STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 09 Februari 2013

Akhlaq Tasawuf: AL HULUL

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama atau ajaran yang tidak hanya mengajarkan masalah-masalah eksternal dalam membimbing manusia untuk mengetahui jalan hidup yang harus dilalui, tapi juga mengajarkan hal-hal yang bersifat internal dalam sisi-sisi humanis dengan teologi dan implementasinya, telah diinterprestasikan oleh pemeluknya dengan berbagai wacana dan pergulatan pemikiran yang sangat beragam.
Salah satu pemikiran yang paling rawan dalam konflik adalah pemikiran-pemikiran Tasawuf. Pembahasan Tasawuf adalah pembahasan yang banyak berkutat dengan hal-hal yang metafisik. Sehingga dibutuhkan penguasaan metodologi dan pengalaman langsung untuk memudahkan kita menjelaskan apa yang sebenarnya dialami tokoh-tokohnya saat menuangkan gagasan dan tindakannya sebagai manifestasi keyakinannya.
Dalam makalah ini penulis mencoba menguraikan sedikit tentang pemikiran dan ajaran Tasawuf  “Al Hulul”. Semoga dari apa yang penulis akan paparkan bisa menambah wawasan kita tentang masalah-masalah spiritual keagamaan. Terutama dalam agama Islam.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ingin penulis angkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Pengertian konsep Al Hulul
2.      Bagaimana proses Hulul terjadi
3.      Siapa tokoh pencetus dan pengembang paham Al Hulul
C. Tujuan
Yang menjadi motivasi dan tujuan penulis makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian tentang konsep Al Hulul
2.      Memberi pengertian tentang proses terjadinya Hulul
3.      Untuk mengetahui tokoh pencetus dan pengembang paham Al Hulul
 
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AL HULUL
Secara etimologi, “Hulul” berasal dari kata “Halla yahlul-hululan” yang berarti menempati. Al hulul dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi hulul secara bahasa berarti “Tuhan menngambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yang telah lenyap sifat kemanusiaannya melalui fana’.[1] Adapun menurut istilah, hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih  tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh manusia itu dilenyapkan. Menurut Abu Nasr al Tusi dalam al Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, Hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran Al Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut berasal dari perkataan ilah yang berarti Tuhan atau sifat ketuhanan. Sedangkan nasut berasal dari perkataan nas yang berarti manusia atau sifat kemanusiaan. Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya yang bernama al Thawasin.[2]
Menurut Al Hallaj, antara manusia dan Tuhan terdapat jarak sehingga masing-masing mempunyai hakikat sendiri-sendiri. Akan tetapi, antara dua hakikat itu terdapat kesamaan. Dengan demikian, bila kesamaan itu telah semakin mendekat, kaburlah garis pemisah antara keduanya. Ketika itu terjadilah “persatuan” (hulul) antara Al Haqq dengan manusia.[3]
Pemikiran Al Hallaj tentang kebersatuan manusia dengan Tuhan yang kemudian mengkristal dalam terma Al Hulul merupakan salah satu bentuk Ittihad. Ittihad yang dimaksud di sini adalah suatu tingkatan dalam tasawuf, ketika seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan saat yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu.[4]
Pemikiran Al Hulul dari Al Hallaj bermula dari pendapatnya yang mengatakan bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Untuk dasar pemikiran itu, ia menta’wilkan ayat Al Qur’an yang menyerukan agar malaikat bersujud untuk Adam. Karena yang berhak untuk diberi sujud hanyalah Allah, maka Al Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan. 
Ia berpendapat demikian karena sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dipahami dari Firman Allah yang berbunyi :
      ﻰﺒﺍ ﺲﻴﻟﺒﺍ ﻻﺍ ﺍﻭ ﺩﺠﺴﻓ ﻡ ﺩﻷ ﺍﻮ ﺪﺠﺴﺍ ﺔﻜﺋﻟﻣﻟﻟ ﺎﻧﻟﻘ ﺫﺍﻭ
                                   ﴾ﺓﺮﻗﺒﻠﺍ﴿  ﻦﻴﺮﻓﻜﻠﺍ ﻦﻤ ﻦﺎﻜﻭ ﺮﺒﻜﺘﺴﺍﻭ
Dan ingatlah ketika Kami berkata kepada malaikat : “Sujudlah kepada Adam”, semuanya sujud kecuali Iblis, yang enggan dan merasa besar. Ia menjadi yang tidak percaya. (QS. Al Baqarah : 34)
Paham bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentuk-Nya, dapat dipahami dari hadits yang berbunyi :
                           ﻪﺗﺮﻮﺼ  ﻰﻠﻋ ﻡ ﺩﺍ ﻖﻠﺨ ﷲﺍ ﻦﺍ
Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.
Dengan melihat ayat dan hadits tersebut, al Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah Hulul. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanya (al nasut).
Untuk melenyapkan sifat al nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah. Dengan membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil usahanya dalam melenyapkan sifat tersebut, maka yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al lahut. Pada saat itulah sifat al nasut Tuhan turun dan masuk ke dalam tubuh seorang sufi, sehingga terjadilah hulul.[5] dan peristiwa ini terjadi hanya sesaat. Pernyataan al Hallaj bahwa dirinya tetap ada, yang terjadi adalah bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya, sebagaimana ungkapan syairnya, maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluknya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minim.[6]
Berdasarkan uraian di atas, maka al Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap di mana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini, Hulul pada hakikatnya istilah lain dari al Ittihad. Tujuan dari Hulul adalah mencapai persatuan secara batin.
Hamka mengatakan, bahwa al Hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.[7]
B. TOKOH YANG MENGEMBANGKAN PAHAM AL HULUL
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al Hulul adalah al Hallaj. Nama Lengkapnya adalah Husein bin Mansur al Hallaj. Ia lahir tahun 244H (856M) di negeri Baidha, persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun ia telah pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al Tustur di negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al Makki, dan pada tahun 264H ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Mekkah selama tiga kali. Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih. Ibn Daud al Isfahani dikenal sebagai ulama fikih penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab yang hanya mementingkan zahir nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadap diri al Hallaj, sehingga al Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Setelah satu tahun, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seorang sifir penjara.
Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus, suatu wilayah yang terletak di Ahwaz. Setelah bersembunyi selama 4 tahun, dan tetap pada pendiriannya, akhirnya ia ditangkap kembali dan dimasukkan ke penjara selama 8 tahun. Akhirnya pada tahun 309H (921M) diadakan persidangan ulama di bawah pengawasan Kerajaan Bani Abbas, Khalifah Mu’tashim Billah. Dan akhirnya pada tanggal 18 Zulkaidah 309H (921M) al Hallaj dijatuhi hukuman mati. Ia dihukum bunuh, dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya, dan ditinggalkan tergantung bagian-bagian tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi ulama lainnya yang berbeda pendirian
Al Hallaj sebagai pembawa paham al Hulul, dapat dipahami dari beberapa pernyataan di bawah ini :
          ﻞﻻﺯﻠ ﺀﺎﻤﻠﺎﺒ ﺓﺮﻤﺨﻟﺍ ﺝﺯﻤﺗ ﺎﻣﻛ ﻰﺣﻭﺮ ﻰﻓ ﻚﺤﻮﺮ ﺖﺠﺰﻣ
                       ﻞﺎﺣ ﻝﻜ ﻰﻓ ﺎﻧﺍ ﺖﻨﺍ ﺍﺫﺎﻓ ﻰﻨﺴﻣ ﺀﻲﺷﻙﺴﻤ ﺍ ﺫﺎﻔ
Jiwamu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.
      ﺍﺫﺎﻓ ﺎﻨﺩﺒ ﺎﻧﻠﻟﺣ ﻦﺎﺣﻭﺮ ﻦﺣﻨ ﺎﻨﺍ ﻯﻭﻫﺍ ﻦﻤﻭ ﻯﻮﻫﺍ ﻦﻣ ﺎﻨﺍ
                       ﺎﻧﺗﺮﺻﺒﺍ ﻪﺗﺮﺻﺒﺍ ﺍﺫﺍﻭ ﻪﺘﺮﺻﺒﺍ ﻰﻨﺗﺮﺼﺒﺍ 
Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat aku engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.
Dalam paham al Hulul yang dikemukakan al Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat dicatat, yaitu :
1. Paham al Hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dari paham mahabbah sebagaimana disebutkan dibawa Rabi’ah al Adawiyah.
2. Paham al Hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Namun Harun Nasution membedakan kesatuan rohaniah yang dialami al Hallaj melalui al Hulul, dengan kesatuan rohaniah yang dialami Abu Yazid dalam al Ittihad.
Perbedaan antara Ittihad al Bustami dengan Hulul al Hallaj, dalam ittihad yang dilihat satu wujud, sedang dalam hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh. Hal ini dapat dipahami dari syair yang dinyatakan al Hallaj berikut :
               ﺎﻧﻨﻴﺒ ﻕﺮﻔﻔ ﻖﺣ ﺎﻨﺍ ﻞﺒ  ﺎﻨﺍ ﻖﺣﻠﺍﺎﻣ ﻕﺤﻠﺍﺮﺴ ﺎﻨﺍ
“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku. Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”.
Dengan ungkapan al Hallaj yang demikian itu, kita dapat menilai bahwa pada saat al Hallaj mengatakan ana al haqq sebenarnya bukanlah roh al Hallaj yang mengucapkan demikian, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat (hulul) dalam diri al Hallaj.
Al Hallaj menggambarkan uluhiyah (ketuhanan) dengan tajrid dan tanzih dan tidak terlintas dalam dirinya bahwa mengetahui Allah yang ditanzihkan merupakan sesuatu yang ada di luar kemampuan manusia. Oleh sebab itu, dia berpendapat bahwa seseorang yang berketuhanan akan mendapatkan hakikat gambar Tuhan yang diberikan Allah setelah melalui usaha keras (riyadhah dan mujahadah) dan hidup zuhud. Hal ini karena Allah menciptakan manusia sesuai gambar-Nya atau bentuk-Nya.
Al Hallaj berpendapat bahwa cinta dan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya berada di atas segala sesuatu, dan dasar cinta adalah pengorbanan (at-tadhiyah), serta tanpa diminta Dia rindu bertemu dengan yang dicintai-Nya. Oleh karena itu, para wali Allah harus menghadapkan dirinya kepada Allah semata dalam bentuk penghambaan yang utuh dan mematuhi perintah-Nya meskipun memberatkan mereka. Inilah tampaknya pemahaman agama yang dianjurkan Al Hallaj.
Dari analisis sederhana ini, dapat dilihat bahwa paham sufistik Al Hallaj dipengaruhi oleh berbagai unsur agama, paham, dan isme yang ada sebelumnya, dan tampaknya ia mengadopsi dari unsur-unsur itu, hal-hal yang sulit dipahami.
Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa pandangan-pandangan sufistik Abu Mansur Al Hallaj memanng sangat berbeda dengan paham-paham sufistik para tokoh lainnya, bahkan terkesan ganjil. Akan tetapi, keganjilan ini dapat dimaklumi, bahkan dianggap suatu kewajaran bila ditelusuri kondisi dan lingkungan yang mempengaruhi visi khasnya. Karena visi sufistiknya memang terbentuk dari unsure paham, ajaran, dan agama yang beragam, beragam pula penilaian atau kecaman yang diserahkan kepadanya. Yang jelas, dunia tasawuf terasa semakin semarak dan signifikan dengan kehadiran pandangan-pandangan yang aneh tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manshur al Hallaj dalam pengalaman spiritualnya, menemukan sebuah formulasi komunikasi ideal antara manusia dengan Tuhannya. Formulasi ini dibangun berdasarkan persepsinya yang utuh bahwa antara manusia dengan Tuhan memiliki dua sifat yang sama, yaitu al Lahut dan al Nasut. Apabila kedua sifat ini melebur jadi satu, maka berarti antara manusia dengan Allah sebagai Tuhannya bisa menyatu. Momentum menyatunya antara al Lahut dan al Nasut ini dalam teori tasawufnya Mansur al Hallaj disebut Al Hulul.

DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, et. Al, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002)
Hadi, M. Abd., Tragedi al-Hallaj, (Bandung: Pustaka, 1976)
Simuh, Tasawuf dan perkembangannya Dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 1997)
Al-Kumayi, Sulaiman, Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym, (Semarang: Pustaka Nuun, 2004)
Syukur, M. Amin, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Musthafa al Syaibi, Kamil, Syarah al-Diwan al-Hallaj, (Beirut, Maktabah, an Nahdhoh, 1974)
Mahmud, Abdul Kadir, al-Fikr al-Islami wa al-Falsafat al-Muaridlah fi al-Qadim wa al-Hadits (Mesir: Hajah al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1986)
Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Joebar, Ajoeb, The Secret of Ana Al-Haqq, (Jakarta: Rajawali, 1986)


[1] A.Qadir Mahmud, hal  .337.
[2] Harun Nasution , Filsafat dan Mitos dalam islam (Jakarta : Buana bintang , 1983 ) hlm.88
[3] Opcit, 69
[4]Ibid , 82
[5] Azyumardi Azra, et.al, op.cit , hlm. 75
[6] Kamil Mustofa
[7] Hamka, Tassawuf perkembangan dan Pemurnianya ( Jakarta : Pustaka Panjimas,1984 ) hlm 120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar