STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Minggu, 30 Oktober 2011

Pembelajaran Religiositas Dalam Pendidikan Agama Islam


 PENDAHULUAN
 
Kejadian tawuran pelajar di Indonesia,  berada pada tahap yang mengkhawatirkan, dan telah memakan korban jiwa para pelajar yang seharusnya menjadi penerus bangsa.  Di antara mereka bahkan melakukan penganiayaan hingga menewaskan lawannya dengan perasaan tidak bersalah dan berdosa. Sementara itu kejadian seks di luar pernikahan juga telah menjadi trend di kalangan pelajar didorong oleh makin maraknya penyebaran kaset VCD, situs porno, dan penggunaan narkoba serta minuman alkohol.
Realitas perilaku siswa sebagaimana fenomena di atas, nampaknya sangat kontradiksi dengan rumusan Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 3 bahwa "Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".

Paradoks tersebut mengindikasikan bahwa fungsi pendidikan sebagai pembentuk kepribadian telah mengalami degradasi nilai atau sikap di dalam praktik pendidikan. Taksonomi pendidikan sebagai bingkai wilayah kepribadian manusia yakni membentuk sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), serta melatihkan keterampilan (psychomotoric domain), nampaknya belum menjadi domain yang utuh dalam tataran outcomes pendidikan. Bahkan dalam praktiknya, domain kognitif lebih dipentingkan dari pada domain yang lainnya. Seolah kepribadian manusia hanya berhubungan dengan kecerdasan otaknya, yang belakangan dikenal dengan IQ. Padahal seseorang dengan IQ tinggi tidak menjamin mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, kecuali ia juga memiliki piranti kecerdasan lainnya yang tinggi.


Kemampuan menahan nafsu (diri) sebagai inti domain afektif adalah akar kecerdasan yang lebih penting dari pada IQ. Daniel Goleman menyatakan pentingnya kecerdasan emosional (EQ), sedangkan Danah Zohar memunculkan pemikiran filosofis tentang kecerdasan spiritual atau hati nurani yang disebut SQ. SQ dan EQ dipandang sebagai unsur pokok yang menjadikan seseorang bisa mencapai kesuksesan hidup.  Kecerdasan dalam dimensi afektif ialah kepribadian, yang merupakan produk kesadaran atas nilai-nilai secara kreatif.

Dalam khazanah Islam, aspek kepribadian selalu termanifestasikan dalam bentuk religiositas umat yang lebih banyak berkaitan dengan kecerdasan emosional dan spiritual yang bertumpu pada masalah kesadaran diri. Religiositas ialah kesadaran relasi manusia dengan Tuhan, relasi manusia dengan sesama, relasi manusia dengan alam dan relasi manusia dengan dirinya sendiri (Hablumminallah wa Hablumminannas). Ketidakmampuan pendidikan dalam menumbuhkan kesadaran diri akan bisa mendorong tumbuhnya sifat negatif manusia dalam hubungan sosial yang luas, seperti perilaku kekerasan atau tindakan brutal lainnya.

Kekerasan dan tawuran yang dilakukan manusia terdidik sebagaimana fakta-fakta di atas memberi petunjuk adanya problem religiositas dalam pendidikan dan pembelajaran di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia,  dimana pendidikan agama diberikan di sekolah-sekolah dalam berbagai jenjang dengan memperoleh landasan yang kuat dalam GBHN sejak tahun 1978, dan ditegaskan dalam UUSPN No. 2 tahun 1989 pasal 39 ayat (2) yang dalam pelaksanaannya, dinyatakan ”isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang wajib memuat: (a) pendidikan agama, (b) pendidikan pancasila dan (c) pendidikan kewarganegaraan. Dipertegas kembali dalam UU SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) No. 20 tahun 2003 pada pasal 37 ayat 1 dan 2.

Kontradiksi di atas menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah peran pendidikan agama selama ini ? Asumsi  penulis adalah karena nilai-nilai agama kurang ditransformasikan secara positif, kritis dan berorientasi ke depan. Ia sekedar menjadi ornamen pendidikan yang tidak memiliki fungsi kecuali sebagai pajangan ruangan kurikulum pendidikan nasional.  Patut diduga keberhasilan pendidikan agama Islam yang belum memuaskan selama ini, sangat erat kaitannya dengan sejumlah persoalan yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan agama Islam di lapangan. Beberapa permasalahan yang muncul adalah kesalahan pembelajaran, bukan kesalahan dari segi isi.

KONDISI PEMBELAJARAN PAI SAAT INI

Selama ini belum diperoleh hasil penelitian yang komprehensif tentang hasil pembelajaran pendidikan agama Islam pada sekolah, mulai tingkat SD, SMP dan SMA. Berbagai penelitian yang menyangkut tentang pendidikan agama di sekolah pernah dilakukan oleh beberapa kalangan, tetapi sifatnya parsial. Misalnya, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, telah beberapa kali melakukan penelitian tentang pendidikan agama di sekolah: penelitian tentang kompetensi Guru PAI tingkat di beberapa propinsi, penelitian tentang kesiapan GPAI dalam pelaksanaan KBK di SMA dan penelitian tentang keberagamaan siswa SMU.

Namun bisa diduga, bahwa hasil pembelajaran PAI pada sekolah adalah sangat bervariasi, mulai dari hasil pembelajaran yang kurang berkualitas hingga yang sangat bermutu. Pembelajaran yang dikembangkan selama ini adalah selalu menempatkan guru sebagai pusat belajar sehingga target pembelajaran adalah ilmu pengetahuan sebagai pemberian guru kepada siswa (transfer of knowledge) yang berbentuk penguasaan bahan dan selalu berorientasi pada nilai yang tertuang dalam bentuk angka-angka. Dengan demikian dominasi guru akan menghancurkan kreativitas, kemandirian serta orisinalitas siswa. Di samping itu penyampaian pembelajaran lebih bersifat teks normatif. Pendidikan religiositas atau keberagamaan yang seharusnya terbentuk melalui pendidikan agama terabaikan atau gagal diwujudkan.
Materi pendidikan agama Islam yang disajikan di sekolah masih banyak terjadi pengulangan-pengulangan dengan tingkat sebelumnya. Disamping itu, materi pendidikan agama Islam dipelajari tersendiri dan lepas kaitannya dengan bidang-bidang studi lainnya, sehingga mata pelajaran agama Islam tidak diterima sebagai sesuatu yang hidup dan responsif dengan kebutuhan siswa dan tantangan  perubahan. Bahkan kehadiran pelajaran pendidikan agama Islam dapat dipastikan akan membosankan dan kurang menantang.

Metodologi pembelajaran agama Islam di sekolah disampaikan sebagian guru secara statis-indoktrinatif-doktriner dengan fokus utama kognitif yang sibuk mengajarkan pengetahuan dan peraturan agama, akan tetapi bagaimana menjadi manusia yang baik: penuh kasih sayang, menghormati sesama, peduli pada lingkungan, membenci kemunafikan dan kebohongan dan sebagainya justru luput dari perhatian.
Romo Mangunwijaya dengan nada menggugat ia berucap, pelaksanaan pendidikan agama saat ini mempunyai masalah-masalah yang sangat kompleks tapi sayangnya tidak semua educator agama benar-benar sadar akan persoalan ini. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pola pendidikan kita saat ini masih mementingkan huruf dari pada ruh, lebih mendahulukan tafsiran harfiah di atas cinta kasih.

Dari ungkapan-ungkapan sebagaimana terurai di atas, dapat dimengerti bahwa pelaksanaan pendidikan agama Islam sekolah menghadapi sejumlah permasalahan yang mendesak untuk dipecahkan. Jika tidak, dikhawatirkan justru misi utama yang hendak diemban oleh pendidikan agama Islam malah tidak atau kurang mencapai sasaran.
RELIGIOSITAS DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Pendidikan agama Islam adalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian menurut ukuran-ukuran Islam.  Dari pengertian ini nampaknya ada dua dimensi yang akan diwujudkannya, yaitu dimensi transendental dan dimensi duniawi. Dimensi transendental (lebih dari hanya sekedar ukhrawi) yang berupa ketaqwaan, keimanan dan keikhlasan. Sedangkan dimensi duniawi melalui nilai-nilai material sebagai sarananya, seperti pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan dan sebagainya. Dengan demikian, pendidikan agama adalah upaya religiosisasi perilaku dalam proses bimbingan melalui dimensi transendental dan duniawi menuju terbentuknya kesalehan (religiositas).

Secara normatif pendidikan agama menciptakan sistem makna untuk mengarahkan perilaku kesalehan dalam kehidupan manusia.  Pendidikan agama harus mampu memenuhi kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan memenuhi tujuan agama yaitu memberikan kontribusi terhadap terwujudnya kehidupan religiositas.

Religiositas  ialah kemampuan memilih yang baik di dalam situasi yang serba terbuka.  Setiap kali manusia akan melakukan sesuatu, maka ia akan mengacu pada salah satu nilai yang dipegangi untuk menentukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada.  Religiositas juga dimaknai sebagai upaya transformasi nilai menjadi realitas empiris dalam proses cukup panjang yang berawal dari tumbuhnya kesadaran iman sampai terjadinya konversi.
Agama lebih menitik beratkan pada kelembagaan yang mengatur tata cara penyembahan manusia kepada penciptanya dan mengarah pada aspek kuantitas, sedangkan religiositas lebih menekankan pada kualitas manusia beragama.  Agama dan religiositas merupakan kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi, karena keduanya merupakan konsekuensi logis kehidupan manusia yang diibaratkan selalu mempunyai dua kutub, yaitu kutub pribadi dan kebersamaannya di tengah masyarakat. Penjelasan ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Glock dan Stark yang memahami religiositas sebagai percaya tentang ajaran-ajaran agama tertentu dan dampak dari ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Sebagai suatu kritik, religiositas dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang beragama menjadi semakin inten. Semakin orang religius, hidup orang itu semakin nyata atau semakin sadar terhadap kehidupannya sendiri. Bagi orang beragama, intensitas itu tidak bisa dipisahkan dari keberhasilannya untuk membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. Inilah yang disebut religiositas sebagai inti kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang berada dalam lubuk hati dan getaran murni pribadi.  Religiositas sama pentingnya dengan ajaran agama, bahkan religiositas lebih dari sekedar memeluk ajaran agama, religiositas mencakup seluruh hubungan dan konsekuensi, yaitu antara manusia dengan penciptanya dan dengan sesamanya di dalam kehidupan sehari-hari.
Secara operasional religiositas didefinisikan sebagai praktik hidup berdasarkan ajaran agamanya, tanggapan atau bentuk perlakuan terhadap agama yang diyakini dan dianutnya serta dijadikannya sebagai pandangan hidup dalam kehidupan. Religiositas dalam bentuknya dapat dinilai dari bagaimana sikap seseorang dalam melaksanakan perintah agamanya dan menjauhi larangan agamanya. Dengan pemaknaan tersebut, religiositas bisa dipahami sebagai potensi diri seseorang yang membuatnya mampu menghadirkan wajah agama dengan tampilan insan religius yang humanis.

Meminjam konsep Abu Hanifah, religiositas harus merupakan kesatuan utuh antara iman dengan Islam. Artinya, religiositas jika diamati dari sisi internal adalah iman dan dari sisi eksternalnya adalah Islam.  Sebagai suatu fenomena sosial, rumusan ini sejalan dengan pendapat Joachim Wach bahwa pengalaman beragama terdiri atas respons terhadap ajaran dalam bentuk pikiran, perbuatan serta pengungkapannya dalam kehidupan kelompok.

Glock & Stark menjelaskan bahwa agama adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Menurut Glock & Stark, ada lima dimensi religiositas, yaitu : Pertama, dimensi keyakinan yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut. Kedua, dimensi praktik agama yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Prakti-praktik keagamaan ini terdiri atas dua aspek penting, yaitu aspek  ritual dan ketaatan. Ketiga, dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengaharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktuakan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan super natural. Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang. Keempat, dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada harapan bahwa orang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Kelima, dimensi pengamalan. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat atau konsekuensi keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari ke hari. 

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN RELIGIOSITAS PAI
Pendidikan adalah upaya sadar untuk melakukan proses pembelajaran peserta didik menuju pendewasaan. Pembelajaran adalah penyampaian pengetahuan atau rangkaian kegiatan untuk memberikan peluang kepada peserta didik agar dapat mengembangkan diri.  Kedewasaan sebagai produk pembelajaran  bila dihubungkan dengan upaya penanaman nilai agama adalah kesalehan yang belakangan lebih popular dengan istilah religiositas atau keberagamaan.  Dengan demikian pembelajaran adalah proses religiosisasi dalam pendidikan agama.

Prinsip utama yang dimiliki guru dalam pembelajaran religiositas adalah bahwa proses mengajar tidak terikat oleh ruang dan waktu, dalam artian mengajar bisa terjadi dimanapun selama siswa memiliki minat yang tinggi dalam memahami dan mengembangkan materi pelajaran. Tugas utama guru adalah mengorganaisir suasana dan situasi agar dapat dijadikan proses belajar.

Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran religiositas, pertama, Asumsi terhadap siswa. Siswa merupakan input utama dalam pembelajaran. Siswa merupakan elemen yang memiliki potensi yang bisa mengarah pada realitas negatif maupun realitas positif. Pembelajaran mengarahkan siswa kearah terwujudnya atau terbentuknya realitas sikap dan perilaku siswa yang positif. Dalam konteks ini, maka proses pembelajaran harus mampu menjawab, memberikan dan menyelesaikan problematika siswa. Dalam PP Nomor 19 tahun 2005, dinyatakan bahwa dalam pendidikan harus ada standar proses, yaitu proses pembelajaran yang diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan minat, bakat dan perkembangan fisik serta psikologis anak. Berdasarkan pesan PP tersebut, dalam pembelajaran harus dikemas dengan sedemikain rupa agar siswa dapat berekpresi secara bebas, siswa memiliki rasa senang dan nyaman dalam belajar, serta memiliki keleluasaan dalam mengembangkan materi sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga siswa benar-benar memhamai dan mampu melaksanakan materi yang diterima. Apabila pembelajaran justru melahirkan situasi dan kondisi dimana siswa tidak mampu melakukan ekpresi secara bebas, maka religiositas tidak akan dapat dicapai.

Kedua, Asumsi terhadap pembelajaran. Ibarat sebuah pabrik, pembelajaran adalah proses mencetak sesuatu barang menjadi barang cetakan. Pembelajaran merupakan proses berinteraksinya seluruh elemen dalam pembelajaran, seperti, siswa, tujuan, materi, metode, guru, sarana, lingkungan. Seluruh elemen ini diramu, dikelola guru agar mampu mewujudkan kualitas siswa sesuai dengan harapan. Pembelajaran berarti mengoptimalisasikan seluruh elemen  atau faktor dengan cara yang sesuai dengan kapasitas siswa. Pembelajaran harus dikemas dalam suasana yang menyengkan bagi siswa, karena dnegan suasana yang menyenangkan siswa akan mudah menerima dan mengembangkan materi yang diberikan dari guru. Banyak anak-anak tidak suka terhadap materi pelajaran tertentu, bukan disebabkan karena sulitnya materi pelajaran tersebut, tetapi lebih pada faktor siswa pernah memiliki pengalaman pahit di masa lalu terhadap pelajaran tersebut. Oleh sebab itu jika pembelajaran tidak dikemas dengan suasana yang menyenangkan, maka tidak akan dapat melahirkan pembelajaran religiositas.

Ketiga, asumsi terhadap guru. Guru diakui atau tidak memiliki peluang sangat besar dalam mewujudkan kualitas pembelajaran. Meskipun demikian, guru tidak bisa bersikap dan berperilaku sembarangan. Guru tidak diperbolehkan memiliki anggapan bahwa dirinya merupakan satu-satunya orang yang paling pinter, siswa adalah anak yang tidak mengetahui apa-apa (bodoh). Apa yang dikatakan guru pasti benar dan tidak boleh dibantah. Guru ibarat raja kecil didalam kelas yang harus ditiru segala ucapan dan tindakannya. Jika asumsi demikian yang ada dalam diri guru maka pembelajaran religiositas tidak pernah ada.

Pembelajaran religiositas perlu dikonstruk dengan memperhatikan unsur-unsur yang sangat dominan yaitu : pertama, perumusan mengenai pentahapan atau klasifikasi pencapaian tujuan pembelajaran yang lazim disebut taksonomi  harus dirumuskan dengan konkret, tidak hanya tetap berakar pada   al Qur’an dan Sunnah, tetapi juga mewujudkan sosok kehidupan masa kini yang mampu menunjukkan arah, memberikan motivasi dan menjadi tolok ukur dalam evaluasi kegiatan.

Kedua, unsur bahan pembelajaran dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan, bersumber pada wahyu dan yang selanjutnya memberikan penyelesaian praktis permasalahan umat. Cakupan dan arah bahan kemudian didudukkan sebagai kurikulum sebuah kegiatan belajar mengajar.  Struktur dan organisasi kurikulum didesain dengan kompak dan utuh, meski susunannya sudah dikemas dalam sosok muatan nasional dan lokal, pada dasarnya berpeluang untuk menentukan jati diri produk pembelajaran dan tidak perlu terkungkung oleh jerat formal. Artinya, unsur kurikulum bisa dibangun dengan membuka pintu baik bidang studi agama maupun non agama. Ini dilakukan karena masing-masing memiliki kaitan fungsional dengan ilmu tentang kenyataan praktis sebagai bagian proses mencapai tujuan. Kemampuan membuka diri masing-masing bidang studi, menentukan kaitan fungsional antar unsur, dan kemudian membangun organisasi kurikulum  yang kompak dan utuh untuk mencapai tujuan. Tawaran yang bisa menjadi pijakan adalah model scientific cum doktriner milik Mukti Ali,  dengan teknik koherensi esensi dalam keterbukaan tampilan praktis. Model ini berpangkal dan bersumber pada al Qur’an dan Sunnah, namun pada saat yang sama menyikapi tampilan empiris. Potensi yang akan tumbuh lebih mengarah pada munculnya perilaku religiositas.
Komarudin Hidayat (1999) memberikan pemikiran ideal yang menarik tentang pendidikan dan pengajaran agama yang relatif adaptif dengan perkembangan dan realitas masyarakatnya yaitu dengan membebaskan diri dari dikte-dikte sejarah masa lalu, membaca dan memahami ayat-ayat suci beserta sebab-sebab turunnya, dan mengeluarkan makna etisnya. Secara lebih operasional, Soedjatmoko (1976) memberikan sebuah tawaran agar pengajaran dan pendidikan agama perlu sinkronisasi, kerjasama dan diinteraksikan dengan pendidikan non agama, sehingga memudahkan peserta didik mengamalkan agama ke dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini dioperasionalkan secara lebih teknis oleh Mochtar Buchori (1994) dengan cara setiap jam kegiatan pendidikan agama memperkaya program pendidikan umum, sedangkan setiap jam kegiatan pendidikan umum akan memantapkan program pendidikan agama. Disinilah pendidikan agama tidak boleh terlampau bersikap menyendiri, tetapi harus saling bekerjasama dengan ilmu lain. Bentuknya bisa berupa latihan-latihan pengamalan keagamaan, sehingga pendidikan menjadikan orang beragama secara transformatif. Artinya pendidikan agama yang bisa mempekokoh kehidupan lewat praksis sosial serta berorientasi pada pemecahan problematika ummat.

KESIMPULAN
Secara operasional religiositas didefinisikan sebagai praktik hidup berdasarkan ajaran agamanya, tanggapan atau bentuk perlakuan terhadap agama yang diyakini dan dianutnya serta dijadikannya sebagai pandangan hidup dalam kehidupan. Religiositas dalam bentuknya dapat dinilai dari bagaimana sikap seseorang dalam melaksanakan perintah agamanya dan menjauhi larangan agamanya. Dengan pemaknaan tersebut, religiositas bisa dipahami sebagai potensi diri seseorang yang membuatnya mampu menghadirkan wajah agama dengan tampilan insan religius yang humanis.

Religiositas yang seharusnya menjadi tampilan setiap manusia terdidik sesudah mereka mengikuti pendidikan dan pengajaran agama Islam nampaknya mengalami kegagalan.  Sehingga ketidakmampuan praktik pendidikan agama dalam menumbuhkan sikap religiositas akan bisa mendorong tumbuhnya sifat negatif manusia dalam hubungan sosial yang lebih luas, seperti perilaku kekerasan atau tindakan brutal lainnya. Kegagalan pendidikan agama Islam dalam menumbuhkan religiositas, diduga bahwa praktik pembelajaran PAI pada sekolah diselenggarakan kurang berkualitas. Pembelajaran yang dikembangkan selama ini adalah selalu menempatkan guru sebagai pusat belajar sehingga target pembelajaran adalah pemberian ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), dengan penyampaian pembelajaran lebih bersifat teks normatif.  Materi pendidikan agama Islam masih banyak terjadi pengulangan-pengulangan dengan tingkat sebelumnya dan materi pendidikan agama Islam dipelajari tersendiri dan lepas kaitannya dengan bidang-bidang studi lainnya. Metodologi pembelajaran disampaikan sebagian guru secara statis-indoktrinatif-doktriner dengan fokus utama kognitif yang sibuk mengajarkan pengetahuan dan peraturan agama. Pola pendidikan agama saat ini masih mementingkan huruf dari pada ruh, lebih mendahulukan tafsiran harfiah di atas cinta kasih. Sehingga pembelajaran religiositas atau keberagamaan yang seharusnya terbentuk melalui pendidikan agama terabaikan atau gagal diwujudkan.

Realita tersebut memberikan sinyal bahwa pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah menghadapi sejumlah permasalahan yang mendesak untuk dipecahkan agar misi utama yang hendak diemban oleh pendidikan agama Islam dapat mencapai sasaran. Gagasan yang ditawarkan adalah mengkonstruksi pembelajaran religiositas dengan memperhatikan unsur-unsur yang sangat dominan, antara lain :
  1. Perumusan mengenai pentahapan atau klasifikasi pencapaian tujuan pembelajaran yang lazim disebut taksonomi harus dirumuskan dengan konkret, tidak hanya tetap berakar pada al Qur’an dan Sunnah, tetapi juga mewujudkan sosok kehidupan masa kini yang mampu menunjukkan arah, memberikan motivasi dan menjadi tolok ukur dalam evaluasi kegiatan.
  2. Unsur bahan pembelajaran dirancang untuk mencapai tujuan pendidikan, bersumber pada wahyu dan yang selanjutnya memberikan penyelesaian praktis permasalahan umat. Tawaran yang bisa menjadi pijakan adalah model scientific cum doktriner dengan teknik koherensi esensi dalam keterbukaan tampilan praktis. Model ini berpangkal dan bersumber pada al Qur’an dan Sunnah, namun pada saat yang sama menyikapi tampilan empiris. Potensi yang akan tumbuh lebih mengarah pada munculnya perilaku religiositas.
  3. Pembelajaran agama harus relatif adaptif dengan perkembangan dan realitas masyarakatnya yaitu dengan membebaskan diri dari dikte-dikte sejarah masa lalu, membaca dan memahami ayat-ayat suci beserta sebab-sebab turunnya, dan mengeluarkan makna etisnya.
  4. Pembelajaran agama perlu sinkronisasi, kerjasama dan diinteraksikan dengan pendidikan non agama, sehingga memudahkan peserta didik mengamalkan agama ke dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini dioperasionalkan secara lebih teknis dengan cara setiap jam kegiatan pendidikan agama memperkaya program pendidikan umum, sedangkan setiap jam kegiatan pendidikan umum akan memantapkan program pendidikan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002.
----------, Kesalehan Multikultural, Jakarta, PSAP Muhammadiyah, 2005.
A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986.
Abu Ali al-Thibrisyi, Majma’ al-Bayan,  Beirut, Dar al-Ma’rifah cet VII, 1990.
Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, PT Al-Ma’arif, 1986
Ahmad Najib Burhani, Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Membatu, Jakarta: Kompas, 2001.
Daniel Goleman.  Emotional Intelligence, (terjemahan), Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Edgar Stons, Psychology of Education, A Paedagogical Approach, London, Methuen & Co.Ltd., 1994.
Glock and Stark, Religion and Society in Transition, Chicago, Rand Mc Nally, 1965.
Hohard Kingsley & Ralph Garry, The Nature and Condition of Learning, Engleweed Cliffs, N.J.Prentice Hall Inc, 1957.
Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, ed.J.M.Kitagawa, New York, University Press, 1958.
Margaret E Bell Gredler, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1986.
Sutan Takdir Alisyahbana, Values as Integrating Forces in Personality, Sosiety and Culture, Kuala Lumpur, University of Malaya Press, 1982.
YB Mangunwidjaya, Menumbuhkan Sikap Religiusitas pada Anak, Jakarta, Gramedia, 1986.
-----------, Sastra dan Religiusitas, Yogyakarta, Kanisius, 1988.
-----------,dalam Widyastuti, “Mendiskusikan Pendidikan Pemanusiaan”, Kedaulatan Rakyat, 3 Mei 2000.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar