STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 15 Agustus 2011

Fiqih Ramadhan

TANYA JAWAB FIQIH RAMADHAN KONTEMPORER

Untuk lebih memotivasi shaum kita di Ramadhan tahun ini, berikut akan saya kutip beberapa ketarangan yang menjelaskan mengenai keutamaan atau fadhilah shaum.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu bershaum sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183)

“Jika masuk bulan Ramadhan, dibukalah pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, dan setan-setan dibelenggu.” (H.R. Bukhari)

“Barangsiapa shaum di bulan Ramadhan dengan dasar iman dan mengharap rido Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R. Ahmad dan Bukhari)

Secara etimologi, shaum bermakna menahan diri dari sesuatu, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Menurut definisi ahli fikih, shaum adalah menahan diri dari makan, minum, dan hubungan intim (seks) pada siang hari disertai niat. Jika dikaji lebih lanjut, ada lima hikmah yang dapat kita ambil dari ibadah shaum. Kelima hihmah tersebut antara lain menghapuskan dosa-dosa kecil, melatih muqarabah, melatih pengendalian nafsu, menajamkan kepekaan sosial, serta menyehatkan badan.

Seiring perkembangan zaman, banyak sekali permasalahan kekinian yang memerlukan jawaban fiqih secara lugas, termasuk di antaranya adalah perihal shaum Ramadhan. Berikut dijelaskan beragam permasalahan seputar fiqih shaum dan ibadah Ramadhan lainnya yang saya harap dapat menjadi solusi permasalahan umat dalam menghadapi Ramadhan tahun ini.

***

Bagaimana hukumnya orang yang tidak shaum bukan karena sakit dan uzur tapi meyakini bahwa fidyah dapat melunasi hutang shaum Ramadhan tahun lalu sehingga yang bersangkutan bisa melakukan shaum tahun ini? Bisakah diterangkan lagi siapakah yang mendapat rukhsah menurut keterangan yang shahih?

Pertanyaan ini berkaitan dengan yang membolehkan kita berbuka (membatalkan) shaum. Berdasarkan ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 184 dan beberapa sabda Rasulullah Saw, katagori mereka yang mendapat keringanan atau boleh membatalkan shaum adalah:
a. Sakit, tanpa dirinci jenis penyakitnya. Selama orang yang bersangkutan yakin sedang dalam keadaan sakit, maka silahkan berbuka dan gantilah shaum yang batal tersebut di hari lain selain bulan Ramadhan (qadha).
b. Safar, tanpa merinci berapa batas minimal jarak yang ditempuh dalam perjalanan. Selama orang yang bersangkutan berniat safar, ia diperbolehkan berbuka sebelum berangkat, di tengah perjalan, atau sesampainya di tempat tujuan. Qadha-lah shaum tersebut di hari yang lain.
c. Haid dan nifas. Mereka yang sedang haid dan nifas diharuskan membatalkan shaum dan meng-qadha-nya di hari yang lain.
d. Tidak mampu menyempurnakan shaum karena suatu hal. Para ulama sepakat bahwa yang termasuk dalam kategori ini adalah para lansia yang sudah kepayahan dan jika memaksakan diri untuk shaum bisa berakibat fatal. Batal shaum katagori ini cukup diganti dengan fidyah.

Perlu diketahui bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hukum batal shaum bagi para penderita sakit keras (kronis) yang menahun, para pekerja kasar, serta wanita hamil dan menyusui. Perbedaan itu terjadi karena tidak ada rincian yang jelas ke kelompok mana mereka dikatagorikan. Apakah mereka setara orang sakit atau yang tidak mampu, hal tersebut masih menjadi perdebatan sehingga wajar kalau terjadi perbedaan dalam mengambil kesimpulan apakah mereka wajib qadha atau fidyah.

Sementara ini, saya pribadi berpendapat bahwa penderita sakit keras yang menahun, wanita hamil dan menyusui setara dengan orang yang tidak mampu sehingga mereka dapat mengganti shaum dengan fidyah. Sementara itu, bagi pekerja kasar yang diprediksi pekerjaannya tersebut akan dilakukan bertahun-tahun, maka shaumnya dapat diganti dengan fidyah. Namun jika pekerjaan yang dilakukannya bersifat temporal, maka sebaiknya shaum di-qadha saja.

Jadi, rukhsah hanya diberikan kepada orang yang sakit, safar, haid dan nifas, serta yang tidak mampu menyempurnakan shaum karena suatu hal. Karena itu, orang yang berkeyakinan seperti yang Anda tanyakan tersebut sebaiknya segera bertobat dan gantilah shaum yang ditinggalkannya dulu semaksimal mungkin meski dilakukan setelah Ramadhan berikutnya. Semoga Allah mengampuni dosa kita semua. Amin. Wallahu a’lam.

***

Ustadz, bagaiman hukum orang yang shaum tapi belum melunasi hutang shaum Ramadhan tahun lalu?

Barangkali maksud pertanyaan tersebut adalah meng-qadha shaum melewati satu tahun atau melewati Ramadhan berikutnya yang dianggap menjadi batas qadha shaum Ramadhan sebelumnya. Sebelum sampai pada pembahasan qadha, ada baiknya kita cermati kembali ayat berikut ini.

“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya bershaum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan bershaum lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 184)

Ada yang perlu kita garis bawahi dalam ayat di atas terkait persoalan qadha yaitu kalimat pada hari-hari yang lain. Para ahli fiqih tidak berada dalam satu kata sepakat mengenai terjemahan ayat ini. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa kalimat pada hari-hari yang lain menunjukkan batas akhir qadha adalah Ramadhan tahun berikutnya. Meski demikian, secara logika kebahasaan, pengertian yang lebih mendekati masa qadha shaum tersebut adalah satu tahun berikutnya. Namun demikian, karena tidak terdapat dalil rinci mengenai hal itu, kita tidak dapat mempersalahkan mereka yang membolehkan meng-qadha shaum tanpa batas waktu selama beralasan syari.

Namun demikian, para ahli fiqih kemudian berbeda pendapat mengenai kewajiban fidyah yang dikaitkan dengan adanya penangguhan qadha tersebut. Sebagian berpendapat bahwa penangguhan qadha shaum Ramadhan sampai tiba Ramadhan berikutnya tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah, baik penangguhan itu karena udzur atau tidak. Sebagian yang lain mengatakan bahwa penangguhan itu ada tafshil (rincian) hukumnya, yakni jika penangguhan itu karena udzur, maka tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah. Sedangkan jika penangguhan itu tanpa udzur, maka menjadi sebab diwajibkannya fidyah. Wallahu a’lam.

***

Ustadz, di bulan Ramadhan ini saya mendapat pekerjaan menjadi buruh bangunan yang tentu saja mengandalkan tenaga yang kuat. Jika saya bekerja, apakah saya bisa menganti shaum di bulan-bulan selain Ramadhan atau saya bisa menggantinya dengan fidyah? Jujur, jika shaum saya tidak bisa bekerja, sedangkan jika saya tidak bekerja, saya tidak bisa menafkahi keluarga. Mohon penjelasannya.

Sebelumnya telah saya jelaskan bahwa pekerja berat disepakati oleh sebagian ulama sebagai kelompok yang dikategorikan tidak mampu melakukan shaum. Namun demikian, para ulama tidak menyebutkan tolak ukur mana pekerja berat yang shaumnya boleh diganti dengan shaum lain di luar Ramadhan dan mana yang shaumnya boleh diganti dengan membayar fidyah. Karena itu, pengganti shaum bagi buruh bangunan ini dikembalikan pada diri masing-masing. Ambillah satu sikap tanpa ragu jika memang pekerjaan tersebut tidak mungkin dilakukan sambil shaum (saking beratnya). Tapi sekiranya masih ada jalan lain untuk bisa mengurangi beban pekerjaan, maka sebaiknya jangan dulu memutuskan untuk fidyah. Wallahu a’lam.

***

Ustadz, bagaimana hukum mengenakan jilbab hanya di bulan Ramadhan saja?

Kewajiban menutup aurat bagi setiap muslimah merupakan sesuatu yang tidak tertawarkan. Sepanjang ia tidak memenuhinya dan senantiasa membuka aurat tersebut, maka sepanjang itu pula dosa terus mengalir deras pada diri yang bersangkutan, na’udzubillah. Boleh jadi, muslimah tersebut shalatnya rajin dan shaumnya tidak ketinggalan. Tapi ketika ia mengabaikan perintah berjilbab ini, semuanya menjadi seolah tidak berarti. Ibarat orang yang bertobat dan sadar akan kesalahannya saat shalat, tapi setelah shalat ia melakukan kembali apa yang ditobatinya. Bukankah tobat seperti itu tidak akan diterima?

Itulah sebabnya mengapa mayoritas penghuni neraka adalah perempuan sebagaimana pernah diperlihatkan kepada Rasulullah.Boleh jadi, hal ini dikarenakan begitu banyaknya perempuan mengabaikan perintah menutup aurat ini, selain kebiasaan buruk pada suami seperti menyepelekan atau bahkan menghilangkan kebaikan suami hanya karena perkara sepele padahal sang suami sudah berjuang sekemampuannya untuk membahagiakan anak dan istrinya tersebut.

Kewajiban menutup aurat dalam ajaran Islam jelas ditunjang sejumlah dalil dalam Al-Quran dan hadits. Salah satunya ada dalam ayat berikut.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.’” (Q.S. An-Nuur [24]: 31)

Karenanya, marilah kita senantiasa menjaga kehormatan Islam dalam diri kita dengan senantiasa menutup aurat. Jangan sampai kita lengah menutupnya atau menutup aurat hanya dalam kesempatan tertentu saja. Dalam logika ajaran Islam, mengambil sebagian kewajiban dan mengabaikan sebagian yang lain sama saja dengan mengabaikan keseluruhannya. Mari kita cermati ayat berikut.

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: ‘Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir).” (Q.S. An-Nisa [4]: 150)

Di sini, saya tidak henti-hentinya mengajak kaum muslimah untuk memakai penutup aurat yang layak dan memenuhi kriteria syari. Mari kita simak peringatan Rasulullah Saw. tentang mode pakaian yang dikenakan untuk menutup aurat.
“Dari Hindun binti Al-Harits Al Firasiyyah, bahwasanya Ummu Salamah istri Nabi Saw. mengatakan; Suatu malam Rasulullah bangun dengan agak gusar dan mengucapkan: ‘Subhanallah, perbendaharaan apa lagi yang Allah turunkan? Dan fitnah apa lagi yang Allah turunkan? Siapa yang mau membangunkan penghuni kamar-kamar (maksudnya istrinya) untuk shalat? Betapa banyak orang berpakaian di dunia namun di akhirat telanjang.’”

Bagaimanapun, berjilbab di bulan Ramadhan pastinya merupakan suatu kebaikan. Akan tetapi akan menjadi bukti keberhasilan shaum jika setelah Ramadhan seorang muslimah melanjutkan berjilbab. Alangkah sayangnya jika perjuangan selama sebulan yang ia lakukan saat Ramadhan (khususnya berjilbab) dimentahkan lagi di kemudian hari dengan tidak lagi berjilbab. Saya yakin, para pembaca setia MaPI tidak menginginkan hal itu, bukan? Wallahu a’lam.

***

Bagaimana dalil mengenai umrah di bulan Ramadhan, Ustadz? Benarkan pahalanya lebih besar dibanding melaksanakan umrah di bulan lainnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan mengajak pembaca untuk mencermati hadits berikut ini.
“Dari Ibnu Abbas menceritakan kepada kami, ia berkata; Rasulullah Saw. bertanya kepada seorang wanita dari kalangan Anshar (Ibnu Abbas menyebutkan namnya, tetapi aku lupa): ‘Apa yang menghalangimu untuk melaksanakan haji bersama kami?’ Wanita itu menjawab, ‘Kami tidak mempunyai apa-apa kecuali dua ekor unta, yang satu ekor dipakai suamiku pergi haji bersama anaknya sedangkan yang satu lagi ia tinggalkan agar dipakai menyiram kebun.’ Beliau bersabda: ‘Kalau bulan Ramadlan tiba, maka tunaikanlah umrah, sebab umrah di bulan Ramadlan menyamai ibadah haji.’” (H.R. Muslim)

Jadi, benar adanya bahwa umrah yang dilakukan di bulan Ramadhan pahalanya lebih besar bahkan hampir menyamai ibadah haji. Wallahu a’lam.

***

Bagaimana hukumnya mandi junub setelah terbit fajar ketika Ramadhan, Ustadz?

Pertanyaan seperti ini sering kali muncul saat datangnya shaum Ramadhan. Pertanyaan seperti ini mungkin dilatarbelakangi keragu-raguan dalam memaknai jima’ (hubungan suami istri) dalam hubungannya dengan waktu shaum. Sudah menjadi pengetahuan umum jika salah satu yang membatalkan shaum adalah jima’. Dan sudah menjadi pengetahuan umum pula jika shaum dimulai dari terbit fajar (adzan Shubuh) sampai terbenam matahari (adzan Maghrib). Dalam rentang waktu tersebut, kita diperintahkan untuk menahan diri dari makan, minum, dan jima’.

Mengenai jima’ yang terkait dengan shaum Ramadhan, hal tersebut diterangkan dalam firman-Nya berikut.
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187)

Perlu diketahui bahwa berkaitan dengan jima’ ada sebuah kondisi yang disebut junub. Ini adalah istilah untuk keadaan setelah jima’ sampai bersuci dari jima’-nya. Pertanyaan yang kemudian muncul dan perlu segera dijawab adalah apakah jima’ yang dimaksud sebagai pembatal shaum itu termasuk juga keadaan junubnya?
Jawabannya adalah tidak. Jima’ yang membatalkan adalah jima dalam katagori perbuatannya dan tidak termasuk dengan masa junubnya sehingga ketika seseorang masuk waktu shubuh dalam keadaan junub, shaumnya tetap sah. Ibarat makan sahur yang rasa kenyangnya masih ada sampai waktu pagi yang tentu saja tidak membatalkan shaum. Perlu ditegaskan bahwa yang membatalkan adalah perbuatannya dan bukan efek setelahnya. Begitulah kira-kira analogi sederhana untuk sekadar menguatkan hadits berikut.
“Dari Ummu Salamah, bahwasannya Rasulullah Saw. pernah mendapatkan waktu Fajar saat beliau sedang junub di rumah keluarga beliau. Maka kemudian beliau mandi dan shaum.” (H.R. Imam Bukhari). Wallahu a’lam.

***

Bagaimana hukum remaja yang berdua-duaan (pacaran) di bulan Ramadhan? Apakah shaumnya batal, Ustadz?

Pacaran memang merupakan hal yang tidak akan pernah usang untuk terus dibicarakan, termasuk saat Ramadhan. Kata pacaran kerap dikaitkan dengan generasi muda dengan gaya yang selalu berganti dari masa ke masa. Model pacaran kaum muda era 90-an pasti berbeda dengan model pacaran era 70-an. Model pacaran abad 19 pasti berbeda dengan model pacaran abad 18. Di sini saya menghimbau, waspadalah wahai kaum muda! Jangan sampai kita terbawa derasnya arus budaya pacaran yang serba bebas yang sengaja dihembuskan kaum liberal penganut pergaulan bebas tanpa mengenal batas-batas kefitrahan manusia.

Istilah pacaran sama sekali tidak dikenal dalam Islam. Jika sejauh ini pacaran dianggap proses menuju pernikahan, maka dalam Islam hanya dikenal istilah taaruf sebagai proses menuju jenjang khitbah (lamaran) sebelum akhirnya nikah. Taaruf yang dimaksud dalam Islam tidak sama dengan gaya pacaran yang dikenal kebanyakan orang, meski mungkin dalam pacaran ada juga proses seperti taaruf.

Dengan demikian, apapun pengertian dan maksud dari pacaran, sungguh merupakan sikap yang cerdas bila generasi muda tidak mendekatkan diri pada kubangan pergaulan bebas dengan lawan jenis yang memberi peluang yang sangat besar untuk terjadinya pelanggaran terhadap aturan Allah dan Rasul-Nya. Sejauh ini, belum satu orang pun yang bisa menggali kemaslahatan pacaran dan yang terjadi malah banyak kasus penyelewengan, penyimpangan sikap, penurunan prestasi, dan lain sebagainya. Semua itu adalah akibat buruk pacaran. Perhatikan ketarangan berikut.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya.Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’” (Q.S. An-Nur [24]: 30)

Islam sangat mengerti fitrah setiap manusia sebagai makhluk yang memiliki cinta dan syahwat. Tapi Islam sebagai agama yang sempurna dan bijak menuntun kita agar tetap berada dalam kefitrahan yang sesungguhnya. Tidak lantas dengan alasan cinta, syahwat terhadap lawan jenis diikuti begitu saja sampai akhirnya terjerumus dalam jurang kenistaan.

Kehadiran Ramadhan bisa menjadi ajang untuk lebih melatih diri dalam memposisikan cinta dan syahwat. Terlepas dari apa itu pacaran, pastinya kita lebih ditekankan untuk lebih arif dalam menyikapi Ramadhan dengan lebih menyibukkan diri dalam beribadah dan ketaatan kepada Allah Swt. Sekali lagi, pacaran sebagaimana kita diketahui, lebih banyak memberi peluang perbuatan dosa sehingga dapat menyebabkan sia-sianya Ramadhan yang sangat berharga ini.

Saya yakin para sahabat muda sadar bahwa jodoh ada di tangan Allah. Nah, kesadaran tersebut cukup kiranya dijadikan pijakan untuk bertanya apa sebenarnya manfaat pacaran. Siapa yang berani menjamin bahwa seseorang yang dipacari akan membawa kebahagiaan abadi dan cinta sejati? Siapa pula yang dapat menjamin jika berpacaran tidak membawa dampak buruk pada diri yang bersangkutan kelak di kemudian hari?
Islam mengajarkan kita untuk mencintai seseorang hanya karena Allah. Bukti cinta yang didasari cinta kepada Allah adalah senantiasa menempatkan cinta di jalan yang diridoi Allah dan bukan mengikuti gaya atau tren pergaulan modern yang tidak menguntungkan.

Mengapa Islam menekankan hal ini. Tidak lain karena masalah cinta tidak bisa dianggap remeh. Cinta adalah bagian dari unsur keimanan. Rasulullah Saw. bersabda:
“Dari Anas bin Malik, dari Nabi Saw., beliau bersabda: ‘Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman. Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka.” (H.R. Bukhari)

Jadi, kalau di selain Ramadhan saja pacaran dilarang (bahkan sebagian ulama mengharamkannya), apatah lagi hal tersebut dilakukan saat Ramadhan. Semoga kita semua (terutama generasi muda) diberi keteguhan dalam melaksanakan perintah Allah, termasuk menahan diri untuk tidak pacaran. Wallahu a’lam.

***

Ustadz, bagaimana hukum cerai di bulan Ramadhan?

Adanya syariat talak dalam Islam sebenarnya semata-mata untuk menjaga hak-hak hidup individu dalam meraih kehidupan yang lebih baik. Meski begitu, talak dalam Islam tidak semudah dan selonggar yang bisa dilakukan. Secara hukum fiqih, talak merupakan perbuatan halal namun sangat dibenci. Karena itu, talak disertai syarat-syarat yang cukup mengikat. Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Talak dilakukan secara perlahan dan memilih waktu yang tepat dan kondusif. Tidak dibenarkan mencerai istri yang sedang haid atau dalam keadaan suci tapi telah mempergaulinya. Sebagian fuqaha bahkan berpendapat talaknya tidak sah.
2. Talak dilakukan dalam keadaan sadar. Apabila ia kehilangan kesadaran, terpaksa, atau dalam keadaan kalap sehingga menutupi ingatannya atau berbicara yang tidak ia inginkan.
3. Talak dilakukan dengan sesungguh-sungguhnya. Menjadikan talak sebagai sumpah atau sekedar menakut-nakuti adalah tidak sah. Sebagaimana disampaikan oleh lbnul Qayim dan gurunya (Ibnu Taimiyah).

Mengacu pada syarat-syarat talak di atas, dapat disimpulkan bahwa persoalan talak dilakukan pada bulan Ramadhan tidak menjadi masalah selama syarat-syarat yang lain terpenuhi. Hanya saja, perceraian di bulan Ramadhan sangat bertentangan dengan semangat shaum Ramadhan yang seharusnya menjadi ajang mempererat tali silaturahmi antar sesama (terutama antar suami istri) untuk melepaskan segala dosa. Wallahu a’lam.

***

Mana yang lebih baik ketika bepergian, shaum atau berbuka? Mohon dijelaskan, Ustadz.

Jawaban pertanyaan yang diajukan ini dijelaskan dalam Al-Quran.
“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 184)

Berdasarkan ayat di atas, bepergian menjadi sebab bolehnya kita buka shaum dengan syarat menggantinya (qadha) di kemudian hari. Namun demikian, tidak menjadi masalah untuk tetap melanjutkan shaum jika masih memungkinkan, bahkan boleh jadi itu lebih baik untuk menjaga nilai-nilai Ramadhan bagi yang bersangkutan.

Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Dari Aisyah ia berkata, Hamzah Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Saw., ‘Dalam safar kadang aku berbuka dan kadang berpuasa?’ lalu Rasulullah Saw. bersabda: ‘Jika mau kamu boleh berpuasa dan jika mau kamu boleh berbuka.’” (H.R. Ibnu Majah)

Mengenai jarak perjalanan ketika safar, belum ditemukan riwayat yang merinci hal tersebut. Oleh karena itu, selama yang kita lakukan itu adalah sebuah perjalanan (safar), maka kita diperbolehkan untuk berbuka. Adapun teknis berbuka shaum ketika safar adalah boleh dilakukan ketika dalam perjalanan atau boleh juga dilakukan sebelum melakukan perjalanan. Kalaupun setelah berbuka perjalanan yang dimaksud urung dilakukan, maka semua itu tidaklah menjadi masalah selama tidak lupa meng-qadha-nya. Wallahu a’lam.

***

Ustadz, saya pernah bertengkar hebat dengan tetangga di bulan Ramdhan. Apakah puasa saya batal?

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah. Bulan penuh ampunan dan rahmat dari-Nya. Akan tetapi, keberkahan, maghfirah, dan rahmat itu bukanlah pemberian cuma-cuma dari Allah. Perlu ada usaha yang maksimal untuk meraihnya. Usaha tersebut tiada lain adalah menjaga agar shaum terhindar dari hal-hal yang membathalkan dan menjaga kualitas shaum agat tidak hilang pahala dan keutamaannya.

Mengenai pembatal shaum dari tinjauan fiqih, Anda dapat membacanya dalam box. Mengenai penyebab hilangnya pahala shaum, Anda dapat mengetahuinya dari dua keterangan berikut.
“Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Saw.: ‘Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahalanya selain lapar, dan berapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan selain begadang.’” (H.R. Ibnu Majah)

“Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Saw.: ‘Pada hari salah seorang dari kalian janganlah berkata kotor atau berbuat bodoh, jika ada seseorang yang berlaku bodoh kepadanya hendaklah ia katakan, Aku sedang shaum.’” (H.R. Ibnu Majah)

Masuk dalam pengertian berkata kotor dan berbuat bodoh adalah seluruh perbuatan yang bisa mendatangkan banyak dosa, seperti menggunjing, menghina dan bertengkar sebagaimana yang ditanyakan. Karena itu, sebaiknya kita berusaha keras untuk menghindari hal-hal yang berbau dosa saat Ramadhan. Kalaupun terlanjur terjadi, segeralah bertobat dan mohon ampun kepada Allah.Wallahu a’lam.

***

Ustadz, ketika Ramadhan saya sering melihat orang tarawih di masjid yang ketika tiba waktu shalat witir malah pergi (meninggalkan masjid). Katanya, mereka melakukan shalat witir di rumah. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana sebenarnya shalat witir yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw?

Pokok permasalahan dari pertanyaan yang diajukan tersebut di atas adalah bagaimana sebenarnya tata cara shalat tarawih yang seharusnya, berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Karena itu, mari kita cermati hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut ini.

“Dari Aisyah r.a. berkata: Tidaklah Rasulullah Saw. melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat lagi dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah r.a. berkata: Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah Anda tidur sebelum melaksanakan witir?’ Beliau menjawab: ‘Wahai Aisyah, kedua mataku tidur, namun hatiku tidaklah tidur.’” (H.R. Bukhari)

Berdasarkan hadits tersebut, shalat tarawih berjumlah 11 rakaat dengan komposisi 4 rakaat diakhiri salam kemudian 4 rakaat lagi diakhiri salam dan terakhir 3 rakaat sebagai witir dan diakhiri salam. Antara 4 rakaat kedua dan witir, tidak jarang Rasulullah menyelanya dengan kegiatan lain bahkan sesekali disela dengan tidur-tiduran. Hal ini menunjukkan bahwa memisah-misah komposisi tarawih tidak menjadi masalah. Misalnya dua kali 4 rakaat pertama sebelum tidur dan 3 rakaat witir setelah bangun tidur. Atau sebaliknya, 3 rakaat witir di awal sebelum tidur dan dua kali 4 rakaat berikutnya setelah bangun tidur. Masing-masing shalat tersebut sebagian boleh dilakukan di masjid dan sebagian lagi di rumah. Semua diperbolehkan selama tidak ada kendala, misal lupa atau malas melakukan shalat setelah bangun tidur sebelum makan sahur.

Selain dilakukan dengan formasi 4-4-3, boleh juga tarawih dilakukan dengan formasi 2-2-2-2-3 atau 2-2-2-2-2-1. Di antara para sahabat bahkan ada yang melaksanakannya antara 21-43 rakaat. Boleh jadi, saat itu Rasulullah tidak menekankannya secara langsung dan memberi kebebasan dalam hal jumlah rakaat shalat malam. Hanya saja, akan lebih arif jika saat ini kita lebih mengikuti yang telah dicontohkan Rasulullah sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut di atas. Wallahu a’lam.

***

Ustadz, saya seorang ibu rumah tangga yang gemar memasak. Saya bingung saat Ramadhan, apakah shaum saya batal ketika mencicipi masakan karena jika tidak dirasakan dulu, takutnya masakan tersebut tidak enak?

Kembali lagi pada pengertian shaum dan pembatal shaum. Semua (ulama) sepakat bahwa yang membatalkan shaum adalah makan, minum, dan jima’. Makan didefinisikan oleh para ulama sebagai aktivitas memasukkan sesuatu ke dalam mulut yang kemudian diteruskan melewati kerongkongan. Adapun mencicipi masakan, meski masuk ke dalam mulut tapi tidak melewati kerongkongan, insya Allah tidak menyebabkan batal (shaum). Hanya saja, tentu hal tersebut (mencicipi masakan) harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar jangan sampai ada makanan yang masuk ke kerongkongan.

Hal ini juga berlaku saat menggosok gigi atau berkumur-kumur. Selama kita dapat menjaga agar air tidak masuk melewati kerongkongan, maka menggosok gigi dan berkumur tidak membatalkan shaum. Untuk sesuatu yang sudah ada di kerongkongan seperti ludah, meski ada perasaan bahwa ludah tersebut sempat seperti tertelan, hal tersebut sama sekali tidak membatalkan. Kecuali jika ludah tersebut sudah berada di mulut dan seharusnya dibuang lalu dengan sengaja ditelan, maka hal itu jelas membatalkan. Wallahu a’lam.

***

Ustadz, saya seorang karyawan yang berkerja di sebuah hotel mewah di Bali. Tiap hari saya bergelut dengan orang-orang yang sekuler, bahkan di bulan Ramadhan ini saya harus memberikan pelayanan kepada para tamu dengan menyediakan makanan, minuman beralkohol, dan lain sebagainya . Pertanyaan saya, apakah ibadah shaum saya batal?

Bagaimana kualitas ibadah yang saya lakukan selama Ramadhan? Mohon penjelasannya.
Dalam ajaran Islam, perkara yang besifat muamalah (seperti masalah ekonomi, sosial, dan masalah keduniawian lainnya) pada asalnya adalah mubah (boleh), kecuali jika ada larangan (baik tersurat atau pun yang tersirat dalam Al-Quran dan hadits). Termasuk mengenai pekerjaan di hotel seperti yang Anda lakukan. Selama tidak harus melanggar prinsip-prinsip ajaran Islam, sah-sah saja pekerjaan tersebut dilakoni.

Suatu hal yang harus diperhatikan adalah perbuatan yang bersifat mubah memiliki potensi yang sama untuk melahirkan pahala dan dosa. Makan adalah perbuatan mubah. Makan bisa menjadi berpahala kalau disertai doa dan sedekah. Dan makan juga bisa berdosa jika dilakukan secara berlebihan atau mengabaikan tetangga yang kelaparan.
Pekerjaan di hotel yang sangat bebas dan banyak menyediakan layanan yang melanggar norma susila, merupakan peluang datangnya sederet dosa bagi seluruh penyelenggara (termasuk karyawan) hotel tersebut. Menyikapi hal ini, pakailah pendekatan keimanan dan ketaatan pada ajaran agama. Jika hal tersebut dipandang sangat besar resikonya bagi keimanan, mohonlah ampun pada Allah. Jika sampai saat ini tetap bekerja karena terpaksa (untuk memenuhi kebutuhan hidup), maka berdoalah (minta ampun) kepada Allah sambil berusaha mencari pekerjaan lain yang lebih baik dan menentramkan hati.

Bekerja di lingkungan yang banyak maksiat pada bulan Ramadhan tidak serta merta membatalkan shaum. Namun demikian, pasti perlu perjuangan berat untuk bisa menghindarkan diri dari godaan maksiat yang nampak di hadapan mata. Wallahu a’lam.

***

Ustadz, bagaimana itikaf yang dicontohkan oleh Rasul. Mohon jelaskan.

Secara bahasa, itikaf artinya berdiam diri atau tinggal di suatu tempat. Menurut istilah, itikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Beritikaf bisa dilakukan kapan saja. Namun demikian, Rasulullah Saw. sangat menganjurkan itikaf dilakukan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Inilah waktu yang baik untuk ber-muhasabah dan ber-taqarub secara penuh kepada Allah Swt. guna meluruskan kembali makna sesungguhnya hidup kita di dunia.

Perhatikan keterangan berikut.
“Dari Abdullah bin Umar r.a. berkata: ‘Rasulullah Saw. beritikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan.’” (H.R. Bukhari)

Para ulama sepakat bahwa itikaf merupakan perbuatan sunah dan dianjurkan untuk dilakukan setiap 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Perlu diketahui bahwa Rasulullah Saw. ber-itikaf selama 20 hari menjelang wafatnya. Para sahabat dan juga istri-istri Rasulullah Saw. selalu melaksanakan ibadah ini sehingga Imam Ahmad berkata, “Sepengetahuan saya, tak seorang ulama pun mengatakan itikaf bukan sunah.”
“Itikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati ber-itikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk untuk berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah,” begitu kata Ibnu Qayyim.
Itulah urgensi itikaf. Ruh kita memerlukan waktu berhenti sejenak untuk disucikan. Hati kita butuh waktu khusus untuk bisa berkonsentrasi secara penuh beribadah dan bertaqarub kepada Allah Swt. Kita perlu menjauh dari rutinitas kehidupan dunia untuk mendekatkan diri seutuhnya kepada Allah Swt. Inilah saatnya kita bermunajat dalam doa dan istighfar serta membulatkan itikad untuk senantiasa patuh dan taat pada segala hukum dan ketentuan Allah.

Itikaf yang sah adalah itikaf yang dilaksanakan di masjid. Tidak termasuk itikaf jika kita melaksanakannya di luar masjid, misalnya di ruangan mushallah sebuah mall atau gedung perhotelan. Imam Malik membolehkan itikaf dilakukan di setiap masjid sedangkan Imam Hanbali membatasi itikaf hanya boleh dilakukan di masjid yang dipakai untuk shalat berjamaah atau shalat Jumat. Alasannya adalah agar orang yang ber-itikaf bisa selalu shalat berjamaah dan tidak perlu meninggalkan tempat itikaf (masjid yang tidak menyelenggarakan shalat Jumat) menuju masjid lain (yang dipakai shalat Jumat) untuk shalat berjamaah atau shalat Jumat. Pendapat ini diperkuat oleh ulama dari kalangan Syafii. Alasannya, Rasulullah Saw. beritikaf di masjid jami. Lebih dari itu, kalau kita dikaruniai kelebihan rezeki, maka lebih utama lagi kalai itikaf dilakukan di Masjid Haram, Masjid Nabawi, atau di Masjid Aqsha.

Rasulullah sendiri mencontohkan itikaf dimulai dengan masuk ke masjid sebelum matahari terbenam memasuki malam ke-21. Ini sesuai dengan sabdanya, “Barangsiapa yang ingin itikaf denganku, hendaklah ia itikaf pada 10 hari terakhir.” Itikaf selesai setelah matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan. Tetapi, beberapa kalangan ulama lebih menyukai menunggu hingga dilaksanakannya shalat Id.

Ketika itikaf, ada ibadah-badah sunah yang bisa Anda laksanakan seperti mengerjakan shalat sunah, tilawah (membaca Al-Quran), serta membaca tasbih, tahmid, dan tahlil. Saat itikaf, kita dianjurkan untuk beristighfar sebanyak mungkin, bershalawat kepada Rasulullah Saw. semaksimal mungkin, dan berdoa secara terus menerus. Imam Malik bahkan meninggalkan aktivitas ilmiahnya ketika datang waktu itikaf dan beliau memprioritaskan menunaikan ibadah mahdhah dalam itikafnya.

Meski begitu, orang yang beritikaf bukan berarti tidak boleh melakukan aktivitas keduniawian. Rasulullah Saw. pernah keluar dari tempat itikaf karena mengantar istrinya (Shafiyah) ke suatu tempat. Orang yang beritikaf juga boleh keluar masjid untuk keperluan yang tidak bisa ditunda seperti buang hajat, makan, minum, dan semua kegiatan yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Setelah selesai semua urusan tersebut, segeralah kembali ke masjid. Orang yang ber-itikaf juga boleh menyisir, bercukur, memotong kuku, serta membersihkan diri dari kotoran dan bau. Bahkan membersihkan masjid pun boleh dilakukan selama itikaf mengingat masjid harus dijaga kebersihan dan kesuciannya karena mungkin saja orang-orang yang ber-itikaf tanpa sengaja mengotori masjid ketika mereka makan, minum, dan tidur (di masjid).

Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Dari Urwah dan Amrah binti Abdurrahman bahwa Aisyah r.a. istri Nabi Saw. berkata: ‘Sungguh Nabi Saw. pernah menjulurkan kepala Beliau kepadaku ketika sedang berada di masjid lalu aku menyisir rambut beliau. Dan Beliau tidaklah masuk ke rumah kecuali ketika ada keperluan (buang hajat) apabila beliau sedang beritikaf.’” (H.R. Bukhari)

Itikaf dikatakan batal jika orang yang ber-itikaf meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar. Hal ini dikarenakan ia telah mengabaikan satu rukun itikaf, yaitu berdiam di masjid. Itikaf juga tidak sah jika dilakukan oleh wanita yang tengah haid atau nifas. Selain itu, itikaf juga batal kalau orang yang sedang beritikaf melakukan jima’ dengan istrinya. Begitu juga kalau ia pergi shalat Jumat ke masjid lain karena tempatnya beritikaf tidak dipakai untuk melaksanakan shalat Jumat.

Itikaf disunahkan bagi pria, begitu juga wanita. Namun demikian, wanita diberi syarat tambahan yaitu pertama harus mendapat izin dari suami atau orangtua. Apabila izin telah dikeluarkan, tidak boleh ditarik lagi oleh suami atau orangtua. Kedua, tempat dan pelaksanaan itikaf wanita sesuai dengan tujuan syariah. Para ulama berbeda pendapat tentang masjid untuk itikaf kaum wanita. Sebagian ulama menganggap lebih afdhal jika wanita beritikaf di masjid atau ruangan tempat shalat di rumahnya. Tapi jika ia akan mendapat manfaat yang banyak dengan itikaf di masjid, tentu wanita dipersilahkan melakukan itikaf di masjid dan tidak ada masalah sama sekali. Wallahu a’lam.

***

Saya memiliki bisnis kue kecil-kecilan. Menjelang Idul Fitri, biasanya pesanan kue saya melonjak tajam. Karenanya, saya pun harus bekerja ekstra keras dan hal itu menguras energi saya. Pada saat seperti itu, sempat saya berpikir untuk berbuka saja. Bagaimana menurut ustadz?

Kesibukan ekstra dalam membuat kue lebaran untuk memenuhi pesanan, saya pribadi belum menemukan kesetaraan yang cocok dengan keempat katagori orang yang boleh berbuka, baik sakit, safar atau tidak mampu. Terlebih jika bisnis kue tersebut ada dalam penguasaan saudara penanya. Dengan demikian, saudara bisa lebih mudah mengatur waktu dan pesanan. Kecuali jika posisi penanya adalah buruh di pabrik kue. Kalau demikian yang terjadi, boleh jadi saudara termasuk dalam kategori pekerja kasar. Perlu diingat bahwa hal itu (batal shaum) harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Pakailah standar keimanan dalam menentukan sikap. Wallahu a’lam.

***

Di masjid tempat saya tinggal, menjelang sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dilaksanakan shalat Lailatul Qadar 2 rakaat. Khusus pada hari ke-27 dan ke-29, shalat Lailatul Qadar terebut dikerjakan sebanyak 12 rakaat yang diakhiri dzikir bersama dan terkadang dilanjutkan dengan shalat Tahajud dan shalat Hajat. Apakah hal tersebut dicontohkan oleh Rasul, Ustadz?

Tidak ada dalil shahih yang menjelaskan shalat Lailatul Qodar. Yang ada adalah anjuran untuk meningkatkan amal shaleh di malam-malam yang diperkirakan akan turun Lailatul Qadar. Nabi Saw. bersabda:
“Dari Al-Aswad bin Yazid berkata, Aisyah berkata; ‘Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan Rasulullah Saw. lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.’” (H.R. Muslim)

Nabi Saw. Tidak pernah mencontohkan shalat Lailatul Qadar, apalagi ditentukan jumlah rakaatnya, baik 2 ataupun 12 rakaat. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada yang melakukannya, coba cari dulu dalil atau keterangan shahihnyanya. Kalau Rasul tidak mencontohkan, ya kita jangan mengada-adakan amal ibadah. Tugas kita adalah mengamalkan yang dicontohkan Rasul. Jadi, kita tidak boleh berpikiran, “Ah, yang penting itu bagus. Shalat kan ibadah.” Memang betul, shalat itu ibadah. Namun demikian, shalat itu termasuk ibadah mahdah yang teknik pelaksanaannya telah diatur secara detil oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah Saw. pernah berdabda, “Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; kitabullah dan sunnah Nabi-Nya.” (H.R. Malik). Wallahu a’lam.

Ustadz, saya adalah ibu rumah tangga dengan lima orang anak (yang empat sudah sekolah dan yang satu masih balita). Suami saya bekerja sebagai honorer. Saat ini, saya aktif di masjid dengan menjadi pengajar. Tiap menjelang Idul Fitri, pihak masjid yang sudah berstatus yayasan memberi uang THR kepada saya. Selain itu, saya juga mendapatkan bagian dari zakat fitrah karena dianggap sebagai mustahik. Bagaimana hukum keberadaan saya yang dianggap sebagai mustahik? Apakah saya diperbolehkan menerima zakat tersebut atau tidak? Perlu diketahui, meski keadaan ekonomi keluarga saya pas-pasan, saya selalu berusaha untuk membayar zakat fitrah.
Tentu saja ibu berhak untuk menerima (zakat) itu. Ibu mengajar anak-anak di masjid dan karenanya berhak mendapat imbalan (honor). Itu halal. Mengenai THR dari yayasan, ibu juga boleh menerimanya karena telah menyisihkan sebagian pikiran dan tenaga untuk mengajar anak-anak. Walaupun ibu melakukan semua itu dengan ikhlas karena Allah, tapi ibu boleh menerima hadiah atau pemberian. Ibu jangan merasa bersalah karena hal itu merupakan rejeki bagi keluarga ibu.

Mengenai zakat fitrah yang ibu terima, itu juga merupakan hak ibu sebagai fi sabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah). Meski ibu senantiasa berusaha membayar zakat fitra dan keadaan keuangan yang bisa dibilang pas-pasan, tapi zakat fitrah yang diberikan yayasan kepada ibu halal hukumnya. Tindakan ibu yang membayar zakat meski kondisi ekonomi pas-pasan merupakan perbuatan yang sangat mulia. Perlu diketahui bahwa orang beriman akan senantiasa berjuang melakukan ajaran-ajaran agama meski dihimpit oleh segala kekurangan sebagaimana difirmankan-Nya adalah ayat berikut.

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Ali Imran [3]: 134)
Dalam ayat tersebut, Allah Swt. menjelaskan bahwa tiga ciri orang yang bertakwa (yang mendekati kesempurnaan iman) adalah menginfakkan hartanya di saat lapang atau pun di saat sempit, bisa mengendalikan kemarahan (wal afiina ani nnas), dan mudah memaafkan kesalahan orang lain. Semoga ibu penanya pada khususnya dan pembaca setia MaPI pada umumnya senantiasa tergolong mukmin bertakwa yang kadar keimanannya mendekati sempurna. Amin. Wallahu a’lam.

***

Ustadz, mana yang lebih utama, zakat ke lembaga atau ke muztahik langsung?

Pertanyaan inilah yang sering muncul di tengah-tengah para muzaki menyangkut harta zakat yang hendak dititipkannya. Sejauh ini, memang belum ditemukan dalil terperinci mengenai bagaimana seharusnya kita menitipkan zakat, langsung kepada mustahiq atau lewat badan zakat. Kalaulah boleh kedua-duanya, lantas manakah yang lebih utama di antara keduanya?

Secara tekstual (tersurat), perihal penitipan zakat ini tidak diketahui dalilnya secara rinci. Karenanya, kesimpulan hukum mengenai hal tersebut kita ambil berdasarkan isyarat atau petunjuk umum (tersirat) yang dikandung oleh dalil yang berkaitan dengan hal tersebut. Marilah kita coba perhatikan dua ayat di bawah ini.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Q.S. At-Taubah [9]: 60)

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. At-Taubah [9]: 103)

Pada kedua ayat di atas, terdapat dua isyarat kalau zakat sebaiknya dititipkan melalui lembaga yang disebut ‘amilin atau lebih dikenal dengan lembaga zakat. Isyarat pertama adalah dengan adanya kata ‘amilin yang menunjukkan bahwa ketika disebut perihal zakat maka ‘amilin adalah bagian tak terpisahkan darinya. Artinya titipkanlah zakat tersebut kepada ‘amilin yang lebih mengetahui ruang lingkup penyaluran zakat.

Isyarat kedua adalah adanya kata khudz yang bermakna perintah untuk mengambil zakat. Pengambilan zakat tentunya memerlukan sebuah sistem. Zakat membutuhkan pengelolaan yang tidak mungkin ditangani oleh satu orang mengingat begitu banyaknya ashnaf yang harus diurus. Sistem itulah yang kemudian disebut ‘amilin atau lembaga zakat. Dengan demikian, dari kedua ayat yang cukup berkaitan tersebut dapat menjadi isyarat bahwa zakat lebih baik dititipkan kepada lembaga zakat. Penitipan ke lembaga zakat berguna untuk lebih menjaga ketepatan dalam penyaluran dan ihtiyat kalau-kalau memang zakat lebih utama dititipkan ke lembaga zakat.

Meski begitu, dalam satu kesempatan boleh saja kita menyalurkan sendiri zakat tersebut kepada mustahiqnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah berikut,
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 271)
Wallahu a’lam.

***

Bagaimana hukum menerima zakat yang diduga dari uang korupsi?

Pokok persoalan dari pertanyaan tersebut adalah harta yang harus dan layak dizakati. Berdasarkan pada banyak dalil, harta yang harus dan layak dizakati adalah yang halal dan bersih. Pada dasarnya, fungsi zakat adalah untuk membersihkan harta yang halal yang di dalamnya ada hak-hak orang lain. Cukup dengan logika sederhana tersebut, kita sudah bisa memahami bahwa zakat dari harta yang kotor tidak akan berguna sama sekali. Dengan kata lain, hal tersebut tidak masuk dalam ketagori zakat sedikit pun alias zakatnya tidak sah.

Kurang lebih, itulah yang berlaku pada harta hasil korupsi. Harta yang dihasilkan dari korupsi pada dasarnya merupakan harta yang diperoleh dengan cara yang tidak halal. Oleh karena itu, zakat yang dikeluarkannya tidak bernilai pahala sedikit pun. Bahkan boleh jadi, kesengajaan mengeluarkannya dengan maksud tertentu menjadi dosa adanya. Hal ini sesuai dengan qaidah ushul maa haruma akhdzuhu haruma i’thoouhu” (sesuatu yang diharamkan mengambilnya, maka diharamkan pula memberikannya). Rasulullah Saw. bersabda:

“Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: ‘Sesungguhnya Allah itu bagus (baik); tidak menerima kecuali dari yang baik pula, dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang beriman sebagaimana Dia perintahkan kepada para Rasul, lalu berfirman: Hai para Rasul makanlah yang baik-baik dan berbuatlah yang baik pula, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu kerjakan…’” (H.R. Muslim)

Syeikh Al-Mubarakafuri dalam kitab Tuhfat Al-Ahwadzi menerangkan kata thayyib dalam hadits tersebut sebagai sesuatu yang halal. Ini berarti bahwa harta yang tidak halal tidak akan diterima. Lebih lanjut, Syeikh Al-Mubarakafuri menukil perkataan Imam Al-Qurtubi, “Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah atau zakat dengan yang haram, karena harta haram bukan milik yang bersedekah dan dilarang baginya untuk menyalurkannya.” (Tuhfat Al-Ahwadzi )

Ibnu Abbas r.a. pernah ditanya tentang seseorang yang melakukan kezaliman dan mengambil harta haram lalu bertaubat, berhaji, berumrah, dan bersedekah dengan harta haram itu. Ibnu Abbas r.a. menjawab, “Sesungguhnya keburukan tidak akan menghapuskan keburukan.”

Imam Hasan Al-Bashri mengutarakan dua hal berkenaan dengan zakat. Pertama, bersedekah untuk dirinya sendiri dengan harta yang tidak halal berkonsekuensi amal tersebut tidak diterima, tidak akan mendapat pahala, bahkan bisa berdosa karena memberikan harta yang bukan miliknya tanpa izin. Kedua, berzakat atau bersedekah dengan harta yang tidak halal namun tidak memungkinkan untuk mengembalikan harta tersebut kepada si pemilik ataupun ahli warisnya diperbolehkan menurut pendapat sebagian besar ulama, seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad. Sedangkan Imam Syafii berpendapat bahwa harta haram sebaiknya disimpan dan tidak boleh disedekahkan sampai betul-betul ada kejelasan siapa pemiliknya. (Jami’ Al-‘Ulum)

Lantas bagaimana hukum menerima zakat dari harta yang diduga dari hasil korupsi? Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak sah zakat yang dikeluarkan dari harta yang tidak halal. Karenanya, tidak ada alasan bagi para mustahik untuk menerima zakat tersebut, jika memang yakin bahwa harta yang dizakati didapat dari hasil korupsi.

Tapi jika masih bersifat dugaan, maka hal tersebut dikembalikan pada amilin dan mustahiq itu sendiri. Bagi amilin, sikap yang harus diambil adalah meminta kejelasan mengenai jenis harta yang hendak dikeluarkan zakatnya oleh orang tersebut. Jika diketahui dari orang yang bersangkutan bahwa zakat yang dikeluarkan tersebut adalah zakat untuk harta tertentu (misal zakat simpanan atau yang lainnya) yang sudah jelas aturannya, maka tidak menjadi masalah untuk menerimanya. Yang penting bagi amilin adalah ikrar yang bersangkutan saat serah terima zakat. Meski terdapat keraguan, insya Allah hal tersebut tidak akan menjadikan kita berdosa.

Demikian halnya bagi mustahik yang menerima zakat yang diduga dari hasil korupsi. Jika zakat itu diterima langsung dari orang yang bersangkutan (bukan dari amilin), maka bertanyalah untuk memperjelas status harta yang dizakati tersebut. Tapi, jika mustahik tersebut menerima zakat dari amilin, ia tidak perlu repot bertanya untuk memperjelas status zakat yang diterimanya. Wallahu a’lam.

***

Ustadz, bolehkah saya menerima ucapan selamat hari raya dari teman yang non-muslim? Kalau tidak boleh, apa yang harus saya lakukan?

Sebagaimana diketahui, ucapan selamat adalah pernyataan ikut bergembira dan senang atas kejadian yang sedang dialami orang yang diberi ucapan. Dalam Islam, ucapan selamat tersebut dikenal dengan istilah tahniah. Dalam konteks kemanusiaan, ucapan selamat menjadi hak setiap orang dan Islam memberi kebebasan. Islam tidak melarang umatnya untuk memberikan selamat kepada siapa pun dalam hal apa pun, kecuali menyangkut aspek ritual ibadah.

Dalam hal ritual agama, sudah sepatutnya kita menghindari ucapan selamat dari atau kepada teman non-muslim. Begitulah sebagian ulama memberi batasan sebagaimana terkandung dalam ayat berikut ini.

“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.’” (Q.S. Al-Kaafiruun [109]: 1-6 )

Jika kita yang sedang berbahagia merayakan hari besar keagamaan kemudian di antara teman non-muslim ada yang mengucapkan selamat, maka terimalah ucapan selamat itu. Hanya saja, sesuai dengan apa yang saya paparkan di atas, kita tidak perlu membalas ucapan tersebut dengan memberikan selamat ketika ia merayakan hari besar agamanya kelak di kemudian hari. Namun bagaimana pun, kebaikan teman non-muslim tersebut perlu juga dibalas dengan ucapan yang baik pula. Menurut hemat saya, ucapan balasan yang lebih terjaga adalah “Terima kasih banyak” atau ucapan lain yang senada. Wallahu a’lam.

***

Ustadz, mohon penjelasan bagaimana aturan ziarah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. mengingat tradisi umat Islam di Indonesia saat lebaran adalah ziarah.
Saat berziarah, Rasulullah Saw. mendoakan yang diziarahi dengan doa sebagai berikut.
“Semoga keselamatan tercurah bagi penghuni (kubur) dari kalangan orang-orang mukmin dan muslim dan kami insya Allah akan menyulul kalian semua. Saya memohon kepada Allah bagi kami dan bagi kalian Al-’Afiyah (keselamatan).” (H.R. Muslim)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Sunan An-Nasai dan Ibnu Majah terdapat tambahan “Antum lana farotun wa nahnu lakum taba’un (Anda telah mendahului kami dan kami akan mengikuti Anda)”.

Di dalam shahih Muslim, Aisah juga menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah berziarah ke pemakaman Baqi’ sambil berdoa:
“Semoga keselamatan atas kalian wahai para penghuni (kuburan) dari kaum mukminin. Apa yang dijanjikan Allah kepada kalian niscaya akan kalian dapati esok (pada hari kiamat), dan kami insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah ampunilah penduduk Baqi’ yang mati tenggelam.” (H.R. Muslim)

Jadi, selain mengucapkan salam, kita juga dianjurkan untuk mendoakan almarhum. Kalau tidak mengerti bahasa Arab, kita bisa memakai bahasa Indonesia. Begitu masuk ke kompleks pemakaman, maka kita dianjurkan untuk membaca doa-doa tersebut di atas atau kalau tidak hafal paling tidak kita mengucapkan, “Assalamu’alaikum yaa ahlal kubuur”. Ketika telah sampai pada kuburan yang dimaksud, kita bisa berdiri atau jongkok di sebelah kuburan tersebut untuk berdoa mohonkan ampun bagi almarhum lalu pulang.

Nah, sekarang bagaimana dengan yang dikerjakan oleh kebanyakan umat Islam di negri ini? Biasanya, ketika berziarah mereka datang dengan membawa air dan kemudian menaburkan bunga. Mohon maaf, ini sebenarnya adalah tradisi orang Indonesia dan Rasulullah tidak mencontohkan hal tersebut. Logika sederhananya adalah bahwa di Timur Tengah (dengan cuaca gurun yang panas) tidak mungkin (atau jarang) ada bunga. Kalau memang tabur bunga dicontohkan oleh Rasul, dari mana beliau mendapatkan bunga di padang pasir? Jadi sekali lagi ditegaskan bahwa tidak ada contoh dari Nabi mengenai ziarah dengan menyiramkan air atau menaburkan bunga. Tentu saja, ini saya sampaikan tanpa mengurangi rasa hormat kepada yang melaksanakannya.

Di kalangan umat Islam Indonesia, ada pula yang berziarah kubur dengan diisi pembacaan surat Yasiin. Ini juga tidak dicontohkan. Pada dasarnya, anjuran untuk membaca surat Yasiin lebih ditujukan untuk orang yang sedang sakarat. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibn Majjah, dan Tirmidzi disebutkan kalimat, “Iqro’u ‘alaa mautaqum yasiin (bacakan kepada orang yang sedang sekarat itu yasiin).” Jadi, surat Yasiin bukan dibacakan kepada orang yang sudah meninggal tapi kepada yang sedang menghadapi sakaratul maut.

Jadi, ziarah dengan menyiramkan air, menaburkan bunga, dan membacakan surat Yasiin tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. terlebih apabila pembacaan surat Yasiin tersebut dibacakan oleh orang lain (tentu saja) dengan imbalan sejumlah uang. Ya, saya pernah menemui praktek tersebut. Segerombolan anak-anak pernah menawarkan pembacaan surat Yasiin (untuk ahli kubur yang saya ziarahi) kepada saya dengan imbalan Rp. 50.000 sampai Rp. 100.000,-. Sekali lagi saya tegaskan bahwa hal tersebut tidak dicontohkan oleh Rasul dan kita jangan ragu untuk meninggalkannya apabila sudah terlanjur pernah melaksanakannya.Wallahu a’lam.

***

Setelah Ramadhan tahun ini usai, saya berencana shaum Syawal selama enam hari berturut-turut. Namun demikian, sebagai wanita setiap bulannya saya mengalami haid selama 7 hari. Pertanyaan saya, mana yang harus didahulukan Ustadz, membayar hutang shaum Ramadhan atau shaum Syawal?

Pertanyaan ini bertujuan untuk meminta kejelasan, mana yang sebaiknya didahulukan, meng-qadha shaum (wajib) atau shaum sunah syawal. Bila kita menjawabnya dengan keyakinan bahwa yang wajib harus didahulukan daripada yang sunah secara umum, maka sudah pasti jawabannya meng-qadha shaum wajib harus didahulukan daripada shaum 6 hari di bulan Syawal yang dikatagorikan sunah. Tapi jika melihatnya dari faktor kesempatan yang tersedia, maka kita akan mengatakan bahwa yang berkesempatan lebih sedikit meski (shaum Syawal) didahulukan daripada yang berkesempatan luas (qadha).
Silahkan menarik kesimpulan masing-masing. Hanya saja, dengan mengambil pandangan kedua, maka dipastikan kesempatan untuk melaksanakan kedua amaliah tersebut menjadi sangat terbuka. Shaum 6 hari di bulan Syawal dapat terlaksana dan qadha pun insya Allah dapat tetap terpenuhi. Kalaupun ternyata qadha yang kesempatannya seolah tak terbatas harus terhenti karena tutup usia, selama niat untuk meng-qadha shaum tetap kuat, insya Allah tidak akan menjadi dosa. Allah Maha Pengampun dan Maha Mengetahui. Wallahu a’lam.

***

DOA BUKA SHAUM

Ada sejumlah hadits tentang doa berbuka shaum. Silakan pilih mana yang paling Anda sukai.
[Allahumma inni as-aluka bi rohmatikallati wasi’at kulla syai’in an taghfira lii]
“Ya Allah, sesungguhnya hamba memohon kepada-Mu, dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, agar Engkau mengampuniku” (H.R. Ibnu Majah)

[Dzahaba zhama-u wabtallatil ‘aruuqu wa tsabatal ajru insya Allah]
“Dahaga telah hilang, tenggorokan sudah basah, insya Allah pahala tetap (abadi).” (H.R. Daraquthny)

[Allhumma laka shumtu wa’ala rizqika afthartu]
“Ya Allah, karena engkaulah hamba shaum dan atas rizki-Mu hamba berbuka.” (H.R. Abu Daud)

[Bismillahi Allahumma laka shumtu wa’ala rizqika afthartu]
“Dengan nama Allah, Ya Allah, karena engkaulah hamba shaum dan atas rizki-Mu hamba berbuka.” (H.R. Thabrani)

***

BUKAN PEMBATAL SHAUM
Ada beberapa aktivitas yang oleh sebagian besar masyarakat dinilai dapat membatalkan shaum, padahal kalau kita merujuk pada keterangan-keterangan yang sahih dari Rasulullah Saw., ternyata hal tersebut tidak membatalkan shaum.

1. Menggosok gigi.
Islam memerintahkan kita menjaga kebersihan, salah satunya menjaga kebersihan gigi. Karena itu, menggosok gigi tetap dianjurkan walaupun sedang shaum. Rasulullah Saw. selalu menggosok giginya walaupun sedang shaum. Amir Rabi’ah r.a mengatakan, “Aku melihat Rasulullah Saw. menggosok gigi padahal beliau sedang shaum.” (H.R. Ahmad dan Bukhari)

2. Muntah dan mimpi basah.
“Tidak batal orang yang muntah, yang mimpi berhubungan seks, dan berbekam (diambil darah).” (H.R. Abu Daud)

3.Mencium istri.
Istri Rasulullah Saw., Ummu Salamah ra., mengatakan, “Nabi Saw. menciumku padahal beliau sedang shaum.” (H.R. Timidzi).

4. Diambil darah.
Diambil darah saat shaum , untuk keperluan laboratorium atau sebagai donor misalnya, tidak membatalkan shaum. Rasulullah pernah berbekam (diambil darahnya) saat shaum. Ibnu Abbas r.a. mengatakan, “Nabi Saw. berbekam (diambil darah) ketika beliau shaum.” (H.R. Bukhari)

5. Mandi pada siang hari.
Kalau cuaca sangat panas, kemudian kita ingin meredakan panas dengan menuangkan air ke seluruh badan (mandi/renang), tidaklah membatalkan shaum, sebagaimana dijelaskan sahabat Rasulullah Saw., “Aku melihat Rasulullah Saw. menuangkan air di kepalanya ketika shaum karena cuaca panas.” (H.R. Ahmad)

6. Berkumur-kumur
“Umar r.a. berkata, suatu hari aku merasa gembira kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang shaum, lalu aku mendatangi Nabi saw. kataku, ‘Hari ini saya melakukan kesalahan besar, saya mencium istri padahal sedang shaum.’ Rasulullah bersabda, ‘ Apa pendapatmu jika engkau berkumur-kumur dengan air, padahal engkau sedang shaum?’ Aku menjawab, ‘Tidak apa-apa.’ Nabi bersabda, ‘Lalu mengapa?’” (H.R. Ahmad dan Abu Daud)

***

AGENDA YANG TIDAK BOLEH DILUPAKAN SAAT IDUL FITRI
1. Mandi besar. Disunahkan mandi besar sebelum berangkat ke tempat shalat Idul Fitri. Karena itu Ibnu Umar r.a. pun melaksanakannya. “Diriwayatkan, sesungguhnya Ibnu Umar biasa mandi pada hari raya Idul Fitri sebelum pergi ke tempat shalat.” (H.R. Malik)

2. Sarapan sebelum shalat. Sebelum berangkat ke tempat shalat, disunahkan sarapan. Rasulullah Saw. mencontohkan hal ini karena selama sebulan perut kita sudah terbiasa diisi makanan saat sahur, kalau tiba-tiba dihentikan dikhawatirkan kaget sehingga menimbulkan masalah kesehatan. Inilah hikmahnya mengapa disunahkannya sarapan sebelum shalat Idul Fitri. Anas r.a. berkata, “Nabi Saw. tidak pergi shalat Idul Fitri melainkan sesudah makan beberapa biji kurma dengan hitungan ganjil.” (H.R. Ahmad dan Bukhari)

3. Mengenakan busana terbaik. Hasan As-Sibti r.a. berkata, “Rasulullah Saw. memerintah kami agar pada hari raya mengenakan pakaian terbaik, memakai wangi-wangian terbaik, dan berkurban dengan hewan yang paling berharga.” (H.R. Hakim)

4. Shalat di lapangan. Abu Said Al Khudri berkata, “Rasulullah Saw. keluar menuju mushala (lapangan) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Yang pertama beliau kerjakan adalah shalat.” (H.R. Bukhari). Hadis ini menegaskan bahwa shalat Idul Fitri dan Idul Adha dilaksanakan di lapangan. Namun kalau tidak memungkinkan bisa dilakukan di masjid. Abu Hurairah r.a. berkata, “Kami pernah kehujanan pada hari Id, lalu Nabi Saw. shalat Id bersama kami di masjid.” (H.R. Abu Daud)

5. Menuju lapangan dengan jalan kaki. Ibnu Umar r.a. berkata, “Rasulullah Saw. jika pergi shalat Idul Fitri dengan berjalan kaki dan kembalinya juga dengan berjalan kaki.” (H.R. Ibnu Majah). Hadis ini menunjukkan bahwa jalan kaki menuju lapangan itu sunah, kalaupun kita berkendaraan, itu tidaklah terlarang dan tidak akan mengurangi nilai shalat Id. Ini merupakan keutamaan dan bukan kewajiban.

6. Mengambil arah jalan yang berbeda. Ibnu Umar r.a. berkata, “Sesungguhnya Nabi Saw. pernah pergi melaksanakan shalat Id dengan mengambil satu jalan dan kembalinya mengambil jalan yang lainnya.” (H.R. Abu Daud). Bila memungkinkan, hukumnya sunah kalau arah jalan pergi dan arah jalan pulang berbeda. Namun kalau tidak memungkinkan, menempuh jalan yang sama pun tidak dilarang dan tidak akan mengurangi nilai ibadah shalat Id. Ini pun hanya merupakan keutamaan.

7. Wanita haid boleh hadir di lapangan. Ummu Atiyah r.a. berkata, “Rasulullah Saw. memerintahkan kami membawa serta anak-anak perempuan yang hampir baligh, yang haid, dan anak-anak perempuan yang masih gadis pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Namun perempuan-perempuan yang haid tidak boleh shalat.” (H.R. Muslim). Hadits ini menegaskan bahwa wanita haid boleh menghadiri khutbah Idul Fitri dan Idul Adha, tetapi mereka tidak boleh shalat.

8. Bertakbir pada Hari Raya. “... dan hendaklah kamu sempurnakan bilangan shaum serta bertakbir (mengagungkan) Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 185). Ayat ini menegaskan, apabila selesai melaksanakan shaum, bertakbirlah (mengagungkan Allah). Jumhur ulama berpendapat, takbir pada hari raya Idul Fitri pada waktu pergi shalat Id sampai dimulainya khutbah. Azzhuri menjelaskan, “Nabi Saw. berangkat shalat Idul Fitri. Beliau bertakbir mulai dari rumahnya sampai di tempat shalat (lapangan).” Menurut Imam Hakim, ini merupakan sunah yang tersiar di kalangan para ahli hadis. Imam Malik, Ishak, Ahmad, dan Abu Tsaur pun berpendapat demikian.

9. Shalat Id. Secara prinsip, cara shalat Id sama dengan cara shalat Subuh, yaitu dua rakaat. Perbedaannya, dalam shalat Id, takbir pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan takbir pada rakaat kedua sebanyak lima kali. Selesai shalat, kita mendengarkan khutbah Id. Perhatikan keterangan berikut. Amr bin Auf r.a. berkata, “Nabi Saw. betakbir pada shalat Id tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua sebelum membaca Fatihah.” (H.R. Tirmidzi)

10. Saling mendoakan. Jubair bin Nafi r.a. menyebutkan, “Apabila para sahabat bertemu pada hari raya Idul Fitri, mereka saling mendoakan dengan ucapan ‘Taqabbalallahu Minna wa Minkum’, artinya ‘Mudah-mudahan Allah menerima amal ibadah kita.’” Bagaimana cara menjawabnya? Ada tiga cara. Pertama, jawab dengan ucapan yang sama yaitu “Taqabbalallahu minna wa Minkum.” Kedua, jawab dengan “Shiyamana wa shiyamakum” (shaum saya dan shaum Anda). Ketiga, jawab dengan “Aamiin” (Mudah-mudahan Allah mengkabulkan). Ketiga jawaban ini bisa dipakai karena tidak ada satu pun hadits yang tegas menjelaskan jenis jawabannya. Jadi, silahkan pilih mana saja yang paling memungkinkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar