STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Selasa, 11 Oktober 2011

ANTARA PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK

“Upaya Memahami Komponen Pendidikan Perspektif Kitab Ta’alimul Muta’alim”
Pendidik merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan belajar, melatih, mengembangkan dan memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan sebagai tenaga mengajar. Guru atau pengajar harus memiliki kemampuan yang profesional dalam bidang proses belajar mengajar, disamping memiliki kemampun yang profesional guru selaku tenaga pendidik harus memiliki kepribadian, dan kemampuan kemasyarakatan.
Untuk mencapai suatu keberhasilan dalam pendidikan diperlukan kerja sama antara pendidik dan peserta didik walau bagaimanapun pendidik berusaha menanamkan pengaruhnya kepada peserta didik, apabila tidak ada kesediaan kesiapan dari peserta didik sendiri untuk mencapai tujuan, maka pendidikan sulit untuk berhasil. Kepentingan kerja sama ini mendapat perhatian besar dari Az-Zarnuzi. Perhatian itu terlihat dari banyaknya syarat dan petunjuk untuk dilaksakan oleh peserta didik.

Pendidik
Pendidik menurut Az-Zarnuzi ialah orang yang berilmu atau alim yang jamaknya adalah ulama’. Dengan demikian pendidik itu identik dengan ulama’ itu kedalam dua bagian yaitu dunia dan ulama’ akhirat. Ahli-ahli pendidikan Islam sangat memperhatikan budi pekerti yang harus dimiliki oleh pendidik atau guru, pendidik haruslah menjadi pembina akhlak, maka semestinya pendidik lebih dahulu berakhlak mulia.
Dalam mengungkap sifat-sifat pendidik menurut Az-Zarnuzi mengacu pada sumber data primer yaitu, Ta’alimul Muta’alim yang telah dirumuskan oleh Athiyah Al-Abrasi (1996:66-71), dan sedikit ditopang dengan literatur lain yang berkaitan dengan masalah pendidik menurut Az-Zarnuzi, secara umum sebagai berikut;
Pertama, pendidik hendaklah ikhlas dalam melaksanakan tugas, keikhlasan seorang pedidik dalam melaksanakan tugasnya merupakan sarana yang paling ampuh untuk kesuksesan peserta didiknya dalam proses belajar termasuk sikap ikhlas adalah pendidik dalam  melaksanakan tugas sesuai yang ia katakan dan sesuai antara perilaku-perilakunya dengan perkataan-perkataan yan diucapkan, dengan hal yang demikian pendidik tidak merasa malu untuk mengatakan saya tidak tahu, apabila ia memang tidak mengetahui.
Kedua, pendidik harus memiliki sifat Zuhud dan mengajar karena mencari ridho Allah, pendidik memiliki kedudukan yang mulia dan dimuliakan pendidik memiliki tugas-tugas yang sesuai dengan kedudukannya, ia harus memiliki atau menjadi Zahid yang sesungguhnya.
Ketiga, Pendidik harus suci dan bersih seorang pendidikan hendaknya dalam hal ini suci badan dan anggota tubuhnya menjaga diri dari perbuatan dosa, suci jiwanya dengan membebaskan diri dari perilaku sombong, riya, dengki, permusuhan, dan sifat tercela yang lainnya.
Keempat, pendidik harus memiliki sikap murah hati, seorang pendidik hendaknya bersifat penyantun, pemurah hati terhadap murid-muridnya mampu mengendalikan dirinya dari bersikap marah, bersikap lapang dada dan banyak bersabar.
Abu Syamah Al- Syafi’I, dalam bukunya Majmu’ah Al-Rasail pada bab Etika Guru Anak-anak membuat kesimpulan sebagai berikut: “Guru hendaknya memulai memperbaiki dirinya terlebih dahulu, sebab mata mereka sangat memperhatikannya dan telinga mereka sangat peka terhadap sekelilingnya. Sesuatu yang dianggap baik oleh guru, anakpun memandang baik”. Sebagian besar pendidikannya adalah dengan kasih sayang, dan dalam mendidik seorang guru tidak boleh dengan cara kekerasan.
Masih menurut menurut Az-Zarnuzi pula, para pendidik hendaknya memiliki adab yang baik, mendahulukan keteladanan dirinya, karena anak didik memperhatikan segala perilaku pendidiknya,
telinga mereka pun setia mendengarkan. Apa yang menurut peserta didik baik, maka dimata mereka juga dianggap baik.
Kelima, pendidik memiliki sikap tegas dan terhormat, agar seorang pendidik menjadi lebih sempurna ia harus memiliki sikap yang tegas dan terhormat. Ia harus memiliki keistimewaan-keistimewaan agar ia dapat menjauhkan dirinya dari hal-hal yang jelek tidak membiasakan dirinya berteriak-teriak, dan banyak omong kosong.
Dengan demikin, pendidik atau guru bukan sekedar gudang teori, tetapi juga seseorang yang ditiru dan diteladani, maka tidak boleh mengalihkan perkataan dan perbuatannya yang menyimpang karena ilmu itu diperoleh itu diperoleh dengan pandangan hati.
Keenam, pendidik harus memiliki sikap kebapakan, seorang pendidik hendaknya menyenangi para muridnya sama dengan menyayangi anak-anaknya, dan  memikirkan mereka sama seperti anak-anaknya. Berdasarkan prinsip Islam inilah, pendidikan modern sekarang ditegakkan, sehingga dapat dikatakan bahwa seorang pendidik lebih mencintai peserta didik daripada anak-anaknya.
Ketujuh, memahami karakter murid, pendidik hendaknya menguasai lautan dan memahami karakteristik dan kecenderungan para muridnya termasuk juga kebiasan, perasaan dan pikirannya. Ini dibutuhkan agar pendidik di dalam melaksanakan tugasnya supaya tidak salah arah.
Kedelapan, pendidik harus menguasai materi pelajaran, dalam hal ini yang perlu diperhatika oleh pendidik adalah penguasaan materi yang akan diajarkan, dan oleh karena itu, pendidik harus terus menerus belajar. Ini menjadi sangat penting agar didalam proses belajar mengajar dan penyampaian pengajaran tidak terkesan bersifat monoton dan datar-datar saja.
Sifat-sifat di atas tersebut, masih dapat ditambah yang secara keseluruhan termasuk sifat yang primer atau mutlak. Sifat tambahan lainnya, seorang pendidik atau guru harus malakukan kerjasama dengan orang tua murid, terutama, terutama kepada peserta didik yang kurang mampu menerima materi pelajaran atau kelainan sifat dengan peserta didik yang lainnya (Nata, 1997:77).
Peserta Didik
Adapun hak dan kewajiban  yang menurut Az-Zarnuzi patut dimiliki oleh peserta didik. Yang penting untuk menjadikannya ahli ilmu dan mendapat faedah dari belajarnya, serta sampai pada tujuan yang hendak dicapai oleh peserta didik dibalik ilmunya. Segala hal yang harus dipenuhi seorang murid dalam proses belajar mengajar tersebut diuraikan oleh Az-Zarnuzi sebagai berikut:
Pertama, sebelum belajar seorang murid hendaknya memulai dengan mensucikan hatinya dari sifat-sifat kehinaan, sebab proses belajar mengajar termasuk ibadah dan keabsahan ibadah harus disertai dengan kesucian hati yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mengenai relitas bahwa banyak pelajar yang berahlak buruk namun berhasil memperoleh ilmu, menurut Az-Zarnuzi ilmu yang diperolehnya itu bukanlah ilmu yang hakiki, yang bermanfaat didunia dan tidak membawa kebahagiaan di akhirat.
Kedua, hendaknya mengorientasikan belajarnya dalam rangka memperbaiki dan menghiasi jiwanya dengan sifat-sifat yang mulia dan bukan belajar dalam rangka membangga-banggakan diri.
Sebab, kita mengetahui bahwa jiwa itu menerima bermacam ragam rupa dari segala sesuatu baik yang di inderakan, maupun yang dipikirkan dalam bentuk yang persis dan sempurna. Kemudian jiwa itu akan senantiasa menerima bentuk-bentuk yang lain satu demi satu sepanjang waktu tanpa merasa lelah dan keliru (Fahmi, 1979:107).
Ketiga, mencari ilmu hendaknya secara terus menerus walaupun harus meninggalkan kampung halaman maupun tanah airnya, dan tidak ragu-ragu dalam merantau untuk mencari ilmu, jika memang harus menuntut perantauan yang jauh untuk mencari guru yang diinginkan.
Keempat, menurut Az-Zarnuzi murid hendaknya tidak banyak berganti-ganti guru ia harus mengkonsentrasikan diri pada seorang guru sebelum adanya guru yang lain.
Bagi Az-Zarnuzi bukanlah suatu larangan seorang murid memilih materi pelajaran yang disenanginya dengan meminta bantuan gurunya di dalam memilih dengan catatan tidak mengabaikan kecenderungan murid dan kesenangan murid terhadap suatu ilmu (Athiyah, 1996:111).
Kelima, hendaknya jangan mempersulit guru dengan banyak bertanya, tidak menyusahkan dalam meminta jawaban, tidak boleh berjalan didepannya, tidak boleh duduk dibangku gurunya dan tidak memulai pembicaraan kecuali setelah mendapat izin dari gurunya.
Keenam, jangan membuka rahasia guru, dan jangan mengumpat seseorang disisinya, jangan mencari-cari kesalahannya, dan handaknya menerima permintaan maaf guru apabila ia melakukan kesalahan.
Ketujuh, bersungguh-sungguh dalam belajar agar mendapatkan ilmu pengetahuan dengan hasil yang mendalam dan memuaskan.
Dengan demikian seorang murid haruslah konsisten secara terus menerus melakukan penggalian pengetahuan secara serius dan tidak bermalas-malasan. Dan yang penting adalah seorang murid mempersepsikan dirinya sendiri, karena yang membedakan kecerdasan hanya karena rajin dalam belajar. Kalau seorang murid memang betul-betul mau untuk menuntut ilmu, maka ia harus mengikuti semua ritus-ritus yang disyaratkan. Kesungguhan sangat berpengaruh pada kemampuan eksploratif dan karenanya hal itu harus dihadirkan mengiringi suasana belajar. Dengan kegiatan tersebut, potensi belajar itulah mempengarui pendidikan sehingga peserta didik tetap membutuhkan pendidik, potensi yang ada tadi selalu diikutui adanya daya vitalitas sehingga ia senantiasa selalu bertindak untuk maju dan berkembang (Ahmadi, 1991:41).
Kedelapan, hendaknya menciptakan suasana kecintaan dan kesenangan antara sesama murid, sehingga terlihat seolah-olah mereka merupakan anak dari satu orang.
Kesembilan, hendaknya senantiasa memulai salam bila bertemu gurunya.
Kesepuluh, menurut Az-Zarnuzi peserta didik hendaknya terus menerus belajar dan megulanginya lagi pada awal dan akhir malam, sebab waktu sore dan sahur adalah waktu yang penuh rahmat.
Kesebelas, peserta didik hendaknya menyediakan diri untuk belajar sampai akhir hayat, tidak sedikitpun meremehkan berbagai ,macam ilmu pengetahuan sebagai sebagian dari haknya, dan jangan pula ikut-ikutan mencela sebagian ilmu seperti ilmu mantiq dan filsafat, seperti yang pernah dilakukan oleh ulama’ terdahulu.
Selanjutnya, Az-Zarnuzi memandang bahwa keutamaan hasil atau buah yang di tumbuhkan dari ilmu dan mempelajarinya lebih utama dari keutamaan bukti-bukti atau penjelasan-penjelasan yang ditumbuhkan oleh hakekat ilmu-ilmu, sedangkan memandang buah itu adalah lebih utama.
Dari konsep ini, jelaslah bahwa kita harus memperindah dengan selalu dekat kepada Allah semata. Karena diarena persaingan yang ketat dengan terakulturasinya semua budaya dan nilai, maka kita harus membekali diri dengan benteng eksistensi yang kukuh. Dengan begitu, kita tidak gampang silau dengan godaan untuk menjual pengetahuan, menjual agama demi harta, kedudukan dan kekuasaan. Wallahua’lam bis Showaf!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar