Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh
sejumlah ilmu pengetahuan. Dalam belajar, kita tidak bisa melepaskan
diri dari beberapa hal yang dapat mengantarkan kita berhasil dalam
belajar. Banyak orang belajar dengan susah payah, tetapi tidak mendapat
hasil apa-apa, hanya kegagalan demi kegagalan yang ditemui.[1]
Namun kita tidak boleh putus asa, sebagai orang Islam kita wajib
menuntut ilmu dari lahir hingga keliang kubur, dengan Kekuasaan Allah
maka kita pasti bisa meraihnya dan sebagai orang yang berilmu kita juga
wajib mengamalkannya.Untuk mengetahui lebih lanjut mari kita diskusikan
bersama makalah ini.
II. RUMUSAN MASALAH
- Apa tafsiran surat Al-Alaq 1- 4
- Seperti apakah tafsiran surat Al-Ghaasyiyah ayat 17-20
- Bagaimana tafsiran surat Ali Imran ayat 190 -191
- Bagaimana juga tafsiran surat At-Taubah ayat 122
- III. PEMBAHASAN MASALAH
- A. Tafsiran surat Al-Alaq 1- 4
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{
z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$#
zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia
Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam”.[2]
Disebutkan dalam hadits-hadits sahih bahwa Nabi Muhammad
saw. Mendatangi gua hira’ untuk tujuan beribadah beberapa hari, beliau
kembali kepada istrinya (Siti Khadijah) untuk mengambil bekal
secukupnya. Hingga pada suatu hari didalam gua, beliau dikejutkan oleh
mlaikat pembawa wahyu ilahi. Malaikat berkata kepadanya, “Bacalah!”
beliau menjawab “saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan bahwa untuk
kedua kalinya malaikat memegang Nabi dan menekan-nekannya hingga Nabi
kepayahan dan setelah itu dilepaskan. Malaikat berkata lagi kepadanya,
“Bacalah!” kemudian Nabi menjawab dengan jawaban yang sama. Yang ketika
barulah nabi mengucapkan apa yang diucapkan oleh malaikat yaitu surah al
Alaq 1-5.
Kemudian Nabi kembali kerumah Khadijah dengan keadaan gemetar seraya
mengatakan “slimutilah aku, Slimutilah aku”. Khadijah menyelimuti beliau
hingga rasa takutnya hilang, lalu beliau berkata “Aku merasa khawatir
terhadap diriku”. Khadijah menjawab”Jangan, gembiralah! Demi Allah,
Sesungguhnya engkau adalah orang yang menyambungkan silaturrahmi, benar dalam berkata, menanggung beban, gemar
menyuguhi tamu dan gemar menolong orng yang tertimpa bencana. Kemudian
Khadijah mengajak Nabi untuk menemui Waraqh ibnu Naufal ibnu
‘Abdill-‘Uzza(anak paman Khadijah) dan menceritakannya.[3]
Munasabah dengan surah sebelumnya (At-Tin) menurut tertib usmani,
pada surah sebelumnya Allah menjelaskan proses kejadian yang
diciptakannya dalam bentuk paling baik. Pada surah ini Allah menjelaskan
asal kejadian manusia yang diciptakan dari segumpal darah. Hanya saja
dalam surah ini dijelaskan tentang keadaan hari kiamat yang merupakan
penjelasan bagi surah yang lalu.[4]
Sesungguhnya Zat Yang Menciptakan mahluk mampu membuatmu membaca,
sekalipun engkau tidak pernah belajar membaca sebelumnya. Allah
menciptakan manusia dari segumpak darah, kemudian membekalinya dengan
kemampuan berfikir, sehingga bisa menguasai seluruh mahluk bumi,
perintah membaca diulang-ulang, sebab membaca tidak bisa meresap kedalam
jiwa, melainkan setelah berulang-ulang dan dibiasakan. Dengan demikian
itu agar manusia menyadari bahwa dirinya diciptakan dari sesuatu yang
hina, hingga ia mencapai kesempurnaan kemanusiaanya dengan
pengetahuannya tentang hakekat segala sesuatu. Seolah-olah ayat-ayat ini
mengatakan, “Renungkanlah wahai manusia! Kelak engkau akan menjumpai
dirimu telah berpindah dari tingkatan yang paling rendah dan hina,
kepada tingkatan yang paling mulia. Demikian itu tentu ada kekuatan yang
mengaturnya dan kekuasaan yang menciptakan kesemuanya dengan baik.[5]
Surat Al-Alaq tema utamanya adalah pengajaran kepada Nabi Muhammad
SAW. serta penjelasan tentang Allah dalam sifat dan perbuatan-Nya, dan
bahwa Dia adalah sumber ilmu pengetahuan. Menurut Al-Baiqa’i tujuan
utamanya adalah perintah kepada manusia untuk menyembah Allah SWT. sang
pencipta Yang Maha Kuasa, sebagai tanda syukur kepada-Nya.
Kandungan ayat ini adalah mengingatkan beliau tentang kebersamaan
Allah yang tujuannya adalah agar beliau tidak ragu atau berkecil hati
dalam menyampaikan risalah sesuai dengan apa yang di perintahkan-Nya,
pada akhir surat Ad-dhuha.[6]
Kata (&tø%$#) iqra’ terambil dari kata kerja(&tø%) qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Iqra’
digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya.
Dan akarena objeknya bersifat umum, objek kata tersebut mencakup segala
yang dapat terjangkau, baik itu merupakan bacaan suci yang bersumbar
dari Tuhan maupun bukan, baik ia menyangkut ayat-ayat tertulis maupun
yang tidak tertulis. Perintah iqra’ mencakup telaah terhadap alam raya,
masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis maupun tidak.
Huruf (ب)ba’ pada kata bismi juga yang memahami sebagai fungsi pernyataan atau mulabasah sehingga dengan demikian ayat tersebut berarti “bacalah dengan menyebut nama Allah Tuhanmu”.[7]
Jika dikaitkan dengan kewajiban belajar mengajar, maka terdapat beberapa titik temu sebagai berikut:
- Dalam surat ini, Muhammad SAW berperan sebagai seorang murid sebab beliau adalah orang yang mencari suatu petunjuk dengan jalan kontemplasi dengan semangat yang tinggi. Dari sini dapat ditarik kesimpulan sebagai seorang abdi atau murid harus mempunyai semangat mencari ilmu dan mengawalinya dengan upaya penyucian jiwa, sehingga muncul dalam dirinya sikap tawadhu yang akan memudahkan dirinya dalam pembelajaran.
- Melaikat dalam surat ini berperan sebagai guru yang bertugas mengajar nabi Muhammad SAW, jibril AS tidak begitu saja memberikan pengajaran kepada Rasulullah, tetapi ia memberi pertanyaan dengan tujuan agar beliau betul-betul menyadari bahsa dirinya dalam keadaan terjaga. Sehingga ketika Muhammad menerima pengajaran tersebut beliau akan merasa yakin bahwa apa yang diterimanya merupakan kebenaran. Jika dikaitkan dengan pendidikan disini terlihat bahwa inti dari peristiwa tersebut adalah menuntut agar seorang guru tidak langsung memberikan pengajaran kepada murid. Terlebih dahuli guru harus mencairkan suasana sehingga memudahkan murid dalam mencerna pelajaran yang disampaikan oleh seorang guru.
- B. Tafsiran surat Al-Ghaasyiyah ayat 17-20
xsùr& tbrãÝàYt n<Î) È@Î/M}$# y#ø2 ôMs)Î=äz
ÇÊÐÈ n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#ø2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$#
y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung
bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?.”
klasik
Allah berfirman guna memperintahkan kepada para abdinya untuk
memperhatikan mahluk-mahluknya yang menunjukkan kepada kekuasaan dan
keagungannya: maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana
dia diciptakan? Unta dikemukakan karena dia merupakan ciptaan yang
menakjubkan, susunan tubuhnya sungguh memikat. Dan, unta itu sendiri
mempunyai kekuatan dan kekokohan yang luar biasa.
Dia ditundukkan untuk menanggung beban yang berat dan menuntun kusir
yang payah, dapat dimakan, bulunya dapat digunakan, dan susunya dapat
diminum. Mereka di ingatkan dengan hal ini karena bagi bangsa arab,
binatang yang akrab. Dengan kehidupan mereka adalah unta. Dan langit, bagaimana dia di tinggikan? Yaitu bagaimana Allah Ta’ala meninggikan langit dari bumi, ini merupakan peninggian yang sangat agung. Dan gunung-gunung bagaimana dia di tegakkan?
Yaitu, menjadikannya tertancap sehingga menjadi kokoh. Dan teguh
sehingga bumi menjadi tidak miring bersama penghuninya: dan telah
menjadikan berbagai macam manfaat dan barang-barang tambang padanya.
Dan bumi bangaimana dia dihamparkan? Yaitu, bagaimana dia
dibentangkan, dipanjangkan dan dihamparkan. Maka ayat ini mengingatkan
orang-orang arab badui tentang apa yang sering disaksikan oleh mereka
berupa unta, langit, gunung, dan bumi agar mereka dapat mengambil
pengajaran dari semua ini tentang kekuasaan dia yang telah menciptakan.
Dan bahwa Dia adalah Rabb Yang Maha pencipta, pemilik, dan pengatur.
Dialah yang tidak ada tuhan selain Dia semata.[8]
Seseorang yang melakukan pembelajaran haruslah bersikap tabah dan
kuat dalam menjalani prosesnya, karena kemanfaatan dalam menjalani
ketabahan tersebut sangatlah banyak, diantaranya untuk kemaslakhatan
umum. Ketika seseorang sudah memiliki ilmu yang tinggi secara tidak
langsung dia juga mempunyai pemikiran yang tinggi dari orang-orang pada
umumnya sebagaimana seseorang yang sudah mempunyai ilmu dan iman akan
menjadi kokoh dan teguh dalam pendiriannya kepada dasar-dasar yang
dikembalikan kepada Al-qur’an dan hadits yang telah menjadi berbagai
macam manfaat untuk seorang muslim, ketika seseorang sudah memiliki
ilmu, seseorang tersebut akat mengakui dari semua ilmu yang telah
diambil semua berasal dari Allah.
kontemporer
(17) “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan.”[9]
Apakah kaum musyrikin mengingkari apa yang telah Kami ceritakan
kepada mereka tentang hari kebangkitan dan apa yang berkaitan dengannya
tentang kebahagiaan dan kesengsaraan ? Tidakkah mereka memperhatikan
perihal kejadian binatang unta yang menakjubkan dan selalu ada dihadapan
mereka serta selalu mereka pergunakan pada setiap kesempatan ? Jika
mereka mau memikirkan perihal penciptaan unta tersebut, niscaya mereka
akan mendapatkan bahwa di dalam penciptan unta terdapat suatu keajaiban
diantara binatang-binatang lain. Unta yang bertubuh besar, berkekuatan
prima serta memiliki ketahanan yang tinggi dalam menanggung lapar dan
dahaga. Unta sangat tahan dalam melakukan kerja berat, berjalan di terik
matahari sahara tanpa berhenti dan menempuh perjalanan sepanjang
ribuan kilometer, sehingga binatang ini patut menyandang gelar istimewa
sebgai perahu sahara.
Ciri khas lain dari unta adalah wataknya yang penurut, baik anak
kecil maupun dewasa. Iapun tetap bersabar disakiti oleh keduanya. untuk
memberi makan kepadanya, cukuplah apa yang ada di padang penggembalaan
berupa daun-daunan dan pohon berduri. Di kalangan orang arab, unta di
anggap sebagai binatang yang menakjubkan, karena mereka sudah kenal
betul dengan watak dan tabiatnya.
Ayat ini dipaparkan dalam kalimat istifham (bertanya) yang
mengandung pengertian sanggahan terhadap keyakinan kaum kuffar dan
sekaligus merupakan celaan atas sikap keingkaran mereka kepada hari
kebangkitan. Sanggahan tersebut berupa argumen dengan dassar-dasar ilmu
pengetahuan islam yang didapatkan orang muslim dari Rasulnya, sehingga
secara tidak langsung terjadi proses belajar mengajar sebagai landasan
orang muslim, baik itu ilmu pengetahuan, filsafat, dan ilmu-ilmu
lainnya.
(18). “Dan langit bagaimana ia tinggikan?”Apakah mereka tidak memperhatikan kejadian langit yang terangkat demikian tingginya tanpa memakai tiang penyangga ? Dengan demikian, seseorang yang menginginkan derajat yang tinggi di sisi Allah , maka ia wajib menuntut ilmu setinggi-tingginya.
(19)”Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan ?Apakah
mereka tidak memperhatikan kepada kejadian gunung- gunung, bagaimana
gunung- gungung tersebut di pancangkan sedemikian kokohnya sehingga
tidak goyah atau goncang? Demikian juga seperti orang yang sudah
memiliki ilmu pengetahuan maka ia mempunyai landasan yang kuat, dan
tidak terpengaruh oleh hal-hal yang bertentangan.
(20) Dan bumi bagaimana di hamparkan ? Dan dengan
dihamparkannya bumi sedemikian rupa, ia sangat cocok untuk kebutuhan
para penghuninya. Mereka bisa memanfaatkan apa-apa yang ada di permukaan
bumi dan apa-apa yang ada di dalam perut bumi berupa aneka jenis
tambang dan mineral yang memberi faedah bagi kehidupan mereka Dengan
demikian, ibarat manusia yang sudah mempunyai ilmu ataupun iman dengan
landasan yang kuat, ilmu tersebut dapat digunakan atau dimanfaatkan
ilmunya dengan baik.
Jika mereka yang ingkar dan ragu mau menggunakan akalnya untuk
memikirkan seluruh kejadian- kejadian itu (penciptaan Allah) maka mereka
akan mengetahui bahwa kesemuanya itu diciptakan dan dipelihara oleh
Yang Maha Agung dan Maha Kuasa. Mereka juga akan mengetahui, bahwa ia
mampu menghidupkan kembali manusia setelah kematiannya kelak dihari
kiamat dan dia mampu menghidupkan manusia tanpa seorangpun mengetahui
caranya. oleh sebab itu, hendaknya ketidaktahuan mereka terhadap hakikat
hari kiamat tidak dijadikan alasan untuk mengingkarinya.
Allah sengaja memaparkan semua ciptaannya secara khusus, sebab bagi
orang yang berakal dan mau belajar tentu akan mau memikirkan apa-apa
yang ada disekitarnya. Seseorang akan mau mempelajari bagaimana
memperhatikan unta yang dimilikinya. Pada saat ia mengangkat
pandangannya ke atas – ia melihat langit. Jika ia memalingkan
pandangannya ke kiri dan ke kanan – tampak di sekelilingnya
gunung-gunung. Dan jika meluruskan pandangannya atau menunduk – ia akan
melihat bumi yang terhampahar. Bagi orang-orang arab dalam kesehariannya
mereka tentu akan melihat kesemuanya itu.
Sebab itu Allah memerintahkan mereka agar mau belajar memikirkan
seluruh kejadian benda-benda di alam semesta. Dengan seperti itu manusia
dapat mempelajari hal-hal ( yang telah diciptakan oleh Allah dari
penciptaan yang fakta, manusia dapat melihat lalu menggerakkan otaknya
untuk berfikir bagaimana Allah menciptakan semuanya semesta alam.[10]
Apabila mereka telah mempelajari dan memperhatikan semua tentang
ciptaan Allah dengan seksama, tentu mereka akan mengakui bahwa
penciptanya dapat membuktikan manusia pasti akan kembali pada hari
kiamat nanti, dengan bertujuan beriman kepada Allah.[11]
- C. Tafsiran surat Ali Imran ayat 190 -191
cÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur
È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tUy Í<’rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$#
tbrãä.õt ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_
tbrã¤6xÿtGtur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ/u $tB |Mø)n=yz
#x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka
peliharalah kami dari siksa neraka."
cÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
Maksudnya yaitu pada ketinggian dan keluasan langit dan juga pada
kerendahan bumi sertapada kepadatannya. Dan juga tanda- tanda kekuasaan-
Nya yang terdapat pada ciptaan- Nya yang dapat dijangkau oleh indra
manusia pada keduanya (langit dan bumi), baik yang berupa:
bintang-bintang, komet, daratan dan lautan, pegunungan, dan pepohonan,
tumbuh- tumbuhan, tanaman, buah- buahan,binatang, barang tambang, serta
berbagai macam warna dan aneka ragam makanan dan bebauan.
Silih bergantinya malam dan siang, yakni, silih bergantinya,
susul menyusulnya, panjang pendeknya. Terkadang ada dalam yang lebih
panjang dan siangnya yang pendek. Lalu masing- masing menjadi seimbang.
Setelah itu, salah satunya mengambil masa dari yang lainnya, sehingga
yang terjadi pendek menjadi lebih panjang, dan yang diambil menjadi
pendek yang sebelumnya panjang.
Terdapat tanda- tanda bagi orang- orang yang berakal (Ulul Albab), Semuanya
itu merupakan ketetapan Allah yang Maha perkasa lagi Maha mengetahui,
dan hanya mereka yang mempunyai akal yang sempurna lagi bersih, yang
mengetahui hakikat banyak hal secara jelas dan nyata.
Orang yang berakal (Ulul Albab) adalah orang yang melakukan dua hal
yaitu tazakkur yakni mengingat Allah, dan tafakkur yakni memikirkan
(ciptaan Allah). Imam Abi al- Fida Ismail mengatakan bahwa orang yang
berakal adalah orang- orang yang akalnya sempurna dan bersih yang
dengannya dapat ditemukan berbagai keistimewaan dan keagungan mengenai
sesuatu, tidak seperti orang buta dan gagu yang tidak dapat berfikir.
Dengan melakukan dua hal tersebut ia sampai kepada hikmah yang berada
di balik proses mengingat (tazakkur) dan berfikir (tafakkur), yaitu
mengetahui, memahami dan menghayati bahwa di balik fenomena alam dan
segala sesuatu yang ada di dalamnya menunjukkan adanya Sang Pencipta
Allah SWT. Muhammad Abduh mengatakan bahwa dengan merenungkan penciptaan
langit dan bumi, pergantian siang dan malam akan membawa manusia
menyaksikan tentang keesaan Allah, yaitu adanya aturan yang dibuat- Nya
serta karunia dan berbagi manfaat yang terdapat di dalamnya. Hal ini
memperlihatkan kepada fungsi akal sebagai alat untuk mengingat dan
berfikir.[12]
(191). “Orang- orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadaan berbaring, merupakan penyifatan tentang
Ulul Albab dari Allah.”Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam
Al- Bukhari dan Imama Muslim dari ‘Imran bin Hushain, bahwa Rasulullah
SAW bersabda yang artinya:“Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak
mampu, maka lakukanlah sambil duduk, jika kamu tidak mampu, maka
lakukanlah sambil berbaring”.
Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, maksudnya,
mereka memahami apa yang terdapat pada keduanya (langit dan bumi) dari
kandungan hikmah yang menunjukkan kekuasaan Allah. Sungguh Allah mencela
orang yang tidak mengambil pelajaran tentang makhluk- makhluk- Nya yang
menunjukkan kepada dzat- Nya, sifat- Nya, syari’at- Nya, kekuasaan-
Nya. Seperti dalam surat Yusuf: 105- 106
“Dan banyak sekali tanda- tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di
bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya. Dan
sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan- sembahan lain)”.
Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia- sia, maksudnya
Engkau tidak menciptakan semuanya ini dengan sia- sia, tetapi dengan
penuh kebenaran, agar Engkau memberikan balasan kepada orang- orang yang
beramal buruk terhadap apa- apa yang telah mereka kerjakan dan juga
memberikan balasan orang- orang yang beramal baik dengan balasan yang
lebih baik (Surga).
Mahasuci Engkau,Yakni ungkapan penyucian manusia kepada Allah dari perbuatan sia- sia dan penciptaan yang bathil.
Maka peliharalah kami dari siksa neraka, Wahai Rabb yang
menciptakan makhluk ini dengan sungguh-sungguh dan adil. Wahai dzat yang
jauh dari kekurangan, aib dan kesia- siaan, peliharalah kami dari adzab
Neraka dengan daya dan kekuatan- Mu. Dan berikanlah taufik kepada kami
dalam menjalankan amal shalih yang dapat mengantarkan kami ke Surga
serta menyelamatkan kami dari adzab- Mu yang sangat pedih.[13]
Tafsir Kontemporer (oleh kementrian agama RI)
(190.) Ketika sedang tidur dengan istrinya yaitu Aisyah, Rasulullah
beranjak dari tidurnya dan mengambil wudhu untuk shalat, membaca dan
merenungkan Al- Qur’an. Beliau merasa seperti seorang hamba yang tidak
bersyukur kepada Allah. Karena berkaitan dengan memikirkan pergantian
siang dan malam, mengikuti terbit dan terbenamnya matahari, siang lebih
lama dari malam dan sebaliknya. Semuanya itu menunjukkan atas kebesaran
dan kekuasaan penciptanya bagi orang- orang yang berakal. Memikirkan
terciptanya langit dan bumi, pergantian siang dan malam secara teratur
dengan menghasilkan waktu- waktu tertentu bagi kehidupan manusia
merupakan satu tantangan tersendiri bagi kaum intelektual beriman.
Mereka diharapkan dapat menjelaskan secara akademik fenomena alam itu,
sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa Tuhan tidaklah menciptakan
semua fenomena itu dengan sia- sia.
(191). Salah satu ciri khas bagi orang berakal yang merupakan sifat
khusus manusia dan kelengkapan ini dinilai sebagai makhluk yang memiliki
keunggulan dibanding makhluk lain, yaitu apabila ia memperhatikan
sesuatu, selalu memperoleh manfaat dan faedah, ia selalu menggambarkan
kebesaran Allah, mengingat dan mengenang kebijaksaan, keutamaan dan
banyaknya nikmat Allah kepadanya, ia selalu mengingat Allah di setiap
waktu dan keadaan, baik pada waktu ia berdiri, duduk atau berbaring.
Tidak ada satu waktu dan keadaan dibiarkan berlalu begitu saja, kecuali
diisi dan digunakannya untuk memikirkan tentang penciptaan dan bumi.
Memikirkan keajaiban- keajaiban yang terdapat didalamnya, yang
menggambarkan kesempurnaan alam dan kekuasaan Allah.
Akhirnya setiap orang yang berakal akan mengambil kesimpulan dan
berkata, “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini semua, yaitu
langit dan bumi serta segala isinya dengan sia- sia, tidak mempunyai
hikmah yang mendalam dan tujuan tertentu yang akan membahagiakan kami di
dunia dan akhirat. Maha suci Engkau Ya Allah dari segala sangkaan yang
bukan- bukan yang ditujukan kepada Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa api neraka yang telah disediakan bagi orang- orang yang tidak
beriman.
Penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dam siang, sungguh
merupakan fenomena yang sangat kompleks, yang terus- menerus menjadi
objek penelitian umat manusia, sejak awal lahirnya peradaban manusia.
Hanya para ilmuan dan filosof yang sangat ulung dan tekun serta
tawadhu’, yang akan mampu menyingkap rahasia alam ini. Merekalah yang
disebut sebagai Ulil Albab yang pada kesimpulannya “Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia- sia. Maha suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa api neraka”.[14]
Intinya surat Ali Imran ayat 190-191 adalah Semua ciptaan Allah
sebagai wujud kekuasaan- Nya dapat dijadikan objek pembelajaran dan ilmu
pengetahuan oleh orang yang berfikir.
Munasabah: Ayat yang lalu menyebutkan keburukan- keburukan orang
Yahudi, dan menegaskan bahwa langit dan bumi milik Allah, maka dalam
ayat ini Allah menganjurkan untuk mengenal sifat- sifat keagungan,
kemuliaan dan kebesaran Allah.
Asbab An-Nuzul: At- Tabari dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu
Abbas r.a. bahwa orang- orang Quraisy mendatangi kaum Yahudi dan
berkata, “Bukti- bukti kebenaran apakah yang dibawa Musa kepadamu?”,
Pertanyaan itu dijawab,”Tongkatnya dan tangannya yang putih bersinar
bagi yang memandangnya”.
Sesudah itu mereka pergi mendatangi kaum Nasrani dan berkata,
“Bagaimana halnya isa?”, Pertanyaan itu dijawab, “Isa menyembuhkan mata
yang buta sejak lahir dan penyakit sopak serta menghidupkan orang yang
sudah mati”. Selanjutnya mereka mendatangi Rasulullah SAW dan berkata,
“Mintalah dari Tuhanmu agar bukit Safa itu jadi emas untuk kami”. Maka
berdoalah Nabi Muhammad SAW kepada Allah dan turunlah ayat ini, mengajak
agar mereka memikirkan langit dan bumi tentang kejadiannya. Hal- hal
yang menakjubkan didalamnya, seperti bintang- bintang, bulan dan
matahari serta peredarannya, laut, gunung- gunung, pohon- pohon, buah-
buahan, binatang- binatang, tambang- tambang dan sebagainya di bumi ini.
- D. Tafsiran surat At-Taubah ayat 122
$tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4
wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9
Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î)
óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÊËËÈ
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Pemahaman terhadap ayat ini hubungannya dengan pengembangan ilmu
pengetahuan tersebut amat erat dengan pendidikan, khususnya untuk
memperdalam ilmu pengetahuan. “Mengapa tidak pergi dari setiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama”.
Artinya, meganjurkan dengan gencarnya, untuk memperdalam pengetahuan
agama, sehingga manusia dapat memperoleh manfaat untuk dirinya sendiri
dan orang lain.
Bukan hanya sekedar pengetahuan namun penambahan huruf ta’pada
kata #qßg¤)xÿtGuÏj9 mengandung makna kesungguhan upaya yang dengan
keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya.[15]
Disebutkan dalam tafsir al-mishbah ayat ini menuntun kaum muslim
untuk membagi tugas dengan menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi
orang-orang mukmin yang selama ini dihancurkan agar bergegas
menuju medan perang. Mereka pergi semua ke medan perang sehingga tidak
tersisa lagi yang melaksanakan tugas-tigas lain. Jika memang tidak ada
panggilan yang bersifat mobilisasi umum. Maka mereka tidak pergi dari setiap golongan, yakni kelompok besar diantara mereka beberapa orang dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan untuk orang lain dan juga untuk memberi peringatan kepada kaum mereka yang menjadi anggota pasukan yang ditugaskan Rasulullah SAW itu apabila nanti telah selesainya tugas mereka yakni anggota pasukan itu telah kembali kepada mereka yang ,memperdalam pengetahuan itu, supaya mereka yang jauh dari Rasulullah SAW karena tugasnya dapat berhati-hati dan menjaga diri mereka.[16]
- IV. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan
dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif
sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ar Rifa’i, Muhammad Nasib, Tafsir Ibnu Katsir(Jakarta: Gema Insani Press, 2000) cet. I
Djamarah, Syaiful Bahri, Rahasia SuksesBelajar, (Jakarta: RT. Rineka Cipta,2008), cet. II
Departemen Agama RI, Al Qur’an Al Karim Dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1996)
Departemen Agama RI, A-Qur’an dan Tafsirnya, (jakarta: Lentera Abadi, 2010)
Ghoffar, M. ‘Abdul, Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi’i: 2008) cet.I
Mustafa, Ahmad, Al-Maraghi (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), cet. II
Mustafa, Ahmad, Al-Maraghi(Semarang: PT. Karya Toha Putra,1993) cet.II
Nata, Abuddin, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002) cet.I
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al Misbah(Jakarta: Lentera Hati, 2002)
[1] Syaiful Bahri Djamarah, Rahasia SuksesBelajar, (Jakarta: RT. Rineka Cipta,2008), cet. II, hal 15
[2] Departemen Agama RI, Al Qur’an Al Karim Dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1996)
[3] Ahmad Mustafa, Al-Maraghi (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), cet. II, hal. 344-345
[4] Departemen Agama RI, A-Qur’an dan Tafsirnya, (jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 718-719
[5] Ahmad Mustafa,Op. cit, 346-348
[6] M. Quraish shihab,Tafsir Al Misbah(Jakarta: Lentera Hati,2002), hal. 392
[7] Ibid, hal.392-393
[8] Muhammad Nasib Ar Rifa’i , Tafsir Ibnu Katsir(Jakarta: Gema Insani Press, 2000) cet. I, hal. 969-970
[9] Ahmad Mustafa, Op. Cit, hal. 242
[10] Ibid, hal. 243-246
[11] Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 647
[12] Abuddin Nata,Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan(PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002) cet.1, hlm 131-132
[13] M. ‘Abdul Ghoffar, Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi’i: 2008) cet. 1 hal. 209-211
[14] Departemen RI, Op. Cit, hal. 96-100
[15] Ibid, hal. 750
[16] Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 96-100
Tidak ada komentar:
Posting Komentar