STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Senin, 15 Agustus 2011

PILAR-PILAR KESABARAN DAN KEIMANAN (Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 61-62)

Aam Amiruddin

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 61-62)

***

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 61)

Dalam beberapa ayat sebelumnya kita telah mengetahui bagaimana Allah memanjakan Bani Israil dengan serangkaian keistimewaan yang sebagiannya tidak diberikan kepada umat yang lain. Hanya, watak Bani Israil yang buruk menyebabkan mereka kehilangan rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat yang mereka terima. Melalui ayat ini, muncul satu lagi kedurhakaan Bani Israil yang enggan bersyukur atas nikmat yang melimpah ruah yang Allah berikan kepada mereka.

Dengan nada protes, Bani Israil meminta kepada Nabi Musa agar mereka diberi makanan tambahan dari makanan sebelumnya yang telah Allah beri, yaitu manna dan salwa. Bani Israil mengaku tidak tahan lagi untuk terus menerus memakan makanan yang itu-itu saja. Padahal sesungguhnya, secara sederhana dapat kita lihat bahwa ketersediaan manna dan salwa sendiri sudah merupakan keistimewaan luar biasa yang Allah berikan untuk Bani Israil. Keberadaan mereka di tempat yang tidak memungkinkan untuk melakukan banyak hal, termasuk bercocok tanam atau melakukan kegiatan ekonomi, maka kehadiran makanan yang turun dari “langit” sebenarnya sudah lebih dari cukup. Namun, Bani Israil adalah Bani Israil, mereka adalah kaum terkutuk yang jauh dari makna syukur. Pertanda kurang atau bahkan tidak adanya syukur tersebut dapat dilihat dari beruntunnya keluhan demi keluhan dan permintaan demi permintaan yang menjengkelkan.

Dengan tanpa malu, mereka meminta kepada Nabi Musa agar berdoa pada Allah untuk diberi sejumlah makanan lain, seperti sayur-mayur, ketimun, bawang putih, kacang adas, bawang merah, dan mungkin masih banyak makanan lainnya yang mereka minta. Lebih mengerikan lagi, mereka menyampaikan permintaan tersebut dengan kata-kata yang amat tidak sopan. Coba kita lihat penggalan ayat berikut. “Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu”. Ucapan “Tuhanmu” bukan “Tuhan kita” menunjukkan keangkuhan tersendiri dari Bani Israil yang seolah menganggap hanya Musa yang pantas bertuhan Allah dan mendapat kebaikan dari-Nya.

Sikap ngeyel Bani Israil terhadap Nabi Musa tentu saja membuat Nabi Musa jengkel dan marah. Nabi Musa kemudian mempertanyakan kesehatan akal mereka dan mengatakan sesuatu dengan nada kesal dan keheranan, “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. Tatkala Bani Israil bersikukuh dengan sikap kerasnya, Allah pun menimpakan azab-Nya, baik yang berdimensi dunia saat itu dan juga kelak yang berdimensi akhirat.

Di akhir ayat, Allah mengungkap sebuah kaitan sebab-musabab antara perilaku buruk Bani Israil dan watak durhaka yang melekat pada diri mereka. Perilaku buruk yang dimaksud adalah:
1. Mengingkari ayat-ayat Allah
2. Membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan

Sementara watak yang mendasari perilaku buruk tersebut adalah:
1. Selalu berbuat durhaka
2. Melampaui batas

Baik perilaku buruk maupun watak durhaka dari Bani Israil sebetulnya mengerucut pada satu kata, yaitu takabbur. Hal ini menjadi sangat perlu kita jadikan cerminan untuk senantiasa menjauh dari sifat takabbur (sombong dan angkuh) karena keduanya hanya akan membawa pada derajat kehinaan yang serendah-rendahnya. Rasulullah Saw. bersabda:

Dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya laki-laki menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah itu bagus menyukai yang bagus, kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (H.R. Muslim);

***

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 62)

Setelah serangkaian ibrah yang Allah gambarkan dalam sejumlah ayat mengenai kedurhakaan Bani Israil yang semuanya hanya berujung pada nista dan siksa, maka kemudian Allah memberi gambaran nyata bagaimana umat yang berada dalam keridhaan-Nya, hidup penuh dengan nuansa iman dan amal tanpa membedakan siapa dia, dari mana dia berasal, dan hidup pada zaman apa. Dengan tegas Allah menyatakan bahwa orang-orang mukmin, Yahudi, Nasrani, dan Shabiin yang beriman kepada Allah dan hari akhir disertai amal shaleh, maka bagi mereka balasan berlipat dengan kebahagiaan hidup yang tiada tara.

Orang yang beriman sebagaimana dimuat di awal ayat menunjuk pada umat Nabi Muhammad yang beriman pada kerasulan dan kenabiannya. Sedangkan menurut Sufyan, ”Mereka adalah orang munafik, didasarkan pada kesetaraan dengan penyebutan kelompok berikutnya, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Shabiin” (Al-Qurtubhi).

Yahudi, menunjuk pada kaum yang menjadi pengikut beberapa nabi sebelum Nabi Isa as. yang mempunyai garis keturunan dari Nabi Ya’kub. Lalu melebur menjadi satu pada salah satu keturunan terbesar dari Nabi Ya’kub, yaitu Yahudza. Dan kemudian secara penamaan bergeser menjadi Yahudi.

Nashara, nama bagi kaum Nabi Isa as. Nama Nashara diambil dari sebuah perkampungan tempat Siti Maryam melahirkan Nabi Isa as. yang bernama Nashirah. Nashara adalah bentuk jamak (banyak) dari Nashraniyyah yang menunjukkan arti dari penduduk kampung tersebut.

Shabiin, adalah orang-orang yang mengikuti syariat nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.

Ayat ini turun berkenaan dengan keberadaan seorang sahabat yang bernama Salman al-Farisi yang suatu saat bercerita kepada Nabi bahwa kaumnya terdahulu merupakan orang-orang yang rajin shalat dan shaum sesuai ajarannya serta mereka percaya akan kedatangan nabi terakhir. Selesai mengutarakan kaumnya dengan memujinya, lalu Nabi menyatakan bahwa sebetulnya mereka adalah para penghuni neraka. Mendengar pernyataan tersebut, Salman al-Farisi merasa tersinggung. Lalu Allah menurunkan ayat ini (Ibnu Katsir).

Berdasarkan pada asbabun-nujul ayat tersebut, dengan jelas dapat kita tarik kesimpulan bahwa ayat ini tidak menjadi pembenaran pada salah satu anggapan bahwa semua agama dalam pandangan Islam adalah benar dan berhak mendapat pahala dari Allah jika mereka sama-sama berbuat baik.

Pandangan tersebut lebih karena membaca ayat ini dengan dipotong di tengah-tengah. Sehingga seolah-olah kaum-kaum yang disebutkan, seperti Yahudi, Nasrani, dan Shabiin sejajar dengan kaum mukminin dalam hal mendapat pahala di akhirat kelak. Padahal sebenarnya dengan jelas Allah memberi syarat mutlak jika kaum-kaum tersebut ingin mendapatkan kehidupan yang penuh kebahagiaan, maka hendaknya dia memiliki keimanan pada Allah dan hari akhir serta beramal shaleh.

Takaran keimanan bagi kaum mukminin tentu saja sudah begitu jelas, yaitu ketersediaannya mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Sedangkan takaran keimanan dan amal shaleh bagi Yahudi yaitu ketundukan mereka pada ajaran nabi yang ada pada zamannya dan menerima sepenuhnya kedatangan nabi terakhir dengan meleburkan diri pada ajaran yang dibawanya jika kebetulan mereka berada pada zaman nabi terakhir tersebut. Demikian halnya dengan Nasrani dan Shabiin. Sehingga meski oleh kaumnya ia dipandang sebagai orang yang taat pada ajaran agamanya (selain Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.), keengganan untuk menerima kedatangan rasul terakhir beserta ajaran yang dibawanya yang datang pada saat ia masih hidup, akan membuat ketaatan pada ajaran agamanya tersebut menjadi sia-sia di hadapan Allah.

Mengakhiri ayat ini, Allah menyatakan bahwa hanya keimanan dan amal shalehlah yang menjamin kehidupan yang penuh ketenteraman, ketenangan, dan kebahagiaan. Tak akan ditemukan pada mereka kosakata kesedihan dan ketakutan. Karena tak ada yang patut mereka sesalkan dengan kehidupan dunia yang telah terjadi serta tak ada yang patut ditakutkan atas apa yang akan terjadi dengan kehidupan dunianya. Yang ada hanyalah perasaan takut dan sedih jika Allah menjauh dan tidak melimpahkan rahmat pada-Nya. Dalam ayat lain Allah berfirman:
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Q.S. Yunus [10]: 62);

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (Q.S. Fushshilat [41]: 30).

Allahu a’lam bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar