STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 15 Agustus 2011

KONSEKUENSI KEBAIKAN DAN KEBURUKAN (Tafsir Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 58-60)

Dr. Aam Amiruddin, M.Si.

“Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: ‘Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud,’ dan katakanlah: ‘Bebaskanlah Kami dari dosa,’ niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik.
Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu dari langit, karena mereka berbuat fasik.
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu.’ Lalu memancarlah dari padanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.”

***


“Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: ‘Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud,’ dan katakanlah: ‘Bebaskanlah Kami dari dosa,’ niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik.”

***

Sebagaimana telah saya utarakan sebelumnya bahwa sejumlah ayat yang akan kita bahas ke depan masih berupa pemberitahuan Allah tentang sederet nikmat dan keistimewaan yang telah Allah berikan kepada Bani Israil dalam rentang waktu tertentu, terutama saat Nabi Musa dan Nabi Harun mengemban tugas kerasulannya. Ayat ke-58 (dan juga ayat ke-59) surat Al-Baqarah lagi-lagi berisi pemberitahuan akan perbuatan buruk sebagian Bani Israil yang tidak tahu terima kasih atas keistimewaan yang diberikan Allah kepada mereka serta akibat yang akan menimpa mereka.

Setelah Bani Israil yang dipimpin oleh Nabi Musa dan Nabi Harun berhasil melewati rintangan demi rintangan serta hambatan demi hambatan dalam melepaskan diri dari kekangan penjajah Fir’aun, tibalah saatnya bagi mereka untuk menentukan tempat berdiam diri untuk jangka waktu lama. Tanpa bersusah payah membangun sebuah wilayah dari awal, Allah telah menyediakan semua hal yang mereka inginkan, yaitu perkampungan dengan areal permukiman yang layak huni. Selain itu, Allah juga menyediakan makanan yang enak dan lezat untuk mereka pilih sesuai selera.

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai Al-Qaryah (perkampungan) yang akan mereka singgahi. Namun demikian, mayoritas ahli tafsir, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Qatadah, dan yang lainnya menyatakan bahwa perkampungan tersebut adalah Baitul Maqdis (Al-Maraghy). Ibnu Katsir menguatkan pendapat tersebut dengan mengutip salah satu ayat surat Al-Maidah.

“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 21)

Menyertai kedatangan di tempat tersebut, Allah memerintahkan kepada mereka untuk menundukkan kepala sebagai pertanda hati yang tawadhu dan mengucapkan permohonan ampun sebagai pertanda rasa syukur yang mendalam atas karunia Allah yang melimpah atas diri mereka. Hal tersebut dilambangkan dengan pencantuman kata sujjadan dan hiththatun dalam ayat ke-58 surat Al-Baqarah. Ibnu Katsir mengutip beberapa pendapat ahli tafsir untuk merinci maksud dari kedua kata tersebut. Sujjadan diartikan sebagai ruku dan syukur, sementara hiththatun diartikan sebagai permohonan ampunan dan pengakuan dosa.

Jika saja perintah tersebut dipenuhi, Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang akan membalas dengan pahala berlipat, ampunan tanpa batas, dan kebaikan yang senantiasa menyertai mereka.

***

“Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu dari langit, karena mereka berbuat fasik.”

***

Bonus besar-besaran yang diberikan Allah kepada Bani Israil sudah seharusnya disikapi dengan rasa syukur. Allah Swt. pun memberikan petunjuk bagaimana seharusnya rasa syukur tersebut diwujudkan dalam perbuatan. Namun apatah dikata, watak buruk Bani Israil tak lekang dimakan zaman. Mereka malah melakukan sesuatu yang bukan seharusnya sebagaimana digambarkan dalam ayat ke-59 surat Al-Baqarah di atas.

Perintah Allah untuk menundukkan pandangan tatkala memasuki pintu gerbang perkampungan yang hendak mereka masuki pun diabaikan. Bukan hanya itu, orang-orang zalim di antara mereka malah memasuki perkampungan dengan kepala menengadah tanda kesombongan. Ketika Allah memberi perintahkan untuk mengucapkan hiththatun sebagai permohonan ampun, mereka malah mengucapkannya dengan nada mengolok-olok dengan memelesetkannya menjadi hinthatun (gandum) atau yang lainnya. Karenanya, Bani Israil pun diganjar oleh Allah dengan tumpahan azab dari langit, rijzan minas-samai.

Mengenai kalimat rijzan minas-samai, para ahli tafsir memberikan sejumlah pengertian. Qatadah, Mujahid, dan sejumlah ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata rijzan adalah azab atau siksa. Sementara itu, Abul ‘Aliyah mengartikannya sebagai murka, sedangkan Asy-Sya’biy mengartikannya sebagai penyakit tha’un.

Sejenak mari kita ambil ibroh dari kisah yang dikemukakan pada kedua ayat surat Al-Baqarah tersebut. Adalah sebuah keniscayaan jika keistimewaan akan diraih setelah kita bekerja keras. Namun ingat, setelah keberhasilan itu diraih, jangan lupa mengucap syukur kepada Penguasa Bumi karena hakikatnya keberhasilan kita adalah semata pemberian dari-Nya. Selain itu, perilaku dan perkataan yang tidak selaras dengan tuntunan agama akan berakibat azab yang buruk. Dengan demikian, mari kita tingkatkan amaliah harian kita demi kesuksesan dunia dan akhirat. Mari kita minimaliskan kesalahan dan kekeliruan demi menghindari azab Allah yang tidak terperi.
Allah Swt. berfirman:

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (Q.S. Al-Isra [17]: 7)

Selanjutnya, dalam ayat ke-60 surat Al-Baqarah, Allah Swt. berfirman,

***

“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: ‘Pukullah batu itu dengan tongkatmu.’ Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.”

***

Sungguh Allah Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Meski Bani Israil dihuni oleh banyak sekali orang-orang fasik, tiada hentinya Allah melimpahkan karunia kepada mereka. Setelah terlindung oleh awan dari sengatan sinar matahari dalam perjalanan mereka serta diberi makanan istimewa untuk menghalau rasa lapar, kini mereka dilimpahi karunia lain berupa air sebagai mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Musa.

Di tengah perjalanan menuju tempat yang telah Allah tentukan, Bani Israil mengeluhkan ketiadaan sumber air untuk menghilangkan rasa haus selama perjalanan panjang tersebut. Mendengar keluhan tersebut, Nabi Musa memohon kepada Allah agar diberikan jalan keluar. Atas ke-Mahakuasa-an Allah, keluarlah air melalui pukulan tongkat (yang juga digunakan untuk membelah lautan) Nabi Musa pada sebuah batu.

Dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, dijelaskan bahwa Allah menjadikan sebuah batu yang ada di sekitar mereka berbentuk persegi. Setelah itu, Nabi Musa memukulkan tongkatnya pada batu tersebut sampai memancarkan lubang mata air. Dari batu tersebut memancarlah dua belas mata air. Dari setiap pancaran mata air dipecah lagi menjadi tiga puluh pancaran kecil. Dua belas pancaran tersebut disesuaikan dengan jumlah keturunan Israil (Nabi Ya’kub). Setiap keturunan mengetahui dan mendapat manfaat dari air tersebut. Ketika perjalanan dilanjutkan, batu itu pun ada setiap dibutuhkan sehingga Nabi Musa pun hanya butuh memukulkan tongkatnya seperti pada kali pertama mukjizat pancaran air tersebut ia dapatkan.

Beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa batu tersebut dijadikan oleh Allah berbentuk bulat dan Bani Israil membawanya dalam perjalanan. Jika mereka membutuhkan air, maka Nabi Musa memukulkan tongkatnya pada batu tersebut dan keluarlah air yang mereka butuhkan.

Satu hal yang hendaknya menjadi perhatian kita adalah perintah Allah untuk tidak melakukan kerusakan di muka bumi. Bukan tidak mungkin, ‘mukjizat’ yang sama diberikan Allah kepada kita dengan disediakannya banyak sumber air yang dapat dengan mudah kita temui. Nah, jangan sekali-kali kita mengabaikan kasih sayang Allah dengan sewenang-wenang mengeksploitasi ‘mukjizat’ tersebut demi kepentingan pribadi tanpa mengindahkan akibat yang akan menimpa. Wallahu a’lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar