STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Minggu, 14 Agustus 2011

POTENSI AJALI MANUSIA (Tafsir surat Al-Baqarah [2]: 31-33)

Aam Amiruddin

Dan telah diajarkan-Nya kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian Dia kemukakan semuanya kepada malaikat. Lalu Dia berfirman: “Beritakanlah kepada-Ku nama-nama itu semua, jika kamu termasuk makhluk-makhluk yang benar.”
Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau! Tidak ada pengetahuan bagi kami, kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Karena sesungguhnya Engkaulah Yang Mahatahu, lagi Maha Bijaksana.”
Berkata Dia: “Wahai Adam! Beritakanlah kepada mereka nama-nama itu semuanya.” Maka tatkala diberitahukannya kepada mereka nama-nama itu semuanya berfirmanlah Dia: “Bukankah telah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku lebih mengetahui rahasia langit dan bumi, dan lebih Aku ketahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.”
(Q.S. Al-Baqarah [2]: 31-33)

***

Dan telah diajarkan-Nya kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian Dia kemukakan semuanya kepada malaikat. Lalu Dia berfirman: “Beritakanlah kepada-Ku nama-nama itu semua, jika kamu termasuk makhluk-makhluk yang benar.”

Ayat ke-31 surat Al-Baqarah ini pada dasarnya merupakan jawaban sekaligus pembuktian yang Allah berikan atas pertanyaan malaikat tentang kebijakan-Nya menciptakan makhluk baru bernama manusia untuk dijadikan khalifah di muka bumi. Melalui pertanyaan yang diajukan, seolah-olah para malaikat meragukan kemampuan manusia dalam mengemban tugas berat tersebut mengingat manusia memiliki karakter atau kecenderungan melakukan pertumpahan darah dan perusakan bumi itu sendiri. Namun, Allah Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui segala hal, mustahil keliru dalam membuat kebijakan.

Untuk membuktikan kebenaran kebijakan maha hebatnya tersebut, Allah memberikan sesuatu (kepada manusia, dalam hal ini nabi Adam a.s.) yang tidak diberikan-Nya kepada para malaikat. Allah memberikan ilmu pengetahuan kepada manusia. Hal ini dilakukan dengan pengenalan nama benda-benda yang ada di sekitar manusia pertama tersebut. Tentu saja, hal ini tidak terjadi begitu saja dengan mudahnya tanpa melalui proses. Coba perhatikan redaksi ayat di atas. Dalam tinjauan kebahasaan, ada sesuatu yang menarik. Antara proses pemberian atau pengajaran ilmu dari Allah kepada Adam dengan pengajuan tantangan Allah kepada malaikat, diselingi kata tsumma (kemudian) yang menunjukkan adanya tenggat waktu tertentu. Ini membuktikan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang bersifat instan. Diperlukan kesabaran, keuletan, dan semangat untuk meraihnya.

Selanjutnya, ayat tersebut di atas menginformasikan bahwa manusia dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama, fungsi, dan karakteristik berbagai benda seperti api, angin, dan sebagainya. Manusia juga dianugerahi potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak kecil) bukan dimulai dengan mengajarkan kata kerja, tetapi nama-nama benda. Hal ini ditegaskan oleh hadits tentang syafaatul uzhma. Nabi Saw. bersabda, “ … lalu mereka datang kepada Adam seraya berkata, ‘Engkau adalah bapak manusia, Allah telah menciptakanmu dengan tangan kekuasaan-Nya, Dia membuat para malaikat bersujud kepadamu, dan Dia mengajarimu nama-nama seluruh perkara.’ ” (H.R. Bukhari)

Kata aradhahum dalam ayat di atas menggunakan bentuk untuk yang berakal. Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan universalitas sehingga termasuk ke dalamnya makhluk yang tidak berakal. Bagi ulama-ulama yang memahami pengajaran nama-nama kepada Adam a.s., di antara mereka ada yang berpendapat bahwa kepada beliau (Adam a.s.) dipaparkan benda-benda itu dan pada saat yang sama Adam a.s. juga mendengar suara yang menyebut nama benda yang dipaparkan itu. Ada juga yang berpendapat bahwa Allah mengilhamkan kepada Adam nama benda itu pada saat dipaparkannya sehingga beliau memiliki kemampuan untuk memberi nama pada masing-masing benda yang membedakannya dari benda-benda yang lain. Pendapat ini lebih baik dari pendapat pertama. Ia pun tercakup oleh kata mengajar karena mengajar tidak selalu dalam bentuk mendiktekan sesuatu atau menyampaikan suatu kata atau idea. Mengajar dapat juga diartikan mengasah potensi yang dimiliki peserta didik sehingga pada akhirnya potensi itu terarah dan dapat melahirkan aneka pengetahuan.

Sayyid Quthb mengomentari ayat ini dengan berkata, Di sini, dengan mata hati kita di dalam cahaya kemuliaan melihat apa yang dilihat para malaikat di kalangan makhluk yang tinggi. Kita menyaksikan sejemput kecil dari rahasia Ilahi yang besar yang dititipkan-Nya pada makhluk yang bernama manusia ketika Dia menyerahkan kepadanya kunci-kunci kekhalifahan. Rahasia kekuasaan itu diisyaratkan pada nama dan benda-benda yang berupa lafaz-lafaz yang terucapkan hingga menjadikannya isyarat-isyarat bagi orang-orang dan benda-benda yang diindranya.”

Setelah pengajaran yang diberikan Allah dicerna oleh Adam a.s., Allah mengemukakan benda-benda kepada para malaikat lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-ku nama benda-benda itu, jika kamu benar. Dalam dugaan kamu bahwa kalian lebih wajar menjadi khalifah.” Ini bukanlah pertanyaan untuk menjawab, tetapi pernyataan yang bertujuan untuk membuktikan kekeliruan mereka. Hingga pada akhirnya sadarlah malaikat akan posisinya sebagai makhluk yang hanya dapat tunduk patuh pada Khaliknya.


Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau! tidak ada pengetahuan bagi kami, kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Karena sesungguhnya Engkaulah Yang Mahatahu, lagi Maha Bijaksana.”

Ucapan malaikat tersebut dalam ayat di atas menunjukkan betapa mereka tidak bermaksud membantah atau memprotes ketetapan Allah dalam menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Kalimat tersebut juga sekaligus menjadi tanda penyesalan mereka atas ucapan atau kesan yang ditimbulkan oleh pernyataan sebelumnya. Di sini, malaikat mengakui kekurangan mereka. Tidak ada pada mereka pengetahuan kecuali yang diajarkan Tuhan jua. Dia-lah yang mengetahui semua hal dan Dia pula yang berhak membagi-bagikan ilmu-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki. Mereka pun memohon ampun dan karunia.

Para malaikat secara tulus menjawab sambil menyucikan nama Allah “Maha suci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau, Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Maksud mereka, apa yang Engkau tanyakan itu tidak pernah Engkau ajarkan kepada kami. Engkau tidak ajarkan hal itu kepada kami bukan karena Engkau tidak tahu tetapi karena ada hikmah di balik itu. Boleh jadi pengetahuan yang diajarkan kepada Adam tidak dibutuhkan oleh para malaikat karena tidak terkait dengan fungsi dan tugas mereka. Berbeda dengan manusia yang dibebani tugas memakmurkan bumi.

Jawaban para malaikat tersebut di atas juga mengandung makna bahwa sumber pengetahuan adalah Allah. Dia juga yang mengetahui segala hal sesuatu termasuk siapa yang wajar menjadi khalifah. Jawaban pertanyaan tersebut menjadi bukti bahwa pertanyaan malaikat pada ayat ke-31 surat Al-Baqarah bukanlah sebuah keberatan sebagaimana diduga sebagian orang.

Ayat ke-32 ditutup dengan kata al-alim dan al-hakim sebagai bagian dari asma Allah. Kata al-alim menunjuk pada makna pengetahuan Allah yang amat jelas sehingga terungkap bagi-Nya berbagai hal yang sekecil-kecilnya. Pengetahuan semua makhluk bersumber dari pengetahuan-Nya. Allah berfirman, “…Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan dibelakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya…” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 255). Sementara itu, kata al-hakim dipahami oleh sebagian ulama sebagai “yang memiliki hikmah” atau “mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan.” Seorang yang ahli dalam melakukan sesuatu dinamai hakim. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan akan menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang lebih besar dan atau mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang lebih besar.


Berkata Dia, “Wahai Adam! Beritakanlah kepada mereka nama-nama itu semuanya.” Maka tatkala diberitahukannya kepada mereka nama-nama itu semuanya berfirmanlah Dia, “Bukankah telah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku lebih mengetahui rahasia langit dan bumi, dan lebih Aku ketahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.”

Sebagian ahli tafsir berkesimpulan bahwasannya ayat ini menunjukkan betapa Allah ingin membuktikan kemahakuasaan-Nya dengan menciptakan manusia. Hal ini juga membuktikan betapa Maha Sempurnanya Allah dalam menciptakanan manusia. Bagaimana tidak, penciptaan manusia melengkapi segala unsur tingkatan dan taraf dalam penciptaan makhluk-makhluk-Nya.

Kita mengetahui ada alam malakut, yaitu alam malaikat sebagai kekuatan yang tersembunyi pada seluruh yang ada di semesta ini. Ada pula alam nabati, yaitu alam tumbuh-tumbuhan yang mempunyai hidup tetapi tidak mempunyai kemajuan. Ada alam hayawan, yaitu alam binatang yang hidupnya hanya dengan naluri belaka (instinct/gharizah). Dan masih banyak lagi ciptaan Allah yang lainnya.

Kehadiran manusia yang sebagian orang menamainya alam insan atau alam nasut bisa disebut sebagai pelengkap jenis makhluk yang telah ada yang berkarakter dan berkemampuan di atas semua makhluk yang sudah ada. Kalau malaikat dikatagorikan sebagai salah satu makhluk ghaib yang diciptakan untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu dan hewan hanya hidup menuruti naluri, maka insan diberi kekuatan lain yang bernama akal.

Insan adalah gabungan tubuh kasar yang terbuat dari tanah dan nyawa atau ruh, termasuk di dalamnya adalah akal. Akal tidak difungsikan sekaligus, tetapi diangsur. Mulai dari hanya kepandaian menangis sampai kemampuan mengemukakan pendapat dan mengungkap rahasia-rahasia untuk membuktikan kekayaan Allah Swt. Karena itulah manusia dijadikan khalifah.

Jika Allah menghendaki, sebenarnya malaikat pun akan sanggup berbuat demikian. Tetapi Allah telah menentukan tugas dan ilmu tertentu untuk malaikat. Ini adalah takdir ilahi sebagaimana diakui oleh malaikat melalui jawabannya. Allah memang Maha Bijaksana.

Tugas menjadi khalifah memang berat. Karenanya, manusia perlu dipimpin. Maka, Allah pun mengirim para rasul berserta wahyunya masing-masing di kemudian hari. Allah berfirman dalam surat Al-Qiyaamah [75]: 36, “Apakah manusia menyangka bahwa dia akan dibiarkan percuma?” Wallahu a’lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar