Pengertian
Sanad dari segi bahasa artinya (sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran). Sedangkan menurut istilah ahli hadis, sanad yaitu:
Artinya:
“Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya. ” (Al-Hadis)
Dalam hadis tersebut dinamakan sanad adalah:
(Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari nafi yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:…)
Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menurut istilah ahli hadis, matan yaitu:
(perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya) .
Artinya:
” Dari Muhammad yang diterima dari Abu Salamah yang diterimanya dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Seandainya tidak memberatkan terhadap umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap akan melakukan salat. ” (Al-Hadis)
Adapun yang disebut matan dalam hadis tersebut yaitu:
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri”
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami Al Hadist ialah :
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan
matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang
matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang
Pentingnya Penelitian Sanad
Allah telah memberikan kedudukan kepada nabi Muhammad sebagai rosulullah dengan fungsi antara lain : menjelaskan al-Qur’an, dipatuhi oleh orang-orang yang beriman, menjadi uswatun hasanah dan rahmat bagi sekalian alam. Berangkat dari pemahaman tersebut, maka untuk mengetahui hal-hal yang harus diteladani dan yang tidak harus diteladani dari diri nabi diperlukan penelitian.
Dengan demikian , dapat diketahui hadis nabi yang berkaitan dengan ajaran dasar islam, praktek Nabi dalam mengaplikasikan petunjuk al-Qur;an sesuaidengan tingkat budaya masyarakat yang sedang di hadapi oleh Nabi,dan sebagainya.
Selanjutnya menurut sejarah, seluruh hadis tidak ditulis pada zaman nabi. Hadis yang ditulis baik secara resmi, misalnya berupa surat-surat nabi kepada para pengusaha nonmuslim dalam rangka dakwah maupun yang tidak resmi berupa catatan- catatan yang di buat oleh para sahabat tertentu atas inisiatif mereka sendiri, jumlahnya tidak banyak.
Dalam pada itu, hadis nabi pernah mengalami pemalsuan-pemalsuan, namun pada zaman Nabi, pemalsuan hadis tersebut belum pernah terjadi. Dalam sejarah pemalsuan hadis mulai berkembang pada zaman khalifah Ali bin abi thalib (W.40H = 661 M).
Hal-hal yang berkenaan dengan hadis tersebut merupakan sebagian dan factor-faktor yang melatarbelakangi pentingnya penelitian hadis. Factor-faktor penting lainnya adalah proses penghimpunan hadis ke dalam kitab kitab hadis yang memakan waktu cukup lama sesudah nabi wafat, jumlah kitab hadis yang sangat banyak dengan metode penyusunanya sangat beragam dan terjadinya periwayatan hadis secara makna.
Akibat lebih lanjut dari factor-faktor tersebut adalah keharusan adanya penelitian sanad dan matan hadis dalam kedudukan sebagai hujjah. Dengan dilakukan kegiatan kritik sanad, maka dapat diketahui apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai hadis Nabi itu memang benar-benar dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi. Dalam pada itu, karena sanad harus diteliti, maka terbuka kemungkinan terjadinya kualitas sanad
B. Bagian – Bagian yang harus di teliti
1. kaidah-kaidah mayor kritik sanad
Kaidah kritik sanad dapat di ketahui dari pengartian istilah hadis sahih. Menurutnya ulama hadis misalnya ibnu Al-shalah(W.643H), hadis sahih ialah :
Artinya : “ hadis yang bersambung sanadnya( sampai ke nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan zabit sampai akhir sanad, ( didalam hadis itu)), tidak terdapat kejanggalan(syuzus dan illat).”
Dari pengertian istilah tersebut, dapat di uraikan unsur-unsur hadis sahih menjadi:
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedangkan dua Unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan.
Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum kaidah kesahihan hadis yakni lima macam berkaitan dengan sanad. Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad di atas sesungguhnya dapat di daptkan menjaditiga unsur saja, yakni unsur-unsur terhindar dari syuzus dan terhindar dari illat di masukan pada unsure pertama dan ketiga.
2. kaidah-kaidah minor dalam kritik sanad
Apabila masing-masing unsure kaidah mayor bagi kesahihan sanad disertakan unsur-unsur kaidah minornya, maka dapat dikemukakan butir-butirnya sebagai berikut :
1. unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur-
unsure kaidah minor :
2. unsur kaidah mayor yang kedua, periwayat bersifat adil, mengandung unsur-
unsur kaidah minor :
3. unsur kaidah mayor yang ketiga, periwayat bersifat zabit dan atau azbat, mengandung unsur- unsur kaidah minor :
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut maka penelitian sanad hadis dilaksanakan. Sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Dengan demikian , dapat diketahui hadis nabi yang berkaitan dengan ajaran dasar islam, praktek Nabi dalam mengaplikasikan petunjuk al-Qur;an sesuaidengan tingkat budaya masyarakat yang sedang di hadapi oleh Nabi,dan sebagainya.
Selanjutnya menurut sejarah, seluruh hadis tidak ditulis pada zaman nabi. Hadis yang ditulis baik secara resmi, misalnya berupa surat-surat nabi kepada para pengusaha nonmuslim dalam rangka dakwah maupun yang tidak resmi berupa catatan- catatan yang di buat oleh para sahabat tertentu atas inisiatif mereka sendiri, jumlahnya tidak banyak.
Dalam pada itu, hadis nabi pernah mengalami pemalsuan-pemalsuan, namun pada zaman Nabi, pemalsuan hadis tersebut belum pernah terjadi. Dalam sejarah pemalsuan hadis mulai berkembang pada zaman khalifah Ali bin abi thalib (W.40H = 661 M).
Hal-hal yang berkenaan dengan hadis tersebut merupakan sebagian dan factor-faktor yang melatarbelakangi pentingnya penelitian hadis. Factor-faktor penting lainnya adalah proses penghimpunan hadis ke dalam kitab kitab hadis yang memakan waktu cukup lama sesudah nabi wafat, jumlah kitab hadis yang sangat banyak dengan metode penyusunanya sangat beragam dan terjadinya periwayatan hadis secara makna.
Akibat lebih lanjut dari factor-faktor tersebut adalah keharusan adanya penelitian sanad dan matan hadis dalam kedudukan sebagai hujjah. Dengan dilakukan kegiatan kritik sanad, maka dapat diketahui apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai hadis Nabi itu memang benar-benar dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi. Dalam pada itu, karena sanad harus diteliti, maka terbuka kemungkinan terjadinya kualitas sanad
B. Bagian – Bagian yang harus di teliti
1. kaidah-kaidah mayor kritik sanad
Kaidah kritik sanad dapat di ketahui dari pengartian istilah hadis sahih. Menurutnya ulama hadis misalnya ibnu Al-shalah(W.643H), hadis sahih ialah :
Artinya : “ hadis yang bersambung sanadnya( sampai ke nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan zabit sampai akhir sanad, ( didalam hadis itu)), tidak terdapat kejanggalan(syuzus dan illat).”
Dari pengertian istilah tersebut, dapat di uraikan unsur-unsur hadis sahih menjadi:
- Sanad bersanbung.
- Periwayat bersifat adil.
- Periwayat bersifat zabit.
- Dalam hadis itu tidak ada kejanggalan(syuzus)
- Dalam hadis itu tidak ada cacat (illat).
Ketiga unsur yang disebutkan pertama berkenaan dengan sanad, sedangkan dua Unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan.
Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum kaidah kesahihan hadis yakni lima macam berkaitan dengan sanad. Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad di atas sesungguhnya dapat di daptkan menjaditiga unsur saja, yakni unsur-unsur terhindar dari syuzus dan terhindar dari illat di masukan pada unsure pertama dan ketiga.
2. kaidah-kaidah minor dalam kritik sanad
Apabila masing-masing unsure kaidah mayor bagi kesahihan sanad disertakan unsur-unsur kaidah minornya, maka dapat dikemukakan butir-butirnya sebagai berikut :
1. unsur kaidah mayor yang pertama, sanad bersambung, mengandung unsur-
unsure kaidah minor :
- Muttasil ( bersambung )
- Marfu’ ( bersandar kepada Nabi, SAW)
- Mahfuz ( terhindar dari syuzus )
- Bukan mual (bercacat)
2. unsur kaidah mayor yang kedua, periwayat bersifat adil, mengandung unsur-
unsur kaidah minor :
- Beragama islam
- Mukalaf (balig dan berakal sehat)
- Melaksanakan ketentuan agama islam
- Memelihara muruah( adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegakknya kebajikan moral dan kebiasaan- kebiasaan).
3. unsur kaidah mayor yang ketiga, periwayat bersifat zabit dan atau azbat, mengandung unsur- unsur kaidah minor :
- Hapal dengan baik hadis yang diriwayatkannya.
- Mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadis yang dihapalnya kepada orang lain.
- Terhindar syuzus.
- Terhindar dari illat.
Dengan acuan kaidah mayor dan kaidah minor bagi sanad tersebut maka penelitian sanad hadis dilaksanakan. Sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Kedudukan Sanad dan Matan Hadits
Para ahli hadis sangat hati-hati dalam menerima suatu hadis kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan tetapi mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadis .
Pada masa Abu bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan hadis diawasi secara hati-hati dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya disumpah.
Meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam menerima yang berisikan itu. Jika dirasa tak perlu meminta saksi atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya.
Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum diterima atau tidaknya periwayatan hadis. Yang diperlukan dalam menerima hadis adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan saksi/keterangan.
Kedudukan sanad dalam hadis sangat penting, karena hadis yang diperoleh/ diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadis dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadis yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Ada beberapa hadis dan atsar yang menerangkan keutamaan sanad, di antaranya yaitu:
Diriwayatkan oleh muslim dari Ibnu Sirin, bahwa beliau berkata:
Artinya:
“Ilmu ini (hadis ini), idlah agama, karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka,”
Abdullah lbnu Mubarak berkata:
Artinya:
“Menerangkan sanad hadis, termasuk tugas agama Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga.”
“Menerangkan sanad hadis, termasuk tugas agama Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga.”
Asy-Syafii berkata.
Artinya:
“Perumpamaan orang yang mencari (menerima) hadis tanpa sanad, sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api di malam hari. ”
Perhatian terhadap sanad di masa sahabat yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempuyai daya ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka maka terpelihara sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli bid’ah dan para pendusta. Karenanya pula imam- imam hadis berusaha pergi dan melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan Rasul yang dilakukan sanad ‘aali
Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari Orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah khususnya kepada orang-orang Islam.
Memperhatikan sanad riwayat adalah suatu keistimewaan dari ketentuan-ketentuan umat Islam.
Pengertian beberapa istilah dalam Ulumul Hadist
Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat (riwayah) dan ilmu hadits diroyat (diroyah).
Secara garis besar ilmu-ilmu hadis dapat dikaji menjadi dua, yaitu Ilmu hadis riwayat (riwayah) dan ilmu hadis diroyat (diroyah).
Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadis kepada Sahiburillah, Nabi Muhammad SAW. dari segi kelakuan para perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan mereka dan dari segi keadaan sanad.
Ilmu hadis riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan membukukan hadis dalam suatu kitab. Dari dua pokok asasi ini, terbitlah berbagai- bagai seperti:
A. IImu Rijalil Hadis
llmu Rijalil Hadis ialah:
Artinya:
“Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya .”
Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi menerima hadis dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis.
Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan. Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan riwayat- riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadis maudu’. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata -kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan.
Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadis disebut Mu’talif dan Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama- nama perawi yang sama namanya, lain orangnya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. lni dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Musytabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat.
Di samping itu ada pula yang hanya menerangkan nama-nama yang terdapat dalam satu-satu kitab saja, atau: beberapa kitab saja. Dalam semua itu para ulama telah berjerih payah menyusun kitab-kitab yang dihajati.
Kitab yang diriwayatkan keadaan para perawi dari golongan sahabat ”
Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para sahabat, ialah Al-Bukhari (256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad Ibnu Saad, sesudah itu terdapat beberapa ahli lagi, di antaranya, yang penting diterangkan ialah Ibnu Abdil Barr (463 H). Kitabnya bernama AI-Istiab.
Pada permulaan abad ketujuh Hijrah, Izzuddin ibnul Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang dinamai Usdul Gabah. Ibnu Atsir ini adalah saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang An-Nihayah fi GaribiI Hadis. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Ai-Dzahabi (747 H) dalam kitab At-Tajrid.
Sesudah itu pada abad kesembilan Hijrah, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqali menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama AI-Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan Al- Istiab dengan Usdul Gabah dan ditambah dengan yang tidak terdapat dalam kitab- kitab tersebut. Kitab ini telah diringkaskan oleh As-Sayuti dalam kitab Ainul Ishabah.
Al-Bukhori dan muslim telah, menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama sahabi yang hanya meriwayatkan suatu hadis saja yang dinamai Wuzdan.
Kemudian, dalam bab ini Yahya ibnu abdul Wahab ibnu Mandah Al-Asbahani (551 H) menulis sebuah kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.
B. Ilmul Jarhi Wat Takdil
Ilmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah:
Artinya:
“Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. ”
“Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. ”
Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat.
Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadis ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H).
Di antara tabi’in ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadis, adakalanya karena me- rafa-kan ltadis yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).
Sesudah berakhir masa tabi’in, yaitu pada kira-kira tahun 150 Hijrah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi, menakdil dan menajrihkan mereka. Di antara ulama besar yang memberikan perhatian pada urusan ini, ialah Yahya. ibnu Said Al- Qattan (189H), Abdur Rachman ibnu Mahdi (198 H)”, sesudah itu, Yazid Ibnu Harun(189 H), Abu Daud At-Tahyalisi (204 H), Abdur Razaq bin Human (211 H).Sesudah itu, barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarah dan takdil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.
Di antara pemuka-pemuka jarah dan takdil ialah Yahya ibnu Main (233 H), Ahmad ibnu Hanbal (241 H), MUhammad ibnu Saad (230 H),Ali Ibnul Madini (234 H), Abu Bakar ibnu Syaibah (235 H), Ishaq ibnu Rahawaih (237 H). Sesudah itu, Ad-Darimi (255 H),Al-Bukhari (256 H), Al-Ajali(261 H), Muslim (251 H), Abu Zurah (264 H), Baqi ibnu Makhlad (276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H).
Kemudian pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampai pada ibnu Hajar Asqalani (852 H).
Kitab-kitab yang disusun mengenai jarah dan taqdil, ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang menadlieskan hadis. dan ada pula yang melengkapi semuanya. Di samping itu, ada yang menerangkan perawi-perawi suatu kitab saja atau beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab.
Di antara kitab yang melengkapi semua itu ialah: Kitab Tabaqat Muhammad ibnu Saad Az-Zuhri Al-Basari (23Q H). Kitab ini sangat besar. Di dalamnya terdapat nama-nama sahabat nama-nama tabi’in dan orang-orang sesudahnya. Kemudian berusaha pula beberapa ulama besar lain, di antaranya Ali ibnul Madini(234 H), Al-Bukhari, Muslim; Al-Hariwi (301 H) dan ibnu Hatim (327 H). Dan yang sangat berguna bagi ahli hadis dan fiqih ialah At-Takmil susunan Al-Imam ibnu Katsir.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat dipercayai saja ialah Kitab As-Siqat, karangan Al-Ajaly (261 H) dan kitab As-Siqat karangan Abu Hatim ibnu Hibban Al-Busty. Masuk dalam bagian ini adalah kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghapal-penghapal hadis. Banyak pula ulama yang menyusun kitab ini, di antaranya, Az-Zahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan As-Sayuti.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja ialah: Kitab Ad-Duafa, karangan Al-Bukhari dan kitab Ad- Duafa karangan ibnul Jauzi (587 H)
C. IImu Illail Hadis
Ilmu Illial Hadis, ialah:
Artinya:
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadis.
Yakni menyambung yang munqati, merafakan yang mauqu memasukkan satu hadis ke dalam hadis yang lain dan yang serupa itu Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadis.
Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan sehalus- halusnya. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadis melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadis.
Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim.
D. Ilmun nasil wal mansuh
Ilmun nasih wal Mansuh, ialah:
Artinya:
“ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya. ”
Apabila didapati suatu hadis yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadis tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadis yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadis itu dinamai Mukhatakiful Hadis. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu dinamai Mansuh.
Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mam’uh ini, di antaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H) .
E. Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis, ialah:
Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis, ialah:
Artinya:
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa- masanya Nabi menurunkan itu.”
Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadis, sebagaimana ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran.
UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H
F. Ilmu Talfiqil Hadis
Ilmu Talfiqil Hadis, ialah:
Artinya: “Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadis-hadis yang isinya berlawanan. ”
Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang ‘amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyaknya yangterjadi.
ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar