STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 09 Agustus 2011

Pendidikan dan Penyesuaian diri

ABSTRAKSI
            Siapapun dia, untuk pertama kalinya mempelajari Sosiologi Pendidikan maka sesungguhnya secara tidak sadar dia telah berada dalam alam sosiologi pendidikan itu sendiri. Segala pengalaman manusia -semenjak buaian sampai liang lahat- sebenarnya mengandung unsur sosiologi dan pendidikan yang amat luas. Dapat dilihat dari interaksi dirinya dan orangtuanya, tetangga dan masyarakat lainnya. Terlihat disana adanya hubungan timbal balik diantara dirinya dan manusia lainnya. Inilah yang umumnya disebut sebagai bahasan sosiologi.
            Setiap peserta didik dalam pendidikan formal, tentunya akan menghasilkan output yang berbeda-beda. Hal ini bukan hanya karena pebedaan karakteristik dan bakat saja, akan tetapi karena pengaruh lingkungan sosial yang berlainan. Peserta didik datang ke sekolah/kampus dengan membawa berbagai daya sosial yang saling berlainan satu sama lain. Dengan memahami hal ini, penyelenggara pendidikan formal (guru/dosen, ustadz, dan lainnya) maupun informal (abang, kakak, orangtua, tokoh masyarakat dan lainnya) tentunya akan dituntut untuk lebih bijak dalam mendidik -baik formal maupun informal- seseorang. Sebab dalam perkembangannya, setiap peserta didik harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Jika hal ini tidak dicermati oleh penyelenggara pendidikan niscaya dia akan diperlakukan dengan sewenang-wenang atas nama institusi dan lainnya. Hal inilah yang disebut Paulo Freire sebagai distorsi pendidikan.

           
BAB II
PENDAHULUAN
            Sebelum lebih jauh memasuki zona pembahasan, alangkah lebih baiknya jika terlebih dahulu diketahui definisi dari sosiologi, pendidikan, sosiologi pendidikan, dan definisi penyesuaian diri dalam konteks sosiologi pendidikan.
            Pitirim Sorokin -sebagai mana yang dikutip Soerjono Soekanto- berpendapat,[1] bahwa sosiologi berarti suatu ilmu yang mempelajari tiga hal: (1) Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial, (2) Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala non-sosial, dan (3) Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.
            Pendidikan menurut kamus besar bahasa Indonesia[2] berarti: proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, preses, perbuatan, cara mendidik.
            Sosiologi Pendidikan berarti disiplin ilmu yang membahas tentang berbagai macam gejala umum sosial yang terdapat dalam pendidikan. Atau bahasa lainnya, sosiologi pendidikan berarti tinjauan sosiologis terhadap proses pendidikan.[3]
            Sedangkan penyesuaian diri (adjustment/adaptation) didefinisikan oleh Prof. DR. S.Nasution, MA,[4] ialah sebagai proses sosialisasi. Sedangkan sosialisasi yang dimaksud olehnya ialah: proses membimbing individu ke dalam dunia sosial.
Jadi secara terminologi dapat disimpulkan, bahwasanya penyesuaian diri dalam konteks pendidikan formal ialah: proses pembiasaan (adaptasi/sosialisasi/ adjustment) peserta didik terhadap lembaga pendidikan secara makro. Atau kemungkinan juga bisa juga didefinisikan: proses pembiasaan penyelenggara pendidikan untuk membimbing peserta didik mencapai target pendidikan dengan mendidik, mengajar dan/atau melatih. Serta proses timbal balik antara sosio kultural mayarakat, penyelenggara pendidikan, peserta didik dan lainnya.
Mungkin jika diilustrasikan, definisi tersebut barangkali akan terlihat seperti dibawah ini:

KETERANGAN:

                        =          Akses instruksi/adaptasi Atasan secara langsung kepada penyelenggara pendidikan. Atau sosialisasi penyelenggara pendidikan kepada peserta didik untuk mencapai target pendidikan yang disesuaikan dengan sosio kultural masyarakat dan lainnya.
                        =          Akses langsung sosialisasi peserta didik dengan teman sejawatnya di sekolah. Atau Akses Langsung Atasan penyelenggara pendidikan dengan sosio kultural masyarakat dan lainnya.
                        =          Akses tidak langsung dari Atasan penyelenggara pendidikan kepada peserta didik. Atau akses tidak langsung dari sosio kultural masyarakat dan lainnya kepada penyelenggara pendidikan.
                        =          Adaptasi/Penyesuaian diri peserta didik kepada atasan penyelenggara pendidikan dan sosio kultural masyarakat dan lainnya secara langsung atau tidak langsung.
                        =          Adaptasi/Penyesuaian diri peserta didik kepada penyelenggara pendidikan atau atasannya secara langsung.
BAB III
PENYESUAIAN DIRI PESERTA DIDIK (STUDENT ADJUSTMENT/ ADAPTATION/SOCIALIZATION)

A. PROSES PENYESUAIAN DIRI
            Penyesuaian diri ada dua format: (1) autoplastis (auto = sendiri, plastis = dibentuk), dan (2) aloplastis (alo = yang lain, plastis = dibentuk). Autoplastis secara terminologi berarti mengubah diri (adaptasi/sosialisasi, pen) sesuai dengan lingkungan. Sedangkan aloplastis berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri. [5]
            Contoh autoplastis adalah mahasiswa UIN Jakarta yang mendapat kesempatan menuntut ilmu S2 di perantauan. Maka mahasiswa tersebut harus menyesuaikan diri dengan sosiokultural yang ada dan geografis tentunya. Semisal dia harus memakai bahasa Inggris (jika di Eropa/Amerika) atau bahasa Arab (jika di kawasan Timur Tengah) dan seterusnya. Sedangkan aloplastis contohnya adalah mahasiswa tersebut ketika sampai pada tempat penginapannya (kost dan lain sebagainya) maka dia mengganti segala apa yang ada di kamarnya sesuai dengan keinginannya, semisal warna sarung bantal yang berbeda, mencat tembok, dan seterusnya. Dan dalam pembahasan selanjutnya yang menjadi stressing adalah autoplastis.

B. DELAPAN ASPEK PENYESUAIAN DIRI
Menurut hasil studi Davis dan Forsythe (1984), dalam kehidupan remaja terdapat delapan aspek yang mempengaruhi penyesuaian diri, yaitu (1) keluarga, (2) lingkungan, (3) kepribadian, (4) rekreasi, (5) pergaulan, (6) pendidikan, (7) solidaritas, dan (8) pekerjaan.[6]
  1. Keluarga – Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau broken home dimana anak tak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup, maka anak akan sulit mengembangkan penyesuaian dirinya. Hal ini dapat terlihat dari (a) kurang adanya saling pengertian (low mutual understanding), (b) kurang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan orangtua dan saudara, (c) kurang mampu berkomunikasi secara sehat, (d) kurang mampu mandiri, (e) kurang mampu memberi dan menerima sesama saudara, (f) kurang mampu bekerjasama, dan (g) kurang mampu mengadakan hubungan yang baik. Untuk itu, orangtua mesti menjaga agar keluarga tetap harmonis. Keharmonisan tidaklah selalu identik dengan adanya orangtua “utuh” -ada ayah dan ibu-, sebab dalam banyak kasus orangtua single terbukti dapat berfungsi efektif dalam membantu perkembangan psikososial anak. Hal yang paling penting diperhatikan orangtua adalah menciptakan suasana demokratis dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orangtua maupun saudara-saudaranya. Dengan adanya komunikasi timbal balik antara anak dan orang tua maka segala konflik yang timbul akan mudah diatasi. Sebaliknya, komunikasi yang kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas, hanya akan memunculkan berbagai konflik yang berkepanjangan sehingga suasana menjadi tegang, panas, emosional, sehingga dapat menyebabkan hubungan sosial antara satu sama lain menjadi rusak.
  2. Lingkungan – Sejak dini anak harus sudah diperkenalkan dengan lingkungan. Lingkungan dalam batasan ini meliputi lingkungan fisik (rumah, pekarangan) dan lingkungan sosial (tetangga), lingkungan keluarga (keluarga primer dan sekunder), lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat luas. Sejak dini anak sudah mesti mengetahui bahwa dia memiliki lingkungan sosial yang luas, tidak hanya terdiri dari orangtua, saudara, atau kakek dan nenek saja.
  3. Kepribadian – Secara umum penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, namun sebenarnya tidak. Karena apa yang tampil tidak selalu menggambarkan pribadi yang sebenarnya (bukan aku yang sebenarnya). Dalam hal ini, remaja hendaknya tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan semata, sehingga orang yang memiliki penampilan tidak menarik cenderung dikucilkan. Kepribadian disini sangat mempengaruhi penyesuaian individu.
  4. Rekreasi – Rekreasi merupakan kebutuhan sekunder yang sebaiknya dapat terpenuhi. Dengan rekreasi seseorang akan merasa mendapat kesegaran fisik maupun psikis, sehingga terlepas dari rasa capai, bosan, monoton serta mendapatkan semangat baru untuk mendapatkan penyesuaian dirinya dengan baik.
  5. Pergaulan – Untuk dapat menjalankan peran menurut jenis kelamin, maka anak dan remaja seyogyanya tidak dibatasi pergaulannya hanya dengan teman-teman yang memiliki jenis kelamin yang sama. Pergaulan dengan lawan jenis akan memudahkan anak dalam mengidentifikasi sex role behavior yang menjadi sangat penting dalam persiapan berkeluarga.
  6. Pendidikan – Pada dasarnya sekolah mengajarkan berbagai penyesuaian diri kepada anak. Salah satunya adalah penyesuaian diri yang dikaitkan dengan cara-cara belajar yang efisien dan berbagai teknik belajar sesuai dengan jenis pelajarannya. Peran orangtua di sini, menjaga agar penyesuaian diri tersebut tetap dimiliki oleh anak atau remaja dan dikembangkan terus-menerus sesuai tahap perkembangannya.
  7. Solidaritas – Pada masa remaja, peran kelompok dan teman-teman amatlah besar. Seringkali remaja bahkan lebih mementingkan urusan kelompok dibandingkan urusan dengan keluarganya. Hal tersebut merupakan suatu yang normal sejauh kegiatan yang dilakukan remaja dan kelompoknya bertujuan positif dan tidak merugikan orang lain. Orangtua perlu memberikan dukungan sekaligus pengawasan agar remaja dapat memiliki pergaulan yang luas dan bermanfaat bagi perkembangan psikososialnya.
  8. Pekerjaan – Cepat atau lambat, setiap orang pasti akan menghadapi dunia kerja. Keterampilan sosial untuk memilih lapangan kerja sebenarnya telah disiapkan sejak anak masuk sekolah dasar. Melalui berbagai pelajaran di sekolah mereka telah mengenal berbagai lapangan pekerjaan yang ada dalam masyarakat. Setelah masuk SMU, mereka dapat bimbingan karier untuk mengarahkan karier masa depan. Dengan memahami lapangan kerja dan keterampilan sosial yang dibutuhkan, maka remaja yang terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi akan dapat bersiap untuk bekerja.
Mungkin masih banyak cara lain yang bisa dipergunakan untuk meningkatkan penyesuaian dirinya. Satu hal yang harus selalu diingat, bahwa dengan membantu remaja dalam mengembangkan keterampilan sosial berarti telah membantu mereka dalam menemukan dirinya sendiri sehingga mampu berperilaku sesuai norma yang berlaku.

C. CARA MERAIH PENYESUAIAN DIRI YANG SEHAT
Penyesuaian diri yang baik, yang selalu ingin diraih setiap orang, tidak akan dapat tercapai, kecuali bila kehidupan orang tersebut benar-benar terhindar dari tekanan, kegoncangan dan ketegangan jiwa yang bermacam-macam. Pun orang tersebut mampu menghadapi kesukaran dengan cara objektif serta berpengaruh bagi kehidupannya, serta menikmati kehidupannya dengan stabil, tenang, merasa senang, tertarik untuk bekerja, dan berprestasi.
Pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya. Beberapa lingkungan yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi remaja dapat diringkas sebagai berikut ini:
  1. Lingkungan Keluarga – Semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindarkan atau dipecahkan bila individu dibesarkan dalam keluarga dimana terdapat keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Penyesuaian diri akan jadi lebih baik bila dalam keluarga individu merasakan bahwa kehidupannya berarti. Rasa dekat dengan keluarga adalah salah satu kebutuhan pokok bagi perkembangan jiwa seorang individu. Dalam praktiknya, banyak orangtua yang mengabaikannya dengan alasan mengejar karir dan mencari penghasilan yang besar demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hal ini sering ditanggapi negatif oleh anak dengan merasa bahwa dirinya tidak disayangi, diremehkan bahkan dibenci. Jika ini terjadi berulang dalam jangka waktu panjang (terutama pada masa kanak-kanak), maka akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam menyesuaikan diri kelak. Meski bagi remaja hal ini kurang berpengaruh, tidak menutup kemungkinan kondisi tersebut akan membuat diri remaja tertekan, cemas dan stres. Berdasarkan kenyataan tersebut maka pemenuhan kebutuhan anak akan rasa kekeluargaan harus diperhatikan. Orangtua harus terus berusaha untuk meningkatkan kualitas pengasuhan, pengawasan dan penjagaan pada anaknya, jangan semata-mata menyerahkannya pada pembantu. Jangan sampai semua urusan makan dan pakaian diserahkan pada orang lain karena hal demikian dapat membuat anak tidak memiliki rasa aman. Lingkungan keluarga juga merupakan lahan untuk mengembangkan berbagai kemampuan, yang dipelajari melalui permainan, senda gurau, sandiwara dan pengalaman sehari-hari dalam keluarga. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan semangat dan persaingan antara anggota keluarga yang dilakukan secara sehat memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan kejiwaan seorang individu. Oleh sebab itu, orangtua sebaiknya jangan menghadapkan individu pada hal-hal yang tidak dimengerti olehnya atau sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan olehnya, sebab hal tersebut memupuk rasa putus asa pada jiwa individu tersebut.
  2. Lingkungan Teman Sebaya – Begitu pula dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat diantara kawan-kawan makin penting pada masa remaja dibandingkan masa-masa lainnya. Suatu hal yang sulit bagi remaja menjauh dari temannya, individu mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pemikiran dan perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang rencananya, cita-citanya dan dorongan-dorongannya. Dalam semua itu individu menemukan telinga yang mau mendengarkan apa yang dikatakannya dan hati yang terbuka untuk bersatu dengannya. Dengan demikian, pengertian yang diterima dari temannya akan membantu dirinya dalam penerimaan terhadap keadaan dirinya sendiri, ini sangat membantu diri individu dalam memahami pola-pola dan ciri-ciri yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain. Makin mengerti ia akan dirinya maka individu akan makin meningkat kebutuhannya untuk berusaha untuk menerima dirinya dan mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Dengan begitu, ia akan menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sessuai dengan potensi yang dimilikinya.
  3. Lembaga pendidikan dan unsur-unsurnya – Sekolah punya tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan informasi saja, tetapi juga mencakup tanggungjawab pendidikan secara luas. Pun dengan guru, tugasnya tidak hanya mengajar, juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama dalam pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Pendidikan modern menuntut guru atau pendidik untuk mengamati perkembangan individu dan mampu menyusun sistem pendidikan sesuai dengan perkembangan tersebut. Dalam pengertian ini berarti proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian antara individu dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam penyesuaian tersebut. Jadi disini guru sangat berperan penting dalam pembentukan kemampuan penyesuaian diri individu. Pendidikan remaja hendaknya tidak didasarkan atas tekanan atau sejumlah bentuk kekerasan dan paksaan, karena pola pendidikan seperti itu hanya akan membawa kepada pertentangan antara orang dewasa dengan anak-anak sekolah. Jika para remaja merasa bahwa mereka disayangi dan diterima sebagai teman dalam proses pendidikan dan pengembangan mereka, maka tidak akan ada kesempatan untuk terjadi pertentangan antar generasi.[7] Sekolah mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses penyesuaian diri individu, meskipun sekolah hanya merupakan salah satu lembaga yang bertanggung jawab atas pendidikan individu. Individu mengalami perubahan dalam kelakuan sosial setelah dia masuk sekolah. Di rumah dia hanya bergaul dengan orang-orang dengan jumlah terbatas, terutama dengan anggota keluarga dan tetangga. Di rumah banyak menuntut suasana informal, dan biasanya anak terus dimanja dan diperhatikan cukup oleh orangtuanya. Namun di sekolah, dia tidaklah menjadi individu yang istimewa lagi sebagaimana di rumah. Dia hanya menjadi satu diantara puluhan peserta didik lainnya di dalam kelas. Dan otomatis, penyelenggara pendidikan tidak mungkin memberikan perhatian ful terhadap dirinya, karena prinsip pendidikan adalah mementingkan kolektif dari individu. Dengan suasana lembaga pendidikan yang demikian, lambat laun egosentrik yang ada pada individu peserta didik tersebut akan mulai berkurang tensinya, sehingga lambat laun akallah yang ‘berbicara’, bukan ego semata.
Ringkasnya, individu peserta didik dalam menyesuaikan diri (sosialisasi) dengan pendidikan di sekolah berorientasi pada berberapa hal berikut ini: (1) keluarga, (2) teman sebaya, (3) lembaga pendidikan dan unsur-unsurnya (guru, materi pelajaran, media pengajaran, metode pengajaran, dan  evaluasi pengajaran).[8]Namun yang tersulit diantara semunya adalah penyesuaian terhadap guru. Dilihat dari sisi ini, terlihat betapa pentingnya kedudukan guru dalam proses belajar mengajar. Prestasi anak didik dipengaruhi oleh banyak faktor, namun yang paling menentukan adalah faktor guru[9] dan motivasi.[10]

D. KESULITAN PENYESUAIAN DIRI
            Proses penyesuaian diri tidaklah selalu berjalan dengan lancar karena adanya sejumlah kesulitan, antara lain:
1)       Adanya kesulitan komunikasi, yakni individu tersebut kurang/tidak memahami sama sekali apa yang diharapkan daripadanya. Hal ini akan terjadi bila individu tersebut kurang/tidak memahami lambang-lambang, seperti bahasa, isyarat dan sebagainya.
2)       Adanya egosentrisme yang berbeda-beda. Yakni individu tersebut merasa dirinya yang paling benar, pintar, cantik, kaya dan lainnya, sehingga sulit menerima hal-hal baru dari orang lain. Hal ini bisa terjadi karena faktor bawaan/didikan awal dan lain sebagainya.
3)       Adanya pengaruh lingkungan yang berbeda-beda atau bahkan yang bertentangan dengan norma-norma sosial. Komunitas modern terbagi-bagi menjadi berbagai sektor atau kelompok yang masing-masing menuntut pola kelakuan yang berbeda-beda. Orangtua/guru mengharapkan agar individu tersebut jujur, tidak merokok, mencontek, dan menjauhi segudang perbuatan jelek lainnya. Akan tetapi, “kode individu” mengharuskannya turut dalam soal contek mencontek, merokok, dan sebagainya. Jika tidak, maka dia akan dikucilkan dari komunitas sektornya.
Walaupun demikian, tiap individu harus menyesuaikan diri dengan berbagai situasi sosial, sering juga yang bertentangan normanya. Bila pertentangan itu tajam, maka ada kemungkinan baginya untuk mendapat gangguan psikologis/sosial.
Gangguan kepribadian ini dapat berbeda-beda tarafnya.Adayang ringan seperti kecanggungan dalam berkelakuan, misalnya menghadapi sesuatu yang belum dikenal padahal mudah diatasi. Akan tetapi ada gangguan yang merusak pribadi individu sampai memerlukan psikolog, bahkan pskiater. Hingga batas tertentu jika penyesuaian diri dalam pendidikan di sekolah kurang berhasil/gagal maka bisa jadi akan menjadi benih pertumbuhan gangguan jiwa pada individu.

BAB IV
PENYESUAIAN DIRI PENYELENGGARA PENDIDIKAN (Organisator of education adjusment/adaptation/sosialization)

Tidak hanya peserta didik yang dituntut untuk menyesuaikan diri, tetapi penyelenggara pendidikan pun harus menyesuaikan diri. Berikut akan ditawarkan sedikit tentang penyesuaian diri penyelenggara pendidikan:
A. Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan
Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath[11] mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri. Praktek pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada Tabel berikut;
No.
Abad Industri
No.
Abad Pengetahuan

Guru sebagai pengarah.

Guru sebagai fasilitator,
pembimbing, konsultan.

Guru sebagai sumber pengetahuan.

Guru sebagai kawan belajar.

Belajar diarahkan oleh kurikulum.

Belajar diarahkan oleh siswakulum.

Belajar dijadualkan secara ketat dgn waktu yang terbatas.

Belajar secara terbuka, ketat dgn waktu yang terbatas fleksibel sesuai keperluan.

Terutama didasarkan pada fakta.

Terutama berdasarkan proyek dan
masalah.

Bersifat teoritik, prinsip- prinsip dan survei .

Dunia nyata, dan refleksi prinsip
dan survei.

Pengulangan dan latihan.

Penyelidikan dan perancang.

Aturan dan prosedur .

Penemuan dan penciptaan.

Kompetitif .

Kolaboratif.

Berfokus pada kelas .

Berfokus pada masyarakat.

Hasilnya ditentukan sebelumnya.

Hasilnya terbuka.

Mengikuti norma.

Keanekaragaman yang kreatif.

Komputer sbg subyek belajar.

Komputer sebagai peralatan semua
jenis belajar.

Presentasi dgn media statis.

Interaksi multi media yang
dinamis.

Komunikasi sebatas ruang kelas.

Komunikasi tidak terbatas ke
seluruh dunia.

Tes diukur dengan norma.

Tes diukur oleh pakar, penasehat,
kawan sebaya dan diri sendiri.
Kalau Paulo Freire[12] menggambarkan proses pembelajaran yang tidak relevan dan harus direformasi ialah pendidikan ‘gaya bank’, yakni:
a)      Guru mengajar, murid diajar.
b)      Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
c)      Guru berpikir, murid dipikirkan.
d)     Guru bercerita, murid mendengarkan.
e)      Guru menentukan peraturan, murid diatur.
f)       Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
g)      Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan      gurunya.
h)      Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
i)        Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
j)        Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka. Sebagai jawaban atas pendidikan gaya bank tersebut, Freire menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran (konsientisasi). Menurutnya, konsientisasi merupakan proses kemanusiaan yang ekslusif.
Akhirnya yang paling penting, paradigma baru pembelajaran ini memberikan peluang dan tantangan yang besar bagi perkembangan profesional, baik pada preservice dan inservice guru-guru kita. Di banyak hal, paradigma ini menggam-barkan redefinisi profesi pengajaran dan peran-peran yang dimainkan guru dalam proses pembelajaran. Meskipun kebutuhan untuk merawat, mengasuh, menyayangi dan mengembangkan anak-anak kita secara maksimal itu akan selalu tetap berada dalam genggaman pengajaran, tuntutan-tuntutan baru Abad Pengetahuan menghasilkan sederet prinsip pembelajaran baru dan perilaku yang harus dipraktikkan. Berdasarkan gambaran pembelajan di abad pengetahuan di atas, nampalah bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi berbagai tantangan ini.
B. Profesionalisme guru
Arifin[13] mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidik7an yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep link and match (menyambungkan dan mencocokkan), (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan[14] bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru harus memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator.
C. Pendidikan Realitas

Potret buram kebanyakan penyelenggara pendidikan berawal dari hal yang sesungguhnya sangat fundamental. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan riset. Contoh lainnya dapat kita cermati dalam pendidikan agama di persekolahan. Pendidikan agama diajarkan secara antirealitas. Padahal pluralitas kehidupan beragama kita merupakan realitas yang tidak perlu dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas kehidupan beragama kita kurang berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya, pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik yang tak habis-habisnya, bahkan banyak menjamurnya pembenaran terorisme atas nama agama. Ini akibat metode pengajaran agama yang salah -dan tentunya ada sebab-sebab lain-.
Relitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin dan terbelakang tidak pula dijadikan bahan pijakan untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah sekarang lebih mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara untuk sekolah tinggi (baca pendidikan tinggi/perguruan tinggi), suatu ketika Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar, mengemukakan bahwa perkembangan perguruan tinggi negeri (PTN) akhir-akhir ini lebih mirip toko kelontong. PTN kini kian mengecil dan berkeping-keping dengan membuka sekaligus menawarkan aneka program studi jangka pendek dan program ekstensi. Tujuannya jelas, penjualan kelontong itu lebih berorientasi profit (mengejar keuntungan materi) ketimbang pengembangan ilmu.
Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai “korban penindasan”. Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan, intruksisional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring kearah ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal.
BAB V
KESIMPULAN
Penyesuaian diri tidak hanya dibutuhkan bagi pesrta didik, tapi juga bagi penyeleggara pendidikan. Hal ini agar terjadinya mutu pendidikan yang terbaik di negeriIndonesia. Selama ini penyelenggara pendidikan egois dan selalu menganggap dirinya sebagai subjek pendidikan. Padahal pesrta pendidikan juga sebagai seubjek pendidikan. Adapun objek pendidikan adalah ilmu, bukan peserta didik! Kalau hal ini dibiarkan maka yang akan terjadi adalah keputus asaan terhadap lembaga pendidikan.
Semoga, tidak ada lagi pertanyaan yang menggugat eksistensi lembaga pendidikan seperti yang ungkapkan Roem Topatimasang[15]: “Jika sekarang banyak orang berwatak dan bersikap ‘setengah manusia, seperempat binatang, dan seperempat lagi setan’, merupakan hasil bentukan sekolah (baca: pendidikan,pen)?”
BAB VI
POSKATA
            Dengan berharap rahmat dan ridha Allah, penulis bertahmid dan bertakbir atas pertolongan Allah (melalui perantara akal dan pengalaman penulis yang picik) untuk menyelesaikan paper Pendidikan dan Penyesuaian Diri pada mata kuliah Sosiologi Pendidikan hasil kerja barenag Kelas E dan B Semester VII pada Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (ITK), Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kritik dan saran konstruktif dari pembaca sangat kami nantikan. Allah A’lam Bi al-Shawab.
BIBLIOGRAFI
Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, Analisis Kebyakan Pendidikan Suatu PendidikanBandung: Remaja Rosda Karya, 1993.
Ahmadi,  Abu,  Drs.  H.,  Sosiologi Pendidikan,  Jakarta:  PT  Reineka  Cipta,  cet. I, 1991.
Bali Post, Edisi: Minggu, 10 Nopember 2002
Bali Post, Edisi: Minggu, 23 Maret 2003.
Galbreath, J., Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets, Educational Technology, Nopember-Desember 1999 Edition.
Gerungan, DR. W.A., Dipl. Psych., Psikologi Sosial, Bandung: Eresco, cet. XIII, 1996.
Mahfuzh, Syaikh M. Jamaluddin, Psikologi Anak dan Remaja Muslim,Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet.I, 2001.
Nasution, S., Prof. DR., MA., Sosiologi Pendidikan,Jakarta: PT Bumi Aksara, cet. II, 1999.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi; Suatu Pengantar,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. XXIX, 2000.
Soemanto, Wasty, Psikologi PendidikanJakarta: Rineka Cipta, 1998.
Tim Penyusun Kamus; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia; Edisi Kedua,Jakarta: Balai Pustaka, cet. VII, 1996.
———-0O0———-
Foot Note:
___________________
[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), cet. XXIX, h. 20.
[2] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia; Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), cet. VII, h. 232.
[3] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Reineka Cipta, 1991), cet. I, h. 9.
[4] S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1999), cet. II, h. 126.
[5] Baca:    a. Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh, Psikologi Anak dan Remaja Muslim, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), cet.I, h. 16-17.
               b. W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1996), cet. XIII, h. 55.
[6]Bali Post, Edisi: Minggu, 23 Maret 2003.
[7] Bali Post, Edisi: Minggu, 10 Nopember 2002
[8] Bali PostLoc.Cit., Minggu, 23 Maret 2003.
[9] Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, Analisis Kebyakan Pendidikan Suatu Pendidikan(Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), h. 111.
[10] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan(Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 203.
[11] Galbreath, J., Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
[12] Dikutip dari situs: http://www.pendidikan.net/artikel.html.
[13] Arifin Ilham. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
[14] Semiawan, C.R., Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. (Jakarta: Grasindo, 1991), h. 302.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar