Pendahuluan
Sejak awal, Islam telah menjadi suatu agama sekaligus sebagai sebuah peradaban yang senantiasa bersentuhan dengan agama dan peradaban lain. Dalam pandangan Islam, manusia sejak lahir dipandang suci. Dengan kesuciannya itu manusia dianugerahi sebuah kemampuan dan kecenderungan untuk mendapatkan kebenaran (agama). Hal ini kemudian menjadikan manusia itu mampu mengetahui Tuhan. Kemampuan dan kecenderungan ini pulalah yang disebut dengan hanif. Orang-orang hanif pada era berikutnya dipandang sebagai orang yang berpegang teguh kepada paham monoteisme. Dalam al-Qur’an disebutkan manusia hanif adalah identik dengan nabi Ibrahim sebagai bapak tiga agama besar dunia, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Tiga agama ini mengklaim dirinya sebagai agama monoteistik. Hanya saja dalam sejarahnya yang panjang, konsep monoteisme masing-masing agama ini mengalami pasang surut, tidak jarang yang satu mengatakan bahwa yang lain telah keliru, kemudian berusaha menunjukkan bahwa ia adalah satu-satunya agama yang masih murni bertuhan satu. Dari pembacaan sekilas dapat diasumsikan bahwa perselesihan tersebut muncul karena masing-masing penganut agama tersebut selalu mengabaikan nilai-nulai spiritual dari agama tersebut[1] dan lebih banyak menonjolkan aspek formalitasnya, ditambah lagi dengan dialog yang jarang dilakukan secara wajar.
Persaksian KepadaTuhan
Kesadaran kepada eksistensi Tuhan, yang merupakan inti seluruh agama, bukanlah hasil perintah sebuah keputusan dan kesepakatan bersama, atau kepercayaan yang harus diikuti. Pengakuan itu merupakan hasil penerimaan manusia secara totalitas lewat sebuah persaksian yang abadi. Tuhan adalah al-Haqq al Mubin, yang “Benar lagi Nyata” , Dia bisa disaksikan, dan kita sendiri bisa membuktikanNya.[2] Memang kebanyakan manusia selalu lalai untuk mengingat suatu masa tertentu ketika Tuhan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka pada suatu alam yang disebut pakta primordial, ketika, secara fisik, mereka dalam kandungan seorang ibu. Saat (waktu) tersebut pada dasarnya juga merupakan sebuah tempat (space) dan merupakan bentuk waktu (time).[3] Pertanyaan yang diajukan Tuhan waktu itu adalah dalam bentuk interro-negative, yaitu “bukankah aku ini Tuhanmu ?” Mereka menjawab, “Betul, Engkau Tuhan kami”.[4] Situasi dan kondisi itu sebenarnya menetapkan kesadaran kita bahwa yang demikian merupakan sebuah bentuk pembuktian, bahkan perjanjian (transaksi) dengan Tuhan untuk menjalani kehidupan ini.
Kaum Muslimin memulai kesadaran mereka kepada Tuhan lewat sebuah persaksian fundamental, yang diawali dengan sebuah ungkapan negasi, seperti yang ditetapkan pada bagian pertama kesaksian (syahadah). Syahadah adalah sebuah ritus yang paling dasar yang karenanyalah seseorang dikatakan masuk ke dalam Islam secara formal: Syahadah itu berbunyi “Tiada Tuhan Kecuali Allah”, Muhammad Utusan Allah, Allah adalah Tuhan Yang Mutlak dan tidak terikat oleh sesuatu, Dia tak berawal dan tidak berakhir, Dialah Tuhan Yang Esa, Tuhan yang tak dapat diketahui lewat sebuah pencarian fisik. Akan tetapi kaum Muslimin bisa mengetahui karena Dia sendiri mengenalkan diriNya lewat wahyu yang diturunkanNya, lewat nama-namaNya dan lewat karyaNya, dalam Alquran disebutkan: kemuliaan atas Tuhanmu, Tuhan Yang Maha Kuasa atas sesuatu, yang kepadaNya kita menyerahkan diri.[5]
Allah, sebagai sebuah nama, dibangun atas kontraksi artikel defini ‘al’ dan kata ‘ilah’. Jadi seseorang harus mengartikannya, sebagai ‘Tuhan’. Kata ‘Tuhan’ (ilah) adalah dibentuk dalam nama umum, akan tetapi tidak ada Tuhan kecuali Dia. “Tuhanmu adalah Tuhan yang jauh disana dimana tidak ada Tuhan selain Dia.[6] Pernyataan tentang keesaan Tuhan bisa ditemukan secara keseluruhan dalam sebuah rumusan yang terdapat dalam kalimat tahlil yang berbunyi la ilaha illallah. Ia yang hanya ditulis dengan empat huruf arab Allah. Tidak ada yang disembah kecuali Tuhan yang disebut Allah, satupun tidak ada yang menyerupaiNya dan tak satupun nama lain yang sama denganNya, jadi nama itu bukan sebuah derivasi dari akar kata manapun.[7]
Abd al Haqq Isma’il Guiderdoni, seorang Perancis pernah mengajukan pertanyaan: apakah kita juga boleh menerjemahkan kata Allah sebagai bahasa Arab yang berarti Tuhan ke dalam bahasa Perancis atau bahasa Eropa lainnya, seperti halnya kita menterjemahkan teks-teks suci Islam yang lain, khususnya Alquran?. Menurutnya, sejak awal, kaum Muslimin hanya menganggap dan percaya kepada Allah, sementara orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berbahasa Perancis percaya kepada Tuhan yang mereka sebut (Dieu), muncul persoalan seolah-olah ada dua Tuhan yang berbeda.[8] Allah bukan semata Tuhan orang Islam saja, tertutup untuk orang-orang seperti Yahudi dan Kristen, akan tetapi satu Tuhan yang Tunggal, Tuhan dari semua. Dia dicintai oleh seluruh umat Islam, seluruh orang Yahudi dan Nasrani. Dia bukan hanya Tuhan keturunan nabi Ibrahim, dan tertutup untuk orang penganut tradisi lain seperti agama-agama Asia asingnya, tetapi juga Tuhan dari semua keturunan nabi Adam. “Janganlah kamu menyembah dua Tuhan”. Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka hendaklah kepadaKu saja kamu takut, dan kepunyaanNyalah segala apa yang ada di langit dan di bumi dan untukNyalah keta’atan itu selama-lamanya, maka mengapa kamu bertaqwa kepada selain Allah ?”.[9]
Allah adalah bahasa arab berarti Tuhan Yang Esa. Semua agama menuju kepadaNya. Dalam waktu yang bersamaan orang-orang Kristen yang berbahasa arab menemukan kembali nama ini di dalam terjemahan Bibel dan Injil yang berbahasa arab. Memang demikian, kaum Muslimin lebih senang untuk mengucapkan nama Tuhan mereka dalam bahasa arab, dan Tuhan sendiri membuktikannya dalam wahyu Alquran.[10] Juga kita dapat mendengar kekuatan nama Tuhan dengan membuat sebuah bentuk khusus yang ia disusun dengan dua huruf lam (tasydid) yang secara tegas diucapkan. Yang jelas, nama Tuhan itu bukan sebuah nama yang serupa dengan nama lainnya.[11]
Seperti yang disebutkan dalam ajaran Islam, “konsep keesaan Tuhan adalah unik”. Yahudi, Kristen dan Islam dalam hal tertentu bukanlah sebagai ‘agama-agama monoteistik’ karena tidak satupun darinya yang secara tegas untuk melihat hanya satu Tuhan, kecuali melihat bahwa ada perbedaan mengenai Tuhannya sendiri yang berbeda dengan Tuhan orang lain, terutama ketika masing-masing pemeluk agama ini nenpertahankan konsep keesaannya secara emosional. Model pemikiran seperti ini tidak dikatakan sebagai ajaran monoteistik akan tetapi hanya salah satu bentuk monolatrie, sebuah bentuk pemujaan atas keesaan Tuhan.[12] Padahal Agama Yahudi, Nasrani dan agama Islam dapat dikatakan agama-agama monoteis, sebab semuanya menyembah Tuhan yang sama dari ketiga agama tersebut. Dalam sejarah agama-agama, kelompok agama yang satu bisa saja menyerang beberapa teolog agama tertentu, bahkan dalam satu agama sekalipun. Masing-masing kelompok ingin menunjukkan kemurnian agamanya, sementara yang lain dipandang sesat. Hugh Goddard, seorang Kristiani, ahli teologi Islam dari Universitas Nottingham mengatakan terjadinya hubungan yang tidak harmonis serta salah paham antara Kristen dan Islam, bahkan satu agama menjadi ancaman bagi agama lainnya, adalah disebabkan suatu kondisi yang ia sebut sebagai “standard ganda” (double standards). Artinya oarang-orang Kristen dan kaum Muslimin selalu menerapkan ukuran-ukuran yang berbeda untuk dirinya, yang biasanya ukuran (standard) ideal dan normatif untuk agama sendiri sedangkan eterhadap agama lai, menggunakan standard lain, yang lebih bersifat historis dan realistik.[13] Jadi dalam konteks keesaan Tuhan tadi, pemahaman kita terhadap Tuhan itu sungguh benar karena dipandang sebagai pemberian langsung Tuhan, sementara pemahaman lain adalah pemahaman yang minimal samar-samar, kalau tidak dikatakan salah, sebab merupakan pemikiran manusia saja. Kondisi tersebut lebih diperburuk lagi ketika para ahli sejarah agama-agama hanya melihat masalah di atas dari perspektif akademik semata, kemudian hanya sebatas menganalisis perbedaan pandangan itu dan bukan memberikan penjelasan yang mendalam terhadap berbagai point tertentu.
Tidak jarang pula ditemukan bahwa kelompok penganut suatu agama tertentu tidak menempatkan diri mereka pada tempat yang sebenarnya, melainkan hanya sebagai sebuah opposan semata, menyiapkan keterangan-keterangan yang bersifat metafisik, yang dipandang merupakan landasan dasar persaudaraan antarumat manusia. Inilah posisi yang ditunjukkan oleh paham idealisme dunia Timur, dimana seseorang dapat memecahkan masalah tersebut dengan menyatukan diri dengan Realitas Ketuhanan lewat berbagai pengalaman spritual, atau diskursus teoritis. Tentu saja hal ini terbatas, bahkan dangkal sekali, karena agenda ini dilakukan hanya sebatas membahas rencana Tuhan saja. Di pihak lain, muncul lagi sekelompok masyarakat yang ketat menggunakan tradisi berfikir formal, tekstual, yang sering juga menghilangkan nilai-nilai spritual seperti yang dikehendaki idealisme dari Timur tadi. Idealnya ada keseimbangan antara tradisi-tradisi diatas dalam melihat kebenaran Tuhan yang luas itu. Spritualitas IslamBentuk kesadaran ideal kepada Tuhan sesungguhnya adalah satu bentuk penolakan ganda terhadapnya. Spritualitas Islam telah menciptakan sebuah sistem untuk memperdalam dan menyatukan berbagai pemikiran yang bermacam-macam itu ke dalam pemikiran ultim kesadaran kita lewat sebuah aktivitas intuitif yang pada dasarnya dimiliki semua orang. Masing-masing orang bisa mengembangkan sesuai dengan kemampuannya. bisa Ada dua aspek yang penting dalam proses penemuan kesadaran ini, yaitu akal dan intelek. Intelek di sini lebih berhubungan dengan apa yang disebut dengan akal aktif. Jika akal kita mengajak kita kepada sebuah keraguan terhadap aspek ketuhanan, maka intelek yang aktif atas itupun justru membawa kita kepada ketidaktahuan terhadap realitas ultim itu, penuh keraguan, atau ia akan menuntut sebuah pembuktian metafisik, yang semestinya hal ini hanya bisa terjadi pada penglihatan yang sakit.[14] ”Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”.[15] Eksistensi Tuhan itu sulit dilihat bila kita mengunakan pendekatan rasional semata. Penjelasannya sangat memerlukan sebuah penjelasan intuitif lewat proses kontemplasi yang benar. Meskipun demikian, di dalamnya terdapat kesulitan yang bersifat paradoks untuk melihat berbagai bukti dan justifikasi, sebab masing-masing mereka memberikan alasan yang kuat dan cenderung untuk tidak bisa dilihat oleh masing-masing kelompok lain. Hali ini lebih kompleks lagi ketika masing-masing kelompok lebih memusatkan perhatian mereka kepada berbagai perubahan yang aktual (aksidensial) bukan kepada yang tetap (substansial). Cara seperti yang demikian dapat membuat penglihatan kita semakin tumpul dan kabur terhadap Realitas yang sebenarnya, kita selalu lebih suka kepada melihat perubahan ‘bentuk’ yang akhirnya menimbulkan berbagai variasi dalam pikiran kita. Setelah melihat pendekatan intelektual di atas, para pelancong yang berada di atas gerbong kehidupan spritualpun juga menemukan tembok tebal yang tinggi yang menutupi misteri ketuhanan, tidak bisa ditangkap oleh orang-orang yang senantiasa menghendaki jawaban pasti, seperti pernyataan “ia’ atau ‘tidak’. Misteri itu hidup dalam dua aspek yang berdampingan, logik dan bertentangan, transendent absolut dan immanent. Di pihak lain, Tuhan sebenarnya jauh dari semua bentuk definisi dan pemahaman, Ia berbeda dengan alam yang sesungguhnya, yang kita tidak bisa menggambarkanNya. Realitas ketuhanan berada jauh diatas sifat-sifat yang dilukiskanNya. Itulah tanzih, yang artinya sebuah pernyataan bahwa diriNya tidak bisa dibandingkan dengan yang lain.[16] Dalam hal tertentu Ia transendent, Tuhan tak bisa dikhayalkan ibarat sebuah ide atau konsep belaka, tidak pula terisolir dari dunia yang mana Ia juga berbeda secara mutlak dengannya. KehadiranNya di dunia adalah dalam bentuk yang misteri, dan dalam bentuk khusus. Ia dekat dengan manusia. Ia tak bisa dibandingkan, Dia memperkenalkan diriNya lewat Wahyu, dengan menggunakan nama-nama, kualitas dan sifat. Ini disebut dengan tashbih, sebuah pernyataan tentang kemiripan sifat-sifat Tuhan dengan makhluknNya. Alquran berkali-kali menyampaikan pernyataan tentang adanya perbedaan Tuhan dengan selain Dia, seperti “tidak ada satupun yang serupa denganNya” atau Dia hanya dilukiskan sebagai Tuhan yang maha mendengar dan yang maha melihat”.[17] Pandangan yang satu dan lainnya tidak bisa menjamin tentang misteri kemutlakan Tuhan itu, dan kita harus pula berhati-hati bahwa kadang-kadang ditemukan paradoksal, yaitu terbuka kemungkinan untuk mengetahuiNya. Penolakan dan affirmasi mengharuskan orang yang sedang berjalan menujuNya untuk meninggalkan sifat-sifat mental gampang menerima dan gampang menolak. Pengetahuan kita yang terbatas dan bersifat lokal, bisa dijadikan sarana sampai kepada pengetahuan yang lebih tinggi, apabila kita terbuka (inklusif) akan berbagai perubahan akan informasi lain. Jika tidak, kita hanya terjebak kepada kebenaran semu yang sering dianggap sebagai kebenaran hakiki. Tuhan Yang Maha Esa (al-Wahid) bukan kesatuan berbagai unsur, sesuai dengan sebuah pilihan, seperti satu pilihan yang harus ditempatkan berhadapan dengan pilihan yang lain, atau bagian darinya. Tuhan bukanlah “satu” dalam perspektif angka. Al-Qur’an menunjukkan bukti yang mengagumkan bahwa “tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keeempatnya, dan tiada pembicaraan lima orang melainkan Dialah yang keenamnya, dan tiada pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka dimanapun mereka berada”.[18] Tuhan bukanlah yang ketiga dari tiga, atau yang kelima dari lima. Dia jauh dari jumlah serial angka-angka sebab satuNya adalah kualitas realitas dalam kerangka metafisik.[19] Kita tidak bisa langsung menetapkan esensi Ketuhanan atas dasar formulasi teologis kita semata, sebagai misteri yang bisa dirumuskan oleh institusi tertentu. Tuhan tersembunyi, membuka dan menampakkan diriNya lewat wahyu, berkat kasih sayangNya, Dia menjadikan kita supaya bisa mempersiapkan diri di dunia ini dalam rangka untuk bertemu dihari kemudian, dan bukan menempatkan diri kita untuk hidup bersenang-senang dalam dunia yang penuh dengan tipu daya, kemudian menggambarkan Tuhan dengan khayalan yang dianggap pasti. Seharusnya kita memiliki pengetahuan yang lebih tinggi tentang Tuhan, yang Dia menyebut diriNya sebagai tercantum dalam hadis nabi: ”Aku sangat dekat dengan pengetahuan hambanku yang dekat kepadaku”.[20] Pengetahuan tentang Tuhan merupakan sebuah produk yang terbatas karena ia juga hasil pemikiran terbatas, bahkan terdistorsi, penuh kepalsuan, kita begitu sulit menghindari kepalsuan terhadap apa yang sesungguhnya ada pada Tuhan. Tuhan yang jauh di sana, jika hanya ia dipandang sebagai sebuah ide, justru bisa membawa bencana secara cepat, yaitu akan terwujud dalam bentuk sebuah berhala. Oleh sebab itu, menurut Al-Qur’an, Tuhan yang kau temui dalam sebuah penglihatan bukan Dia sesungguhnya”.[21] Seorang Muslim harus menyadari betul kenyataan ini, bahkan dalam sholat hal ini berulang kali diucapkan dalam takbir, yaitu Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Abrahamic Religion (Yahudi, Kristen dan Islam) Nabi Ibrahim, bapak tiga agama besar dunia, yaitu: Yahudi, Kristen dan Islam, selalu mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan adalah zat yang maha mulia dan sebagai zat yang bisa dihampiri dengan pendekatan spritualitas manusia. Perintah korban untuk menyembelih anaknya Isma’il, seperti yang terjadi pada masa lalu, merupakan perintah Tuhan yang pada dasarnya juga perintah terhadap semua keturunannya, baik dari kaum Yahudi, Nasrani dan umat Islam agar merubah hawa nafsu keduniaannya dengan melaksanakan pengurbanan apa yang sangat dicintainya, termasuk kehidupannya, sebagai cikal bakal dari hawa nafsu “sebagai pendorong semangat kejahatan”. Sesungguhnya kebanyakan dari keturunan Ibrahim telah lupa dan lalai terhadap semangat pengorbanan spritual yang mulia itu, dan ini bertentangan dengan substansi kejadian ini. Mereka saling bertempur antara sesama mereka demi sebuah penghormatan eksklusif (kelompok) dari keturunannya dengan bentuk pertikaian antar satu dengan lainnya. Mereka yang melakukan pertikaian ini justru mereka yang mengklaim penganut monoteisme. Akan tetapim moneteisme yang kering dari nilai spritual. Pentingnya aspek spritual dalam kasus ini begitu saja terabaikan demi kepentingan keutuhan sebuah kelompok, demi pertengkaran yang tak berarti dan demi kedudukan yang lebih tinggi pada tempat tertentu, juga demi kekejaman untuk kepentingan tertentu.Seseorang selalu melakukan sesuatu untuk tujuan kembali kepada spritual, atau secara tepatnya, kepada hal-hal yang spritual, sebab Tuhan yang tak pernah hilang atau muncul kembali dalam bentuk atau cara tertentu, berdiam secara tetap dalam ingatan murni kita. Tapi harus juga diketahui bahwa ada kritik dari posisi kembali ini. Di satu pihak muncul sebuah pendekatan eksklusif atas dasar teks agama, di pihak lain, orang memperkirakan bahwa tak ada upaya yang bisa ditempuh untuk melakukan sesuatu demi maksud spritual, atau seseorang bisa saja menganggap dirinya telah mendapatkan kesucian diri secara mudah kemudian dipublikasikannya dalam sebuah komunitas, jadi identitas yang benar-benar tidak dibangun kecuali oleh hubungan intim dengan Tuhan. Tapi agama-agama lain pada waktu besamaan berbeda, sehingga secara sederhana bisa disimpulkan bahwa dari mereka pasti salah satunya ada yang keliru jalan. Apalagi, aktivitas spritual yang demikian dapat dilakukan lewat penggabungan berbagai dogma atau ritus-ritus dalam tradisi sinkretis yang wataknya bervariasi, disesuaikan dengan kapasitas individu, diasyikkan oleh sebuah kebebasan dalam berkhayal kemana-mana.[22] Karena dalam waktu bersamaan bahwa masing-masing agama tidak sama, maka kita bisa menyimpulkannya bahwa mereka, dengan cara demikian, berada dalam kategori relatif, dimana seseorang bisa saja mendapatkannya sesuai dengan apa yang dipahaminya.. Demikian pula karena Tuhan bersifat absolut, seseorang tidak bisa menjadikannya sebagai alasan untuk kemutlakan sebuah agama, atau kemutlakan sebuah pemahaman kendatipun yang demikian diperoleh lewat usaha spritual. Monoteisme dan KeadilanPada satu sisi, kehausan akan sebuah keadilan selalu terabaikan oleh aktivitas masyarakat, yang bisa saja sampai kepada sebuah peperangan yang kebanyakan orang menganggapnya sebagai perang suci.[23] Di pihak lain, kehausan akan kesenangan individu bisa sampai kepada sebuah kedamaian, dimana orang juga memandangnya suci. Di sini, orang telah berkali-kali lupa bahwa tidak ada kedamaian tanpa keadilan, dan tidak ada keadilan tanpa pengetahuan tentang kebenaran. Dua sikap ini dapat menjadi piranti atas sebuah perspektif yang belum pasti. Kebenaran dan keadilan bukanlah milik kita, sebab kebenaran dan keadilan yang kita miliki (al-Haqq al-‘Adl) itu pada dasarnya adalah nama-nama Tuhan. Tanpa kelahiran kembali ajaran spritual dalam diri setiap orang yang sudah banyak melakukan kesalahan dan tidak akan bisa dibebankan kepada orang lain, tidak akan ada keadilan, kecuali hanya catatan-catatan khayal berdasarkan laporan-laporan singkat belaka. Tanpa keadilan, tidak akan ada kedamaian, ia tidak lebih dari sebuah negara tanpa perang, berlangsung hanya sekejap berdasarkan persetujuan-persetujuan tertentu.[24] Jika kaum Yahudi, kaum Nasrani dan kaum Muslimin secara bersama tidak mampu untuk memberhentikan berbagai konflik yang masing-masing saling menuntut “keyakinan” mereka, hal ini benar adanya, karena mereka telah kehilangan pemikiran spritual mereka, tentang Kebenaran, Keadilan dan Kedamaian. Mereka tidak lagi menjadi pengikut setia pesan universal agama mereka. Ini baru tarap pencarian Tuhan, Kebenaran, Keadilan, bukan tarap penemuan ketiganya, oleh karena itu ia masih jauh dari sebuah ketenangan yang sesungguhnya, terkesan picik dan hanya berdasarkan kepuasan individual. Seharusnya ini merupakan awal permulaan bagi kita untuk mempunyai kesatuan kesadaran beragama sebagai sarana untuk mencari Tuhan Yang Tunggal di bawah tiga nama ini, dan bukan seperti kebanyakan orang yang hanya memiliki kebenaran, keadilan dan kedamaian. Masing-masing memiliki kecenderungan yang memperbolehkan kita untuk meningkatkan jalan kita. Jadi sebagai tambahan, Kedamaian yang sebenarnya, dalam dunia ini akan dapat mendampingi Keadilan yang berlandaskan pengetahuan yang mendalam tentang Kebenaran dan monotheism yang sebenarnya. Oleh karena itu ada perbedaan yang dalam antara agama-agama an-sich dan ideologi atau pemahaman mereka terhadapnya. Seseorang bisa saja melakukan sebuah ideologi dengan ide apa saja, tapi seseorang selalu terbentur karena terbelenggu oleh sebuah sistem tertutup (final) yang selalu membatasi kebenaran sebagai sebuah hasil kerja seseorang yang cukup melelahkan. Ajaran keislaman, seperti halnya agama-agama lain, menganjurkan kepada kita untuk terlebih dahulu menerima bahwa kebenaran tidak memiliki kita, kitalah yang memiliki kebenaran itu. Agama mempersiapkan kita untuk pengetahuan yang diperoleh lewat kontemplasi terhadap Realitas Ultim. Secara khusus Tuhan tidak berkewajiban untuk mengabulkannya, sebab Dia sendiri terlebih dahulu mengajak kita untuk pergi menemuiNya sebagai zat yang mengabulkan permohonan. Seorang beragama tidak pernah melakukan sesuatu berbuatan terlepas dengan kehidupan spritual. Hanya saja nilai spritual dari kebenaran itu hilang begitu saja karena ia terbatas oleh pemikiran manusia yang sempit. Sudah barang tentu nilai seperti demikian dapat diperjual belikan dengan kebutuhan-kebutuhan praktis. Tidak mengherankan bial di era sekarang, ideologi sebuah agama dalam sebuah sistem politik menimbulkan sesuatu yang sangat bernilai, mengalihkan kekuatan spritual untuk sebuah transpormasi kekerasan yang besifat anarkhis yang muncul lewat tangan-tangan para penguasa. Orang dengan mudah melakukan perbuatan bohong dengan mengatasnamakan “kebenaran”, membunuh atas nama keadilan, menjustifikasi kepalsuan dan pembunuhan sesuai konsep-konsep dan bahasa sebuah ideologi dari seorang penganut partai. Akan tetapi seseorang tak bisa membohongi Tuhan, sebagai Realitas Ultim, Kebenaran, Tuhan yang kita menemuiNya atau yang kepadaNya kita harus meminta, Tuhan yang sempurna, yang tidak berat sebelah, bukan tuhan yang partisan, sebab Dia adalah Tuhan yang mempersatukan tiap sesuatu. Ajaran yang berbeda-beda dari berbagai agama, masing-masing mengajarkan pengetahuan tentang Tuhan Yang Esa. Dalam hal tertentu, semua ajaran yang disampaikan Tuhan yang Maha Berkuasa dan berkehendak itu, dapat kelihatan bertentangan. Memang demikianlah Tuhan menciptakannya. Jika hal itu tidak terjadi, maka tidak akan ada pula yang disebut masyarakat agama. Tapi Tuhan, dalam kemurahan hatiaNya, mengisi perbedaaan ketetapan yang bersifat manusiawi itu dengan perbedaan bentuk wahyu pula.[25] Pengetahuan tentang pakta primordial, sebagai dasar keesaan Tuhan, dasar kesatuan manusia dan agama, memunculkan berbagai cara yang ditempuh (metodologi) bukan hasil (produk). Hal demikian sebagai bentuk pendahuluan untuk melakukan dialog antar seluruh komunitas umat beragama. Kaum Muslimin juga diajak untuk membuktikan kebenarn itu dan justru bukan memperjual belikannya. “Katakanlah” Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu, Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu, dan kami hanya kepadaNya berserah diri”.[26] Dalam ungkapa yang lain, dialog adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dilaksanakan jika seseorang tidak punya perhatian penuh terhadap pakta primordial sebagai pusat manusia dalam Ketuhanan. Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku ‘adil di antara kamu. Allahlah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan antar kita dan kepadaNyalah kembali kita.[27] Ke dalam dialog inilah semua hal akan bisa tercairkan, sebab ia ditandai dengan segel dualitas.[28] Dialog lebih suka kepada hal-hal yang disepakati bersama oleh intra religius, buka kepada hal-hal yang bertentangan. Jadi sebuah kebenaran bukanlah sebuah keputusan agama Yahudi, Kristen atau Islam tapi merupakan hasil bersama dari semua orang Yahudi, orang-orang Kristen dan Islam. Atau lebih tepatnya bahwa kelompok yang satu dan lainnya merupakan juru bicara Tuhan, Tuhan yang penuh cinta dan Maha Pemurah, pembicaraan yang penuh gema yang kita telah dengungkan kepada semua orang, yang luput dari lipatan waktu, di dalam kekekalan yang bersifat metafisik dari pakta primodial. Perbedaan-perbedaan dalam pemahaman membuktikan di dalamnya penerimaan rahasia ketuhanan yang tidak bisa dipecahkan tanpa wahyu. Ia juga ibarat sebuah kelahiran kembali validitas berbagai formulasi keagamaan orthodoks dan aturan-aturan lain yang di dalamnya kita hidup. Doktrin ketunggalan Tuhan sebagai dasar praktek ritual-ritual agama-agama membangkitkan gairah rahasia Tuhan, transendensiNya yang secara bersamaan dapat menghadirkan dirinya sendiri secara immanen dan lebih nyata tanpa harus diberi bentuk dan rupa lain. Jalan keberagamaan membuka sedikit demi sedikit tipu daya penghalang atau kesulitan penderitaan yang membelenggu kita, atau yang menjadikan kita siap untuk memasuki wilayah spritual. Tuhan maha mengetahui keheranan dan bebingungan kita atau kita menemukan bahwa Tuhan sangat agung sehingga kita bisa menarik perbandingan denganNya, sangat agung sehingga kita hanya bisa menghampirinya dengan segudang kebajikan, sangat agung sehingga kita lenyap dari pandangan Tuhan yang pemurah untuk memaafkan dosa-dosa kita. Juga sikap yang kita dirikan ketika menjalankan ibadah-ibadah dengan gabungan antara penuh harap dan rasa takut yang merupakan ciri khas orang yang bertakwa, yang selalu dalam penantian kasih dan berkah Tuhan yang merupakan satu-satunya sarana untuk transformasi diri.
Penutup
Di bagian akhir dari tulisan ini disampaikan bahwa monoteisme menuntut adanya sebuah dialog agama. Kendatipun masing-masing agama mengklaim bahwa ia menganut monoteisme, tetapi dalam kenyataannya masing-masing juga saling menuduh bahwa yang lain sudah keluar dari jalur monoteisme disebabakan adanya perbedaan konsep. Konsep masing-masing agama seharusnya juga dijelaskan terhadap pemeluk agama lain sehingga bisa saling memahami. Di samping yang demikian, nilai-nilai spritual sebuah agama sangat penting untuk ditonjolkan, karena lewat yang demikianlah Realitas Ultim itu bisa ditemukan. Jika tidak, maka klaim-klaim kebenaran masing-masing agama hanyalah kebenaran semu, kebenaran sepihak bukan kebenaran universal. BIBLIOGRAFI Al-Qur’an al-Karim. Ayoub,Mahmod Mustafa. 2000. Mengurangi Konflik Muslim-Kristen Dalam Perspektif Islam Ter. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Azhari, Kautsar Noer. 1998. “Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan yang Sebenarnya” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, volume I, Nomer 1, Juli-Desember. Fulcher Chartres. 1969. A History of Expedition to Yerussalem 1095-1127 terj. Frances Rita Ryan, ed. Harold S Fink. Knoxville: The University of Tennesse Press. Goddard, Hugh. 1995.Christians&Muslim: From Double Standards to Mutual Understanding, Inggris: Nottingham University. Guiderdoni, Abd al Haqq Isma’il. 1995. “La quete de l’identite supreme en Islam”, makalah, Paris: Institutes de Hautes Etudes Islamiques, edisi September. ————————-1995. “Monotheisme et dialogue Interreligieuse”, makalah, Paris: Institutes de Hautes Etudes Islamiques. Rahma, Jalaluddin. 1998. “Tuhan Yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, volume I, Nomer 1, Juli-Desember. Bayrakli, Bayraktar. t.t “The Concep of Justice (‘Adl) in The Philosophy of Al-Farabi” dalam Hamdard Islamicus, vol. XV. No. 3, Karachi: Hamdard Foundation. Faruqi, Isma’il Raji al. 1986. The Cultural Atlas of Islam, New York: MacMillan Publishing Company.
[1] Masih ada beberapa hal sebagai penyebab terjadinya perselisihan di dalam kalangan umat beragama seperti politik dan aspek sosial budaya lainnya.
[2] Bila yang dimasud di sini pembuktian di alam maya, maka pembuktian di sini bukan dalam pengertian positivistik, akan tetapi pembuktian logik.
[3] Waktu dan tempat di sini bukan dalam pengertian relati atau masa yang sekarang kira ada di dalamnya, akan tetapi waktu dan tempat dalam pengertian absolut
[4] Al-Qur’an Surat 7:172
[5] Al-Qur’an Surat
[6] Al-Qur’an 20: 98.
[7] Untuk diskusi lebih lanjut terhadap subjek ini antara lain dapat dibaca Kautsar Azhari Noer: “Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan yang Sebenarnya” dan tulisan Jalaluddin Rahmat: “Tuhan Yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan” . Kedua artikel ini ditulis dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, volume I, Nomer 1, Juli-Desember 1998, halaman 129-148.
[8] Abd al Haqq Isma’il Guiderdoni. “La quete de l’identite supreme en Islam”, makalah (Paris: Institutes de Hautes Etudes Islamiques, edisi September, 1995), hal. 48
[9] Al-Qur’an: 16: 51-52.
[10] Abd al Haqq Isma’il Guiderdoni. Monotheisme et dialogue Interreligieuse, makalah (Paris: Institutes de Hautes Etudes Islamiques, 1995), hal. 3
[11] Ibid.
[12] Ibid., hal. 4
[13]HughGoddard. Christians&Muslim: From Double Standards to Mutual Understanding (Inggris: Nottingham University, 1995), hal. 12.
[14] Kata sakit di sini diidentikkan dengan pemikiran positivistik yang hanya mengakui kebenaran berdasarkan fakta empiris semata.
[15] Al-Qur’an 2: 147.
[16] Al-Qur’an, Surat al-Ikhlas 1-4
[17] Al-Qur’an 42: 11.
[18] Al-Qur’an 58: 7.
[19] Abd al Haqq Ismail Guiderdoni. “Monotheisme…..”, hal. 13.
[20] Lihat Hadis riwayat Bukhori, Muslim, Turmuzi dan Ibn Majah.
[21] Al-Qur’an 3: 28
[22] Guiderdoni. “Monotheisme…..hal. 14.
[23] Salah satu contoh dari kasus ini adalah perang Salib yang terjadi pada tahun 1095 atas perintah paus Urban II Menurut seorang periwayat perang salib, Fulcher dari Chartres, Paus mengemukakan maksud-maksudnya atas nama Kristus untuk “mempercepat pembasmian ras terhina dari daerah-derah dan sekaligus membantu penduduk Kristen”. Untuk memperteguh pendapatnya Paus menyatakan bahwa Kristus memerintahkan hal itu. ( Untuk lebih jauhn dapat dibaca Fulcher of Chartres. A History of Expedition to Yerussalem 1095-1127 terj. Frances Rita Ryan, ed. Harold S Fink. (Knoxville: The University of Tennesse Press, 1969). Pau sendiri mau mengampuni bagi siapa yang erlibat dalam perang cuci ini. Mahmod Mustafa Ayoub. Mengurangi Konflik Muslim-Kristen Dalam Perspektif Islam Ter. Ali Noer Zaman, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hal. 247.
[24] Bayraktar Bayrakli: The Concep of Justice (‘Adl) in The Philosophy of Al-Farabi” dalam Hamdard Islamicus, vol. XV. No. 3
[25] Isma’il raji al-Faruqi. The Cultural Atlas of Islam (New York: MacMillan Publishing Company, 1986), hal. 235.
[26] Al-Qur’an 29: 40.
[27] Al-Qur’an 42: 15.
[28] Guiderdoni: “Monotheis…..” hal, 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar