafat 676 H). Dan dari Minhâj ath-Thâlibîn kemudian lahir kitab Kanz ar-Râghibîn yang ditulis Jalaluddin al-Mahalli sebagai syarh atas kitab al-Minhâj.

Jalaluddin al-Mahalli adalah salah satu tokoh dari kalangan madzhab Syafi'i. Ia lahir pada tahun 791 H dan wafat tahun 864 di Kairo. Lantas, kitab Kanz ar-Râghibîn diberi Hâsyiyah (komentar) oleh Qalyûbî dan ‘Amîrah (ada yang membaca ‘Umairah). Kedua Hâsyiyah tersebut di kalangan pondok pesantren dikenal dengan nama Hâsyiyah al-Qalyûbî wa Umairah dan diajarkan untuk santri-santri senior.

Minhâj ath-Thâlibîn —yang nota benenya adalah muktashar  (ringkasan) dari kitab al Muharrar— juga diberi syarh oleh Ibnu Hajar al-Haitamî (909 H-973 H) dengan kitabnya yang bernama Tuhfah al-Muhtâj, Muhammad al-Khathîb asy-Syarbînî (wafat 977 H) dengan kitabnya yang bejudul Mughnî al-Muhtâj, sedang ar-Ramli dengan kitabnya yang bertitel Nihâyah al-Muhtâj.

Dus, dengan demikian dapat dikatakan bahwa kitab-kitab fiqh dari kalangan madzhab Syafi'i pasca ar-Rafi’i itu bersumber dari kitab al-Muharrar-nya. Tetapi ironisnya, kitab tersebut jarang disentuh untuk dijadikan rujukan oleh kalangan madzhab Syafi'i belakangan ini. Hal ini mungkin karena di kalangan madzhab Syafi'i, ar-Rafi’i dipandang setingkat di bawah an-Nawawi. Akibatnya, pandangan ar-Rafi’i sendiri kurang diperhitungkan bahkan nyaris dipinggirkan.

Padahal ar-Rafi’i dengan al-Muharrar-nya telah memberikan inspirasi agung bagi generasi ulama madzhab Syafi'i setelahnya. Tetapi dalam perjalannya kitab tersebut malah nyaris terlupakan dan nyaris tak disebut-sebut oleh kalangan ulama sekarang. Mereka malah lebih sering merujuk pandangan ar-Râfi’i melalui generasi setelahnya. Artinya, mereka hanya membebek tanpa mau melihat kepada rujukan aslinya.

Di kalangan madzhab Syafi'i memang tak ada yang menyangsikan kebesaran nama ar-Rafi’i. Dan seabreg kitab fiqh telah lahir berkat kitab al-Muharrar-nya. Dengan kata lain kedudukan kitab tersebut sangat penting dan tidak selayaknya kita mengabaikannya. Sebab, banyak ulama setelah ar-Râfi’i yang memberikan apresiasi kepada kitab itu.

Namun, sekarang ini kitab al-Muharrar telah menjadi legenda yang terlupakan. Karena itu, tibalah saatnya kita untuk mengikuti jejak para ulama yang telah memberikan apresiasi kepada karya pendahulu mereka. Sebab, generasi yang baik adalah generasi yang tidak melupakan akar tradisinya atau tidak seperti kacang yang lupa pada kulitnya.      

Tentang Kitab
Judul      : Al-Muharrar
Penulis      : ‘Abd al-Karîm al-Qazwînî ar-Râfi’i
Editor       : Muhammad Hasan Muhammad Ismâ’îl
Penerbit  : Dar a-Kutub al-‘Ilmiyyah
Cet      : Pertama, 1426 H/ 2005 M
Tebal      : 543 halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar