Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan umat manusia, maka internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Pendidikan Agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi religius dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi religius mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi religius tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya standar kompetesi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri:
a. Lebih menitik beratkan pencapaian kompetensi secata utuh selain penguasaan materi.
b. Mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
c. Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersedian sumber daya pendidikan.
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, taqwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
Kalau ditilik dari tinjauan pendidikan nasional, visi dan misi pendidikan nasional sekurang-kurangnya diorientasikan kepada usaha pembebasan bangsa dari himpitan berbagai persoalan yang sebagian telah diuraikan. Beberapa hal mengenai prisip-prinsip strategis pengembangan pendidikan nasional dapat diuraikan di sini, sebagai berikut.
a. Orientasi pengembangan sumber daya. Hal demikian dapat dimaknai: Pertama, keputusan-keputusan pendidikan selalu mengacu ke masa depan. Kalkulasi yang kita buat adalah seberapa jauh pemikiran dan langkah tindakan pendidikan merupakan sesuatu yang dibutuhkan di masa depan. Kedua, pendidikan merupakan usaha menyiapkan manusia, khususnya generasi muda untuk kehidupan masa depan. Dalam pengertian ini pendidikan diorientasikan berfungsi sebagai antisipatiry learning system. Melalui orientasi ini dipahami bahwa keterpurukan bangsa ini bisa diobati dan disembuhkan dengan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh yang berwujud manusia-manusia yang cerdas secara intelektual, sosial, dan spiriual, serta memiliki dedikasi dan disiplin, jujur, tekun, ulet, dan inovatif.
b. Pengembangan menuju pendidikan multikulturalis. Nabi Muhammad saw. pada empat belas abad yang lalu mengajarkan prinsip integrasi sosial untuk membagun sebuah masyarakat madani (civil society, masyarakat berkeadaban). Islam, khususnya dan utamanya, menjadikan rujukan nilai, pengetahuan dan tindakan bagi para penganutnya untuk ber-ta’aruf dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat yang berbeda latar belakang agama, sosial, dan budaya. Prinsip seperti inilah yang hendaknya kita transformasikan kembali ke dalam kerangka pendidikan untuk menghadapi masyarakat yang sedang dilanda konflik. Dalam masyarakat (dalam negeri maupun internasional) yang demikian majemuk, pendidikan perlu dikemas dalam watak multikultural, ramah menyapa perbedaan agama, sosial, dan budaya.
c. Spiritual watak kebangsaan sebagai fondasi dari bangunan kebangsaan adalah iman. Secara historis-empiris kehidupan Nabi Muhammad saw. memberikan pengalaman keberhasilan dalam membangun peradaban masyarakat yang pada zamannya telah dilanda krisis identitas yang parah, yang dikenal denga masyarakat jahiliyah. Keberhasilan itu tidak lain bertumpu pada jiwa keimanan ang dibangun secara berkesinambungan (sustuinable) sehingga sampai pada proses spiritualisasi berbagai aturan hidup untuk membangun suatu bangsa yang beradab. Percaya dan bisa dipercaya adalah inti keimanan seseorang.
Dengan demikian pendidikan agama Islam diharapkan dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai religius yang dapat diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan yang saling terkait satu sama lainnnya, yaitu:
a. Creative values (nilai-nilai kreatif), dalam hal ini berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan termasuk usaha merealisasikan nilai-nilai kreatif.
b. Experimental values (nilai-nilai penghayatan); meyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan nilai-nilai yang dianggap berharga.
c. Attitudinal values (nilai-nilai bersikap); menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tak dapat dihindari lagi setelah melakukan upaya secara optimal, tetapi tidak berhasil mengatasinya.
Menurut Sukidi, religiusitas pendidikan mendasarkan bangunan epistimologinya ke dalam tiga kerangka ilmu yaitu: dasar filsafat, tujuan, dan nilai serta orientasi pendidikan. Pertama, dasar filsafat religiusitas pendidikan adalah filsafat teosentrisme yang menjadikan Tuhan sebagai pijakannya. Kedua, tujuan religiusitas pendidikan diarahkan untuk membangun kehidupan duniawi melalui pendidikan sebagai wujud pengabdian kepada-Nya. Hal tersebut bisa diartikan bahwa kehidupan duniawi bukan tujuan final, tetapi sekadar gerbong menuju kehidupan yang kekal dan abadi sebagai tujuan final perjalanan hidup manusia. Ketiga, nilai dan orientasi religiusitas pendidikan menjadikan iman dan taqwa sebagai ruh dalam setiap proses pendidikan yang dijalankan.
Berdasarkan ketiga kerangka konsep religiusitas pendidikan di atas dapat diartikan bahwa religiusitas pendidikan menumbuhkan kecerdasan spiritual kepada siswa dalam pendidikan dan kehidupan. Religiusitas pendidikan melalui kecerdasan spiritual juga memberi guide line kepada guru untuk mengajarkan arti pentingnya religiusitas kepada para peserta didiknya. Religiusitas pendidikan menajamkan kualitas kecerdasan spiritual terhadap guru maupun siswa, hal tersebut dilakukan dengan menginternalisasikan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebajikan, kebersamaan, kesetiakawanan sosial kepada siswa sejak usia dini, dan untuk guru juga dapat memperoleh hal tersebut melalui sikap keteladan dalam setiap proses yang terjadi dalam pendidikan. Semua hal tersebut tentu saja tidak bisa terlepas dari peran Pendidikan Agama Islam beserta pengembangannya termasuk dalam mewujudkan budaya religius sekolah.
Bila dicermati bahwa kenyataan-kenyataan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, pendidikan sebagai praksis pembangunan bangsa menampakkan wujudnya dalam berbagai pranata (institusi) pendidikan, seperti guru dan pemimpin pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga keagamaan, pusat-pusat keilmuan, dan pusat-pusat seni dan budaya. Melalui pranata-pranata kependidikan itu, berbagai kekuatan pendidikan mejadi kekuatan riil bagi proses pembangunan bangsa berarti pula memfungsikan dan mendinamiskan peranan pranata-pranata kependikan itu secara terpadu dan berkelanjutan.
Untuk mengetahui peranan pranata-pranata kependidikan tersebut, di bawah ini akan diurai secara garis besar sebagai berikut:
Pertama, peranan guru dan pemimpin pendidikan. Semua pihak melihat dan merasakan bahwa keberadaan serta kiprah guru dan pemimpin pendidikan di mana saja berada dan dari waktu ke waktu, merupakan kunci terlaksananya berbagai bentuk dan jenis kegiatan pendidikan formal dan nonformal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat (komunitas basis). Bahkan, dapat dikatakan merekalah yang paling mengetahui dan merasakan betapa berat misi dan tangung jawab yang diemban dan harus dilaksanakan dalam rangka mencerdasakan dan memajukan peserta didiknya menjadi warga bangsa yang maju (modern) dan berkeadaban.
Kedua, peranan lembaga-lembaga pendidikan formal seperti sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi. Dunia sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi merupakan perwujudan yang dibangun dan dikembangkan atas dasar sistem dan kebijakan tertentu untuk mewujudkan pendidikan formal secara nasional. Apa yang disebut sebagai “sistem pendidikan nasional”, pada dasarnya adalah serangkaian kebijakan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan nasional yang “berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan Pancasila dan UUD1945”.
Ketiga, peranan lembaga-lembaga keagamaan sebagai wadah kegiatan pendidikan yang bersifat khusus dan nonformal, seperti pondok pesantren, tempat-tempat ibadah, dan organisasi-organisasi sosial keagamaan. Keberadan dan kiprah lembaga-lembaga keagamaan itu terus tumbuh dan berkembang semakin kokoh serta berakar pada tataran komunitas basis umat. Peranan yang paling menonjol bisa ditunjukkan, di antaranya adalah: a) menerjemahkan nilai-nilai dan noma-norma agama sebagai kekuatan yang mendasari cita-cita dan motivasi berbagai kegiatan dalam seluruh aspek kehidupan; b) mendorong dan membimbing masyarakat dan umat ke arah kemajuan melalui ikatan-ikatan sosial dan kultural maupun tradisi-tradisi yang dimilikinya; dan c) menanamkan sifat-sifat dan perilaku yang terpuji dan luhur bagi terciptanya peradaban yang religius.
Keempat, peranan pusat-pusat keilmuan sebagai wadah kegiatan penelitian, pembelajaran, dan pelatihan. Peran pusat-pusat keilmuan itu antara lain: a) memanaj sumber-sumber keilmuan itu sebagai kekuatan yang mendukung pendidikan akademis, profesi, dan ketrampilan; b) menjembatani dan menginformasikan sumber-sumber keilmuan itu untuk memajukan dan memperbarui sistem dan kebijakan pendidikan nasional; dan c) memelihara dan sekaligus mengembangkan sumber-sumber keilmuan itu sebagai bagian dari kenyataan dan kebanggaan bangsa dan negara.
Kelima, peranan pusat-pusat seni dan budaya sebagai wadah kegiatan pendidikan dan kebudayaan, seperti museum dan sanggar-sanggar seni beserta budaya yang tersebar di berbagai daerah. Peran utamanya antara lain: a) menerjemahkan nilai-nilai seni dan budaya sebagai landasan proses pembangunan bangsa; b) memposisikan seni dan budaya sebagai kekuatan riil dalam proses pembangunan bangsa; dan c). Memelihara dan mengembangkan seni dan budaya sebagai kekayaan dan kebanggaan bangsa.
Rujukan:
1. Malik Fadjar. Holistika Pemikiran Pendidikan. Bandung: Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 71-72.
2. Komaruddin Hidayat dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Eds), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal. xii-8.
3. Malik Fadjar, Visi Pendidikan Islam, Jakarta Pusat: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI), 1998, hal. 31
4. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya, 2001, hal. 291
5. http://www.puskur.net/inc/si/smp/PendidikanAgamaIslam.pdf. hal. 1
6. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0206/25/opini/spir04.htm
Pendidikan Agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi religius dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi religius mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi religius tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya standar kompetesi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri:
a. Lebih menitik beratkan pencapaian kompetensi secata utuh selain penguasaan materi.
b. Mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia.
c. Memberikan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan ketersedian sumber daya pendidikan.
Pendidikan Agama Islam diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, taqwa, dan akhlak, serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global.
Kalau ditilik dari tinjauan pendidikan nasional, visi dan misi pendidikan nasional sekurang-kurangnya diorientasikan kepada usaha pembebasan bangsa dari himpitan berbagai persoalan yang sebagian telah diuraikan. Beberapa hal mengenai prisip-prinsip strategis pengembangan pendidikan nasional dapat diuraikan di sini, sebagai berikut.
a. Orientasi pengembangan sumber daya. Hal demikian dapat dimaknai: Pertama, keputusan-keputusan pendidikan selalu mengacu ke masa depan. Kalkulasi yang kita buat adalah seberapa jauh pemikiran dan langkah tindakan pendidikan merupakan sesuatu yang dibutuhkan di masa depan. Kedua, pendidikan merupakan usaha menyiapkan manusia, khususnya generasi muda untuk kehidupan masa depan. Dalam pengertian ini pendidikan diorientasikan berfungsi sebagai antisipatiry learning system. Melalui orientasi ini dipahami bahwa keterpurukan bangsa ini bisa diobati dan disembuhkan dengan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang tangguh yang berwujud manusia-manusia yang cerdas secara intelektual, sosial, dan spiriual, serta memiliki dedikasi dan disiplin, jujur, tekun, ulet, dan inovatif.
b. Pengembangan menuju pendidikan multikulturalis. Nabi Muhammad saw. pada empat belas abad yang lalu mengajarkan prinsip integrasi sosial untuk membagun sebuah masyarakat madani (civil society, masyarakat berkeadaban). Islam, khususnya dan utamanya, menjadikan rujukan nilai, pengetahuan dan tindakan bagi para penganutnya untuk ber-ta’aruf dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat yang berbeda latar belakang agama, sosial, dan budaya. Prinsip seperti inilah yang hendaknya kita transformasikan kembali ke dalam kerangka pendidikan untuk menghadapi masyarakat yang sedang dilanda konflik. Dalam masyarakat (dalam negeri maupun internasional) yang demikian majemuk, pendidikan perlu dikemas dalam watak multikultural, ramah menyapa perbedaan agama, sosial, dan budaya.
c. Spiritual watak kebangsaan sebagai fondasi dari bangunan kebangsaan adalah iman. Secara historis-empiris kehidupan Nabi Muhammad saw. memberikan pengalaman keberhasilan dalam membangun peradaban masyarakat yang pada zamannya telah dilanda krisis identitas yang parah, yang dikenal denga masyarakat jahiliyah. Keberhasilan itu tidak lain bertumpu pada jiwa keimanan ang dibangun secara berkesinambungan (sustuinable) sehingga sampai pada proses spiritualisasi berbagai aturan hidup untuk membangun suatu bangsa yang beradab. Percaya dan bisa dipercaya adalah inti keimanan seseorang.
Dengan demikian pendidikan agama Islam diharapkan dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai religius yang dapat diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan yang saling terkait satu sama lainnnya, yaitu:
a. Creative values (nilai-nilai kreatif), dalam hal ini berbuat kebajikan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi lingkungan termasuk usaha merealisasikan nilai-nilai kreatif.
b. Experimental values (nilai-nilai penghayatan); meyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan nilai-nilai yang dianggap berharga.
c. Attitudinal values (nilai-nilai bersikap); menerima dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tak dapat dihindari lagi setelah melakukan upaya secara optimal, tetapi tidak berhasil mengatasinya.
Menurut Sukidi, religiusitas pendidikan mendasarkan bangunan epistimologinya ke dalam tiga kerangka ilmu yaitu: dasar filsafat, tujuan, dan nilai serta orientasi pendidikan. Pertama, dasar filsafat religiusitas pendidikan adalah filsafat teosentrisme yang menjadikan Tuhan sebagai pijakannya. Kedua, tujuan religiusitas pendidikan diarahkan untuk membangun kehidupan duniawi melalui pendidikan sebagai wujud pengabdian kepada-Nya. Hal tersebut bisa diartikan bahwa kehidupan duniawi bukan tujuan final, tetapi sekadar gerbong menuju kehidupan yang kekal dan abadi sebagai tujuan final perjalanan hidup manusia. Ketiga, nilai dan orientasi religiusitas pendidikan menjadikan iman dan taqwa sebagai ruh dalam setiap proses pendidikan yang dijalankan.
Berdasarkan ketiga kerangka konsep religiusitas pendidikan di atas dapat diartikan bahwa religiusitas pendidikan menumbuhkan kecerdasan spiritual kepada siswa dalam pendidikan dan kehidupan. Religiusitas pendidikan melalui kecerdasan spiritual juga memberi guide line kepada guru untuk mengajarkan arti pentingnya religiusitas kepada para peserta didiknya. Religiusitas pendidikan menajamkan kualitas kecerdasan spiritual terhadap guru maupun siswa, hal tersebut dilakukan dengan menginternalisasikan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebajikan, kebersamaan, kesetiakawanan sosial kepada siswa sejak usia dini, dan untuk guru juga dapat memperoleh hal tersebut melalui sikap keteladan dalam setiap proses yang terjadi dalam pendidikan. Semua hal tersebut tentu saja tidak bisa terlepas dari peran Pendidikan Agama Islam beserta pengembangannya termasuk dalam mewujudkan budaya religius sekolah.
Bila dicermati bahwa kenyataan-kenyataan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, pendidikan sebagai praksis pembangunan bangsa menampakkan wujudnya dalam berbagai pranata (institusi) pendidikan, seperti guru dan pemimpin pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga keagamaan, pusat-pusat keilmuan, dan pusat-pusat seni dan budaya. Melalui pranata-pranata kependidikan itu, berbagai kekuatan pendidikan mejadi kekuatan riil bagi proses pembangunan bangsa berarti pula memfungsikan dan mendinamiskan peranan pranata-pranata kependikan itu secara terpadu dan berkelanjutan.
Untuk mengetahui peranan pranata-pranata kependidikan tersebut, di bawah ini akan diurai secara garis besar sebagai berikut:
Pertama, peranan guru dan pemimpin pendidikan. Semua pihak melihat dan merasakan bahwa keberadaan serta kiprah guru dan pemimpin pendidikan di mana saja berada dan dari waktu ke waktu, merupakan kunci terlaksananya berbagai bentuk dan jenis kegiatan pendidikan formal dan nonformal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat (komunitas basis). Bahkan, dapat dikatakan merekalah yang paling mengetahui dan merasakan betapa berat misi dan tangung jawab yang diemban dan harus dilaksanakan dalam rangka mencerdasakan dan memajukan peserta didiknya menjadi warga bangsa yang maju (modern) dan berkeadaban.
Kedua, peranan lembaga-lembaga pendidikan formal seperti sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi. Dunia sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi merupakan perwujudan yang dibangun dan dikembangkan atas dasar sistem dan kebijakan tertentu untuk mewujudkan pendidikan formal secara nasional. Apa yang disebut sebagai “sistem pendidikan nasional”, pada dasarnya adalah serangkaian kebijakan pemerintah dalam mewujudkan pendidikan nasional yang “berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan Pancasila dan UUD1945”.
Ketiga, peranan lembaga-lembaga keagamaan sebagai wadah kegiatan pendidikan yang bersifat khusus dan nonformal, seperti pondok pesantren, tempat-tempat ibadah, dan organisasi-organisasi sosial keagamaan. Keberadan dan kiprah lembaga-lembaga keagamaan itu terus tumbuh dan berkembang semakin kokoh serta berakar pada tataran komunitas basis umat. Peranan yang paling menonjol bisa ditunjukkan, di antaranya adalah: a) menerjemahkan nilai-nilai dan noma-norma agama sebagai kekuatan yang mendasari cita-cita dan motivasi berbagai kegiatan dalam seluruh aspek kehidupan; b) mendorong dan membimbing masyarakat dan umat ke arah kemajuan melalui ikatan-ikatan sosial dan kultural maupun tradisi-tradisi yang dimilikinya; dan c) menanamkan sifat-sifat dan perilaku yang terpuji dan luhur bagi terciptanya peradaban yang religius.
Keempat, peranan pusat-pusat keilmuan sebagai wadah kegiatan penelitian, pembelajaran, dan pelatihan. Peran pusat-pusat keilmuan itu antara lain: a) memanaj sumber-sumber keilmuan itu sebagai kekuatan yang mendukung pendidikan akademis, profesi, dan ketrampilan; b) menjembatani dan menginformasikan sumber-sumber keilmuan itu untuk memajukan dan memperbarui sistem dan kebijakan pendidikan nasional; dan c) memelihara dan sekaligus mengembangkan sumber-sumber keilmuan itu sebagai bagian dari kenyataan dan kebanggaan bangsa dan negara.
Kelima, peranan pusat-pusat seni dan budaya sebagai wadah kegiatan pendidikan dan kebudayaan, seperti museum dan sanggar-sanggar seni beserta budaya yang tersebar di berbagai daerah. Peran utamanya antara lain: a) menerjemahkan nilai-nilai seni dan budaya sebagai landasan proses pembangunan bangsa; b) memposisikan seni dan budaya sebagai kekuatan riil dalam proses pembangunan bangsa; dan c). Memelihara dan mengembangkan seni dan budaya sebagai kekayaan dan kebanggaan bangsa.
Rujukan:
1. Malik Fadjar. Holistika Pemikiran Pendidikan. Bandung: Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 71-72.
2. Komaruddin Hidayat dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Eds), Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal. xii-8.
3. Malik Fadjar, Visi Pendidikan Islam, Jakarta Pusat: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI), 1998, hal. 31
4. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya, 2001, hal. 291
5. http://www.puskur.net/inc/si/smp/PendidikanAgamaIslam.pdf. hal. 1
6. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0206/25/opini/spir04.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar