BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Manusia adalah mahluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik dengan cara jual beli, sewa menyewa,pinjam-meminjam, bercocok tanam atau usaha- usaha yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang sebaiki-baiknya.
Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu yang setiap hari pasti dilakukan yang kadang kita tidak tahu apakah sah ataupun tidak. Utang piutang juga suatu kegiatan yang sangat kental dengan kehidupan manusia, dan kedua kegiatan muamalah tersebut sangat erat dengan riba.
Oleh krena itu, pada makalah ini akan memebahas tentang jual- beli, utang piutang, agar para penbaca tidak masuk dalam jurang riba.
2. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, maka pada makalah ini dapat merumuskan Rumusan Masalah sebagai berikut:
A. Apa hakekat jual beli itu?
B. Apa hakekat utang piutang itu?
C. Apa hakekat riba?
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Manusia adalah mahluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik dengan cara jual beli, sewa menyewa,pinjam-meminjam, bercocok tanam atau usaha- usaha yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang sebaiki-baiknya.
Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu yang setiap hari pasti dilakukan yang kadang kita tidak tahu apakah sah ataupun tidak. Utang piutang juga suatu kegiatan yang sangat kental dengan kehidupan manusia, dan kedua kegiatan muamalah tersebut sangat erat dengan riba.
Oleh krena itu, pada makalah ini akan memebahas tentang jual- beli, utang piutang, agar para penbaca tidak masuk dalam jurang riba.
2. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, maka pada makalah ini dapat merumuskan Rumusan Masalah sebagai berikut:
A. Apa hakekat jual beli itu?
B. Apa hakekat utang piutang itu?
C. Apa hakekat riba?
3. TUJUAN PEMBAHASAN
A. Mengetahui serta memahami hakekat jual beli meliputi pengrtian, syrat rukun, dan hikmahnya.
B. Mengetahui serta memahami hakekat Utang piutang meliputi pengetian syarat dan rukun, beserta hikmahnya
C. Mengetahui serta memahami hakekat riba meliputi pengertian, jenis, dan madlorotnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAKEKAT JUAL BELI
Pengertian Jual Beli
Jual beli adalah kegiatan saling menukar, terdiri dari 2 kata, yaitu jual ( al-bai’) dan beli (al-syirâ`), merupakan 2 kata yang biasanya digunakan dalam pengertian yang sama. Secara etimologi, al-bai’ (jual beli) merupakan bentuk isim mashdar dari akar kata bahasa Arab bâ’a , maksudnya: penerimaan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-bai’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata al-syirâ`(beli). Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua (jual dan beli) yang satu sama lain bertolak belakang. Secara terminologi, jual-beli adalah pertukaran harta dengan harta yang lain berdasarkan tujuan tertentu, atau pertukaran sesuatu yang disukai dengan yang sebanding atas dasar tujuan yang bermanfaat dan tertentu, serta diiringi dengan ijab dan qabul . Menurut Sayyid Sâbiq, jual-beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Apabila akad pertukaran (ikatan dan persetujuan) dalam jual-beli telah berlangsung, dengan terpenuhinya rukun dan syarat, maka konsekuensinya penjual akan memindahkan barang kepada pembeli. Demikian pula sebaliknya, pembeli memberikan miliknya kepada penjual, sesuai dengan harga yang disepakati, sehingga masing-masing dapat memanfaatkan barang miliknya menurut aturan dalam Islam. Dalam konteks modern, terminologi jual-beli digunakan untuk menunjukkan proses pemindahan hak milik barang atau aset yang mayoritas mempergunakan uang sebagai medium pertukaran.Menurut Ulama Hanafiyah jual beli adalah salinh menukar harta dengan harta melalui cara tetentu atau tukar menukar ssesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli hukum asalnya jâiz atau mubah (boleh) berdasarkan dalil dari al-Quran, hadis dan ijma’ para ulama. al-Quran surat al-Nisa’, 4:29
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. “
surat al-Baqarah, 2:275
وأحل الله البيع وحرم الربا “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dalil dari hadis
عن رفاعة بن رافع قال : سئل النبي صلى الله عليه وسلم أي الكسب أطيب ؟ فقال : عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور . ( رواه البزار وصححه الحاكم ) Artinya: “Dari Rafa’ah bin Rafe r.a bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya, pekerjaan apakah yang paling mulia? Lalu Rasulullah SAW menjawab: Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Albazzar)
Menurut Imam al-Syathibi, pakar fiqh mazhab Maliki, hukum jual beli bisa berubah menjadi wajib pada situasi tertentu, misalnya ketika terjadi praktik ihtikar (monopoli atau penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik). Pemerintah boleh turun tangan mewajibkan pedagang menjual barangnya sesuai ketentuan pemerintah.
Hukum jual beli juga bisa menjadi haram , misalnya ketika berkumandang azan Jum’at, meskpiun akadnya tetap sah.
Rukun dan Syarat Jual Beli
Menurut Jumhur Ulama, rukun jual beli ada 4, yaitu
a) Adanya orang-orang yang berakad (al-muta’aqidain) ,
b) Sighat (ijab dan qabul) ,
c) Barang yang dibeli (mabi’) , dan
d) Nilai tukar pengganti (tsaman) .
Menurut Mazhab Hanafi, rukun jual beli hanya satu yaitu adanya kerelaan kedua belah pihak (‘an taradhin minkum) . Indikatornya tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga. Sedangkan syarat jual beli menurut mazhab Hanafi adalah orang yang berakad, barang yang dibeli dan nilai tukar barang.
SYARAT ORANG YANG BERAKAD yaitu: baligh, berakal, memiliki barang yang ia jual atau yang menggantikannya. saling ridlo antara penjual dan pembeli, cakap hukum (memiliki kompetensi dalam melakukan aktifitas jual beli), dan sukarela (tidak dalam keadaan dipaksa atau terpaksa atau dibawah tekanan) sesuai dengan keterangan ayat di atas, An-Nisa’ ayat 29.
SYARAT IJAB QABUL (SIGHOT) Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya ”Saya jual barang ini sekian” sedangkan qobul adalah ucapan si pembeli. Yaitu harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad, antara ijab dan qabul harus selaras baik spesifikasi barang dan harga yang disepakati, tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi pada kejadian yang akan datang. Menurt Nawawi, Mutawalli, Bagawi, dan beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut adat telah berlaku bahwa hal seperti itu sudah dipandang sebagai jual beli, itu saja sudah cukup, karena tidak ada daliluntuk mewajuibkan suatu lafadz.
SYARAT BARANG YANG DIPERJUAL BELIKAN yakni barang itu ada, dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia, merupakan hak milik penuh pihak yang berakad (milik sediri) , dapat diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati, diketahui oleh sipenjual dan pembeli :zat, bentuk, kadar ukuran, dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak terjadi kecoh mengecoh, tidak termasuk yang diharamkan atau dilarang (seperi benda najis), dan syarat nilai tukar atau harga barang harus diketahui secara pasti.
SYARAT NILAI TUKAR yaitu harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya, dapat diserahkan pada waktu akad atau transaksi, apabila jual beli dilakukan dengan sisten barter, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yanh diharamkan syara’.
Manfaat dan Hikmah Jual Beli
Allah mensyri’atkan jual beli sebagai penberian keluangan dan keleluasaan dari-NYA untuk hamba-hamba-NYA, yang sangat membawa manfaat bagi manusia diantaranya:
a) Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
b) Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan.
c) Masing-masing pihak merasa puas, baik ketika penjual melepas barang dagangannya dengan imbalan, maupun pembeli membayar dan menerima barang.
d) Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram atau secara bathil.
e) Penjual dan pembeli mendapat rahmat Allah Swt. Bahkan 90% sumber rezeki berputar dalam aktifitas perdagangan.
f) Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
Sedangkan hikmah jual beli yaitu: Allah Swt mensyari’atkan jual beli sebagai bagian dari bentuk ta’awun (saling menolong) antar sesama manusia, juga sebagai pemberian keleluasaan, karena manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, papan dsb. Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak seorangpun dapat memenuhi seluruh hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan satu sama lain dalam bentuk saling tukar barang. Manusia sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu jual beli adalah salah satu jalan untuk mendapatkannya secara sah. Dengan demikian maka akan mudah bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya
Pembagian Jual Beli
Jual beli yang tidak sah karena tidak kurang syrat dan rukunya
1. Jual beli barang yang zatnya haram najis atau tidak boleh diperjualbelikan. 2. Jual beli yang dilarang karena belum jelas (sama-samar), antara lain: jual beli buah-buahan yang belum tampak hasilnya, jual beli barang yang belum tampak, seperti menjual ikan di kolam, menjual anak ternak yang masih dalam kandungan. 3. Jual beli bersyarat. 4. Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti menjual narkoba, buku atau vcd porno, lambang-lambang salib dsb. 5. Jual beli yang dilarang karena dianiaya, seperti menjual anak binatang yang masih begantung kepada induknya. 6. Muhaqalah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di sawah. 7. Mukhadharah, menjual buah-buahan yang masih hijau (belum pantas dipanen) 8. Mulamasah, jual beli secara sentuh menyentuh. Misal, orang yang menyentuh sehelai kain atau barang berarti dianggap/diharuskan membeli barang tersebut. 9. Munabadzah, jual beli secara lempar melempar, seperti seseorang berkata: “Lemparkan kepadaku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku.” Setelah lempar-melempar terjadilah jual beli. 10. Muzabanah, menjual buah yang basah dengan buah yang kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah, sedangkan ukurannya dengan ditimbang, sehingga akan merugikan pemilik padi kering.
Jual beli sah tapi terlarang
1. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dari haga pasar sedang ia tidak ingin barang itu, tetapi semata-mata supayaorang lain tidak dapat membeli barang itu.
2. Membeli barang yang sudah dibeli orang lain yang masih dalam masa khiyar
3. menjual sesuatu yang berguna untuk menjadi alat maksiat
KHIYAR
Secara etimologi, khiyar berarti pilihan. Secara terminologi, khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara: melangsungkan atau membatalkan (jual beli). Atau, hak-hak menentukan pilihan antara dua hal bagi pembeli dan penjual, apakah akad jual beli akan diteruskan atau dibatalkan, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.
Hukum khiyar mubah (dibolehkan), karena keperluan mendesak serta mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Dalil Tentang Khiyar Dari Ibnu Umar Ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan jual-beli dan masing-masing orang tidak mengurungkan jual-beli, maka jadilah jual-beli itu." Muttafaq Alaihi. Dan lafadznya menurut riwayat Muslim.
Macam-macam Khiyar
a. Khiyar Majlis, yaitu hak pilih dari kedua belah pihak yang berakad untuk meneruakan atau membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majlis akad (toko) dan belum berpisah badan. Sabda Rasulullah:
“Dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan atau tidak) selema keduanya bercerai dari tempat akad” (Riwayat Bukhori dan Muslim)
b. Khiyar ‘Aib, (cacat) yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada obyek yang diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.
c. Khiyar Syarat, yaitu hak pilih yang dijadikan syarat oleh keduanya (pembeli dan penjual), atau salah satu dari keduanya sewaktu terjadi akad untuk meneruskan atau membatalkan akadnya itu, agar dipertimbangkan setelah sekian hari. Lama syarat yang diminta maksimal 3 hari.
Sabda Rasulullah;
“Engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam” (Riwayat Baihaqi dan Ibn Majjah)
Hikmah Khiyar
Membuat akad jual beli berlangsung menurut prinsip-prinsip Islam, yaitu kerelaan dan ridha antara penjual dan pembeli.
Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan akad jual beli, sehingga pembeli mendapatkan barang dagangan yang baik, sepadan pula dengan harga yang dibayar.
Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli, dan mendidiknya agar bersikap jujur dalam menjelaskan keadaan barangnya.
Terhindar dari unsur-unsur penipuan dari kedua belah pihak, karena ada kehati-hatian dalam proses jual beli.
Khiyar dapat memelihara hubungan baik antar sesama. Sedangkan ketidakjujuran atau kecurangan pada akhirnya akan berakibat penyesalan yang mengarah pada kemarahan, permusuhan, dendam dan akibat buruk lainnya.
Hukum-hukum Jual Beli
1. Mubah (boleh) merupakan asal hukum jual beli
2. Wajib, umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa; begitu juga kadi menjual harta muflis (orang yang lebih banyak hutangnya dari pada hartanya).
3. Haram, sebagaimana yang telah diterangkan pada jula beli yang dilarang
4. Sunnat, misalnya jual beli kepada orang yang sangat membutuhkan barang itu.
B. HAKEKAT UTANG PIUTANG
Pengertian Utang Piutang
Hutang-piutang menurut syara ialah aqad untuk memberikan sesuatu benda yang ada harganya atau berupa uang dari seseorang kepada orang lain yang memerlukan dengan perjanjian orang yang berutang akan mengembalikan dengan jumlah yang sama.
Hukum Utang Piutang
Orang yang berhutang hukumnya mubah (boleh), sedangkan orang yang memberi pinjaman hukumnya sunnah, sebab ia termasuk orang yang menolong sesamanya. Hukum ini dapat berubah menjaid wajib jika orang yang meminjam itu benda-benar dalam keadaan terdesak, misalnya hutang beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan, dan lain sebagainya.
Rasulullah SAW bersabda : Dari Ibnu Mas'ud ra, sesungguhnya Nabi SAW telah besabda "Seorang muslim yang memberi pinjaman kepada seorang muslim dua kali, seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali". (HR. Ibnu Majah)
Antara orang yang menghutangi dengan orang yang berhutang dilarang memberikan sayarat agar dalam pengembalian hutang itu dilebihkan nilainya. Sebagai contoh, sewaktu terjadi aqad, orang yang mengutangi sebesar Rp. 50.000 memberi syarat nanti ketika yang berutang mengembalikan hutangnya dalam jangka waktu 3 bulan menjadi Rp. 55.000. Tambahan itu tidak halal dan termasuk riba. Jika tambahan itu tidak disyaratkan pada waktu aqad tetapi secara sukarela dari orang yang meminjam tidak termasuk riba, bahkan dianjurkan.
Rasulullah SAW bersabda :"Maka sesungguhnya sebaik-baik kamu ialah orang yang sebaik-baiknya pada waktu membayar hutang." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW telah berhutang binatang ternak, kemudian beliau membayar dengan binatang yang lebih besar umurnya daripada binatang yang beliau pinjam itu, dan Rasulullah bersabda : "Orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang membayar hutangnya dengan yang lebih baik." (HR. Ahmad At-Turmudzi dan disahkannya).
Rukun Utang Piutang
1. Lafaz.( kalimat mengutangi) seperti: “saya uatangkan ini kepada engkau” jawab yang berhutang “ saya mengaku berhutang kepada engkau”
2. yang berpiutang dan yang berhutang
3. Barang yang dihutangkan
Menambah Bayaran
Melebihkan bayaran dari sebanyak hutang, kalau kelebihan itu memang kemauan yang berhutang dan tidak atas perjanjian sebelumnya, maka kelebihan itu boleh (halal) bagi yang mengutangkannya, dan menjadi kebaikan untuk orang yang memebayar utang.
C. HAKEKAT RIBA
Pengrtian Riba
"Ar-ribaa" menurut bahasa artinya az-ziyaadah yaitu tambahan atau kelebihan. Riba menurut istilah syara' ialah suatu aqad perjanjian yang terjadi dalam tukar-menukar suatu barang yang tidak diketahui sama atau tidaknya menurut syara' atau dalam tukar-menukar itu disyaratkan dengan menerima salah satu dari dua barang.
Hukum Riba
Riba hukumnya haram dan Allah melarang untuk memakan barang riba. Allah SWT berfirman :"sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah : 275).
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. Ali Imran : 130).
Jika Allah melarang hamba untuk memakan riba, maka Allah juga menjanjikan untuk melipat-gandakan orang yang dengan ikhlas mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah. Allah SWT berfirman :
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah." (QS. Al-Baqarah : 276).
Rasulullah SAW bersabda :Dari Jabir ra, ia berkata, Rasulullah SAW telah melaknat ornag-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya dan (selanjutnya Nabi bersabda) mereka itu semua sama saja." (HR. Muslim).
Jenis-jeni Riba
Menurut pendapat sebagian ulama’, riba itu da empat macam:
1) Riba Fadhl, yaitu tukar-menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh yang menukarkan. Contoh, tukar-menukar emas dengan emas, beras dengan beras, dengan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkannya.
2) Riba Qardhi, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjami. Contoh, A meminjam uang kepada B sebesar Rp. 5.000 dan B mengharuskan kepada A mengembalikan uang itu sebesar Rp. 5.500. Tambahan lima ratus rupiah adalah riba qardhi.
3) Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat aqad jual-beli sebelum serah terima. Misalnya orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, antara penjual dan pembeli berpisah sebelum serah terima barang itu.
4) Riba Nasiah, yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis atau jua-beli yang bayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan dilambatkan. Contoh, A membeli arloji seharga Rp. 500.000. Oleh penjual disyaratkan membayarnya tahun depan dengan harga Rp. 525.000. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun dinamakan riba nasiah.
Rasulullah SAW bersabda :
Dari Samurah bin Jundub ra, sesungguhnya Nabi SAW telah melarang jual-beli bintang dengan binatang yang pembayarannya diakhirkan." (HR. Lima ahli hadits dan disahkan oleh At-Turmudzi dan Abu Dawud).
BAB III
KESIMPULAN
A. Secara terminologi, jual-beli adalah pertukaran harta dengan harta yang lain berdasarkan tujuan tertentu, atau pertukaran sesuatu yang disukai dengan yang sebanding atas dasar tujuan yang bermanfaat dan tertentu, serta diiringi dengan ijab dan qabul . Menurut Sayyid Sâbiq, jual-beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan
Rukun dan syarat Jual beli
a. Adanya orang-orang yang berakad (al-muta’aqidain) , syaratnya: merdeka, baligh, berakal, saling ridlo antara penjual dan pembeli, memiliki kompetensi dalam melakukan aktifitas jual beli
b. Sighat (ijab dan qabul) , syaratnya, ijab dan qabul harus selaras baik spesifikasi barang dan harga yang disepakati, tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi pada kejadian yang akan datang
c. Barang yang dibeli (mabi’) , syaratnya: suci, ada manfaat, barang dapat diserahkan, barang milik penuh penjual,barang diketahui sipenjual dan pembeli
d. Nilai tukar pengganti (tsaman) . harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya, dapat diserahkan pada waktu akad atau transaksi, apabila jual beli dilakukan dengan sisten barter, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yanh diharamkan syara’.
B. Utang piutang adalah aqad untuk memberikan sesuatu benda yang ada harganya atau berupa uang dari seseorang kepada orang lain yang memerlukan dengan perjanjian orang yang berutang akan mengembalikan dengan jumlah yang sama.
Hukum utang piutang
Orang yang berhutang hukumnya mubah (boleh), sedangkan orang yang memberi pinjaman hukumnya sunnah.
Rukun Utang Piutang: Lafaz.( kalimat mengutangi) , yang berpiutang dan yang berhutang, barang yang dihutangkan
C. Riba adalah suatu aqad perjanjian yang terjadi dalam tukar-menukar suatu barang yang tidak diketahui sama atau tidaknya menurut syara' atau dalam tukar-menukar itu disyaratkan dengan menerima salah satu dari dua barang.
Riba hukumnya haram dan Allah melarang untuk memakan barang riba Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah : 275).
Jenis Riba
a. Riba Fadhl, yaitu tukar-menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh yang menukarkan
b. Riba Qardhi, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjami
c. Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat aqad jual-beli sebelum serah terima.
d. Riba Nasiah, yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun tidak sejenis atau jua-beli yang bayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan dilambatkan
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, sayyid. 1998. Fiqh Sunnah. Bandung : al- ma’arif
As’ad, aliy. 1979. Fathul Mu’in. Kudus: Menara Kudus
Rasjid, Sulaiman. 2003. Fiqh Islam. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung
Hasan, Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Amar, Abu Imron.1982. Fathul Qorib. Kudus: Menara Kudus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar