STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Minggu, 14 Agustus 2011

BELAJAR MENGAKUI KESALAHAN

Tate Qomaruddin

“Dari Abi Hurairah (semoga Allah meridhainya) berkata, telah bersabda Rasulullah Saw., ‘Barangsiapa pernah melakukan kezaliman terhadap saudaranya baik menyangkut kehormatannya maupun sesuatu yang lain, maka hendaklah dia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (Kelak) jika dia mempunyai amal saleh, akan diambil darinya seukuran kezalimannya. Dan jika dia tidak mempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudaranya (yang dizalimi) kemudian dibebankan padanya.’” (H.R. Al-Bukhari)

Sebelum kita mengupas dan memetik pelajaran dari hadits tersebut di atas, mari kita perhatikan sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana Rasulullah Saw. sendiri melaksanakan yang beliau ajarkan kepada umatnya.

Pada saat turun surat An-Nashr, Rasulullah Saw. berkata kepada malaikat Jibril, “Jiwaku telah diberi isyarat kematian.” Sang Penyampai Wahyu menjawab, “Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” Seraya Rasulullah Saw. memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan adzan, memanggil manusia untuk shalat. Berhimpunlah segenap kaum muslim yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar. Setelah shalat dilaksanakan, Rasulullah Saw. berdiri untuk memberi arahan dan wejangan. Isak tangis dan lelehan air mata para sahabat tak tertahankan lagi demi mendengar nasihat yang mengisyaratkan bahwa tak akan lama lagi Beliau akan meninggalkan alam fana.


“Demi Allah, aku mohon kepada kalian, siapa di antara kalian yang merasa pernah dizalimi olehku, majulah padaku dan balaslah aku,” pinta Rasulullah Saw. usai memberikan nasihat. Semua hening, terdiam, tidak ada yang berkata apa pun terlebih lagi maju ke hadapan Rasulullah. Rasul mulia mengulanginya lagi. Masih sama, semua terdiam, hening, tidak ada yang bersuara, konon lagi maju ke hadapan Rasulullah Saw. Rasul mengulangi untuk yang ketiga kali dan kali ini ia berkata, “Demi Allah, aku mohon kepada kalian, siapa di antara kalian yang merasa pernah dizalimi olehku, majulah padaku dan balaslah aku, sebelum aku mendapatkan pembalasan di hari kiamat.” Kali ini, tiba-tiba seseorang menyeruak dari kerumunan. Seorang lelaki tua, Ukkasyah namanya.

“Ya Rasulullah, jika bukan karena engkau mengulangi permintaan itu berkali-kali, aku tidak akan menghadap kepadamu,” ia mulai berkata. “Dulu pada suatu peperangan dan kita pulang dengan kemenangan, dalam perjalanan pulang, untaku mendekati untamu. Lalu aku turun untuk mencium pahamu tapi engkau mengangkat sebilah dahan kayu lalu memukul pinggulku. Dan aku tidak tahu apakah engkau bermaksud memukulku atau memukul unta,” sambungnya.

“Aku memperlindungkan dirimu dengan keagungan Allah, bagaimana mungkin seorang utusan Allah sengaja memukul,” jawab Rasulullah Saw. Beliau kemudian memerintahkan seseorang untuk mengambil sebilah dahan kayu yang sudah diraut halus dari rumahnya. Setelah batang dahan kayu itu ada di tangannya, beliau menyerahkannya kepada Ukkasyah. Saat Abu Bakar dan Umar melihat hal itu, bangkitlah mereka seraya berkata, “Inilah kami berdua di hadapanmu, wahai Ukkasyah. Balaskanlah kepada kami, jangan kepada Rasulullah Saw.”

Melihat hal itu, Rasulullah Saw. berkata, “Wahai Abu Bakar, pergilah. Wahai Umar, pergilah. Allah sungguh telah mengetahui kedudukan dan posisi kalian.” Lalu bangkitlah Ali bin Abi Thalib seraya berkata, “Wahai Ukkasyah, inilah aku masih hidup di hadapan Rasulullah Saw. dan aku tak akan sampai hati melihat Rasulullah Saw. dipukul. Inilah punggunggku dan inilah perutku. Balaskanlah kepadaku dengan tanganmu dan cambuklah aku seratus kali, jangan kau membalas kepada Rasulullah Saw.” Rasulullah Saw. meresponnya dengan berkata, “Wahai Ali, duduklah. Allah sungguh telah mengetahui kedudukanmu dan niatmu.” Tidak lama kemudian, bangkitlah Hasan dan Husain, cucu Rasulullah. “Wahai Ukkasyah, bukankah engkau tahu bahwa kami adalah cucu Rasulullah Saw.? Maka bila engkau membalaskan kepada kami maka akan sama dengan membalas kepada Rasulullah Saw.,” pinta mereka. Berkatalah Rasulullah Saw., “Duduklah kalian wahai penyejuk jiwaku. Allah pasti tidak akan melupakan posisi kalian ini.”

Rasulullah Saw. kemudian berkata, “Wahai Ukkasyah, pukullah jika engkau mau memukul.” Ukkasyah menjawab, “Wahai Rasulullah, engkau dulu memukulku dalam keadaan perutku tidak tertutup pakaian.” Maka Rasul pun menyingkapkan pakaian dari perutnya. Melihat adegan itu, semua orang yang hadir menangis dan saling berkata, “Tegakah Ukkasyah memukul Rasulullah Saw.?” Namun apa yang dilakukan Ukkasyah? Begitu Rasulullah Saw. menyingkapkan pakaian dari perutnya, Ukkasyah malah memeluk dan mencium perut Rasulullah Saw. seraya berkata, “Demi Allah, siapa yang akan sampai hati membalas engkau wahai Rasulullah.” Namun Rasulullah Saw. berkata, “Engkau harus memukulku atau memaafkanku.” Apa jawaban Ukkasyah? Ukkasyah (semoga Allah meridhainya) menjawab, “Sungguh aku telah memaafkan engkau dengan harapan Allah pun memaafkanku pada hari kiamat.”

Maka Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yang berkenan melihat pendampingku di surga, lihatlah orang tua ini.” Sejurus kemudian, berkerumunlah orang-orang mengitari dan menciumi Ukkasyah. Sebagian mereka mengatakan, “Berbahagialah engkau. Engkau mendapat derajat tinggi dan engkau menjadi pendamping Rasulullah Saw. di surga.”
Dari hadits di atas dan penjelasan langsung melalui perilaku Rasulullah Saw. dalam berinteraksi dengan para sahabatnya, kita dapat menarik beberapa ibrah. Pertama, Rasulullah Saw. begitu takut menghadap Allah dalam keadaan membawa dosa kezaliman kepada sesama manusia. Karenanya, Rasulullah pun mengingatkan kepada kita sebagai umatnya agar jangan sampai meninggal dunia dalam keadaan membawa dosa akibat kezaliman terhadap sesama hamba. Dengan gamblang, hadits yang sedang kita kaji ini menggambarkan bahwa urusan kezaliman kepada sesama manusia tidak akan berakhir dengan berakhirnya kehidupan seseorang. Bahkan tidak akan dihentikan perkaranya dengan kehancuran alam semesta. Dosa semacam itu akan terus mengikuti sang pelaku selama belum mendapatkan permaafan atau penghalalan (pemutihan) dari pihak yang menjadi korban. Setiap orang yang pernah menjadi korban kezaliman akan menuntut balas di hari akhirat, di hadapan hakim Yang Maha Adil.

Jika Rasulullah Saw. sedemikian mengkhawatirkan dirinya kembali kepada Sang Pencipta dengan membawa hutang kezaliman, selayaknyalah kita merasa lebih cemas lagi. Rasul yang amal ibadahnya berada pada puncak kesempurnaan. Rasul yang pahala kebaikannya, amal salehnya, perjuangannya, dan pengorbanannya tidak mungkin ditandingi oleh siapa pun. Dan Rasulullah pula yang merasa amat takut jika dosa-dosa akibat kezaliman menggerogoti semuanya.

Lalu, apa yang kita punya? Seberapa banyak amal yang kita punya? Setinggi apa tabungan ibadah dan amal saleh yang sudah kita himpun? Hitunglah, bila semua amal yang sudah kita lakukan itu harus diambil guna melunasi hutang akibat dosa-dosa kezaliman, berapa yang masih tersisa?

Kezaliman yang disebut dalam hadits tersebut di atas amat banyak bentuk dan jenisnya. Jangan bayangkan kezaliman hanya dalam bentuk kesewenang-wenangan penguasa kepada rakyatnya. Setiap orang berpeluang terjebak melakukan sikap zalim kepada orang lain karena kata zalim bermakna sikap apa pun yang menunjukkan perbuatan meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Maka, membersihkan diri dari dosa kezaliman sebelum Allah memanggil kita ke haribaan-Nya adalah sikap yang bijak.

Pada edisi yang lalu telah dijelaskan mengenai satu akhlak Rasulullah Saw. dalam berinteraksi dengan para sahabat. Rasul takut menghadap Allah dalam keadaan membawa dosa kezaliman kepada sesama manusia. Di edisi ini, kembali akan dijelaskan akhlak terpuji lainnya yang biasa Rasul tampakkan ketika berinteraksi dengan para sahabat.

Kedua, Rasulullah Saw. mengajari kita untuk berani mengakui kesalahan. Ini adalah tindak lanjut dari sikap takut membawa dosa kezaliman saat berjumpa dengan Allah. Kita dianjurkan untuk memiliki sikap berani mengakui kesalahan dan kemudian meminta maaf. Dalam hadits di atas, Rasulullah Saw. memerintahkan, “Barangsiapa pernah melakukan kezaliman terhadap saudaranya baik menyangkut kehormatannya maupun sesuatu yang lain, maka hendaklah dia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat).”

Kezaliman tidak hanya dilakukan oleh seorang penguasa kepada rakyatnya atau seorang pemimpin kepada bawahannya. Setiap orang mempunyai celah untuk melakukan kezaliman kepada sesamanya. Kezaliman bisa dilakukan oleh lidah atau tangan. Kata-kata yang menyakitkan, menistakan, memprovokasi, dan mengklaim hanya dirinya yang berjasa (dan menggap orang lain tidak punya kebaikan) adalah kezaliman. Tangan yang menyengsarakan, menghilangkan hak orang lain, serta meruskan adalah kezaliman.

Muslim sejati adalah orang yang tidak pernah menzalimi orang lain, baik dengan lidah maupun dengan tangannya sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Orang muslim (sejati) adalah orang yang orang-orang muslim lainnya selamat dari (gangguan) lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Manusia bukanlah malaikat. Siapa pun bisa melakukan kesalahan kepada sesamanya. Jika hal itu terjadi, sikap terbaik yang diajarkan Rasulullah Saw. adalah segera meminta maaf. Itulah yang dilakukan Abu Badzar terhadap Bilal (semoga Allah meridoi mereka) dalam kisah berikut.

Pada suatu hari, Abu Dzar Al-Ghifari terlibat percekcokan dengan Bilal. Karena kesal, Abu Dzar berkata, “Engkau juga menyalahkanku wahai anak perempuan hitam?” Mendengar dirinya disebut dengan anak perempuan hitam, Bilal tersinggung, sedih, dan marah. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau kemudian menasihati Abu Dzar, “Hai Abu Dzar, benarkah engkau mencela Bilal dengan (menghinakan) ibunya? Sungguh dalam dirimu ada perilaku jahiliyah.”

Mendengar nasihat Rasulullah Saw. itu, Abu Dzar tersadar dari kesalahannya. Segera ia menemui Bilal. Abu Dzar kemudian meletakkan pipinya di tanah seraya mengatakan, “Aku tidak akan mengangkat pipiku dari tanah hingga kau injak pipiku ini agar engkau memaafkanku.” Namun Bilal tidak memanfaatkan momentum ini untuk membalas dendam. Bilal malah berkata, “Berdirilah engkau, aku sudah memaafkanmu.” Begitulah Abu Dzar dengan mudah dan berani mengakui kesalahan yang ia lakukan bukan dengan sengaja untuk menghinakan Bilal.

Sikap seperti itulah yang seharusnya ada pada diri kita saat kita berinterkasi dengan pihak lain, terutama orang-orang terdekat kita seperti suami, isteri, anak, orangtua, saudara, dan seterusnya. Orang yang tidak belajar mengakui kesalahan tidak akan belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Memang, untuk belajar mengakui kesalahan, seseorang membutuhkan jenak-jenak untuk untuk melakukan perenungan. Dia harus bisa menyisihkan waktu untuk melepas berbagai kesibukan seraya merenungkan berbagai ucapan atau tindakan saat berinteraksi dengan pihak lain.

Kalau saja kita mengikuti nafsu, selalu ada pihak lain yang bisa disalahkan dalam hal apa pun. Misalnya ketika seorang anak disuruh membeli satu barang oleh ibunya dan ternyata ia pulang dengan membawa barang lain yang tidak disuruh, maka cara yang paling mudah (yang merupakan cara nafsu alias cara egois) adalah menyalahkan si anak dengan berbagai tuduhan. “Tidak dengar, tidak perhatian. Nakal!” Mungkin kalimat itu yang akan meluncur dari mulut seorang ibu yang egois. Tidakkah kita berfikir, “Jangan-jangan, perintah saya tadi memang tidak jelas sehingga ditangkap oleh si anak secara samar atau ditangkap dengan persepsi lain.”

Pikiran serupa hendaknya diterapkan ketika orang lain merespon atau bereaksi negatif terhadap ucapan atau tindakan kita. Mungkin orang itu memang salah merespon ucapan kita. Tapi tidak mustahil juga memang kitalah yang salah. Tanpa kita sadari, mungkin kalimat yang kita ucapkan direspon sebagai kalimat yang melecehkan atau menyinggung perasaannya. Ini adalah salah satu wujud kebenaran sabda Rasulullah Saw., “Orang mukmin itu cermin bagi saudaranya.” Bukankah cermin hanya akan memantulkan bayangan benda yang ada di hadapannya?

Dalam kondisi seperti ini, segeralah meminta maaf. Ini adalah cara yang bijak dan tepat. Katakanlah bahwa sebetulnya substansi yang kita maksud tidak terutarakan dengan tepat. Boleh jadi kita terkesan mengutarakan substansi kalimat dengan emosional atau mendikte. Maka bukanlah pada tempatnya jika kita ngotot dengan dalih bahwa yang kita sampaikan adalah benar. Boleh jadi itu benar tapi kita seharusnya minta maaf karena menyampaikan keinginan dengan cara-cara yang tidak benar.

Al-Quran mengajarkan kepada kita, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (lurus, tepat), niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 70-71)

Kata sadiida dalam ayat di atas berasal dari kata sadaad yang artinya lurus atau tepat. Bukankah kata-kata yang bagus adalah bagian dari ketakwaan? Perintah mengucapkan kata-kata yang lurus atau tepat setelah perintah takwa sungguh merupakan isyarat tentang betapa pentingnya dan hebatnya peran kata-kata dalam kehidupan serang muslim. Bahkan ayat selanjutnya menegaskan bahwa dengan takwa serta kata-kata yang lurus dan tepat itu segala pekerjaan dan amal kita akan menjadi baik dan beres.

Sedemikian pentingnya urusan kata-kata ini sehingga kita dianjutkan untuk menggunakan pikiran jernih saat mendapatkan masukan, koreksi, ataupun nasihat dan bukannya sibuk mencari pembelaan. Pakailah rumus “Jangan-jangan dia memang benar” atau “Barangkali nasihat dia ada gunanya.” Jangan merasa dihina jika dinasihati.

Mencari-cari alasan bela diri untuk sekedar menampakkan bahwa diri tidak bersalah tidaklah menguntungkan sama sekali. Cara demikian tidaklah mengubah hakikat sesuatu. Contohlah cara yang dipraktikan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dengan tidak sungkan dan berani minta maaf.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar