STIT AT-TAQWA CIPARAY BANDUNG

Sabtu, 09 Februari 2013

Akhlaq Tasawuf: PERBANDINGAN FILSAFAT DAN MISTISME

“Ilmu kita harus selalu disesuaikan dengan al Qur’an dan sunnah. Maka barang siapa yang tidak menghafal al Qur’an dan tidak menulis Hadis, maka ia dianggap belum paham tentang agama dan tidak layak dijadikan qadhi (hakim).” (Junaid Al-Bagdadi)[1]
A.Pendahuluan
Surah yang paling mulia dalam al Qur’an adalah surah al Fatihah, maka dapat dikatakan bahwa do’a yang paling penting ialah do’a yang terdapat dalam al Fatihah Tunjukilahk kami jalan yang lurus. (QS. [1]: 6). Kenapa kita harus memohon ash Shiraath al Mustaqiim ? pentingkah? Karena ash Shiraath al Mustaqiim adalah jalan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah Ta’ala. “Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. [1]: 7).

Di dalam Surah an Nisa’ ayat ke-69, disebut bahwa orang-orang yang telah mendapat nikmat ialah para Nabi, ash Shiddiqiin, asy Syuhada’, dan ash Shalihin. Agar Allah menempatkan kita kelak bersama dengan mereka, maka kita harus mentaati Allah dan Rasul-Nya (al Qur’an dan Hadis). Namun dalam memahami al Qur’an dan Hadis, kadang terjadi perbedaan dan silang pendapat, maka Nabi saw memberi petunjuk.
قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ فَاعْهَدْ إِلَيْنَا بِعَهْدٍ فَقَالَ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“…Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di tengah-tengah kami. Beliau memberi nasihat yang sangat menyentuh, membuat hati menjadi gemetar, dan airmata berlinangan. Lalu dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, engkau telah memberikan nasihat kepada kami satu nasihat perpisahan, maka berilah kami satu wasiyat,’ beliau bersabda, ‘Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meski kepada seorang budak Habasyi. Dan sepeninggalku nanti, kalian akan melihat perselisihan yang sangat dahsyat, maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham, dan jangan sampai kalian mengikuti perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat’.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Addarimi).[2]
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahlu kitab berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan; tujuh puluh dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga, yaitu Al Jama’ah.” (Silsilah Hadis Shohih, Al Albani. 204).
Juga sebagaimana sabda Nabi bahwa seluruh umatnya akan masuk neraka kecuali satu golongan,
كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلّا مِلَّةً وَاحِدةً : مَــا أَنـَا عَلَيْهِ وَأَصْحَــابِيْ
“…semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan: ialah orang yang melakukan seperti aku dan para sahabatku.” (HR. At Tirmizi, dan Al Hakim).
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“…Sebaik-baik kalian adalah orang yang hidup pada masaku (periode sahabat), kemudian orang-orang pada masa berikutnya (Tabi’in), kemudian orang-orang pada masa berikutnya (Tabi’ut tabi’in)…” (HR. Muslim).
Berdasarkan kandungan dalil-dalil di atas nyatalah bahwa pemahaman dan pengamalan Islam yang terbaik dan harus menjadi standar dalam menilai aliran yang berkembang dalam masyarakat termasuk tasawuf, ialah al Qur’an dan Hadis sesuai dengan pemahaman dan pengamalan generasi yang terbaik dalam Islam yaitu para Sahabat, tabi’in, tabi’i-tabi’in, temasuk para Imam yang mu’tabarah seperti Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Generasi inilah yang disebut salaf (para pendahulu) dalam Islam. Merekalah para Ahlussunnah wal Jama’ah dan atau pengikut mereka disebut Sunni.
Berkata al Junaid al Bagdadi, “Ilmu kita harus selalu disesuaikan dengan al Qur’an dan Assunnah. Maka barang siapa yang tidak menghafal al Qur’an dan tidak menulis Hadis, maka ia dianggap belum paham tentang agama dan tidak layak dijadikan qadhi (hakim).”[3] Dan berkata Imam al Auza’i, “Hendaklah kamu mengikuti jejak para salaf, meskipun manusia menolakmu, jauhilah (yang semata-mata) pendapat pribadi meskipun mereka menghiasi pendapat itu bagimu. Semua itu akan jelas dan engkau (tetap) di atas jalan yang lurus. “[4]
Makalah ini, akan memaparkan perbandingan dua karya tulis tentang tasawwuf, yaitu Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam oleh Prof. Dr. Harun Nasution (Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah), dan Ushul Thariqah al Tasawuf oleh KH. M. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU).
B.Mistisisme Islam dalam Tulisan Harun Nasution
Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf, dan oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain.[5]
Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, memiliki tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan jalan mengasingkan diri dan kontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad الاتحـــاد bersatu dengan Tuhan.[6]
Tasawuf merupakan satu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah swt.
Ada pun asal-usul kata tasawuf berasal dari kata sufi. Menurut sejarah, orang yang pertama memakai kata sufi adalah seorang zahid ascetic bernama Abu Hasyim Al-Kufi (w. 150 H.) di Irak, dan mengenai asal atau etimologi kata sufi. Maka teori-teori berikut selalu dikemukakan:
a. Ahl as Suffah أهل الصفة , orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah, dan karena kehilngan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Kata sofa (kursi) dalam bahasa Eropa berasal dari kata suffah صفـــة . Sungguh pun Miskin ahl suffah berhati baik dan mulia. Sifat tidak mementingkan keduniaan, miskin tetapi berhati baik dan mulia itulah sifat-sifat kaum sufi.
b.Saf صـف pertama, sebagimana halnya dengan orang sembahyang di saf pertama mendapat kemuliaan dan pahala, demikian pula kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala.[7]
c.Sufi صوفي dari صافي danصفي yaitu suci. Seorang sufi adalah orang yang disucikan dan kaum sufi adalah orang-orang yang telah mensucikan diri melalui latihan berat dan lama.
d.Sophos kata Yunani yang berarti hikmat. Orang sufi betul ada hubungannya dengn hikmat, hanya huruf ‘s’ dalam sophos ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab menjadi س dan bukan ص, sebagai kelihatan dalam kata فـــلسفة dari kata philosopia. Dengan demikian seharusnya sufi ditulis dengan سوفــــي bukan صــــوفي.
e.Suf صوف, kain yang dibuat dari bulu yaitu wol. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol kasar, bukan wol halus seperti sekarang. Memakai wol kasar waktu itu adalah simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya adalah memakai sutera, oleh orang-orang yang mewah hidupnya di kalangan pemerintahan. Kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin. Tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutera dan sebagai gantinya menggunakan kain wol kasar.[8]
Di antara sekian banyak pendapat tentang asal-usul sufi, maka pendapat yang terakhirlah yang paling banyak diterima. Tentang pendapat ini, Ibnu Taimiah menjelaskan bahwa andaikata diambil dari kata ahl al ashuffah maka kata yang tepat adalah shuffi; jika diambil dari kata al shaf, maka ia akan berbunyi shaffi; dan jika diambil dari kata al shafwah maka ia akan berbunyi shafawi.[9] Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa kata sufi berasal dari kata Shufah bin Basyr nama salah satu kabilah di zaman jahiliah yang dekat di Mekkah, namun kabilah ini tidaklah begitu terkenal.[10]
Ada pun asal-usul aliran sufisme, atau asal timbul dan munculnya aliran ini dalam Islam, maka juga memiliki beberapa versi, di antaranya :
a. Pengaruh Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia.
b. Filsafat mistik Pytagoras yang berpendapat bahwa roh manuisa bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memperoleh kehidupan yang bahagia di alam samawi, manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan hidup materi, yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkontemplasi.
c.Filsafat emanasi (pancaran) Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar zat Tuhan. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Akan tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, untuk kembali ke tempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Pensucian roh adalah dengan cara meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan-Nya.
d.Aliran Budha dengan paham nirwananya. Untuk mencapai niwrana orang harus menanggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. paham fana’ yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham niwrana.
e.Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahma.
Itulah beberapa paham dan ajaran yang nenurut teorinya mempengaruhi timbul dan munculnya sufisme di kalangan umat Islam. Apakah teori di atas benar atau tidak, sulit dibuktikan. Tetapi bagaimana pun, dengan atau tanpa pengaruh-pengaruh dari luar, sufisme bisa tumbuh dalam Islam.[11]
Dalam al Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang mengatakan bahwa manusia dengan tuhannya terjalin kedekatan, sebagaimana berikut :
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Albaqarah [2]: 186).
Tuhan di sini mengatakan bahwa Dia dekat dengan manusia dan mengabulkan permintaan yang diminta. Oleh kaum sufi kata da’a di sini diartikan berseru, yaitu Tuhan mengabulkan seruan orang yang ingin dekat pada-Nya.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Albaqarah [2]: 115).
Ke mana saja manusia berpaling, demikan ayat di atas, manusia akan berjumpa dengan Tuhan. Demikian dekatnya manusia dengan Tuhan. Sebagaimana ayat berikut.
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf [50]: 16).
Ayat ini mengandung arti bahwa Tuhan ada di dalam, bukan di luar diri manusia. Pengertian yang sama juga diberikan pada ayat berikut.
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Alanfal [8]: 17).
Dapat diartikan dari ayat di atas bahwa Tuhan dengan manusia sebenarnya satu. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan.
Bukan ayat-ayat al Qur’an saja, tetapi Hadis juga ada yang mengabarkan dektanya hubungan manusia dengan Tuhan.
من عرف نفسه فقد عرف ربه
“Orang yang mengetahui dirinya, itulah orang yang mengetahui Tuhan”
Hadis ini juga mengandung arti bahwa manusia dengan Tuhan adalah satu. Untuk mengetahui Tuhan orang tidak perlu pergi jauh-jauh. Cukup ia masuk ke dalam dirinya dan mencoba mengetahui dirinya. Dengan kenal pada dirinya ia kenal pada Tuhan.[12]
كنت كــنزا مخفيـــا فأحببت أن أعـــرف فخلقت الخلق فبي عرفوني
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin kenal, maka kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka kenal padaKu.”
Hadis di atas mengatakan bahwa Tuhan ingin dikenal dan untuk dikenal itu, Tuhan menciptakan makhluk. Ini mengandung arti bahwa Tuhan dengan makhluk adalah satu, karena melalui makhluk Tuhan dapat dikenal. Jadi terlepas dari kemungkinan ada atau tidaknya pengaruh dari luar, ayat serta Hadis seperti tersebut di atas dapat membawa pada timbulnya aliran sufi dalam Islam, yaitu kalau yang dimaksud dengan sufisme ialah ajaran-ajaran tentang berada sedekat mungkin pada Tuhan.
Untuk berada dekat pada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi stasion-stasion yang disebut maqomatمقامـــات atau tahapan-tahapan. Buku-buku tasawuf tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang tingkatan-tingkatan tersebut. Namun yang lazim adalah :
Taubat – zuhud – sabar – tawakkal – kerelaan التوبة – الزهد – الصبــر – التوكل –
الـــرضي.
Dan di atas tingkatan-tingkatan itu terdapat lagi tingkatan lanjutan :
Cinta – ma’rifat – fana’ dan baqa’ – bersatu المحـــبة – المعرفة – الفناء والبقاء – الاتحـــاد -
Dalam persatuan الاتحـــاد dapat mengambil bentuk al hulul الحلول atau wahdat al wujud, الوجود وحدة.
Di samping istilah maqom ini terdapat pula dalam literatur tasawuf istilah hal حـــال yang merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, takut, dan sebagainya.
Hal ini bisa disebut :
Takut – rendah hati – patuh – ikhlas – rasa berteman – gembira hati – syukur. – الخوف – التواضع – التقوي – الاخلآص – الانسان – الوجه – الشكر
Hal, berlainan dengan maqom, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi didapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan.[13]
C.Ajaran Tasawuf Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari
Menurut KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyyah Nahdhatul Ulama, bahwa pokok-pokok ajaran tasawuf itu ada lima :
a.Takwa kepada Allah baik secara sirr (rahasia, tersembunyi) maupun secara nyata.
b.Mengikuti sunnah dalam berbicara dan berbuat.
c.Berpaling dari makhluk di saat menghadap atau membelakang.
d.Ridha terhadap Allah, menerima yang sedikit dan banyak.
e.Kembali kepada Allah di saat senang dan susah.[14]
Pemantapan takwa dengan wara’ dan istiqamah, pemantapan mengikuti sunnah dengan berhati-hati dan akhlak yang baik, pemantapan sikap berpaling dari makhluk dengan sabar dan tawakkal, pemantapan ridha terhadap Allah dengan qanaa’ah dan menyerahkan diri, pemantapan sikap kembali kepada Allah dengan syukur di saat senang dan bersandar kepadaNya di saat susah.
Landasan dari semua itu ada lima, yaitu semangat yang tinggi, menjaga diri dari yang diharamkan, berkhidmat dengan baik, tekad yang kuat serta menghargai nikmat.
Barangsiapa yang tinggi semangatnya akan meningkat kedudukannya, dan siapa menjaga diri dari yang diharamkan Allah, Allah akan menjaga kehormatannya dan siapa berkhidmat dengan baik, maka pasti mendapat kemurahan Allah, dan barangsiapa yang kuat tekadnya, maka hidayah berkesinambungan baginya, dan barangsiapa mensyukuri nikmat Allah pasti Dia akan menambah nikmat kasih-Nya.[15]
Pokok-pokok petunjuk ada lima: menuntut ilmu agar dapat melaksanakan perintah; menemani guru dan teman agar mencermati keteladanan; meninggalkan sikap meringan-ringankan yang tidak berdasar agar bisa hati-hati; mengatur waktu untuk berwirid agar hati selalu sadar (kepada Allah) dan selalu introspeksi terhadap dirinya, keluar dari hawa nafsu dan selamat dari kebinasaan.[16]
Menuntut ilmu, mengikatnya ialah berteman dengan orang yang muda umur, akal dan agamanya. Berteman, penyakitnya ialah kebanggaan dan berlebih-lebihan. Meninggalkan sikap meringan-ringankan dan penafsiran-penafsiran keliru, penyakitnya ialah memanjakan diri. Sikap introspeksi, penyakitnya ialah sikap tenang karena merasa sudah baik dan istiqamah. Allah swt berfirman,
“…dan jika ia menebus dengan segala macam tebusan pun, niscaya tidak akan diterima dari padanya…” (QS. Alan’am [6]: 70) .
Pokok-pokok pengobatan jiwa ada lima: meringankan lambung dengan mengurangi makan dan minum; bersandar kepada Allah terhadap segala tantangan; meninggalkan tempat-tempat yang dikhawatirkan terjerumus padanya; selalu istigfar dan salawat di waktu malam dan tepi-tepi siang dengan konsentrasi; dan menemani orang yang bisa menunjukkan jalan kepada Allah.[17]
Penutup, tentang cara untuk sampai kepada Allah yaitu bertaubat dari segala yang diharamkan dan dimakruhkan; mencintai ilmu sesuai kebutuhan; selalu menjaga wudhu; melaksanakan fardhu dan sunnah rawatib di awal waktu secara berjamaah; menetapkan salat 8 rakaat di waktu dhuha; 6 rakaat antara Magrib dan Isya; salat witir; puasa Senin dan Kamis dan puasa tiga hari putih; puasa pada hari-hari utama; membaca al Qur’an dengan kehadiran hati dan tadabbur; memperbyanyak istigfar; dan shalawat kepada Nabi saw; membiasakan zikir pagi dan petang berdasarkan sunah Nabi saw.[18]
Selanjutnya KH.M. Hasyim Asy’ari juga menulis sekian banyak zikir pagi dan petang untuk diamalkan (yang banyak persamaannya dalam kitab “Hisnul Muslim” susunan Dr. Said bin Ali Al Qahthani dan al Ma’tsurat susunan Imam Hasan Al Banna.)
Kadar ini cukup bagi orang yang memiliki perhatian dari Allah yang memberi taufiq untuk memperoleh petunjuk, Dia yang memberi petunjuk kepada jalan (yang lurus), Dialah yang mencukupi kita dan (di atas) sebaik-baik Pelindung demikian menurut KH. M. Hasyim Asy’ari.[19]
D.Bantahan Terhadap Harun Nasution dan Dukungan Terhadap Hasyim Asy’ari
Menelaah tulisan Prof. Dr. Harun Nasution Falsafat dan Mistisisme dalam Islam maka penulis menyimpulkan bahwa terdapat beberapa kekeliruan yang harus diluruskan sesuai dengan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah:
a.Mahabbah yang tidak mengharapkan surga serta tidak takut pada neraka. Ini adalah pernyataan keliru karena, mahabbah atau cinta kepada Allah dengan arti sesungguhnya senantiasa disertai sikap berharap dan bermunajat agar mendapat ridha Allah, supaya kelak di masukkan ke dalam surga dan dijauhkan dari siksa api neraka.
Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla memuji sifat para Nabi dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya. (Lihat, misalnya firman Allah swt dalam surat al-Anbiyâ`/21 ayat 90, dan ayat-ayat lainnya.)
Para Salafush Shaleh dalam mencintai Allah selalu berzikir, tafakkur atas kebesarana Allah, rajin salat berjamaah, tidak ktinggalan salat-salat nawafil, seperti rawatib dan tahajjud, senantiasa membaca al Qur’an, cintanya kepada Allah selalu mengalahkan hawa nafsunya, merasa nikmat dalam beribadah, mengasihi semua yang dikasihi Allah dan membenci semua yang dibenci Alllah, selalu menyambut seruan Allah dan mentaatinya. Cinta yang seperti inilah yang layak dimantapkan oleh setiap muslim untuk dapat masuk surga dan selamat dari jilatan api neraka, sebuah kecintaan rohani yang mampu mengubah sesuatu yang pahit menjadi manis, yang sukar menjadi mudah, yang sakit menjadi sembuh, penderitaan menjadi kenikmatan, dan kemarahan menjadi kasih sayang. Seorang yang sedang dalam kecintaan pada Allah, baginya tidak ada lagi kesombongan dan kebanggaan diri, tidak pula ada kesedihan, ketakutan, kedengkian, kekikiran, dan tidak pula tersisa dalam jiwanya kecuali sifat-sifat kemuliaan semata. Inilah mahabbah yang dituntut.
b.Ma’rifah menurut kaum sufi adalah dapat melihat Allah dalam hati sanubari.
c.Al-Fana’ – fana’ (menghancurkan diri) sehingga dapat bersatu (melebur) dengan Tuhan.
d.Al-Ittihad, yaitu seorang sufi merasa telah bersatu dengan Tuhan, di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu sehingga salahsatu di dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “hai aku”.
e.Al-Hulul, Tuhan mengambil tempat dalam diri hamba di saat manusia menghilangkan sifat kemanusiaan dalam dirinya sehingga yang ada adalah sifat ketuhanan.
f.Wahdatul wujud, di kala Allah ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya maka ia menjadikan alam ini, maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Maka di kala Allah melihat diri-Nya maka Dia pun melihat kepada alam. Yang memiliki wujud sebenarnya hanyalah Allah. Dengan demikian hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan.
Pemahaman seperti ini sungguh sangat nista dan kotor. Karena, konsekuensinya berarti seluruh keburukan, binatang-binatang najis, kejahatan, iblis, setan dan perihal buruk lainnya merupakan jelmaan Allah. Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang mujrimin (berbuat kejelekan).
Padahal Allah swt telah berfirman tentang diri-Nya, “… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11).
Syaikhul Islam mengatakan, “Aqidah yang dibawa para rasul dan yang termuat pada kitab-kitab yang Allah turunkan, serta sudah menjadi kesepakatan Salaful Ummah dan para tokohnya, yaitu penetapan bahwa pencipta itu berbeda dengan ciptaan-Nya, dan Dia berada di atasnya (ciptaan-Nya)”.[20]
Demikian ditinjau dari aspek agama (dalil). Sedangkan dari aspek aqli (logika), sungguh tidak mungkin pencipta menyerupai yang dicipta. Apalagi kalau semua makhluk adalah juga pencipta. Tentu sangat mustahil.
Kesimpulannya untuk membantah pemahaman-pemahaman di atas (al fana’, al ittihad, al hulul, dan ma’rifah), marilah kita merujuk kepada apa yang disebutkan oleh Ibnu Taimiah, “Dan termasuk bahagian beriman kepada Allah ialah beriman (kepada-Nya) sesuai dengan apa yang Ia sifatkan tentang diri-Nya dalam Kitab-Nya dan sesuai dengan apa yang Rasul-Nya Muhammad saw sifatkan tentang diri-Nya, tanpa tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Bahkan mereka beriman bahwa Allah swt tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dialah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. 42: 11)… karena Allah swt yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang selain-Nya, Dia yang paling benar perkataan-Nya dan yang paling baik penjelasan-Nya dari (perkataan dan penjelasan) para mahluk-Nya.
Kemudian para rasul-Nya, yang benar dan diakui kebenarannya (oleh Allah). Tidak demikian halnya dengan orang yang berbicara tentang Allah dengan apa yang mereka tidak ketahui, sebagaimana firman Allah, “Maha suci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian Alam.” (QS. 37: 180-182). Maka Allah mensucikan diri-Nya dari penjelasa orang-orang yang menyalahi para rasul tentang diri-Nya, dan Allah memberi salam terhadap para rasul karena kebenaran penjelasan mereka (tentang Allah) yang tidak mengandung kekurangan dan cacat, Ia telah menjamakkan terhadap apa yang Ia sifatkan dan namai diri-Nya antara nafyi dan itsbat, maka Ahlussunnah wal Jama’ah tidak akan menyelisihi apa yang dibawa oleh para rasul. Itulah jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang mendapat nikmat dari Allah: para nabi, ash shiddiqin, asy syuhada’ dan ash sholihin. (QS. 4: 69.)[21]
g.Hadis yang dikutip, “Orang yang mengetahui dirinya, itulah orang yang mengetahui Tuhan” adalah Hadis palsu.[22] Begitu pula Hadis, “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin kenal, maka kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka kenal padaKu.” Adalah Hadis yang la ashla lahu alias tidak berdasar.[23]
Lain halnya dengan KH. Hasyim Asy’ari, menurut hemat penulis, seluruh ajaran-ajarannya tidak diketemukan hal-hal yang menyimpang dari akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Seluruh ajaran-ajaran tasawuf yang beliau kembangkan mengarah kepada pembersihan jiwa dengan cara memperbanyak mengingat Allah zikrullah dengan ragam cara dan metode seperti melaksanakan amalan fardhu, sunnah-sunnah, dan seterusnya. Ajaran yang semacam inilah akan melahirkan sifat-sifat yang terpuji mahmudah seperti percaya al amanah, pemaaf al afwu, benar ash shidiq, menepati janji al wafa’, adil al adl, memelihara kesucian diri al iffah, malu al haya, berani as syaja’ah, sabar as shabru, kasih sayang ar rahman, murah hati as sakha, sederhana al iqtishad, rendah hati tawadhu’, menundukkan diri pada Allah khsyu’, merasa cukup atas apa yang ada qana’ah, lemah lembut ar rifq, dan toleran tasamuh. Selain beberapa sifat terpuji yang bersemi dengan amalan-amalam tasawuf versi Hasyim As’ari, juga amalan-amalan tersebut akan selalu mereduksi sifat-sifat tercela mazmumah yang muncul dari jiwa-jiwa yang kotor karena kontaminasi bisikan para laskar-laskar iblis, seperti sikap curang, zalim, berlaku tidak adil, berdusta, mengingkari janji, sombong, wujub, gila pamrih, budak harta, meyusahkan orang lain, merampas hak mereka, korupsi, kolusi, nepotisme dan seterusnya. Dalam konteks ini peranan tasawuf ala pendiri Nahdatul Ulama ini sangat dibutuhkan dengan tak kenal setting ruang dan waktu.

E.Tasawuf Alternatif

Risalah Islam datang dengan membawa tiga pilar utama, yaitu tauhid, syariat, dan akhlak. Ketiga unsur pokok ini tidak bisa terpisah antara satu dengan yang lainnya alias harus saling bersinergi, idealnya makin murni tauhid seorang muslim maka ia akan mudah menerima setiap ketentuan-ketentuan syariat, dan syariat yang sempurna hanyalah jika diiringi dengan akhlak yang mulia.
Tasawuf sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas adalah salahsatu ajaran tambahan dalam Islam yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapat Ridho-Nya, agar kelak terbebas dari siksa api neraka dan di masukkan kedalam surga Allah swt, dan inilah sebenarnya inti dan tujuan kita beribadah “nas’aluka ridhaka wal jannah wa na’udzubika min sakhotika wa annar”, kami mohon ridho dan surgamu (ya Allah), dan jauhkanlah kami dari murka dan siksa api neraka! Demikian doa yang kerap kita baca.
Persoalan tasawuf dalam Islam adalah persoalan klasik, para peneliti dari dulu hingga kini masih belum dan tidak akan pernah sepakat tentang asal-muasal ilmu dan istilah ini secara pasti. Semua pendapat bersifat relatif, hal itu kita bisa maklumi karena memang istilah tasawuf sebagaimana yang dikatakan Al Qusyairi dalam kitabnya Risalah Al Qusyairiah, bahwa istilah tasawuf tidak pernah diketemukan padanannya dalam bahasa Arab apalagi dalam al Qur’an dan Hadis.
Hemat penulis istilah tasawuf sebaiknya kita kembalikan kepada al Qur’an sebagai sumber utama ilmu kita, sebagaimana penegasan Al Junaid bahwa ilmu kita harus selalu selaras dengan kitabullah dan sunnah rasulullah. Nampaknya penulis lebih cenderung menggunakan istilah tazkiyatun nafs dengan merujuk kepada Firman Allah.
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al kitab dan al hikmah, dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran [3]: 164).
Dan firman-Nya,
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (QS. Asy Syams [91]: 7-9).
Dengan berpedoman kepada kitabullah dan sunnah rasulullah, maka dengan sendirinya kita telah mengikuti pemahaman dan pengamalan yang tepat sebagaimana telah dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia, lalu ditransformasi pada generasi selanjutnya yang disebut tabi’in, pengikut tabi’in, kemudian para imam mazhab, seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Mereka inilah yang tergolong sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah (baca: Sunni) yang menjadi acuan bagi generasi selanjutnya sampai masa sekarang dalam berakidah dan beribadah.
Pembersihan jiwa tazkiyatun nafs dalam terminologi di atas adalah upaya yang sungguh-sungguh membersihkan jiwa dan hati dengan cara pengenalan pada Allah secara benar dengan selalu menjalankan segenap perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan taqwa yang dengannya kita kelak akan mendapatkan surga yang luasnya melebihi langit dan bumi sebagaimana janji Allah. Wallahu a’lam!
BIBLIOGRAFI:
A. Hanafi, Theology Islam, (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
Abdul Qadir bin Habibillah As Sindiy, Attashawwuf fi Mizanil Bahts wa at Tahqiq, wa ar Ra’du ‘ala Ibni ‘arabiy ash Shufiy fi Dhau’i al Kitab wa Assunnah, Cet. I; Madinah al Munawwarah, t.th.
Achmad Suyuti, Percik-percik Kesufian, Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani, 1996.
As’ad Al Khatib, Al buthulah wal Fida’ ‘Inda al Shufiyyah, diterjemahkan oleh Fathurrazi dengan judul, Kala Nurani Terusik Tirani, Cet. II; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Cet. IX; Jakarta: Bulang Bintang, 1995.
Ibnul al Jawziy, Talbis Iblis, Cet. I; Lubnan: Dar el Kutub ‘Ilmiyah, 1983.
Isa Malullah, Al Mukhtashar al Hatsi tsiy, Cet. I; Kwait: Maktabah Gharas, 2008.
Julian Baldick, Mystical Islam: An Introduction to Sufism, diterjemahkan oleh Satrio Wahono dengan judul Mistik Islam, Cet. I; Jakarta: Serambi Ilmu, 2003.
Muhammad Ishomuddin Hadziq (ed.), Kumpulan Kitab Karya Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, Tebuireng Jombang: Pustaka Warisan Islam, t.th.
Sa’id Hawwa, Tazkiyah al Anfus, Cet. IX; Egypt: Dar es Salam, 2002.
Said bin Musafir Al Qahthani, Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani wa Arauhu Al I’tiqadiyah wa Ash Shufiyah, diterjemahkan oleh Munirul Abidin dengan judul, Buku Putuh Saikh Abdul Qadir Al Jailani, Cet. I; Jatiwaringin: Darul Falah, 2003.
Syamsuddin Arif “Manipulasi Dalam Kajian Tentang Sufisme”, Jurnal Islamia Vol. III/No. I, 2006, hal. 23.
Titus Burckhardt, An introduction to Sufi Doctrine, diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Jaya dengan judul Mengenal Ajaran Sufi, Cet. I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, Mulia dengan Manhaj Salaf, Cet. III; Bogor: Pustaka At Taqwa.
http://www.dorar.net diakses 11 April 2012
* Disampaikan dalam acara Diskusi Tasawuf, Menggugat Ajaran Tasawuf; Sebuah Wacana Mencari Kebenaran, di Gedung Graha Pena Makassar, tanggal 14 April 2012.
**Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Perwakilan Indonesia Timur, Anggota Komisi Dakwah MUI Makassar, Waketum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Makassar.
[1] Abdul Qadir bin Habibillah As Sindiy, Attashawwuf fi Mizanil Bahts wa at Tahqiq, wa ar Ra’du ‘ala Ibni ‘arabiy ash Shufiy fi Dhau’i al Kitab wa Assunnah, (Cet. I; Madinah al Munawwarah, t.th.), h. 1
[2] Keterangan yang gamblang mengenai Hadis-hadis yang berkaitan perpecahan iftiraq serta kewajiban berpaham Ahlussunnah wal Jamaah, perintah untuk meneladani para salaf (sahabat Nabi, tabi’in, dan tabi’-tabi’in) dapat dilihat dalam Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, Mulia dengan Manhaj Salaf, (Cet. III; Bogor: Pustaka At Taqwa, 2009), hal. 96.
[3] Abdul Qadir bin Habibillah As Sindiy, Op. Cit., hal. 1.
[4] Riwayat Baihaqi dalam Kitab Al Madhal, hal. 233, lihat juga Isa Malullah, Al Mukhtashar al Hatsi tsiy, (Cet. I; Kwait: Maktabah Gharas, 2008), hal. 22.
[5] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Cet. IX; Jakarta: Bulang Bintang, 1995), hal. 56.
[6] Ibid., hal. 56.
[7]Abdul Karim bin Hawazin Al Qusyairi, penulis buku Arrisalah, menekankan bahwa seandainya yang dimaksud dari kata sufi adalah ash shaf al muqaddam shaf pertama (dalam shalat) maka pasti akan menjadi shaffiyah, menurut beliau kata sufi itu lebih kepada istilah atau gelar yang tidak ada padanannya dalam bahasa Arab. Lihat juga, Julian Baldick, Mystical Islam: An Introduction to Sufism, diterjemahkan oleh Satrio Wahono dengan judul Mistik Islam, (Cet. I; Jakarta: Serambi Ilmu, 2003), hal. 88.
[8]Ibid., hal. 57. Lihat juga footnote, Titus Burckhardt, An introduction to Sufi Doctrine, diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Jaya dengan judul Mengenal Ajaran Sufi, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hal. 15.
[9] Abdul Qadir bin Habibillah as Sindiy, Op. Cit.
[10] Op. Cit., hal. 57.
[11] Menurut Syamsuddin Arif, kajian Sufisme yang berasal dari kaum oreintalis setidaknya telah melahirkan beberapa teori tentang asal-usul sufisme atau ajaran tasawuf, yaitu: Teori pertama mengatakan, ajaran tasauf merupakan “produk samping” dari persinggungan Islam dengan agama-agama yang lebih senior di sekelilingnya. Salah seorang penggagas teori ini adalah Margaret Smith. Orientalis asal Inggris ini menyimpulkan bahwa tasauf Islam sebagian besar telah dipengaruhi oleh ajaran Mistisisme Kristen. Teori kedua, bahwa tasauf Islam besar kemungkinan berasal dari ajaran Upanishad dan Vedanta Hindu, hal tersebut dapat dilacak dengan menyelami ajaran hindu yang mengetengahkan perlunya menjauhi atau bahkan meninggalkan sama sekali ragam kenikmatan jasadiah demi meraih kesucian dan ketenangan jiwa (moksa). Eksponen teori ini diwakili antaran lain oleh Alfred von Kremer, R.C. Zaehner, dan Max Horten. Teori kegita berpendapat, ajaran sufi banyak dipengaruhi oleh tradisi Hellenisme abad pertengahan, dengan alasan bahwa dontrin-doktrin yang dikembangkan kaum sufi mayoritas dapat ditemukan presedennya dalam tradisi mistik dan gnostik Yunani. Teori ini termasuk favorit, namun para pengusung teori ini tidak sepakat, apakah seluruh amalan para sufi berasal dari tradisi Hellenisme atau hanya pada teoritisnya saja. Dengan alasan bahwa pengaruh tradisi Yunani bukan terdapat pada aspek praktisnya, melainkan pada aspek teoritisnya saja, ini dapat dibuktikan lewat jejak-jejak Neo-Platonisme dan Aristotelianisme justru lebih nampak dalam bangunan pemikiran para tokoh sufi ketimbang dalam manual praktis yang mereka tulis untuk para murid. Pengusung teori ini adalah Stephen bar Sudaili, Simon Magus, R.A. Nicolson, dll. Teori keempat, berusaha menjadi penengah dari tiga teori sebelumnya dengan menyatakan bahwa ajaran sufi adalah mixing atau amalgamasi dari pelbagai ajaran esoteris yang terdapat dalam tradisi Islam, Hindu, Budha, Zoroastrianisme, Kristen, Neo Platonisme, dan Gnostisisme. Alasannya, tidak ada kebudayaan dan pradaban yang berdiri sendiri dan lahir di ruang hampa. Setiap tradisi pasti terpengaruh dan mengambil dari tradisi yang sedia ada. Teori ini diusung oleh Martin Schreiner dan Ignaz Goldziher. Lihat Syamsuddin Arif “Manipulasi Dalam Kajian Tentang Sufisme”, Jurnal Islamia Vol. III/No. I, 2006, hal. 23.
[12] Harun Nasution, Op. Cit., hal. 61.
[13] Ibid., hal. 62. Selain itu ada juga tiga unsur inti ajaran tasawuf yang sering dipaparkan yaitu, Takhalli min ar Radza’il, mebersihkan hati dari sifat-sifat yang rendah dan hina, seperti sikap kibru sombong, hasad dengki, riya’ mencari popularitas, ujub meninggikan diri, thama’ serakah, hubbul jah gila pangkat (jabatan), dll.; Tahalli bil Fadhail, menghiasi hati dengan sifat-sifat utama dan terpuji, seperti tawadhu’ rendah hati, ikhlas, qana’ah selalu merasa bersyukur, haya’ malu, al jud murah hati, dll.; Tabarri’ amma Siwallah, memurnikan hati dari apa saja selain Allah, sehingga tumbuh perasaan Mahabbah kepada Allah, selalu rindu dan ridha kepada-Nya. Uraian lebih lengkap silahkan rujuk Achmad Suyuti, Percik-percik Kesufian, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani, 1996), hal. 12.
[14]Muhammad Ishomuddin Hadziq (ed.), Kumpulan Kitab Karya Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, (Tebuireng Jombang: Pustaka Warisan Islam, t.th.) hal. 34.
[15] Ibid., hal. 34
[16] Ibid., hal. 35
[17] Ibid., hal. 35
[18] Ibid., hal. 35
[19]Salah satu penganut tasawuf yang sangat populer dan hingga kini memiliki pengikut yang banyak adalah Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Said Al Qahthani, beliau menegaskan bahwa tasawuf adalah percaya kepada Yang Haq (Allah) dan berprilaku baik kepada makhluk. Dan pada kesempatan yang lain beliau menuturkan makna tasawuf, “Yaitu bertakwa kepada Allah, mentaati-Nya, menerapkan syariat secara lahir, menyelamatkan hati, mengayakan hati, membaguskan wajah, melakukan dakwah, mencegah penganiayaan, sabar menerima penganiayaan dan kefakiran, menjaga kehormatan para guru, bersikap baik dengan saudara, menasihati orang kecil dan besar, meninggalkan permusuhan, bersikap lembut, melaksanakan keutamaan, menghindari dari menumpuk-numpuk harta benda, dan tolong-menolong dalam urusan agama dan dunia.” Lihat Said bin Musafir Al Qahthani, Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani wa Arauhu Al I’tiqadiyah wa Ash Shufiyah, diterjemahkan oleh Munirul Abidin dengan judul, Buku Putuh Saikh Abdul Qadir Al Jailani, (Cet. I; Jatiwaringin: Darul Falah, 2003) hal, 418. Ibnu Khaldun juga tidak ketinggalan untuk terjun meneliti tentang ajaran tasawuf, Bapak sosiolog ini berpandangan bahwa para pengikut tasawuf yang lazin di kenal sebagai kaum sufi adalah karena mereka bersih dan terhindar dari segala macam perbuatan keji. Mengenai metode para sufi ia menjelaskan, “Metode kaum sufi telah digunakan oleh kaum salaf dari kalangan sahabat, tabiin, dan para pengikutnya. Metode ini bertujuan untuk mendapat petunjuk Allah swt, dan menempuh jalur kebenaran. Dasarnya adalah beribadah secara terus-menerus kepada-Nya dan berpaling dari kehidupan dunia. Itulah yang sering dilakukan oleh para sahabat dan kaum salaf.” Lebih jauh lagi, Ibnu Khaldun menjelaskan tentang kodifikasi ilmu tasawuf, beliau berpendapat bahwa ketika ilmu mulai disusun secara sistematis dan dibukukan, para ulama mulai menulis tentang ilmu fikih, ilmu kalam, tafsir, dan sebagainya, maka para ulama sufi juga mulai menulis dan menjelaskan tentang metode mereka. Menurut Imam Junaid, Tasawuf adalah mengikuti semua perangai yang baik dan menghindari semua perangai yang buruk. Pengertian ini sangat sulit dilaksanakan oleh setiap manusia. Sebab manusia pada dasarnya memiliki hawa nafsu yang mendorong berbuat jahat. Oleh karena itu, pengertian tasawuf seperti ini hanya mampu dilakukan oleh segelintir orang saja. Merekalah orang yang benar-benar menyerahkan seluruh jiwa dan rela berkorban demi Allah semata.” Imam Malik, pengasas mazhab Maliki berkata, “Orang yang menyucikan diri, tetapi tidak mau mendalami agama, maka ia telah keluar dari Islam. Dan orang yang mendalami Islam, tetapi tidak mau mensucikan diri, maka ia telah fasik. Sedangkan orang yang menggabungkan keduanya, maka ia benar-benar telah mencapai hakikat iman.” Imam Abu Hanifah dalam satu riwayat juga disebutkan bahwa beliau sangat mencintai para sufi dan memuliakan kedudukan mereka. Silahkan rujuk ke As’ad Al Khatib, Al buthulah wal Fida’ ‘Inda al Shufiyyah, diterjemahkan oleh Fathurrazi dengan judul, Kala Nurani Terusik Tirani, (Cet. II; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 14.
[20] Lihat almanhaj.or.id, diakses tanggal 13 April 2012.
[21] Ibnu Taimiah, Al Aqidah al Wasithiyah, hal. 1.
[22] Tentang kepalsuan Hadis ini dapat dilihat dalam kitab Maudhu’at karya As San’ani, Majmu’ al Fatawa Ibnu Taimiah, Madarijussalikin Ibnul Qayyim, Tadriburrawi Asy Syuyuti, lihat, dorar.net. diakses 11 April 2012.
[23] Al Fawa’id Al Maudhu’ah fi Al Ahadits Al Maudhu’ah, Mar’i bin Yusuf Al Karmi, Dar Al Warraq, Beirut, Cet ke 3, 1419 H, hal/no hadis: 102, lihat, dorar.net diakses 11 April 2012.
Dikutip dari lppimakassar.blogspot.com pada 6 Rajab 1433 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar