STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 15 Agustus 2011

WATAK PEMBANGKANG BANI ISRAIL (Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 49-52)

Dr. Aam Amiruddin

“Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu. Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan. Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahan) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur.”

***

“Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.”

Ayat ini merupakan lanjutan dari beberapa ayat sebelumnya yang mengungkap sederet nikmat yang diberikan Allah kepada Bani Israil yang seharusnya menjadi bahan tadabbur bagi mereka. Nikmat-nikmat yang diungkapkan tersebut sebenarnya dilimpahkan Allah kepada leluhur mereka, tapi dengan sengaja Allah menyebutkannya kembali kepada generasi Bani Israil di zaman Rasulullah agar mereka sadar akan kekeliruan menolak Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah. Pada dasarnya, nikmat yang dilimpahkan kepada para leluhur adalah juga nikmat bagi keturunannya.

Nikmat yang sedemikian banyak tersebut seyogianya dijadikan bahan evaluasi. Selain itu, nikmat dapat pula berfungsi sebagai ujian untuk mengukur rasa syukur kepada Allah. Ketika berbicara ujian, janganlah kita hanya membayangkan musibah, kemiskinan, dan kesusahan saja. Ingatlah bahwa kesenangan, kekayaan, kemudahan, kebebasan, dan kemerdekaan juga merupakan ujian yang harus dihadapi dengan hati-hati dan teliti. Allah Swt. berfirman,

“Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang shaleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (Q.S. Al-A’raaf [7]: 168)

Sebagian ahli mengungkapkan sejarah perjalanan Bani Israil berkaitan dengan ayat tersebut di atas. Menurut mereka, sejarah keberadaan Bani Israil di Mesir dimulai sejak zaman Nabi Yusuf a.s. beserta saudara-saudaranya. Dalam jangka waktu kurang lebih empat abad, keturunan Nabi Yusuf dan suadara-saudaranya tersebut berkembang pesat dan berjumlah sangat besar. Namun, watak sombong dan rasis (yang sejak awal sudah melekat pada diri mereka) turut mewarnai kehidupan mereka meski berada di negri orang yaitu Mesir. Melihat kenyataan itu, Fir’aun sebagai penguasa Mesir memprediksi bahwa banyaknya Bani Israil (dengan sifat dan watak yang tidak juga disukainya) lambat laun akan menggeser peranan penduduk asli Mesir dalam segala bidang. Fir’aun tahu betul akan kelebihan dan keunggulan Bani Israil dalam beberapa hal seperti dijelaskan Allah dalam ayat-ayat Al-Baqarah sebelumnya. Fir’aun merasa perlu mengambil kebijakan untuk menekan pesatnya perkembangan Bani Israil di wilayahnya yang dianggap dapat mengancam stabilitas negara. Akhirnya, lahirlah undang-undang yang sangat merugikan Bani Israil yaitu peraturan untuk membunuh setiap anak laki-laki Bani Israil (teutama yang baru lahir) dan membiarkan anak-anak perempuan untuk tetap hidup. Pada saat kerajaan mulai berlaku kejam dan Bani Israil dalam keadaan sangat tertekan itulah Nabi Musa dan Nabi Harun diutus oleh Allah Swt. (disarikan dari tafsir Al-Maraghy dan lainnya).

Lika-liku perjalanan Bani Israil di tengah kerajaan yang sangat kejam berakhir dengan sebuah peristiwa yang menunjukkan nikmat yang sangat luar biasa. Adalah ketidak-patutan jika nikmat yang sedemikian besar itu disikapi dengan santai-santai saja, apalagi bila dibalas dengan penyelewengan dan kesesatan. Bukankah kita sangat membenci air susu yang dibalas dengan air tuba? Tapi itulah yang dilakukan Bani Israil dulu, sesaat setelah mereka selamat. Dan ternyata, seperti itu pulalah keadaan Bani Israil saat ini. Bani Israil tetaplah Bani Israil dengan watak terlaknatnya.

Sebagai catatan, umat Islam (khususnya di Indonesia) memiliki kemiripan pengalaman dengan Bani Israil. Jika Bani Israil mendapat perlakuan kejam dari penguasa otoriter (Fir’aun), maka kita juga mengalami hal yang sama ketika dijajah oleh Belanda dan sekutunya. Jika kemudian Bani Israil selamat dari kekejaman Fir’aun atas pertolongan Allah, maka kita pun ditolong oleh Allah Swt. saat mendapat kemerdekaan tanpa syarat. Sekarang tinggal kita berusaha dan berupaya agar perilaku buruk Bani Israil tidak melekat pada diri umat Islam. Jangan sampai segala nikmat yang telah Allah berikan kita balas dengan perilaku dan kebiasaan yang sangat dibenci-Nya sebagaimana yang dilakukan Bani Israil. Ingatlah bahwa Allah Swt. dapat sewaktu-waktu menimpakan murkanya kepada kita apabila kita berperilaku seperti Bani Israil. Mudah-mudahan, beruntunnya bencana yang menimpa Indonesia beberapa waktu yang lalu bukanlah murka Allah. Amin.


“Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.”

Ayat ini masih menunjukkan kenikmatan yang diberikan Allah kepada Bani Israil sekaligus penjelasan salah satu mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Harun. Bagaimana tidak, dalam ayat tersebut dijelaskan betapa Bani Israil diberi kesempatan hidup yang lebih panjang setelah selamat dari kejaran Fir’aun.

Saat itu, Nabi Musa dan Bani Israil beserta pengikutnya melarikan diri dari kekejaman Fir’aun menuju daerah yang sekarang bernama Palestina. Setelah melalui lika-liku perjalanan panjang yang melelahkan, sampailah mereka di tepi pantai Laut Merah sementara di belakang, Fir’aun dan bala tentaranya mengejar dengan cepat dan sudah semakin dekat. Kebingungan luar biasa menyelimuti Nabi Musa dan kaumnya, dengan apa mereka bisa melintasi laut yang membentang di hadapan mereka? Saat itulah Allah menurunkan mukjizat dengan memerintahkan Nabi Musa a.s. menyeberangi laut yang ditengahnya Dia sediakan jalan kering. Selamatlah Nabi Musa dan kaumnya sampai di seberang sementara Fir’aun dan pengikutnya ditenggelamkan oleh Allah di Laut Merah sebagaimana dijelaskan-Nya dalam ayat berikut,

“Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: ‘Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam).’” (Q.S. Thaahaa [20]: 77)

Secara jelas ayat di atas menjelaskan bahwa perlintasan yang dilewati Nabi Musa a.s dan kaumnya di tengah-tengah lautan berupa jalan yang membentang. Jalan tersebut sengaja dibuat oleh Allah Swt. melalui tongkat Nabi Musa a.s. yang dipukulkan pada laut sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut,

“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (Q.S. Asy-Syu’araa’ [26]: 63)

Ayat ini sekaligus mementahkan adanya anggapan yang menyederhanakan dan merasionalisasi peristiwa tersebut. Ya, ada yang beranggapan bahwa Laut Merah yang dilewati Nabi Musa a.s. dan kaumnya kala itu memang sedang dalam keadaan dangkal. Saking banyaknya rombongan Nabi Musa a.s. dan kaumnya menyebabkan air laut yang dangkal tersebut seolah-olah terbelah menjadi dua dan di tengah-tengahnya membentuk jalan. Setiap belahan air membentuk gumpalan besar dan itulah yang kemudian menjadi ombak besar yang menyapu Fir’aun dan bala tentaranya tatkala mereka berusaha mengejar Nabi Musa a.s. dan kaumnya. Sungguh ini adalah sebuah anggapan yang tidak masuk akal mengingat keumuman kedalaman laut yang tidak merata. Mungkin satu bagian ada yang dangkal (terutama pantai) tapi bagian yang lain dari laut sudah pasti sangat dalam.

Begitulah, peristiwa tersebut Allah perlihatkan secara jelas sebagai bagian dari nikmat yang telah berikan kepada Bani Israil. Kehilangan musuh adalah nikmat yang besar, terlebih menyaksikan musnahnya musuh tersebut. Namun apa yang kemudian dilakukan oleh Bani Israil? Allah berfirman dalam ayat Al-Baqarah selanjutnya.


“Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahan) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim.”

Setelah melewati peristiwa bersejarah yang sangat mendebarkan, kini Bani Israil dapat hidup tenang di daerah yang baru. Seiring berjalannya waktu, mereka meminta kepada Nabi Musa a.s. agar diberi kitab sebagai pegangan hidup. Allah pun mengabulkan permintaan mereka dan Nabi Musa dipanggil untuk menerima kitab tersebut di bukit Tursina dan (untuk sementara) kendali umat dipegang sepenuhnya oleh Nabi Harun a.s. Nabi Musa menerima Kitab Tauret secara langsung selama 40 hari. Sebagian ahli tafsir menyebutkan waktu pelaksanaannya adalah bulan Dzul Qa’dah dan 10 hari bulan Dzulhijjah.

Selama rentang waktu itulah Bani Israil mulai memperlihatkan watak aslinya. Atas ajakan dan rayuan seorang provokator munafik yang bernama Samiri, sejumlah kaum diajak untuk menyembah anak sapi yang dibuat dari emas. Nabi Harun a.s. dengan bersusah payah meluruskan hal tersebut tapi bukan ketaatan yang mereka lakukan namun rencana pembunuhan (terhadap Nabi Harun a.s.). Hal ini pula yang menjadi salah satu kezaliman nyata dan watak busuk dari sebagian Bani Israil yang tidak bersyukur atas diturunkannya Kitab Tauret padahal kitab tersebut merupakan bagian nikmat terbesar yang harus disyukuri.


“Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur.”

Tapi Allah masih memberi pengampunan atas segala kedurhakaan Bani Israil. Kesempatan itu Allah berikan supaya mereka dapat mensyukuri besarnya nikmat yang telah Ia berikan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar